19 October 2022

Sejarah Magelang - Masjid Jami' Baitul Muttawin Masjid Tiban Masjid Wali Trasan Bandongan Magelang

 MASJID JAMI' BAITUL MUTTAQIN (Masjid Tiban / Masjid Wali), TRASAN, BANDONGAN, MAGELANG

Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardhana

Masjid Jami' Baitul Muttaqin atau yang lazim disebut Masjid Tiban atau Masjid Wali ini berlokasi di Kauman, Trasan, Bandongan, Kabupaten Magelang. Masjid ini merupakan salah satu masjid yang dijadikan sampel penelitian dari buku karya Guillaume Frederic Pijper yang berjudul "Studien Over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia: 1900-1950" dalam bab "De Moskeeen van Java". 


Secara tradisi tutur, Masjid Jami' Baitul Muttaqin berdiri secara gaib pada masa islamisasi Jawa oleh para wali terdahulu. Konon, dulunya, masjid ini sendiri tidak berada di lokasinya yang sekarang melainkan berada di bagian lain dari desa Trasan (makam cangkiran?). Karena kemunculannya secara tiba-tiba inilah yang kemudian menjadikan masjid ini disebut dengan nama "Masjid Tiban" (tiba - tiba muncul / jatuh). Sebenarnya terdapat berbagai macam versi mengenai keberadaan dan sejarah munculnya masjid ini, tapi kali ini saya tidak akan membahasnya.


Layaknya masjid tradisional Jawa lainnya, gaya bangunan masjid Baitul Muttaqin ini memiliki kesamaan dengan langgam arsitektur Masjid Agung Demak. Secara bentuk, bagian utama (inti) masjid masih mempertahankan struktur bangunan lama khas masjid tua di Jawa. Luas bangunan utama masjid ini sendiri sekitar 15 x 15 meter. Pada bagian dalam masjid, terdapat 16 tiang penyangga (soko) kayu jati dengan 4 tiang utama (soko guru) setinggi 7-8 meter dan sisanya berukuran lebih pendek sekitar 2,5 meter. Pada beberapa bagian tiang ditemukan hiasan berupa ornamen berbentuk sulur layaknya anteviks candi yang menghadap ke atas. 


Secara utuh, bagian atap masjid ini berbentuk tajuk (meru) bersusun dua. Pada bagian kemuncak (mustaka) meru masjid terdapat ornamen hiasan dari tanah liat (terakota) berbentuk gada (senjata sakti milik tokoh pewayangan Raden Werkudara), daun kluwih dan bunga gambir, layaknya mustaka masjid tradisional seperti Masjid Gedhe Yogyakarta. Pun demikian, masyarakat sekitar mempresepsikan ornamen hiasan pada mustaka ini adalah binatang melata seperti kadal dan cicak. Sebagai penutup utama atap, genting tanah liat model "kripik" masih dipertahankan. 


Sebagai pelengkap peribadahan, sebuah mimbar dari kayu dan semen berada di sebalah kiri pengimaman (mihrab). Komponen kayu mimbar konon masih asli sejak dulu. Bentuk mimbarnya sendiri nampaknya mendapat pengaruh dari mimbar gaya Timur Tengah / Asia Minor. Terdapat juga sebuah bedug kayu dengan membran kulit berpasak kayu dan kentongan kayu berbentuk lesung di shaf belakang kiri pintu masuk. 


Layaknya masjid tua, pada bagian belakang masjid ditemukan makam yang diperuntukkan bagi para imam, pengurus dan warga yang tinggal disekitar masjid. 


Bertambanya jumlah jamaah membuat perluasan area masjid menjadi tidak terhindarkan. Penggantian dinding masjid dari kayu / bambu ke dinding semen, perluasan area serambi dan pembangunan bangunan pendukung masjid lainnya bertambah seiring waktu sesuai kebutuhan.


Tradisi "Selikuran" atau menyambut malam ke dua puluh satu di 10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah momen istimewa bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid Tiban. Hal tersebut dikarenakan banyak umat muslim yang berbondong-bondong ke masjid Tiban ini untuk melakukan iktikhaf atau "ngalap berkah". Kedatangan jama'ah yang banyak dari berbagai daerah ini sudah barang tentu membawa dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat sekitar. Para penjual makanan, mainan dan pernak-pernik ibadah ramai menjajakan barang dagangannya. Dengan demikian, konsep "ngalap berkah" berupa berkah spiritual dengan beribadah di masjid dan berkah material sebagai dampak transaksi jual beli baik oleh jama'ah masjid dan masyarakat bisa dinikmati berkat keberadaan Masjid Jami' Baitul Muttaqin ini.


- Chandra Gusta Wisnuwardana -











 










No comments:

Post a Comment