kisah Mery Gundik dari purworejo
Pada tahun 1898, tentara kolonial berjumlah 42.000 orang, sebanyak 18.000 di diantaranya adalah serdadu Eropa. Selebihnya dari pribumi dan dari Afrika yang direkrut di Elmina, Ghana. Total jumlah serdadu Kolonial Belanda hingga tahun 1909 adalah 177.000 orang. Mereka tersebar di setiap kota strategis yang telah dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda.
Salah satu kota tempat serdadu Afrika adalah di Kota Purworejo, Jawa Tengah (Reggie Bay, 2002: 250-251). Di dalam tangsi, mereka hidup bersama gundik. Salah satu gundik itu bernama Nikem. Anak hasil pergundikan Nikem adalah Marie atau Olus (nama Afrika).
Ayah Marie merupakan anggota tentara KNIL asal Afrika. Di suatu hari, tanpa suatu sebab, ayahnya meninggal mendadak, tepat saat ia menggendong Marie yang masih balita. Nikem datang dan melihat Marie menangis dalam pelukan ayahnya yang telah tiada.
Nikem menjadi terganggu kejiwaannya (orang menyebutnya gila) karena sedih yang mendalam. Ia sering memanjat pohon asam. Warga sampai kesulitan membujuknya agar turun dari pohon. Agar sembuh dari dukanya, ia pun diberikan obat agar terhindar dari gangguan jiwa.
Saat Marie dewasa, ia lari meninggalkan Purworejo karena merasa terancam hidupnya oleh kakak iparnya. Ia berjalan menyusuri rel kereta api. Selanjutnya lama tidak diketahui rimbanya. Namun, tiba-tiba ia ditemukan sudah menjadi gundik tentara, di lain kota di Jawa Tengah.
Ia terus berpindah-pindah mengikuti sang majikan di setiap pemindahan tugasnya, termasuk sampai ke Aceh. Saat di Aceh, tuannya kembali ke Eropa. Ia kemudian diambil-alih oleh rekannya, serdadu Belanda yang bernama Hendrik.
Hendrik lahir di Rotterdam, Belanda, 1883, dan menjadi tentara Hindia Belanda pada tahun 1903. Dari hasil pergundikannya dengan Marie, lahir putra pertama mereka tahun 1908. Tahun 1911, Hendrik sempat pindah tugas ke Pulau Seram.
Selama bertahun-tahun Marie menemani Hendrik berpindah-pindah tugas. Seorang pendeta menganggap hubungan mereka sebagai aib. Atas desakan pendeta itu, mereka pun memutuskan menikah resmi pada 21 Maret 1914, setelah mempunyai tiga anak.
Marie termasuk gundik yang beruntung. Hendrik mempertahankan keberadaannya dan mengakui anak-anaknya. Hendrik dan Marie sempat kembali ke Purworejo dan mengelola kantin di barak-barak militer di kota itu.
Tatkala perang meletus, mereka berhasil menyelamatkan diri. Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia di tahun 1950 pasca-Konferensi Meja Bundar, memaksa mereka hengkang dari Jawa. Hendrik memutuskan kembali ke Rotterdam, Belanda.
Hendrik meninggal tahun 1956. Marie masih sempat hidup bertahun-tahun bersama anak perempuannya di Zeeland. Selama hidup di negeri yang baru tersebut, tak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Ia sudah terbiasa dan berdamai dengan nasibnya. Marie meninggal pada 6 Januari 1974 di usia 87 tahun di Goes, Zeeland.(foto ilustrasi)
Sumber : Adi Fa
No comments:
Post a Comment