07 October 2009

Manusia Pinggiran

Awal Oktober 2009, tangisan bersaut-sautan di tanah Minang. Rumah-rumah kokoh yang dibangun dengan dana jutaan, luluh lantak rata dengan tanah. Bukit-bukit yang perkasa, lumer menerjang apa saja yang bisa diterjang. Jiwa-jiwa tercerabut dari raga menuju keharibaan Sang Pencipta. Tua-muda, laki-perempuan, menceracau tak karuan ketika gedebum langit-langit rumah pada runtuh menubruk bumi. Harta benda yang dipendam bertahun-tahun, hilang musnah dalam sekejab. Penguasapun tak dapat berbuat apa-apa menghadapi kemurkaan alam. Pemuda gagahpun seketika menjadi banci yang meraung-raung menangis, entah menangisi apa. Wanita cantikpun seketika menjadi nenek jompo yang tidak tahu mau lari kemana menghadapi keganasan alam. Anak-anak masih asyik bermain ketika bencana alam itu memenggal keceriaan mereka. Benar, alam murka tanpa pernah memandang kepada siapa ia mengharu biru kehidupan.

Para penguasa dengan lagak wibawa dan mulut berbusa-busa menerangkan berbagai metode menghadapi murka alam, padahal mereka sendiri takut setengah mati apabila mereka sendiri yang tertimpa musibah karena apa yang mereka sampaikan pada khalayak tidak lebih dari “bualan sampah”. Mereka sendiri sebenarnya “loyo”, tak tahu mau berbuat apa dan bingung mau berbuat apa. Dasar pengecut, sontoloyo, maunya ingin didengar omongannya dan dituruti semua keinginannya ………………….. Bertobatlah Para Penguasa, mumpung murka alam belum menjemputmu !!!!.

Para pengusaha berlagak alim dengan mendermakan hartanya, padahal hatinya gelisah dan takut hartanya berkurang, dasar munafik….. Maunya namanya berkibar-kibar diatas tumpukan jasad dalam reruntuhan bangunan, moga-moga mendapat keuntungan dalam suasana duka……….. Sudah tahu Saudaranya tertimpa musibah, malah tega menari-nari dan berfoya-foya di hotel berbintang untuk mendapatkan kenikmatan hidup yang hanya sekejap.

Pegawai Berseragam, Aktifis, Tukang Becak, Kuli Bangunan, Kernet, Sopir, Pelacur, Pendeta, Pak Kyai, Romo, Para Bhiksu, Politisi, Pejabat, Pedande, Germo, Dosen, Guru, Lurah, Preman, Copet, Garong, Peragawan-Peragawati, Siswa-Mahasiswa, Petani, Nelayan, ……. sambil makan makanan lezat dan minum minuman menyegarkan, matanya menatap tajam tayangan mengharukan dilayar gelas dan telinganya mendengarkan ceracau penyiar yang memberitakan penderitaan korban bencana. Bahan diskusi menjadi bertambah, rentang waktu diskusi juga bertambah lama, ………………… dan mereka asyik bercengkerama dengan keluarga sambil melihat jalan terbelah, gedung-gedung miring menunggu ambruk, para korban yang lemah lunglai di tenda-tenda pengungsian.

Alam murka karena ulah manusia. Harmonisasi kehidupan yang indah dirusak oleh tabiat manusia. Polah manusia sudah berakulturasi dengan tingkah binatang. Bapak menghamili anak. Ibu berzina dengan anaknya. Tua-muda pake ganja, sabu-sabu, narkotika, dan zat adiktif lainnya. Korupsi yang udah menjadi budaya. Prostitusi menjadi gaya hidup. Budaya buka baju menjadi mode. Kebohongan menjadi landasan hidup. Tipu-menipu adalah kewajiban. Hukum tidak menjadi panglima, Kasih Uang Habis Perkara (KUHP). Penegak hukum menjadi perusak hukum. Kriminalisasi merambah setiap lini kehidupan. Beranak-pinaknya pembalak liar, perusak lingkungan dan cukong-cukong perusak alam. Kolusi berkembang biak. Nepotisme dimana-mana. Pengangguran dan kejahatan bergandengan tangan. Kemiskinan dan kesenjangan menjadi proyek. Gosip menjadi tuntunan. Isu-isu miring menjadi komoditi.

Akibatnya bencana alam bertubi-tubi melanda negeri kita. Kita tidak pernah belajar dari pengalaman dan menjadi pelupa bahwa bencana alam tidak pernah mengenal dimensi (alam dan manusia merupakan satu dimensi). Ketika Gunung Agung di Bali, Gunung Krakatau di Selat Sunda, Gunung Kelud di Jawa Timur, Gunung Merapi di Perbatasan Jogja-Magelang, Gunung Galunggung di Jawa Barat meletus dan menelan banyak korban, kita tersentak dan baru mengingat Allah. Namun bulan-bulan selanjutnya kita melupakan Allah dan kita melakukan lagi hal-hal yang dimurkai Allah tanpa pernah merasa bersalah dan melupakan tragedi yang pernah terjadi.
Ketika kita asyik memanjakan kenikmatan dunia, kita disentakkan oleh tsunami di Aceh. Barulah Allah disebut-sebut nama-Nya untuk dimintai pertolongan. Namun, apa yang terjadi kemudian, Allah ditinggalkan lagi dan manusia lebih senang bergaul dengan kehidupan duniawi yang melenakan.
Peristiwa itu berulang lagi, dengan terjadinya bencana banjir di Situ Gintung, semburan lumpur Lapindo, gempa bumi di Jawa Barat, Bencana Gempa Bumi 7,6 SR di Sumatra Barat.
Masihkah kita akan meninggalkan Allah..................................
Tidak takutkah kita akan murka alam.......................................
Pilihan dipundak anda sekalian.................................................
Allah Tidak Pernah Tidur

1 comment: