■ PERJUANGAN SULTAN MATANGAJI DIBANTU PARA SANTRI PERANG MELAWAN BELANDA ■
Pada masa kepemimpinan Sultan Matangaji bertahta dari 1773 - 1786, Taman sari gua sunyaragi mengalami banyak perbaikan dan disamping kegunaannya sebagai taman air, gua Sunyaragi juga dipergunakan sebagai markas besar prajurit, gudang dan tempat pembuatan senjata.
Menurut P. S. Sulendraningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cirebon dikatakan bahwa Sultan Matangaji masih memiliki markas lainnya yang disebut sebagai markas garis belakang di desa Matangaji, kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon.
Di dalam keraton, penjajah Belanda berusaha membujuk Sultan Matangaji untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, tetapi sultan menolaknya, karena mengalami berbagai tekanan,
Sultan Matangaji akhirnya pergi meninggalkan keraton Kasepuhan.
Dalam sejarah lisan yang diturunkan secara turun temurun di Cirebon, dikatakan dalam perjalanannya Sultan Matangaji berjalan ke arah blok Capar lalu meneruskan lagi ke arah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih aman. Di desa Sidawangi inilah, Sultan Matangaji membangun sebuah pesantren ditempat yang sekarang disebut Blok Pesantren atau Dusun Pesantren. yang kemudian banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu keagamaan. Dikarenakan letak Desa Sidawangi yang dirasa kurang aman, maka Sultan Matangaji kembali melakukan perjalanan menuju pedalaman Cirebon dan tiba di daerah yang sekarang disebut Desa Matangaji.
Didesa inilah akhirnya Sultan Matangaji membuat sebuah tempat peristirahatan kecil yang oleh masyarakat hingga kini dikenal dengan nama Blok Pedaleman atau Dusun Pedaleman yang berarti tempatnya para pembesar keraton.
Di Desa Matangaji, Sultan kembali membangun sebuah pesantren dan mengajarkan ilmu keislaman dan berpesan jika ingin mengaji harus sampai matang, oleh sebab itu wilayah tersebut dinamakan Matangaji.
Sementara itu, aktivitas yang ada di Taman Sari Gua Sunyaragi akhirnya diketahui oleh Belanda karena takut angkatan perang Cirebon akan bertambah kuat dan menghalangi kepentingannya maka taman sari diserang dan dihancurkan hingga tinggal puing-puing.
Kedekatan Sultan Matangaji dengan masyarakat juga para santri membuat banyak dari mereka yang turut serta dalam perjuangan Sultan Matangaji. Dukungan para kyai juga diperolehnya.
Ali Mursyid, anggota Lakpesdam NU dan Fahmina Institute yang juga seorang alumnus pesantren Assalafie di Babakan Ciwaringin dalam catatannya yang berjudul Perjuangan Santri Cirebon untuk Kemerdekaan menyatakan bahwa dukungan dari para kyai kepada Sultan Matangaji diantaranya datang dari Kyai Abdullah dari Lontang Jaya, Kyai Jatira dari Babakan Ciwaringin dan Kyai Idris dari Kempek.
Kyai Jatira misalnya, dia tidak menyukai sikap para penjajah, terlebih saat penjajah Belanda berencana merobohkan pesantren Babakan Ciwaringin untuk membangun jalan raya. Kyai Jatira kemudian memindahkan patok penanda pembangunan jalan ke sebelah utara pesantrennya.
Di wilayah antara desa Gintung (sekarang sudah mekar menjadi desa Gintung ranjeng, desa Gintung Tengah, desa Gintung Kidul dan desa Gintung Lor) hingga desa Kedongdong inilah yang menjadi pusat dari pertempuran besar para santri dan masyarakat Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Sepuh V Syafiuddin, banyak dari para santri yang meninggal, di desa Gintung ada sebuah lapangan yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Blambangan di lapangan itulah para santri banyak yang terbunuh.
Foto :
Ilustrasi by Dido Gomes
No comments:
Post a Comment