27 September 2009

Yogyakarta Berhati Nyaman


Selepas meninggalkan bangku Sekolah Menengah Atas negri 2 (SMAN 2) Kota Magelang pada tahun 1989. Tiba masanya untuk menentukan sebuah tantangan baru. Disebut “tantangan” karena background keluarga yang berasal dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Bapak lulusan Sekolah Rakyat (SR) dan pensiunan Pegawai Negeri Sipil golongan rendahan (II/c), sedangkan emak bekerja sebagai buruh pabrik rokok “Jeruk” di Magelang untuk membantu kesejahteraan keluarga.
Dilihat dari segi keuangan keluarga dan hitung-hitungan matematika (pendapatan-pengeluaran), tidaklah mungkin untuk menyekolahkan 4 (Empat) orang anak di perguruan tinggi, apalagi di luar kota (Yogyakarta). Namun berbekal keyakinan bahwa “Pangeran Mboten Nate Sare”, hal tersebut ternyata menjadi sesuatu yang “mungkin”. Dengan kegigihan sebagai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga yang ulet, bisa menyisihkan pendapatan yang tidak seberapa untuk dialokasikan (“dipontho-pontho”) guna menyekolahkan anak-anaknya, diperlukan pengelolaan keuangan yang jitu dan mumpuni. Meskipun dengan manajemen yang sederhana dan tidak mengenal manajemen modern (perbankan), masalah keuangan sampai anak-anaknya menyelesaikan sekolah di perguruan tinggi tidak mengalami suatu hambatan, akan tetapi mengalami perjuangan untuk bisa mencukupi pendidikan 4 (Empat) orang anak dan saya yakin Alloh SWT “Ngijabahi” niat tulus seseorang untuk berkarya dan berjuang untuk cita-cita anaknya.
Ketika memtuskan untuk belajar di luar Kota Magelang, banyak sekali pemikiran yang berputar-putar di kepala. Berbekal tekad dan semangat saja tidaklah cukup, namun diperlukan suatu “Nyali Keberanian”. Nyali keberanian untuk bertindak dan Nyali keberanian untuk berani bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang dilakukan.
Masa-masa Sekolah Menengah ( terutama masa-masa SMA) merupakan masa-masa paling indah. Dengan bergulirnya waktu, dunia perguruan tinggi perlu dilalui dan dijajaki. Meski pada awalnya, muncul ketakutan-ketakutan menghadapi dengan apa yang dinamakan dan disebut dengan “penelitian”, “ujian”, “skripsi”, “pendadaran” dan “dunia akademisi” yang lain.
“Opo aku iso” merupakan pertanyaan pertama yang ada dalam otak ketika pertama kali kaki melangkah di Terminal Tidar Magelang (waktu itu masih di Terminal Lama Mbarakan, Kaki Gunung Tidar) pada Awal Agustus 1989. “Iso Lulus Opo Ora Dadi Sarjana” adalah pertanyaan lanjutan ketika sudah sampai Terminal Umbulharjo Yogyakarta.
Sebelum kaki menginjak Yogyakarta, asa awal adalah kepingin belajar di Sekolah Kedinasan (APDN Srondol) di Semarang. Karena tidak memenuhi kualifikasi persyaratan, baik secara fisik maupun intelegensia. Harapan untuk menjadi murid Sekolah Pamong Praja aku kubur dalam-dalam. Dengan langkah gontai aku tinggalkan Srondol, Semarang dan kutatap Yogyakarta dengan banyak asa didalamnya. Dengan penuh harapan, mungkin Yogyakarta menjadi tempat terbaik dalam menempa pendidikan.
Awal Agustus 1989 merupakan langkah awal mulainya suatu proses pendidikan. Aku akui bahwa aku lemah dalam bidang ilmu pengetahuan eksakta, dan lebih memiliki ketertarikan untuk belajar pada ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu yang mempelajari hubungan interkasi antar manusia (sosiologi/sosiatri). Hal tersebut, menjadikan kaki melangkah menuju Kawasan Timoho, untuk belajar Ilmu tentang Pembangunan Masyarakat di STPMD “APMD’ Yogyakarta.
Adapun pemikiran mengapa STPMD “APMD’ Yogyakarta yang aku pilih dikarenakan ada beberapa pemikiran :
1. Aku memiliki cita-cita menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti halnya Bapakku, meskipun Bapakku dengan penghasilan pas-pasan namun dalam menjalani kehidupan “Sakmadyo”. Untuk menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), paling mungkin kalau aku belajar di STPMD “APMD’ Yogyakarta.
2. Aku memiliki kelemahan dalam belajar bidang ilmu pengetahuan eksakta.

Selama 1989 s/d 1995 aku tinggal di Yogyakarta. Selama itu aku merasakan sebagai “Fase Pendewasan”. Ternyata tidak mudah untuk menjadi “Laki-Laki Dewasa”. Banyak rintangan bahkan racun yang berseliweran, apabila kita tidak siap dan hati-hati dalam mengambil langkah, maka racun akan mengenai kita dan akan melumpuhkan syaraf-syaraf kehidupan kita.

Begitu banyak tempat untuk berguru mencari ilmu kehidupan di setiap jengkal tanah Yogyakarta. Segala sesuatunya “terserah kita” untuk mencicipi dan mengambil sedikit ilmu kehidupan yang sudah digelar oleh alam. Untuk menjadi dewasa dalam konteks “Biologis”, Yogyakarta merupakan suatu oase yang terbuka untuk dimasuki bagi mereka yang dahaga akan kenikmatan hidup.

Ketika norma-norma ketimuran yang diagung-agungkan (baca :”budaya Jawa”) berakulturasi dengan norma-norma “serba bebas” yang menjadi ciri khas modernitas sebagian kalangan, terutama mereke yang “berjiwa muda”, muaranya adalah Yogyakarta menjadi “Kota Abu-Abu”. Yogyakarta bisa menyerap energi yang positif maupun negatif.

Berbagai pengalaman selama hidup di Yogyakarta, memberikan nilai tambah dalam mensikapi cara pandang. Bahkan secara tidak sadar, timbul pemikiran bahwa Yogyakarta yang memiliki Slogan “Berhati Nyaman“ adalah suatu kota yang mungkin ideal untuk dihuni dan ditempati. Namun pemikiran itu bisa timbul karena aku belum pernah tinggal di kota-kota lain sebagai komparasi (perbandingan), selain tinggal di Kota Kelahiran, Magelang dan Yogyakarta, kota tempat menuntut ilmu.

Beradasarkan data-data empiris selama ikut menghuni lorong-lorong Kota Yogyakarta dan masukan dari “konco-konco” dari Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Sebagian besar memiliki pandangan yang sama. Meskipun perlu diakui juga bahwa konsekuensi dari “asyiknya” Kota Yogyakarta sebagai sebuah hunian yang ideal, berdampak pada “keterlenaan dan keterpurukan”.

Bagi mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa, banyak yang, enggan untuk pulang meskipun studinya sudah rampung. Ada yang enggan pulang karena betah tinggal di Yogyakarta sehingga lupa untuk menyelesaikan studi. Ada juga yang betah di Yogyakarta kerena terlena oleh “layanan hedonis” yang tersebar dimana-mana, sehingga Alloh SWT mencolek Yogyakarta dengan gempa 6,8 Skala Richter.

Nikmatnya Yogyakarta sebagai tempat untuk hunian dan usaha, menjadikan orang-orang berbondong-bondong mendatangi Yogyakarta tanpa dibekali kemampuan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Tanpa tahu akan bekerja apa di Yogyakarta. Tanpa ada relasi untuk menjamin mereka hidup, sehingga banyak timbul kriminalisasi. Tanpa ada niat, sehingga banyak gelandangan dan pengemis di Yogyakarta. Tanpa ada semangat, sehingga banyak pemuja nafsu syawat berkeliaran di Yogyakarta. Tanpa ada yang mendorong, sehingga banyak pengangguran sebagai “Joko Klanthung”.

Hal tersebut di atas menjadikan Yogyakarta sebagai sebuah “Kota yang Multikultural“. Berbagai etalase dipajang disetiap jengkal tanah Yogyakarta. Terserah kita mau mematut-matut diri dan memejengkan diri di setiap tanahnya. Yogyakarta, sebuah kota yang penuh kenangan, ketika aku tinggalkan untuk belajar kehidupan di kota lain pada tahun 1995. Dan tiga tahun kemudian, 1998, aku masuki kembali kota kenangan ini dengan sejumput asa yang telah aku raih sebagai seorang yang telah berstatus Pegawai Negri Sipil (PNS) untuk belajar dan mencicipi sari ilmu kemasyarakatan (Sosiatri) di Kampus Biru (UGM) dan kemudian aku tinggalkan kota tua ini pada tahun 2000 untuk belajar lebih banyak lagi mengenai kesejatian hidup. Dan pada tahun 2008, Alloh SWT “Ngijabahi” untuk mengambil thesis “Perencanaan Wilayah” di Gunungkidul Yogyakarta.
Sejatine “ Alloh SWT Mboten Nate Sare “

...................................................................................

No comments:

Post a Comment