MAHARAJA PANANGKARAN SANG RAJA SAILENDRA.
Raja Medang (Mataram Kuno) Sri Maharaja Rakai Panangkaran digelari Raja Sailendra di Prasasti Kalasan.
Menurut prasasti Wanwa Tnah, pada tahun 746 Masehi Sri Maharaja Rakai Panangkaran naik tahta menggantikan Rahyangta Rumuhun ri Mdang Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, yang wafat akibat menjalani ritual yang sangat berat atas saran Sang Guru, Resi Brahmana pemuja Siwa.
Akibat kematian Sanjaya ini kemudian Rakai Panangkaran berpindah keyakinan menjadi penganut Buddha oleh saran Sanjaya sebelum wafat, prasasti Sankhara dan kidung Parahyangan.
Setelah naik tahta, Sri Maharaja Rakai Panangkaran kemudian mengangkat putera mahkota yang bernama Dharanindarena menjadi raja muda di daerah Panunggalan sehingga Dharanindarena bergelar Rakai Panunggalan.
Pada kurun periode tahun 750 - 770 Masehi, pamor Sriwijaya sudah mulai meredup.
Sri Maharaja Rakai Panangkaran kemudian memerintahkan Rakai Panunggalan berangkat menuju Swarnadwipa untuk menakhlukkan Sriwijaya dan memperluas pengaruh Mataram Kuno hingga ke daerah Kamboja.
Rakai Panunggalan telah berhasil menakhlukkan Sriwijaya, dan terus menakhlukkan daerah-daerah lainnya di Swarnadwipa hingga kemudian mencapai Ligor (sekarang Thailand) pada tahun 775 Masehi, terbukti dengan adanya prasasti Ligor sisi B yang menggunakan aksara Jawa Kuno khas tulisan Medang.
Pembuatan prasasti Ligor sisi A tahun 775 Masehi di Thailand menandakan adanya hegemoni Sriwijaya di Thailand, tapi tidak berlangsung lama, pada tahun yang sama Jawa dapat mengalahkan Sriwijaya di Ligor Thailand, sehingga Jawa membuat prasasti Ligor sisi B menggunakan aksara Jawa Kuno.
3 tahun setelah penakhlukan Ligor, pada tahun 778 Masehi, Rakai Panunggalan yang masih berada di seberang mengutus Guru - Guru Spiritualnya menghadap kepada Sri Maharaja Rakai Panangkaran untuk memohon atau membujuk Sri Maharaja Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci Tarabhavanam (Candi Kalasan). Berita ini tercantum pada Prasasti Kalasan, dan pada prasasti tersebut Sri Maharaja Rakai Panangkaran dipuji sebagai "Śailendra vamsa tilaka sya" (Permata Wangsa Śailendra) dan dipuji sebagai "Rajasimha" (Raja bagaikan Singa). Menurut prasasti Kalasan, Candi Kalasan berada di Kerajaan Sailendra yang sedang tumbuh dan berkembang.
Berselang 4 tahun setelah permohonan tersebut, pada tahun 782 Masehi, Rakai Panunggalan dipanggil pulang ke Jawa untuk mempersiapkan dirinya menaiki tahta kerajaan.
Rakai Panunggalan kembali ke Jawa bersama dengan Sri Dharmmasettu. Sri Dharmmasettu adalah Raja Sriwijaya yang ditawan dan dibawa ke Jawa oleh Rakai Panunggalan. Pada Prasasti Kelurak, Rakai Panunggalan disebut sebagai Wairiwarawiramardana (Penumpas Musuh-Musuh Perwira).
Berselang 2 tahun, pada tahun 784 Masehi, Sri Maharaja Rakai Panangkaran turun tahta untuk menjadi Pertapa (Pandita) dan kemudian yang menjadi Raja digantikan oleh putranya dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Panunggalan Sri Sanggrama Dhananjaya.
Setelah Sri Maharaja Rakai Panunggalan naik tahta, ekspansi Mataram Kuno tidak berhenti di Ligor namun terus bergerak kearah utara sehingga pada tahun 787 Masehi, ekspansi Mataram Kuno berhasil menguasai Kamboja serta berhasil menawan Jayawarman II yang kemudian dibawa ke istana Mataram Kuno di Jawa.
Sri Maharaja Rakai Panunggalan kemudian memerintahkan kepada Pendeta Kumaragosha untuk merencanakan pembuatan bangunan suci Manjusrigrha (Candi Sewu) dan Candi tersebut terus dibangun sampai selesai tahun 792 Masehi sesuai pada prasasti Manjusrigrha yang disebut sebagai penyempurnaan Prasada Vajrasana Manjusrigrha. Lalu Rakai Panunggalan juga memerintahkan Sri Dharmmasettu untuk menjaga bangunan suci Manjusrigrha.
Rakai Panangkaran yang telah menjadi Pandeta kemudian wafat. Pada Prasasti Manjusrigrha tahun 792 Masehi, disebutkan bahwa adanya penyempurnaan Prasada Vajrasana Manjusrigrha oleh Dang Nāyaka Diraṇḍalūrawaŋ untuk dipersembahkan kepada Sri Nareswara ( = Raja ) yang telah menjelma ke Alam Kadewatan (wafat).
Penyempurnaan Prasada Vajrasana Manjusrigrha ini dilakukan atas perintah Sri Maharaja Rakai Panunggalan untuk mendiang Ayahnya ( = Rakai Panangkaran ).
Namun penguasaan Mataram Kuno terhadap Kamboja tidak berlangsung lama, sejak Jayawarman II diperbolehkan pulang ke negerinya, Jayawarman II menginginkan negerinya terbebas dari hegemoni Jawa. Sehingga pada tahun 802 Masehi, Kamboja dapat melepaskan diri dari kekuasaan Mataram Kuno, dan kemudian menjadi kerajaan yang merdeka, yaitu Kerajaan Khmer (Angkor) dengan raja pertamanya Jayawarman II.
Sri Maharaja Rakai Panunggalan wafat pada tahun 803 Masehi, karena pada tahun tersebut Sri Maharaja Rakai Warak Dyah Manara Sri Samaragrhawira telah menaiki tahta menjadi Raja Mataram Kuno.
* SUMBER DAN REFERENSI *
- Sumadio, Bambang. 2008. Zaman Kuna. Jilid II dari Sejarah Nasional Indonesia. Edisi pemutakhiran. Disunting oleh Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto.Jakarta: Balai Pustaka.
- Bosch, 1925 “Een oorkonde van het groot kloster van Nalanda”. Dalam TBG 65 : 509-588.
- Damais, L.C. 1970 Repertoire onomastique de l’epigrphi Javanaise. Paris : Ecole Francaise d’extreme-Orient.
No comments:
Post a Comment