06 May 2025

Sejarah Perang di Bali. Perang Bali berlangsung selama periode 100 tahun, dimulai sejak jaman kerajaan sampai jaman kemerdekaan, yaitu 1846 perang Buleleng sampai 1946 perang Bali yang dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai melawan agresi militer Belanda . Pada dasarnya Perang di Bali cenderung perang Frontal bahkan Perang Puputan ( habis habisan sampai mati) walaupun sadar persenjataan tidak memadai. Barulah april1946 I Gusti ngurah Rai sempat bergerilya selama kurang lebih 8 bulan, walaupun akhirnya kembali "terjebak" dalam semangat Perang Puputan di desa Margarana yang mengakibatkan seluruh pasukan yang hadir saat pengepungan oleh Belanda itu (sebagian besar laskar rakyat, bukan prajurit profesional) termasuk Pak Rai dan beberapa pimpinnan pasukan Induk Gugur. Pada masa lampau, berbagai kerajaan di Bali masing – masing memiliki kekuasaan sendiri atas wilayahnya. Terdapat Kerajaan Buleleng di utara, kerajaan Karangasem di timur. Kerajaan Klungkung ditenggara ,Gianyar, Bangli dan Mengwi ditengah, Kerajaan Badung berkuasa di ujung selatan pulau Bali, Tabanan di Barat daya, dan Jembrana di ujung barat pulau Bali. Kontak antara kerajaan Bali dengan Belanda sebenarnya sudah terjadi sejak abad ke 17, ketika para pedagang Belanda telah berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan raja – raja Bali. Usaha itu tidak berhasil. Belanda pada waktu itu mendekati para raja Bali dengan motif perdagangan. Usaha Belanda untuk mengikat perjanjian dengan raja – raja Bali baru mengalami keberhasilan pada 1841. Raja Klungkung, Badung, Buleleng, dan Karangasem mengikuti perjanjian tersebut. Melalui isi perjanjian, tampak jelas bahwa VOC sedang berusaha memperluas daerah kekuasaannya berdasarkan PAX Netherlandica. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa para raja Bali hanya akan melakukan kerjasama dengan Belanda, tidak akan bekerjasama dengan bangsa Eropa yang lain, dan bendera Belanda diizinkan untuk dikibarkan di wilayah – wilayah kerajaan tersebut. Perselisihan antara kerajaan kerajaan di Bali dengan Belanda awalnya disebabkan dengan adanya hukum tawan karang yang berlaku di hampir seluruh kerajaan di Bali yang memiliki garis pantai. Dalam hukum tawan karang penguasa wilayah kerajaan berhak menyita kapal yang terdampar tanpa ijin diwilayah kerajaan. Belanda terutama keberatan dengan hukum tawan karang yang telah menimpa armadanya yang menjadi penyebab perang Bali. Pada tahun 1843 raja – raja Bali kemudian menandatangani perjanjian untuk menghapus tawan karang, namun mereka tidak sungguh – sungguh menepatinya sehingga perselisihan dengan Belanda mulai muncul. Pada tahun 1845 Belanda menekan Raja Buleleng, Klungkung dan Karangasem untuk menghapus tawan karang namun ditolak. Raja Buleleng merasa gelisah karena Belanda menuntut penggantian atas kapal – kapal yang dirampas, biaya perang dan mengakui kerajaannya menjadi bagian dari wilayah Belanda. Patih Buleleng I Gusti Ketut Jelantik mengatakan bahwa tuntutan tersebut tidak dapat diterima. Ia kemudian menggalang kekuatan pasukan kerajaan, melatih prajuritnya berperang dengan lebih intensif dan menambah perlengkapan serta persenjataan. Begitu pula dengan kerajaan lain yang diam – diam menggiatkan kegiatan pasukannya. Belanda kemudian mengultimatum pada 14 Juni 1846 yang berlaku selama 3 x 24 jam agar Buleleng memenuhi semua tuntutan. Perang Buleleng (Ekspedisi Belanda Pertama) Pada Juni 1846 Belanda mengerahkan pasukan dan kapal yang dipimpin oleh Engelbertus Batavus van den Bosch. Pasukan Belanda terdiri dari 1700 prajurit, diantaranya ada 400 prajurit Eropa dipimpin oleh Letkol Gerhardus Bakker. Ultimatum kepada Raja Buleleng berakhir pada 17 Juni dan pada hari berikutnya pasukan Belanda dibawah Abraham Johannes de Smit van den Broecke tiba dengan perlindungan meriam laut. Prajurit Kerajaan Buleleng berusaha mencegah pendaratan tersebut namun mereka mengalami kegagalan. Pasukan Belanda dapat maju ke pesawahan yang dikelilingi oleh pasukan Buleleng. Walaupun mendapatkan perlawanan sengit, pada hari berikutnya ibu kota Buleleng yaitu Singaraja berhasil dikuasai Belanda. Perang ini sangat tidak berimbang karena saat itu kerajaan2 di Bali hanya mengandalkan senjata tradisional, keris, tombak, dll Pantai Buleleng diblokade dan Belanda menembaki istana raja dengan meriam dari arah pantai. Satu persatu wilayah berhasil diduduki dan istana jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng berpura – pura mengalah dan sebagai patih, I Gusti Ketut Jelantik melanjutkan perlawanannya. Perang Jagaraga I (Ekspedisi Belanda Kedua) Dalam sejarah perang Bali, perang ini juga dikenal sebagai Perang Jagaraga yang berlangsung di tahun 1848. Pasukan Belanda berjumlah 2400 prajurit yang sepertiganya adalah orang Eropa sementara sisanya adalah orang Jawa dan Madura. Pasukan ditambahkan lagi dengan satu kompi prajurit kulit hitam Afrika yang kemungkinan berasal dari koloni Belanda di Ghana (Pantai Emas). Mereka mendarat di Sangsit, Buleleng pada 7 Mei 1848 dengan dipimpin Mayjen van der Wijck. Pasukan Buleleng kemudian menarik diri ke arah dataran tinggi Jagaraga setelah orang Belanda mendarat. Benteng Jagaraga terletak di atas bukit, bentuknya merupakan “Supit Urang” yang dikelilingi parit dan ranjau bambu untuk menghambat gerakan musuh. Selain laskar Buleleng yang ada disana, kerajaan lain seperti Karangasem, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga pasukan Bali seluruhnya berjumlah 15000 orang. Istri patih Jelantik bernama Jero Jempiring juga menggerakkan para wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang berperang. Dalam serangan tersebut Belanda mengalami kekalahan. Perang Jagaraga II (Ekspedisi Belanda Ketiga) Pada tahun 1849 dalam sejarah perang Bali, Belanda kembali mengerahkan pasukan yang lebih besar lagi yaitu sebanyak 4.177 orang sehingga terjadi perang Jagaraga II. Perang antara rakyat Bali dan Belanda berlangsung selama dua hari dua malam yaitu pada 15 – 16 April 1849. Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang dibagi menjadi tiga kolone. Kolone 1 dipimpin Van Swieten, kolone kedua dipimpin La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin Poland. Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda setelah terjadi pertempuran sengit. Kerajaan Buleleng berhasil dikalahkan, raja dan patih menyatakan (pura pura) takluk. Namun setelah itu masih sering terjadi pemberontakan rakyat. Salah satu yang cukup besar adalah pemberontakan yang dipimpin keluarga pemuka Agama dari desa Banjar, dikenal dengan Perang Banjar Sementara itu Belanda juga bersekutu dengan Kerajaan Lombok untuk menyerang Karangasem yang sudah lama bermusuhan dengan Lombok. Pasukan Lombok ikut ke kapal Belanda dan turut menyerang Karang asem yang dibantu Buleleng. Raja Buleleng dan patih I Gusti Ketut Jelantik terbunuh dalam pertempuran ini, sedangkan penguasa Karangasem melakukan ritual bunuh diri. I Gusti Ketut Jelantik sudah diakui menjadi salah satu pahlawan nasional dari Bali. Belanda melanjutkan serangan ke Klungkung, menduduki Goa Lawah dan Kusamba. Disana pasukan Belanda terkena wabah disentri sehingga kekuatan pasukan menurun. Mayjen Michiels tewas ketika Dewa Agung Istri Kanya, seorang Putri Kerajaan Klungkung memimpin serangan pada malam hari terhadap Belanda di Kusamba. Belanda mundur ke kapal mereka ketika menghadapi kekuatan 33.000 orang dari Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung. Belanda gagal menguasai Kerajaan Klungkung, tapi Belanda sudah berhasil menguasai Kerajaan Buleleng, Karang asem, Bangli dan Jembrana. Setelah itu masih terjadi berbagai perlawanan sporadis.Tahun 1858 I Nyoman Gempol mengangkat senjata untuk berperang melawan Belanda, dan tahun 1868 terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Ida Made Rai, tetapi keduanya gagal. (bersambung)

 Sejarah Perang di Bali. 


Perang Bali berlangsung selama periode 100 tahun, dimulai sejak jaman kerajaan sampai jaman kemerdekaan, yaitu 1846 perang Buleleng sampai 1946 perang Bali yang dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai melawan agresi militer Belanda . 



Pada dasarnya Perang di Bali cenderung perang Frontal bahkan Perang Puputan ( habis habisan sampai mati) walaupun sadar persenjataan tidak memadai. 

Barulah april1946 I Gusti ngurah Rai sempat bergerilya selama kurang lebih 8 bulan, walaupun akhirnya kembali "terjebak" dalam semangat Perang Puputan di desa Margarana yang mengakibatkan seluruh pasukan yang hadir saat pengepungan oleh Belanda itu (sebagian besar laskar rakyat, bukan prajurit profesional) 

termasuk Pak Rai dan beberapa pimpinnan pasukan Induk Gugur.


Pada masa lampau, berbagai kerajaan di Bali masing – masing memiliki kekuasaan sendiri atas wilayahnya. Terdapat Kerajaan Buleleng di utara,  kerajaan Karangasem di timur.

Kerajaan Klungkung ditenggara ,Gianyar, Bangli dan Mengwi ditengah, Kerajaan Badung berkuasa di ujung selatan pulau Bali, Tabanan di Barat daya, dan Jembrana di ujung barat pulau Bali. 


Kontak antara kerajaan Bali dengan Belanda sebenarnya sudah terjadi sejak abad ke 17, ketika para pedagang Belanda telah berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan raja – raja Bali. Usaha itu tidak berhasil.


Belanda pada waktu itu mendekati para raja Bali dengan motif perdagangan. Usaha Belanda untuk mengikat perjanjian dengan raja – raja Bali baru mengalami keberhasilan pada 1841. Raja Klungkung, Badung, Buleleng, dan Karangasem mengikuti perjanjian tersebut.


Melalui isi perjanjian, tampak jelas bahwa VOC sedang berusaha memperluas daerah kekuasaannya berdasarkan PAX Netherlandica. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa para raja Bali hanya akan melakukan kerjasama dengan Belanda, tidak akan bekerjasama dengan bangsa Eropa yang lain, dan bendera Belanda diizinkan untuk dikibarkan di wilayah – wilayah kerajaan tersebut.

Perselisihan antara kerajaan kerajaan di Bali dengan Belanda awalnya disebabkan dengan adanya hukum tawan karang yang berlaku di hampir seluruh kerajaan di Bali yang memiliki garis pantai. Dalam hukum tawan karang penguasa wilayah kerajaan berhak menyita kapal yang terdampar tanpa ijin diwilayah kerajaan.

Belanda terutama keberatan dengan hukum tawan karang yang telah menimpa armadanya yang menjadi penyebab perang Bali. Pada tahun 1843 raja – raja Bali kemudian menandatangani perjanjian untuk menghapus tawan karang, namun mereka tidak sungguh – sungguh menepatinya sehingga perselisihan dengan Belanda mulai muncul.


Pada tahun 1845 Belanda menekan Raja Buleleng, Klungkung dan Karangasem untuk menghapus tawan karang namun ditolak. Raja Buleleng merasa gelisah karena Belanda menuntut penggantian atas kapal – kapal yang dirampas, biaya perang dan mengakui kerajaannya menjadi bagian dari wilayah Belanda.


Patih Buleleng I Gusti Ketut Jelantik mengatakan bahwa tuntutan tersebut tidak dapat diterima. Ia kemudian menggalang kekuatan pasukan kerajaan, melatih prajuritnya berperang dengan lebih intensif dan menambah perlengkapan serta persenjataan.


Begitu pula dengan kerajaan lain yang diam – diam menggiatkan kegiatan pasukannya. Belanda kemudian mengultimatum pada 14 Juni 1846 yang berlaku selama 3 x 24 jam agar Buleleng memenuhi semua tuntutan. 


Perang Buleleng (Ekspedisi Belanda Pertama)


Pada Juni 1846 Belanda mengerahkan pasukan dan kapal yang dipimpin oleh Engelbertus Batavus van den Bosch. Pasukan Belanda terdiri dari 1700 prajurit, diantaranya ada 400 prajurit Eropa dipimpin oleh Letkol Gerhardus Bakker. Ultimatum kepada Raja Buleleng berakhir pada 17 Juni dan pada hari berikutnya pasukan Belanda dibawah Abraham Johannes de Smit van den Broecke tiba dengan perlindungan meriam laut.

Prajurit Kerajaan Buleleng berusaha mencegah pendaratan tersebut namun mereka mengalami kegagalan. Pasukan Belanda dapat maju ke pesawahan yang dikelilingi oleh pasukan Buleleng. Walaupun mendapatkan perlawanan sengit, pada hari berikutnya ibu kota Buleleng yaitu Singaraja berhasil dikuasai Belanda.

Perang ini sangat tidak berimbang karena saat itu kerajaan2 di Bali hanya mengandalkan senjata tradisional, keris, tombak, dll


Pantai Buleleng diblokade dan Belanda menembaki istana raja dengan meriam dari arah pantai. Satu persatu wilayah berhasil diduduki dan istana jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng berpura – pura mengalah dan sebagai patih, I Gusti Ketut Jelantik melanjutkan perlawanannya.


Perang Jagaraga I (Ekspedisi Belanda Kedua)


Dalam sejarah perang Bali, perang ini juga dikenal sebagai Perang Jagaraga yang berlangsung di tahun 1848. Pasukan Belanda berjumlah 2400 prajurit yang sepertiganya adalah orang Eropa sementara sisanya adalah orang Jawa dan Madura.


Pasukan ditambahkan lagi dengan satu kompi prajurit kulit hitam Afrika yang kemungkinan berasal dari koloni Belanda di Ghana (Pantai Emas). Mereka mendarat di Sangsit, Buleleng pada 7 Mei 1848 dengan dipimpin Mayjen van der Wijck. Pasukan Buleleng kemudian menarik diri ke arah dataran tinggi Jagaraga setelah orang Belanda mendarat.


Benteng Jagaraga terletak di atas bukit, bentuknya merupakan “Supit Urang” yang dikelilingi parit dan ranjau bambu untuk menghambat gerakan musuh. Selain laskar Buleleng yang ada disana, kerajaan lain seperti Karangasem, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga pasukan Bali seluruhnya berjumlah 15000 orang.

Istri patih Jelantik bernama Jero Jempiring juga menggerakkan para wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang berperang. Dalam serangan tersebut Belanda mengalami kekalahan.


Perang Jagaraga II (Ekspedisi Belanda Ketiga)


Pada tahun 1849 dalam sejarah perang Bali, Belanda kembali mengerahkan pasukan yang lebih besar lagi yaitu sebanyak 4.177 orang sehingga terjadi perang Jagaraga II. Perang antara rakyat Bali dan Belanda berlangsung selama dua hari dua malam yaitu pada 15  – 16 April 1849.


Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang dibagi menjadi tiga kolone. Kolone 1 dipimpin Van Swieten, kolone kedua dipimpin La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin Poland. Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda setelah terjadi pertempuran sengit.

Kerajaan Buleleng berhasil dikalahkan, raja dan patih menyatakan (pura pura) takluk. 

Namun setelah itu masih sering terjadi pemberontakan rakyat. 

Salah satu yang cukup besar adalah pemberontakan yang dipimpin keluarga pemuka Agama dari desa Banjar, dikenal dengan Perang Banjar 


Sementara itu Belanda juga bersekutu dengan Kerajaan Lombok untuk menyerang Karangasem yang sudah lama bermusuhan dengan Lombok.


Pasukan Lombok ikut ke kapal Belanda dan turut menyerang Karang asem yang dibantu Buleleng. Raja Buleleng dan patih I Gusti Ketut Jelantik terbunuh dalam pertempuran ini, sedangkan penguasa Karangasem melakukan ritual bunuh diri. 

I Gusti Ketut Jelantik sudah diakui menjadi salah satu pahlawan nasional dari Bali.


Belanda melanjutkan serangan ke Klungkung, menduduki Goa Lawah dan Kusamba. Disana pasukan Belanda terkena wabah disentri sehingga kekuatan pasukan menurun. Mayjen Michiels tewas ketika Dewa Agung Istri Kanya, seorang Putri Kerajaan Klungkung

memimpin serangan pada malam hari terhadap Belanda di Kusamba.


Belanda mundur ke kapal mereka ketika menghadapi kekuatan 33.000 orang dari Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung. 

Belanda gagal menguasai Kerajaan Klungkung, tapi Belanda sudah berhasil menguasai Kerajaan Buleleng, Karang asem, Bangli dan Jembrana. 


Setelah itu masih terjadi berbagai perlawanan sporadis.Tahun 1858 I Nyoman Gempol mengangkat senjata untuk berperang melawan Belanda, dan tahun 1868 terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Ida Made Rai, tetapi keduanya gagal.


(bersambung)

No comments:

Post a Comment