Dalam kalimat yang tampak sederhana ini, tersimpan pandangan hidup yang mengajak manusia untuk lepas dari keterikatan yang berlebihan—baik terhadap keinginan, ketakutan, maupun kebencian. Suryomentaram mengingatkan bahwa apa pun yang ada di dunia ini bersifat sementara, relatif, dan tidak seharusnya menguasai batin manusia sepenuhnya.
Ketika seseorang terlalu keras mengejar sesuatu—entah itu harta, status, atau bahkan cinta—ia sering kehilangan keseimbangan dan kedamaian dalam hidupnya. Sebaliknya, jika ia terlalu membenci atau menghindari sesuatu secara ekstrem, ia tetap terikat secara batin, meski dalam bentuk penolakan. Dalam filsafat Suryomentaram, keterikatan semacam ini disebut sebagai rasa “kawula”—rasa menjadi hamba dari keinginan dan rasa takut. Padahal kebebasan batin, menurutnya, hanya mungkin diraih ketika manusia bisa memandang segala hal dengan wajar: tidak terlalu melekat, tidak juga terlalu menolak.
Melalui kutipan ini, kita diajak untuk hidup dengan sikap batin yang luwes—mampu menerima hidup sebagaimana adanya, tanpa terjebak dalam nafsu untuk memiliki atau dorongan untuk lari dari kenyataan. Ini bukan sikap pasrah yang pasif, melainkan bentuk kemerdekaan batin. Hidup bukan soal mati-matian mengejar atau menolak, tetapi soal memahami bahwa semua datang dan pergi, dan tugas kita adalah menjalaninya dengan jernih, sadar, dan tidak terbelenggu oleh keinginan yang meluap-luap. Di sanalah letak ketenangan sejati.
No comments:
Post a Comment