11 September 2025

Serma Boengkoes, anggota Cakrabirawa yang ditugaskan menculik MT Haryono, dipenjara 33 tahun Dalam kesaksiannya, salah satu anggota Pasukan Cakrabirawa, Serma Boengkoes, mengaku sebagai orang yang ditugaskan menculik Mayjen MT Haryono. Serma Boengkoes ketika itu adalah Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang berada di bawah Letkol Untung. Dia mengaku menjalankan perintah dari Lettu. Doel Arief. Perintah itu dia dapatkan pada 29 September 15.00 WIB: melakukan penculikan kepada perwira tinggi AD yang digolongkan sebagai Dewan Jenderal yang diisukan akan mengkudeta Bung Karno. Pada 1 Oktober 1965 dini hari menjelang Subuh, tiga truk yang yang dipenuhi tentara berangkat menuju rumah MT Haryono di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sesampainya di lokasi, Sersan Boengkoes, yang menjadi komandan peleton, turun lebih dulu, mengetuk pintu rumah MT Haryono. Pintu dibuka oleh istri MT Haryono. Boengkoes mengatakan jika suaminya harus menghadap ke Presiden Sukarno segera. Dia pun bilang bahwa suaminya akan segera menyusul seraya meminta para prajurit berangkat ke Istana terlebih dahulu. Namun, Boengkoes tetap bersikeras menunggu. Haryono sempat mau merebut senjata salah satu prajurit tapi gagal. Yang terjadi justru MT Haryono ditembak oleh Sersan Boengkoes. Jenazah MT Haryono kemudian dibawa ke Lubang Buaya dan dimasukkan ke sebuah sumur sempit yang ada di situ. Jenazahnya baru ditemukan beberapa hari kemudian. Atas perkara tersebut, Sersan Mayor Boengkoes dipenjara di LP Cipinang dan baru dibebaskan pada 25 Maret 1999. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033905718/serma-boengkoes-sosok-pelaku-gerakan-30-september-yang-ditugaskan-menculik-mt-haryono #mtharyono #Boengkoes #pahlawanrevolusi #G30S

 Serma Boengkoes, anggota Cakrabirawa yang ditugaskan menculik MT Haryono, dipenjara 33 tahun



Dalam kesaksiannya, salah satu anggota Pasukan Cakrabirawa, Serma Boengkoes, mengaku sebagai orang yang ditugaskan menculik Mayjen MT Haryono.


Serma Boengkoes ketika itu adalah Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang berada di bawah Letkol Untung. Dia mengaku menjalankan perintah dari Lettu. Doel Arief.


Perintah itu dia dapatkan pada 29 September 15.00 WIB: melakukan penculikan kepada perwira tinggi AD yang digolongkan sebagai Dewan Jenderal yang diisukan akan mengkudeta Bung Karno.


Pada 1 Oktober 1965 dini hari menjelang Subuh, tiga truk yang yang dipenuhi tentara berangkat menuju rumah MT Haryono di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sesampainya di lokasi, Sersan Boengkoes, yang menjadi komandan peleton, turun lebih dulu, mengetuk pintu rumah MT Haryono.


Pintu dibuka oleh istri MT Haryono. Boengkoes mengatakan jika suaminya harus menghadap ke Presiden Sukarno segera. Dia pun bilang bahwa suaminya akan segera menyusul seraya meminta para prajurit berangkat ke Istana terlebih dahulu.


Namun, Boengkoes tetap bersikeras menunggu. Haryono sempat mau merebut senjata salah satu prajurit tapi gagal. Yang terjadi justru MT Haryono ditembak oleh Sersan Boengkoes.


Jenazah MT Haryono kemudian dibawa ke Lubang Buaya dan dimasukkan ke sebuah sumur sempit yang ada di situ. Jenazahnya baru ditemukan beberapa hari kemudian.


Atas perkara tersebut, Sersan Mayor Boengkoes dipenjara di LP Cipinang dan baru dibebaskan pada 25 Maret 1999.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033905718/serma-boengkoes-sosok-pelaku-gerakan-30-september-yang-ditugaskan-menculik-mt-haryono


#mtharyono #Boengkoes #pahlawanrevolusi #G30S

Brigjen Sukendro, lolos dari target G30S tapi disingkarkan Soeharto karena akui adanya Dewan Jenderal Brigjen Sukendro sejatinya adalah salah satu jenderal yang hendak diculik oleh Gerakan 30 September 1965. Tapi karena satu dan lain hal, nama pria asal Banyumas, Jawa Tengah, itu akhirnya dicoret dari daftar. Ironisnya, di akhir kariernya sosok yang pernah jadi orang kepercayaan AH Nasution itu justru disingkirkan oleh Soeharto. Brigjen Ahmad Sukendro turut menjadi target yang akan diculik oleh Gerakan 30 September. Tapi ketika itu Sukendro sedang ditugaskan negara, dalam hal ini Presiden Sukarno, untuk pergi ke Peking, jadi namanya dicoret. Dalam pertemuan terakhir operasi penculikan Dewan Jenderal di rumah Sjam Kamaruzzaman, di Salemba Tengah, pada Hari-H, 30 September 1965, ternyata ditaklimatkan nama delapan jenderal yang akan dijemput. Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo, dan Brigjen Ahmad Sukendro. Tapi belakangan, nama Sukendro dicoret. Achmad Sukendro dilahirkan di Banyumas tahun 1923. Seperti banyak anak muda seusianya, di zaman Jepang, ia memilih mendaftar menjadi anggota PETA. Saat revolusi, Sukendro bergabung dengan Divisi Siliwangi. Nasution yang ‘menemukannya’ segera tahu dia bukan perwira biasa. Cara berpikir dan kemampuan analisis Sukendro di atas rata-rata perwira lainnya. Karena itu saat Nasution menjadi KSAD, ia menarik Sukendro sebagai Asintel I KSAD. Nyatanya, Sukendro tak mengecewakan. Pada 1957, saat perwira-perwira daerah resah dengan kebijakan Jakarta dan berniat menuntut opsi otonomi, Sukendro--atas perintah Pak Nas--menggelar operasi intelijen. Orang-orangnya masuk ke daerah dan menginfiltrasi pola pikir para perwira di daerah. Hasilnya, saat suasana memuncak, praktis hanya komandan di Sumatra (PRRI) dan Sulut (Permesta) yang menyatakan diri berpisah dari Indonesia. Tak hanya dalam lingkup nasional kiprah Sukendro. Seiring dengan tugas belajar yang diperolehnya di Amerika Serikat (AS), ia juga sukses menjalin kontak dengan CIA. Beberapa program kerjasama TNI dan CIA, mampir lewat tangannya. Sampai-sampai ada anggapan pada masa itu, sosok Sukendro-lah temali utama yang menghubung Nasution dan juga Achmad Yani dengan CIA. Bahkan dalam salah satu versi skenario Gestok, karena kecerdasan dan lobi baiknya dengan CIA, Sukendro disebut-sebut sebagai salah satu orang yang layak dicurigai sebagai dalang, seperti disebut dalam buku "Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto" karangan FX. Baskara Tulus Wardaya Tapi kenapa dia menjadi target G30S? Sukendro termasuk sosok penting di tubuh militer. Namanya masuk dalam grup jenderal elite yang dekat dengan Nasution maupun Yani. Belakangan grup ini dikenal sebagai Dewan Jenderal. Anggotanya 25 orang, namun empat motornya adalah Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, dan Brigjen Sukendro sendiri. Grup ini aktif melakukan counter politik untuk menandingi dominasi PKI. Bagi PKI, perwira intelektual yang satu ini adalah bahaya laten. Sayangnya, Sukarno meminta Sukendro menjadi anggota delegasi Indonesia untuk peringatan Hari Kelahiran Republik Cina, 1 Oktober 1965. Selamatlah dia dari korban penculikan. Selepas peristiwa itu, peran Sukendro mulai tersisih oleh kiprah Ali Moertopo. Dia tidak bisa membendung jaring-jaring intelijen Ali yang kemudian mempercepat keruntuhan Sukarno. Namun, setidaknya, Sukendro masih mencoba berupaya. Apa yang disebut mantan Dubes Kuba dan juga teman dekat Soekarno, AM Hanafi, dalam biografinya memperlihatkan hal itu. Pada 11 Maret 1966, ketika Presiden diikuti para waperdam tergopoh-gopoh menuju Bogor karena takut dengan Pasukan Kemal Idris, Sukendro menyarankan AM Hanafi untuk mengejar presiden dan menempelnya di mana pun juga Soekarno berada. “Jangan tinggalkan Bapak sendirian,” kata Sukendro. Sepertinya insting intelijen Sukendro masih cukup tajam untuk membaca arah zaman. Sayang, AM Hanafi hanya bisa menyesal karena tak kebagian helikopter pada hari itu. Petang itu juga juga utusan Soeharto berhasil mendapatkan surat penyerahan kekuasaan (Supersemar). Ketika Soeharto naik ke puncak kekuasaan, bintang Sukendro praktis redup. Namun meski tenggelam ia tak lantas terdiam. Dalam sebuah kursus perwira di Bandung, dia secara mengejutkan mengakui keberadaan Dewan Jenderal. Akibatnya, Soeharto yang notabene juga rekan dekatnya, lewat tangan Pangkopkamtib Jenderal Sumitro menggiringnya untuk ikut merasakan dinginnya sel RTM Nirbaya Cimahi selama 9 bulan. Tentunya tanpa pengadilan. Lepas dari tahanan, Sukendro ditampung Gubernur Jateng, Supardjo Rustam. Dia diberi kepercayaan mengelola perusahaan daerah Jateng. Meski demikian, radar Soemitro tak serta merta mendepaknya. Setiap kali terdengar ada gerakan antipemerintah, Sukendro adalah orang pertama yang didatangi Soemitro. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033898672/brigjen-sukendro-lolos-jadi-target-g30s-tapi-disingkirkan-soeharto-karena-akui-adanya-dewan-jenderal #SUKENDRO #G30S #soeharto #dewanjenderal

 Brigjen Sukendro, lolos dari target G30S tapi disingkarkan Soeharto karena akui adanya Dewan Jenderal


Brigjen Sukendro sejatinya adalah salah satu jenderal yang hendak diculik oleh Gerakan 30 September 1965. Tapi karena satu dan lain hal, nama pria asal Banyumas, Jawa Tengah, itu akhirnya dicoret dari daftar.



Ironisnya, di akhir kariernya sosok yang pernah jadi orang kepercayaan AH Nasution itu justru disingkirkan oleh Soeharto.


Brigjen Ahmad Sukendro turut menjadi target yang akan diculik oleh Gerakan 30 September. Tapi ketika itu Sukendro sedang ditugaskan negara, dalam hal ini Presiden Sukarno, untuk pergi ke Peking, jadi namanya dicoret.


Dalam pertemuan terakhir operasi penculikan Dewan Jenderal di rumah Sjam Kamaruzzaman, di Salemba Tengah, pada Hari-H, 30 September 1965, ternyata ditaklimatkan nama delapan jenderal yang akan dijemput.


Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo, dan Brigjen Ahmad Sukendro. Tapi belakangan, nama Sukendro dicoret.


Achmad Sukendro dilahirkan di Banyumas tahun 1923. Seperti banyak anak muda seusianya, di zaman Jepang, ia memilih mendaftar menjadi anggota PETA.


Saat revolusi, Sukendro bergabung dengan Divisi Siliwangi. Nasution yang ‘menemukannya’ segera tahu dia bukan perwira biasa. Cara berpikir dan kemampuan analisis Sukendro di atas rata-rata perwira lainnya.


Karena itu saat Nasution menjadi KSAD, ia menarik Sukendro sebagai Asintel I KSAD. Nyatanya, Sukendro tak mengecewakan.


Pada 1957, saat perwira-perwira daerah resah dengan kebijakan Jakarta dan berniat menuntut opsi otonomi, Sukendro--atas perintah Pak Nas--menggelar operasi intelijen. Orang-orangnya masuk ke daerah dan menginfiltrasi pola pikir para perwira di daerah.


Hasilnya, saat suasana memuncak, praktis hanya komandan di Sumatra (PRRI) dan Sulut (Permesta) yang menyatakan diri berpisah dari Indonesia.


Tak hanya dalam lingkup nasional kiprah Sukendro. Seiring dengan tugas belajar yang diperolehnya di Amerika Serikat (AS), ia juga sukses menjalin kontak dengan CIA.


Beberapa program kerjasama TNI dan CIA, mampir lewat tangannya. Sampai-sampai ada anggapan pada masa itu, sosok Sukendro-lah temali utama yang menghubung Nasution dan juga Achmad Yani dengan CIA.


Bahkan dalam salah satu versi skenario Gestok, karena kecerdasan dan lobi baiknya dengan CIA, Sukendro disebut-sebut sebagai salah satu orang yang layak dicurigai sebagai dalang, seperti disebut dalam buku "Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto" karangan FX. Baskara Tulus Wardaya


Tapi kenapa dia menjadi target G30S?


Sukendro termasuk sosok penting di tubuh militer. Namanya masuk dalam grup jenderal elite yang dekat dengan Nasution maupun Yani. Belakangan grup ini dikenal sebagai Dewan Jenderal.


Anggotanya 25 orang, namun empat motornya adalah Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, dan Brigjen Sukendro sendiri.


Grup ini aktif melakukan counter politik untuk menandingi dominasi PKI. Bagi PKI, perwira intelektual yang satu ini adalah bahaya laten. Sayangnya, Sukarno meminta Sukendro menjadi anggota delegasi Indonesia untuk peringatan Hari Kelahiran Republik Cina, 1 Oktober 1965.


Selamatlah dia dari korban penculikan. Selepas peristiwa itu, peran Sukendro mulai tersisih oleh kiprah Ali Moertopo. Dia tidak bisa membendung jaring-jaring intelijen Ali yang kemudian mempercepat keruntuhan Sukarno.


Namun, setidaknya, Sukendro masih mencoba berupaya. Apa yang disebut mantan Dubes Kuba dan juga teman dekat Soekarno, AM Hanafi, dalam biografinya memperlihatkan hal itu.


Pada 11 Maret 1966, ketika Presiden diikuti para waperdam tergopoh-gopoh menuju Bogor karena takut dengan Pasukan Kemal Idris, Sukendro menyarankan AM Hanafi untuk mengejar presiden dan menempelnya di mana pun juga Soekarno berada.


“Jangan tinggalkan Bapak sendirian,” kata Sukendro. Sepertinya insting intelijen Sukendro masih cukup tajam untuk membaca arah zaman.


Sayang, AM Hanafi hanya bisa menyesal karena tak kebagian helikopter pada hari itu. Petang itu juga juga utusan Soeharto berhasil mendapatkan surat penyerahan kekuasaan (Supersemar).


Ketika Soeharto naik ke puncak kekuasaan, bintang Sukendro praktis redup. Namun meski tenggelam ia tak lantas terdiam.


Dalam sebuah kursus perwira di Bandung, dia secara mengejutkan mengakui keberadaan Dewan Jenderal. Akibatnya, Soeharto yang notabene juga rekan dekatnya, lewat tangan Pangkopkamtib Jenderal Sumitro menggiringnya untuk ikut merasakan dinginnya sel RTM Nirbaya Cimahi selama 9 bulan. Tentunya tanpa pengadilan.


Lepas dari tahanan, Sukendro ditampung Gubernur Jateng, Supardjo Rustam. Dia diberi kepercayaan mengelola perusahaan daerah Jateng. 


Meski demikian, radar Soemitro tak serta merta mendepaknya. Setiap kali terdengar ada gerakan antipemerintah, Sukendro adalah orang pertama yang didatangi Soemitro.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033898672/brigjen-sukendro-lolos-jadi-target-g30s-tapi-disingkirkan-soeharto-karena-akui-adanya-dewan-jenderal


#SUKENDRO #G30S #soeharto #dewanjenderal

R Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920. Awal kirier militernya saat beliau masuk Akademi militer kerajaan KMA di Bandung tapi terhenti akibat masuknya Jepang tahun 1942. Masa revolusi kemerdekaan biliau ikut bertempur di Ambarawa dan kemudian menjadi ajudan Panglima besar Jendral Sudirman. Di tahun 60'an beliau menduduki jabatan sebagai Deputi II Menteri Panglima Angkatan Darat di Jakarta. Saat itulah belaiu jendral AD yang paling keras menentang pembentukan angkatan ke 5 yang digagas oleh PK1. Kemudian beliau dituduh menjadi bagian dari anggota Dewan Jendral yang akan melakukan kudet4 pada 5 Oktober 1965. Akibatnya beliau menjadi salah satu target pencul1kan. Tanggal 30 September siang beliau sempat pergi ke dokter gigi untuk mencabut giginya yang sakit. Karena itulah malamnya bilau sulit untuk tidur karena giginya masih ngilu. Beliau membuat gambar tentang sebuah bangunan RS tentara di Jogja yang dikomentari oleh istrinya sebagi mirip kuburan. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 4 Subuh, pasukan pencul1k sampai di rumah Mayjen R. Suprapto. Pasukan ini terdiri dari 19 personil di bawah pimpinan Serka Sulaiman dan Serda Sukiman. Saat itu di rumah Mayjen Suprapto tidak ada penjagaan. Sehingga dengan mudah mereka menerobos masuk, Mereka berdalih bahwa Jendral Suprapto dipanggil presiden, dan dibawah tod0ngan senjata beliau dinaikan ke atas truk dan dibawa ke Lubang buaya dalam keadaan mata tertutup. Beliau merupakan salah seorang yang di bawa hidup-hidup dari rumahnya. Dan di lubang buaya itu kemudian beliau mengalami peng4niayaan berat sebelum dibun*h dan dan jenaz4hnya dimasukan ke Sumur tua bersama 6 korban lainya. J4sadnya baru ditemukan pada 3 Oktober 1965 dan besoknya baru berhasil di evakuasi. Setelah gugur dalam peristiwa G30S, R. Suprapto meninggalkan istrinya, Julie Suparti, dan lima anak, yaitu Ratna Purwati, Sri Lestari, Pudjadi Setiadharma, Asung Pambudi, dan Arif Prihadi Ajidharma. Tribunnews.

 R Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920. Awal kirier militernya saat beliau masuk Akademi militer kerajaan KMA di Bandung tapi terhenti akibat masuknya Jepang tahun 1942. Masa revolusi kemerdekaan biliau ikut bertempur di Ambarawa dan kemudian menjadi ajudan Panglima besar Jendral Sudirman. Di tahun 60'an beliau menduduki jabatan sebagai Deputi II Menteri Panglima Angkatan Darat di Jakarta. Saat itulah belaiu jendral AD yang paling keras menentang pembentukan angkatan ke 5 yang digagas oleh PK1. Kemudian beliau dituduh menjadi bagian dari anggota Dewan Jendral yang akan melakukan kudet4 pada 5 Oktober 1965. Akibatnya beliau menjadi salah satu target pencul1kan. Tanggal 30 September siang beliau sempat pergi ke dokter gigi untuk mencabut giginya yang sakit. Karena itulah malamnya bilau sulit untuk tidur karena giginya masih ngilu. Beliau membuat gambar tentang sebuah bangunan RS tentara di Jogja yang dikomentari oleh istrinya sebagi mirip kuburan. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 4  Subuh, pasukan pencul1k sampai di rumah Mayjen R. Suprapto. Pasukan ini terdiri dari 19 personil di bawah pimpinan Serka Sulaiman dan Serda Sukiman. Saat itu di rumah Mayjen Suprapto tidak ada penjagaan. Sehingga dengan mudah mereka menerobos masuk, Mereka berdalih bahwa Jendral Suprapto dipanggil presiden, dan dibawah tod0ngan senjata beliau dinaikan ke atas truk dan dibawa ke Lubang buaya dalam keadaan mata tertutup. Beliau merupakan salah seorang yang di bawa hidup-hidup dari rumahnya. Dan di lubang buaya itu kemudian beliau mengalami peng4niayaan berat sebelum dibun*h dan dan jenaz4hnya dimasukan ke Sumur tua bersama 6 korban lainya. J4sadnya baru ditemukan pada 3 Oktober 1965 dan besoknya baru berhasil di evakuasi. 

Setelah gugur dalam peristiwa G30S, R. Suprapto meninggalkan istrinya, Julie Suparti, dan lima anak, yaitu Ratna Purwati, Sri Lestari, Pudjadi Setiadharma, Asung Pambudi, dan Arif Prihadi Ajidharma. 




Sumber :

Tribunnews.

Nasihat terakhir DN Aidit kepada adiknya, Sobron, sebelum Gerakan 30 September 1965 meletus Agustus 1965. Malam itu, Sobron Aidit tidak bisa tidur. Dia gelisah menunggu sang abang, DN Aidit, memanggilnya. Saat itu, Aidit melakukan kunjungan ke Beijing, China, sementara Sobron mengajar di sana. Siang sebelumnya Aidit menyuruh Sobron tidur di tempatnya menginap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan kepada adiknya itu. Setelah menunggu semalaman, Sobron baru bisa bertemu abangnya itu besok paginya, saat waktu sarapan tiba. Itu pun tidak berlangsung lama. "Ketika matanya terpancang kepada saya… lalu dia datang ke kursi saya. Dan saya berdiri, kami berpelukan, sudah tiga tahun saya tak bertemu dengannya," tulis Sobron dalam memoarnya berjudul Penalti Tanpa Wasit. Aidit lalu menggoncang badan adiknya itu, lalu menampar kedua pipinya dengan tamparan manja seorang kakak. Sejurus kemudian Bang Amat, panggilan akrab Sobron kepada Aidit, bilang, "Apa kabarmu? Bagaimana Wati (istri Sobron) dan dua anakmu…?" Keduanya lalu menuju ke tempat yang agak terpisah dengan rombongan lain dari Indonesia. Tak jauh dari situ ada beberapa kursi kosong. Aidit menggamit adiknya itu menuju sebuah kursi kosong. Di situlah Aidit berbicara kepada Sobron beberapa kalimat. "Dengarkan baik-baik. Tanah air sedang hangat. Situasi dan suasana sedang naik tegang… tidak seorang pun di antara kalian boleh pulang buat sementara ini," kata Aidit. "Bekerjalah baik-baik memenuhi tugas yang dipercayakan tuan rumah. Jangan mengecewakan siapa pun, apalagi tuan rumah yang sudah begitu baik kepada kita." Aidit juga berpesan kepada Sobron untuk selalu mendengarkan radio. Radio mana saja. Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan tentu saja Jakarta yang paling utama. "Ikuti situasi tanah air. Dan harus pandai menyaring berita, selalu harus saling konsulitasi antarteman…" Sejatinya masih banyak lagi yang disampaikan kepada adiknya itu, laiknya sebuah briefing informasi yang pokok dan sangat penting. Seketika itu Sobron juga sadar, semua kata-kata Aidit adalah pesan politik—alih-alih pesan seorang kakak kepada adiknya. Tak lupa, Aidit juga mengajaknya makan malam. Tentu saja Sobron sangat gembira karena masih punya kesempatan bertemu dengan saudara kesayangannya itu. Yang tidak disadari Sobron adalah bahwa pertemuan Agustus 1965 itu nantinya akan menjadi pertemua terakhirnya dengan Aidit. Setelah itu, Aidit raib entah ke mana, bahkan sampai sekarang tak seorang pun tahu di mana ia dikuburkan. "Sungguh menyedihkan dan sungguh tragis," tulis Sobron. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034159148/nasihat-terakhir-dn-aidit-kepada-sang-adik-sebelum-gerakan-30-september-1965-meletus #DNAidit #sobronaidit #G30S #30september

 Nasihat terakhir DN Aidit kepada adiknya, Sobron, sebelum Gerakan 30 September 1965 meletus



Agustus 1965. Malam itu, Sobron Aidit tidak bisa tidur. Dia gelisah menunggu sang abang, DN Aidit, memanggilnya. Saat itu, Aidit melakukan kunjungan ke Beijing, China, sementara Sobron mengajar di sana.


Siang sebelumnya Aidit menyuruh Sobron tidur di tempatnya menginap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan kepada adiknya itu. Setelah menunggu semalaman, Sobron baru bisa bertemu abangnya itu besok paginya, saat waktu sarapan tiba. Itu pun tidak berlangsung lama.


"Ketika matanya terpancang kepada saya… lalu dia datang ke kursi saya. Dan saya berdiri, kami berpelukan, sudah tiga tahun saya tak bertemu dengannya," tulis Sobron dalam memoarnya berjudul Penalti Tanpa Wasit.


Aidit lalu menggoncang badan adiknya itu, lalu menampar kedua pipinya dengan tamparan manja seorang kakak. Sejurus kemudian Bang Amat, panggilan akrab Sobron kepada Aidit, bilang, "Apa kabarmu? Bagaimana Wati (istri Sobron) dan dua anakmu…?"


Keduanya lalu menuju ke tempat yang agak terpisah dengan rombongan lain dari Indonesia. Tak jauh dari situ ada beberapa kursi kosong. Aidit menggamit adiknya itu menuju sebuah kursi kosong. Di situlah Aidit berbicara kepada Sobron beberapa kalimat.


"Dengarkan baik-baik. Tanah air sedang hangat. Situasi dan suasana sedang naik tegang… tidak seorang pun di antara kalian boleh pulang buat sementara ini," kata Aidit. "Bekerjalah baik-baik memenuhi tugas yang dipercayakan tuan rumah. Jangan mengecewakan siapa pun, apalagi tuan rumah yang sudah begitu baik kepada kita."


Aidit juga berpesan kepada Sobron untuk selalu mendengarkan radio. Radio mana saja. Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan tentu saja Jakarta yang paling utama. "Ikuti situasi tanah air. Dan harus pandai menyaring berita, selalu harus saling konsulitasi antarteman…"


Sejatinya masih banyak lagi yang disampaikan kepada adiknya itu, laiknya sebuah briefing informasi yang pokok dan sangat penting. Seketika itu Sobron juga sadar, semua kata-kata Aidit adalah pesan politik—alih-alih pesan seorang kakak kepada adiknya.


Tak lupa, Aidit juga mengajaknya makan malam. Tentu saja Sobron sangat gembira karena masih punya kesempatan bertemu dengan saudara kesayangannya itu. Yang tidak disadari Sobron adalah bahwa pertemuan Agustus 1965 itu nantinya akan menjadi pertemua terakhirnya dengan Aidit.


Setelah itu, Aidit raib entah ke mana, bahkan sampai sekarang tak seorang pun tahu di mana ia dikuburkan. "Sungguh menyedihkan dan sungguh tragis," tulis Sobron.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034159148/nasihat-terakhir-dn-aidit-kepada-sang-adik-sebelum-gerakan-30-september-1965-meletus


#DNAidit #sobronaidit #G30S #30september

Tragedi Minggu Palma 11 April 1976. Adalah catatan kelam bagi satuan Brimob Yon Teratai dimana satuan elit itu dikalahkan secara telak oleh pasukan Falentil di Bobonaro Tmor timur. Peristiwa ini merupakan sebuah t4mparan keras bagi Polri dan Brimob. Apalagi peristiwa ini dikaitkan dengan Resimen Pelopor, pasukan khusus andalan Brimob yang telah teruji reputasinya sejak tahun 50-an sampai dengan 60-an. Faktanya, pada saat peristiwa Minggu Palma terjadi Resimen Pelopor sudah dibubarkan, karena kesatuan ini memang sudah dilikuidasi pada tahun 1969-1970. Sayangnya, Batalyon Teratai yang ditugaskan ke Timor Timur memakai atribut Resimen Pelopor dalam penugasannya. Padahal mereka kebanyakan baru lulus SPN yang hanya menguasai ilmu kepolisian umum dan belum punya kualifikasi ranger. Hanya komandan bataliyon dan bebrapa perwira saja yang mempunyai kualifikasi Ranger. Bahkan meskipun Mereka dilengkapi senjata modern AR-15 tapi mereka kebanyakan masih canggung dalam menggunakanya. Mereka menggunakan seragam hijau rimba sama seperti kesatuan-kesatuan TNI AD. AKBP Ibnu Hadjar Adikara ditunjuk oleh Mako Brimob Kelapa Dua sebagai Komandan Batalyon Teratai. Tugas mereka semula hanya tugas pengamanan biasa di wilayah yang sudah dikuasi TNI tapi kemudian di rubah menjadi pasukan penghadang musuh yang mundur didesak oleh satuan-satuan Marinir. Alih-alih melakukan penghadangan mereka malah tercerai berai melarikan diri. Dan bahkan banyak yang membuang senjata dan seragamnya. Garuda militer.

 Tragedi Minggu Palma 11 April 1976. Adalah catatan kelam bagi satuan Brimob Yon Teratai dimana satuan elit itu dikalahkan secara telak oleh pasukan Falentil di Bobonaro Tmor timur. Peristiwa ini merupakan sebuah t4mparan keras  bagi Polri dan Brimob. Apalagi peristiwa ini dikaitkan dengan Resimen Pelopor, pasukan khusus andalan Brimob yang telah teruji reputasinya sejak tahun 50-an sampai dengan 60-an. Faktanya, pada saat peristiwa Minggu Palma terjadi Resimen Pelopor sudah dibubarkan, karena kesatuan ini memang sudah dilikuidasi pada tahun 1969-1970. Sayangnya, Batalyon Teratai yang ditugaskan ke Timor Timur memakai atribut Resimen Pelopor dalam penugasannya. Padahal mereka kebanyakan baru lulus SPN yang hanya menguasai ilmu kepolisian umum dan belum punya kualifikasi ranger. Hanya komandan bataliyon dan bebrapa perwira saja yang mempunyai kualifikasi Ranger. Bahkan meskipun Mereka dilengkapi senjata modern AR-15 tapi mereka kebanyakan masih canggung dalam menggunakanya. Mereka menggunakan seragam hijau rimba sama seperti kesatuan-kesatuan TNI AD. 

AKBP Ibnu Hadjar Adikara ditunjuk oleh Mako Brimob Kelapa Dua sebagai Komandan Batalyon Teratai. 

Tugas mereka semula hanya tugas pengamanan biasa di wilayah yang sudah dikuasi TNI tapi kemudian di rubah menjadi pasukan penghadang musuh yang mundur didesak oleh satuan-satuan  Marinir. Alih-alih melakukan penghadangan mereka malah tercerai berai melarikan diri. Dan bahkan banyak yang membuang senjata dan seragamnya.



Garuda militer.

Prasasti Balingawan adalah salah satu dokumen epigrafis penting dari Jawa Timur yang memperlihatkan wajah hukum, politik, dan kehidupan sosial masyarakat desa pada akhir abad ke-9 M. Inskripsi ini unik karena ditemukan dalam dua media berbeda: sebuah stele andesit dan bagian belakang arca Ganesha. Kedua artefak tersebut kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia, masing-masing dengan nomor inventaris D 54 dan D 109. Catatan awal tentang keberadaannya berasal dari H.J. Domis pada 1836, ketika ia menyebut delapan batu bertulisan huruf Jawa Kuna (disebut Kawische letters), meski kini hanya enam yang masih bertahan. Sejak saat itu, perjalanan prasasti ini cukup panjang: dari Singasari (Malang), dibawa ke Batavia oleh J.Th. Bik atas perintah Gubernur Jenderal van der Capellen, hingga akhirnya menjadi koleksi permanen museum. Secara arkeologis, bagian pertama prasasti dipahatkan pada batu andesit berbentuk stele setinggi 63,5–82 cm, lebar 47 cm, dan tebal 17 cm, dengan tonjolan persegi di bagian bawah yang tampaknya berfungsi sebagai alas penyangga. Tulisan memenuhi keempat sisi: 14 baris di depan, 18 baris di belakang, 4 baris di bagian atas, serta bagian tambahan 15 baris yang terbagi dua. Bagian kedua terdapat pada arca Ganesha, yang ditemukan di area pemakaman Tionghoa Malang pada 1901 oleh Leydie Melville. Arca ini bergaya Jawa Tengah, menunjukkan bahwa meski prasastinya bertarikh Jawa Timur, artefak keagamaan lama didaur ulang untuk kepentingan administratif. Arca tersebut menggambarkan Ganesha dengan empat tangan—dua memegang aksamala dan kapak, satu membawa gading patah, dan satu lagi mangkuk—duduk di atas padmasana, meskipun kepala dan ornamen telinganya sudah rusak. Keberadaan inskripsi pada arca ini menegaskan adanya praktik “pemanfaatan ulang” ikon keagamaan untuk fungsi hukum. Prasasti itu sendiri berangka tahun Saka 813, atau 13 April 891 M. Menariknya, nama raja tidak tercantum. Hal ini berbeda dari kebiasaan umum prasasti Jawa Kuna yang biasanya menyebut penguasa sebagai legitimasi utama. Ketidakhadiran nama raja justru menonjolkan peran pejabat lokal, seperti rakryan kanuruhan pu Huntu, mapatih katrini, dan para nayaka, sebagai penentu keputusan administratif. Dari segi isi, prasasti ini mendokumentasikan permohonan rama Balingawan agar tanah desa mereka ditetapkan sebagai sima (perdikan bebas pajak). Permohonan ini berangkat dari penderitaan nyata: penduduk desa selalu terbebani oleh hukum kolektif yang mewajibkan mereka membayar denda bila terjadi kejahatan seperti pembunuhan atau penemuan mayat tanpa pelaku. Hukum ini, yang dikenal sebagai rah kasawur (darah tertumpah) dan waṅkay kabunan (mayat yang ditemukan), menjadikan seluruh desa bertanggung jawab atas peristiwa kriminal yang bahkan tidak mereka lakukan.

 Prasasti Balingawan adalah salah satu dokumen epigrafis penting dari Jawa Timur yang memperlihatkan wajah hukum, politik, dan kehidupan sosial masyarakat desa pada akhir abad ke-9 M. Inskripsi ini unik karena ditemukan dalam dua media berbeda: sebuah stele andesit dan bagian belakang arca Ganesha. Kedua artefak tersebut kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia, masing-masing dengan nomor inventaris D 54 dan D 109. Catatan awal tentang keberadaannya berasal dari H.J. Domis pada 1836, ketika ia menyebut delapan batu bertulisan huruf Jawa Kuna (disebut Kawische letters), meski kini hanya enam yang masih bertahan. Sejak saat itu, perjalanan prasasti ini cukup panjang: dari Singasari (Malang), dibawa ke Batavia oleh J.Th. Bik atas perintah Gubernur Jenderal van der Capellen, hingga akhirnya menjadi koleksi permanen museum.



Secara arkeologis, bagian pertama prasasti dipahatkan pada batu andesit berbentuk stele setinggi 63,5–82 cm, lebar 47 cm, dan tebal 17 cm, dengan tonjolan persegi di bagian bawah yang tampaknya berfungsi sebagai alas penyangga. Tulisan memenuhi keempat sisi: 14 baris di depan, 18 baris di belakang, 4 baris di bagian atas, serta bagian tambahan 15 baris yang terbagi dua. Bagian kedua terdapat pada arca Ganesha, yang ditemukan di area pemakaman Tionghoa Malang pada 1901 oleh Leydie Melville. Arca ini bergaya Jawa Tengah, menunjukkan bahwa meski prasastinya bertarikh Jawa Timur, artefak keagamaan lama didaur ulang untuk kepentingan administratif. Arca tersebut menggambarkan Ganesha dengan empat tangan—dua memegang aksamala dan kapak, satu membawa gading patah, dan satu lagi mangkuk—duduk di atas padmasana, meskipun kepala dan ornamen telinganya sudah rusak. Keberadaan inskripsi pada arca ini menegaskan adanya praktik “pemanfaatan ulang” ikon keagamaan untuk fungsi hukum.


Prasasti itu sendiri berangka tahun Saka 813, atau 13 April 891 M. Menariknya, nama raja tidak tercantum. Hal ini berbeda dari kebiasaan umum prasasti Jawa Kuna yang biasanya menyebut penguasa sebagai legitimasi utama. Ketidakhadiran nama raja justru menonjolkan peran pejabat lokal, seperti rakryan kanuruhan pu Huntu, mapatih katrini, dan para nayaka, sebagai penentu keputusan administratif. Dari segi isi, prasasti ini mendokumentasikan permohonan rama Balingawan agar tanah desa mereka ditetapkan sebagai sima (perdikan bebas pajak). Permohonan ini berangkat dari penderitaan nyata: penduduk desa selalu terbebani oleh hukum kolektif yang mewajibkan mereka membayar denda bila terjadi kejahatan seperti pembunuhan atau penemuan mayat tanpa pelaku. Hukum ini, yang dikenal sebagai rah kasawur (darah tertumpah) dan waṅkay kabunan (mayat yang ditemukan), menjadikan seluruh desa bertanggung jawab atas peristiwa kriminal yang bahkan tidak mereka lakukan.

Sejarah peranan perempuan dalam bertempur ini konon sudah dimulai pada tahun 1613-1646 saat Sultan Agung bertahta di Mataram Kerta. Sultan Agung memiliki prajurit-prajurit perempuan dalam korps keprajuritannya. Carey (2014:90) mengatakan bahwa “empat puluh perempuan duduk berbaris di tahta sultan dan benar-benar bersenjata lengkap berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di tali pinggang, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit perempuan yang mengagumkan" Di Yogyakarta, cikal bakal telah dimulai pada zaman Sultan HB I, dimana diangkat seorang prajurit perempuan sebagai penasihat sejajar dengan Pangeran Joyokusumo dalam siasat perang” (Kumar, 2008 : 102). Sultan kemudian membentuk Prajurit perempuan berani mati yang dinamakan pasukan "Sesabet" dengan teknik "Krudung Dhong Lumbu" atau dari kejauhan tampak seperti tanaman keladi (kamuflase), namun bila musuh mendekat, maka pasukannya, akan menyerang habis-habisan” (Winda, 2009 : 51). Salah satu veteran prajurit Estri pada periode awal adalah kelak menjadi garwa padmi Sultan HB I bergelar Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten, ibu Sultan HB II dan mengasuh Pangeran Diponegoro (cicitnya) setelah pindah ke Ndalem Tegalrejo. Prajurit perempuan kemudian ditugaskan untuk mengawal putra mahkota dan diresmikan sebagai korps pengawal raja pada masa Sultan HB II. GKR Kadipaten adalah komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755. Sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung atau Prajurit Keparak éstri. Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo. Mereka mengenakan keris dengan cara Bali yang dihiasi bordiran berdaun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas, pakaian mereka nampak berkilauan. Seragam Langen Kusuma ini diambil dari foto pameran Sumakala di Kraton. Memang berbeda dengan yang kemarin kirab di Grebeg Mulud ya..

 Sejarah peranan perempuan dalam bertempur ini konon sudah dimulai pada tahun 1613-1646 saat Sultan Agung bertahta di Mataram Kerta.

Sultan Agung memiliki prajurit-prajurit 

perempuan dalam korps keprajuritannya. Carey (2014:90) mengatakan bahwa “empat puluh perempuan duduk berbaris di tahta sultan dan benar-benar bersenjata lengkap berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di tali pinggang, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit perempuan yang mengagumkan"



Di Yogyakarta, cikal bakal telah dimulai pada zaman Sultan HB I, dimana diangkat seorang prajurit perempuan sebagai penasihat sejajar dengan Pangeran Joyokusumo dalam siasat 

perang” (Kumar, 2008 : 102). 


Sultan kemudian membentuk Prajurit perempuan berani mati yang dinamakan pasukan "Sesabet" dengan teknik "Krudung Dhong Lumbu" atau dari kejauhan tampak seperti tanaman keladi (kamuflase), namun bila musuh mendekat, maka pasukannya, akan menyerang habis-habisan” (Winda, 2009 : 51). Salah satu veteran prajurit Estri pada periode awal adalah kelak menjadi garwa padmi Sultan HB I bergelar Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten, ibu Sultan HB II dan mengasuh Pangeran Diponegoro (cicitnya) setelah pindah ke Ndalem Tegalrejo. Prajurit perempuan kemudian ditugaskan untuk mengawal putra mahkota dan diresmikan sebagai korps pengawal raja pada masa Sultan HB II. 


GKR Kadipaten adalah komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755. Sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung 

atau Prajurit Keparak éstri. Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo. Mereka mengenakan keris dengan cara Bali yang dihiasi bordiran berdaun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas, pakaian mereka nampak berkilauan. 


Seragam Langen Kusuma ini diambil dari foto pameran Sumakala di Kraton. Memang berbeda dengan yang kemarin kirab di Grebeg Mulud ya..

HARI INI 21 TAHUN LALU PANGLIMA PARA PRAJURIT ITU BERPULANG 8 SEPTEMBER 2004. JENDRAL ANDI MUHAMMAD JUSUF AMIR Dengan santai dan tanpa protokoler sang MENHANKAM/PANGAB mendekati barisan prajurit. "Sudah berkeluarga?", tanya sang Jendral "Siap belum jendral!", tegas si prajurit menjawab. "Lho kenapa?", tanya sang jendral lagi "Siap! Jendral...ee.e!". "Lho ko' gugup! kenapa? takut sama perempuan ya?", masih tanya sang jendral sambil tersenyum, sembari di iringi tawa yang hadir mengiringi sang jendral yang masih keturunan raja Bone ini" siap! baru pacaran jendral! " malu malu sang prajurit menjawab. "Nanti kalo sudah menikah punya anak, cukup 2 saja ya", tukas sang jendral masing dengan senyum sembari tangannya menyentuh pundak sang prajurit. "Siap! Jendral!". Cuplikan percakapan antara Jendral Andi Muhammad Jusuf dan Prajuritnya. Percakapan di atas sering di lakukan Jendral ini, perwira asal Bone Sulawesi Selatan, dan biasanya tanpa protokoler dari ajudan, beliau bebas saja menghampiri tiap prajurit yang beliau kehendaki, sekedar menanyakan keluarga dan kondisi mereka, pertanyaan macam "anak kelas berapa?", "sudah menikah belum?" atau pertanyaan yang sepertinya sepele buat kita namun sangat berarti buat para prajurit di level tamtama dan bintara. Jenderal TNI (Purn.) Andi Muhammad Jusuf Amir (lahir di Kajuara, Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1928 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 September 2004 pada umur 76 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Jenderal M. Jusuf adalah salah tokoh militer Indonesia yang sangat berpengaruh dalam sejarah kemiliteran Indonesia. Ia juga merupakan salah satu keturunan bangsawan dari suku Bugis—hal ini dapat dilihat dengan gelar Andi pada namanya, akan tetapi beliau melepaskan gelar kebangsawanannya itu pada tahun 1957 dan tidak pernah menggunakannya lagi. Di luar kontroversi masalah supersemar, beliau adalah putra terbaik bangsa. Dalam posisi pemerintahan beliau pernah menjabat sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan pada periode 1978 - 1983. Era kepemimpinan beliau di ABRI, kesejahteraan prajurit level tamtama dan bintara sangat di perhatikan, buat beliau kesejehteraan prajurit di rumah sangat membantu tugas prajurit di lapangan. Saat pemakaman beliau di Makasar, ribuan orang mengatar ke tempat peristirahatan terakhir, jalan macet balasan kilometer, TNI memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang selama 7 hari. Kapan lagi kita punya pemimpin seperti ini kedepan...semoga 🙏 Beny Rusmawan

 HARI INI 21 TAHUN LALU PANGLIMA PARA PRAJURIT ITU BERPULANG

8 SEPTEMBER 2004.

JENDRAL ANDI MUHAMMAD JUSUF AMIR


Dengan santai dan tanpa protokoler sang MENHANKAM/PANGAB mendekati barisan prajurit.



"Sudah berkeluarga?", tanya sang Jendral

"Siap belum jendral!", tegas si prajurit menjawab.

"Lho kenapa?", tanya sang jendral lagi

"Siap! Jendral...ee.e!".

"Lho ko' gugup! kenapa? takut sama perempuan ya?", masih tanya sang jendral sambil tersenyum, sembari di iringi tawa yang hadir mengiringi sang jendral yang masih keturunan raja Bone ini" siap! baru pacaran jendral! " malu malu sang prajurit menjawab.


"Nanti kalo sudah menikah punya anak, cukup 2 saja ya", tukas sang jendral masing dengan senyum sembari tangannya menyentuh pundak sang prajurit.

"Siap! Jendral!".


Cuplikan percakapan antara Jendral Andi Muhammad Jusuf dan Prajuritnya.


Percakapan di atas sering di lakukan Jendral ini, perwira asal Bone Sulawesi Selatan, dan biasanya tanpa protokoler dari ajudan, beliau bebas saja menghampiri tiap prajurit yang beliau kehendaki, sekedar menanyakan keluarga dan kondisi mereka, pertanyaan macam "anak kelas berapa?", "sudah menikah belum?" atau pertanyaan yang sepertinya sepele buat kita namun sangat berarti buat para prajurit di level tamtama dan bintara.


Jenderal TNI (Purn.) Andi Muhammad Jusuf Amir (lahir di Kajuara, Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1928 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 September 2004 pada umur 76 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Jenderal M. Jusuf adalah salah tokoh militer Indonesia yang sangat berpengaruh dalam sejarah kemiliteran Indonesia. Ia juga merupakan salah satu keturunan bangsawan dari suku Bugis—hal ini dapat dilihat dengan gelar Andi pada namanya, akan tetapi beliau melepaskan gelar kebangsawanannya itu pada tahun 1957 dan tidak pernah menggunakannya lagi.


Di luar kontroversi masalah supersemar, beliau adalah putra terbaik bangsa.

Dalam posisi pemerintahan beliau pernah menjabat sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan pada periode 1978 - 1983. 


Era kepemimpinan beliau di ABRI, kesejahteraan prajurit level tamtama dan bintara sangat di perhatikan, buat beliau kesejehteraan prajurit di rumah sangat membantu tugas prajurit di lapangan.

Saat pemakaman beliau di Makasar, ribuan orang mengatar ke tempat peristirahatan terakhir, jalan macet balasan kilometer, TNI memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang selama 7 hari. 


Kapan lagi kita punya pemimpin seperti ini kedepan...semoga 🙏


Beny Rusmawan

Dapat scan buku data kependudukan indonesia di tahun 1930an ,tentu ini disimpan oleh orang belanda sebab saat itu belanda yg menguasai indonesia.. Ini terjemahannya TABEL 19. Populasi Daerah dengan Lebih dari 50.000 Penduduk pada Tahun 1930 Tabel ini menunjukkan berbagai daerah dan kota di Indonesia dengan jumlah penduduk yang dibagi ke dalam kelompok etnis yang berbeda: Eropa, Tionghoa, dan Timur Asing lainnya, Keterangan translate aantal inwoner in duizendtallen: jumlah penduduk dalam ribuan Plaatsen: tempat Batavia: jakarta Buitenzorg: bogor Inheemschen: penduduk asli Europeanen: orang eropa Chineezen: cina Andere: yg lainnya

 Dapat scan buku data kependudukan indonesia di tahun 1930an ,tentu ini disimpan oleh orang belanda sebab saat itu belanda yg menguasai indonesia..

Ini terjemahannya


TABEL 19. Populasi Daerah dengan Lebih dari 50.000 Penduduk pada Tahun 1930



Tabel ini menunjukkan berbagai daerah dan kota di Indonesia dengan jumlah penduduk yang dibagi ke dalam kelompok etnis yang berbeda: Eropa, Tionghoa, dan Timur Asing lainnya, 


Keterangan translate

aantal inwoner in duizendtallen: jumlah penduduk dalam ribuan

Plaatsen: tempat

Batavia: jakarta

Buitenzorg: bogor

Inheemschen: penduduk asli

Europeanen: orang eropa

Chineezen: cina

Andere: yg lainnya

Sri Susuhunan Pakubuwono IX• Sri Susuhunan Pakubuwono IX adalah raja Kasunanan Surakarta yang berkuasa antara 1861-1893. Raja yangmemiliki nama kecil Raden Mas Duksina ini adalah putra dari Sunan Pakubuwana VI, yang lahir pada tanggal 22 Desember 1830. Pakubuwana IX memiliki dua permaisuri yakni GKR. Pakubuwana serta GKR. Maduretna.

 Sri Susuhunan Pakubuwono IX•

Sri Susuhunan Pakubuwono IX adalah raja Kasunanan Surakarta yang berkuasa antara 1861-1893.


Raja yangmemiliki nama kecil Raden Mas Duksina ini adalah putra dari Sunan Pakubuwana VI, yang lahir pada tanggal 22 Desember 1830.


Pakubuwana IX memiliki dua permaisuri yakni GKR. Pakubuwana serta GKR. Maduretna.


10 September 2025

“Kembalinya Keris Kyai Nogo Siluman: Sebuah Isyarat untuk Bangsa” Setelah hampir dua abad menghilang, pusaka itu akhirnya kembali ke tanah air. Keris Kyai Nogo Siluman, yang pernah menjadi saksi perjuangan Pangeran Diponegoro, bukan sekadar sebilah besi tua yang usang dimakan zaman. Ia adalah simbol perlawanan, martabat, dan harga diri bangsa yang pernah berani menentang penjajahan dengan segenap jiwa dan raga. Pangeran Diponegoro bukan hanya seorang pejuang, tetapi juga benteng terakhir yang menghalangi penjajahan Belanda dari menguasai Nusantara sepenuhnya. Sejak ia ditangkap pada 1830, Nusantara seperti kehilangan daya. Kekuasaan kolonial mencengkeram lebih erat, menjalar ke seluruh sendi kehidupan, hingga rakyat tak lagi memiliki ruang untuk bergerak bebas. Kini, pusaka itu kembali ke pangkuan negeri. Tetapi ini bukan sekadar tentang kembalinya sebuah artefak bersejarah. Ini adalah pertanda, sebuah pengingat bagi kita semua bahwa martabat bangsa tidak boleh lagi tergadaikan. Aura dari keris ini semestinya menjadi simbol kebangkitan kesadaran yaitu sebuah hidayah yang mengingatkan kita pada hakikat kemerdekaan sejati. Sebab hari ini, penjajahan tidak lagi hadir dalam bentuk pasukan bersenjata. Ia datang dengan wajah manis: investasi, perdagangan, dan utang yang mencekik. Para penindas justru kita elu-elukan sebagai penyelamat ekonomi, sementara mereka dengan lihai menguasai kekayaan negeri ini. Kesadaran adalah cahaya yang bisa menembus kegelapan berpikir. Namun, kegelapan kolektif yang paling berbahaya adalah ketika kita, secara sadar atau tidak, memberikan kekuasaan kepada mereka yang terang-terangan mengkhianati negeri ini. Semoga kembalinya Keris Kyai Nogo Siluman bukan hanya menjadi peristiwa bersejarah, tetapi juga perwujudan energi gaib yang menyadarkan akal sehat bangsa ini, sebagaimana dulu Raden Ontowiryo (Diponegoro) memahami dengan jelas hakikat perjuangan dan kehormatan. #KembalinyaPusaka #SpiritDiponegoro #MartabatBangsa #KesadaranNasional #bumipusaka #MelawanPenjajahanModern

 “Kembalinya Keris Kyai Nogo Siluman: Sebuah Isyarat untuk Bangsa”


Setelah hampir dua abad menghilang, pusaka itu akhirnya kembali ke tanah air. Keris Kyai Nogo Siluman, yang pernah menjadi saksi perjuangan Pangeran Diponegoro, bukan sekadar sebilah besi tua yang usang dimakan zaman. Ia adalah simbol perlawanan, martabat, dan harga diri bangsa yang pernah berani menentang penjajahan dengan segenap jiwa dan raga.



Pangeran Diponegoro bukan hanya seorang pejuang, tetapi juga benteng terakhir yang menghalangi penjajahan Belanda dari menguasai Nusantara sepenuhnya. Sejak ia ditangkap pada 1830, Nusantara seperti kehilangan daya. Kekuasaan kolonial mencengkeram lebih erat, menjalar ke seluruh sendi kehidupan, hingga rakyat tak lagi memiliki ruang untuk bergerak bebas.


Kini, pusaka itu kembali ke pangkuan negeri. Tetapi ini bukan sekadar tentang kembalinya sebuah artefak bersejarah. Ini adalah pertanda, sebuah pengingat bagi kita semua bahwa martabat bangsa tidak boleh lagi tergadaikan. Aura dari keris ini semestinya menjadi simbol kebangkitan kesadaran yaitu sebuah hidayah yang mengingatkan kita pada hakikat kemerdekaan sejati.


Sebab hari ini, penjajahan tidak lagi hadir dalam bentuk pasukan bersenjata. Ia datang dengan wajah manis: investasi, perdagangan, dan utang yang mencekik. Para penindas justru kita elu-elukan sebagai penyelamat ekonomi, sementara mereka dengan lihai menguasai kekayaan negeri ini.


Kesadaran adalah cahaya yang bisa menembus kegelapan berpikir. Namun, kegelapan kolektif yang paling berbahaya adalah ketika kita, secara sadar atau tidak, memberikan kekuasaan kepada mereka yang terang-terangan mengkhianati negeri ini.


Semoga kembalinya Keris Kyai Nogo Siluman bukan hanya menjadi peristiwa bersejarah, tetapi juga perwujudan energi gaib yang menyadarkan akal sehat bangsa ini, sebagaimana dulu Raden Ontowiryo (Diponegoro) memahami dengan jelas hakikat perjuangan dan kehormatan.


#KembalinyaPusaka

#SpiritDiponegoro

#MartabatBangsa

#KesadaranNasional

#bumipusaka 

#MelawanPenjajahanModern

History & Story Keluarga Indo Setiap keluarga, memiliki sejarah dan cerita keluarga yang menarik. Salah satunya adalah keluarga Indo dari Belanda yang sedang mencari jejak leluhurnya di Magelang. Leluhur keluarganya bernama Frederik Vonk datang dari Belanda sebagai tentara di Batavia pada 1856. Lalu meninggalkan kedinasan di Semarang pada 1864 dan berpindah ke Magelang dengan istrinya Mina. Diduga mereka tinggal di Blondo berdasarkan sebuah memo yang ditulis Frederik. Frederik Vonk meninggal pada 1879 dan dimakamkan di pemakaman Magelang. Anak mereka bernama Johannes Frederik yang lahir di Blondo (selatan Kota Magelang) pada 1870. Saat sudah dewasa Johannes bergabung dengan tentara. Tapi tak lama, pada 1902 meninggalkan tentara dan pindah ke Temanggung. Johannes Frederik memperistri Sarijem (anak dari R. Soemohardjo) pada 1927. Johannes Frederik meninggal dunia pada 1939 di Parakan dan dimakamkan di Temanggung. Sarijem tetap tinggal di Magelang ketika keluarganya berangkat ke Belanda pada 1952. Sarijem menjadi dukun bayi di Desa Rejowinangun. ==== Cerita keluarga Indo ini begitu menarik, dan tugas saya adalah mencari keturunan keluarga dari Sarijem yang kemungkinan masih tinggal di Kampung Paten Gunung Kelurahan Rejowinangun Selatan Kota Magelang. Keluarga dari Belanda tersebut akan datang pada Mei 2026 mendatang. Mari kita mencari jejaknya....

 History & Story Keluarga Indo


Setiap keluarga, memiliki sejarah dan cerita keluarga yang menarik. Salah satunya adalah keluarga Indo dari Belanda yang sedang mencari jejak leluhurnya di Magelang. 



Leluhur keluarganya bernama Frederik Vonk datang dari Belanda sebagai tentara di Batavia pada 1856. Lalu meninggalkan kedinasan di Semarang pada 1864 dan berpindah ke Magelang dengan istrinya Mina. Diduga mereka tinggal di Blondo berdasarkan sebuah memo yang ditulis Frederik. Frederik Vonk meninggal pada 1879 dan dimakamkan di pemakaman Magelang. 


Anak mereka bernama Johannes Frederik yang lahir di Blondo (selatan Kota Magelang) pada 1870. Saat sudah dewasa Johannes bergabung dengan tentara. Tapi tak lama, pada 1902 meninggalkan tentara dan pindah ke Temanggung. 


Johannes Frederik memperistri Sarijem (anak dari R. Soemohardjo) pada 1927. Johannes Frederik meninggal dunia pada 1939 di Parakan dan dimakamkan di Temanggung.


Sarijem tetap tinggal di Magelang ketika keluarganya berangkat ke Belanda pada 1952. Sarijem menjadi dukun bayi di Desa Rejowinangun. 


====


Cerita keluarga Indo ini begitu menarik, dan tugas saya adalah mencari keturunan keluarga dari Sarijem yang kemungkinan masih tinggal di Kampung Paten Gunung Kelurahan Rejowinangun Selatan Kota Magelang. 


Keluarga dari Belanda tersebut akan datang pada Mei 2026 mendatang. 


Sumber : Bagus Priyana

🧤Jabat Tangan: Dari Deteksi Senj4t4 ke Simbol Sopan Santun 🤝 Bayangkan kamu hidup di zaman ribuan tahun lalu... Saat bertemu orang asing, hal pertama yang kamu lakukan bukan tersenyum atau menyapa — tapi menunjukkan tangan kosongmu. Kenapa? Karena itu satu-satunya cara buat bilang, "Aku nggak bawa senj4t4. Aku datang dengan damai." Begitulah asal-usul jabat tangan. 👀 Di Yunani Kuno, orang-orang saling menggenggam tangan kanan—bukan untuk bersahabat, tapi untuk membuktikan mereka nggak berbahaya. Kadang tangan digoyang naik-turun, biar senjata kecil yang disembunyikan bisa jatuh kalau ada. 🛡️ Di Eropa Abad Pertengahan, para ksatria saling memeriksa lengan satu sama lain. Tujuannya? Pastikan nggak ada belati tersembunyi di balik baju zirah. Tapi seiring waktu, kebiasaan itu berubah... Dari tindakan waspada ➡️ jadi gestur kepercayaan. Dari alat deteksi bahaya ➡️ jadi tanda kesepakatan. Dan sekarang? 🤝 Jabat tangan jadi simbol sopan santun. Tapi siapa sangka, dulu itu adalah gerakan penuh strategi dan kehati-hatian! --- ✨ Kadang hal kecil yang kita anggap biasa… punya sejarah yang luar biasa.

 🧤Jabat Tangan: Dari Deteksi Senj4t4 ke Simbol Sopan Santun 🤝


Bayangkan kamu hidup di zaman ribuan tahun lalu...



Saat bertemu orang asing, hal pertama yang kamu lakukan bukan tersenyum atau menyapa — tapi menunjukkan tangan kosongmu.


Kenapa?

Karena itu satu-satunya cara buat bilang,

"Aku nggak bawa senj4t4. Aku datang dengan damai."


Begitulah asal-usul jabat tangan.


👀 Di Yunani Kuno, orang-orang saling menggenggam tangan kanan—bukan untuk bersahabat, tapi untuk membuktikan mereka nggak berbahaya.

Kadang tangan digoyang naik-turun, biar senjata kecil yang disembunyikan bisa jatuh kalau ada.


🛡️ Di Eropa Abad Pertengahan, para ksatria saling memeriksa lengan satu sama lain.

Tujuannya? Pastikan nggak ada belati tersembunyi di balik baju zirah.


Tapi seiring waktu, kebiasaan itu berubah...

Dari tindakan waspada ➡️ jadi gestur kepercayaan.

Dari alat deteksi bahaya ➡️ jadi tanda kesepakatan.


Dan sekarang?

🤝 Jabat tangan jadi simbol sopan santun.

Tapi siapa sangka, dulu itu adalah gerakan penuh strategi dan kehati-hatian!


---


✨ Kadang hal kecil yang kita anggap biasa… punya sejarah yang luar biasa.



Orang Jawa jaman keris masih banyak didepan, p!sau disebelahnya namanya wadung. Jaman dalam Foto ini sekitar Jaman Demak.

 Orang Jawa jaman keris masih banyak didepan, p!sau disebelahnya namanya wadung. Jaman dalam Foto ini sekitar Jaman Demak.



Perang Paregreg – Retaknya Majapahit dari Dalam Dalam lembaran sejarah Nusantara, ada sebuah kisah getir yang menjadi titik balik keruntuhan kerajaan besar Majapahit, "Perang Paregreg". Perang ini bukan sekadar pertarungan senjata, tetapi juga pertempuran ambisi, keserakahan, dan luka batin bangsa yang akhirnya menghancurkan dirinya sendiri. Majapahit pada abad ke-14 pernah berdiri sebagai imperium terbesar di Asia Tenggara. Dari semenanjung Malaka, laut Jawa, hingga kepulauan Maluku, semua tunduk pada panji Surya Majapahit. Namun, semakin tinggi sebuah pohon menjulang, semakin kencang pula angin yang mengguncangnya. Awal mula perang ini berakar dari suksesi tahta setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389. Sang raja, yang dikenal sebagai pemimpin agung bersama patih Gajah Mada, meninggalkan kerajaan dalam kondisi kuat tetapi rapuh di dalam. Ia tidak memiliki putra laki-laki. Yang tersisa hanyalah seorang putri, Kusumawardhani, yang kemudian dinikahkan dengan Wikramawardhana. Melalui perkawinan politik ini, Wikramawardhana naik sebagai raja. Namun di sisi lain, ada seorang tokoh kuat bernama Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir keturunan Tiongkok. Ia diberi kedudukan sebagai penguasa wilayah timur. Meski bukan pewaris resmi, darah yang mengalir di nadinya membuatnya merasa berhak atas tahta. Di sinilah benih konflik tumbuh. Perselisihan keluarga kerajaan berubah menjadi perang saudara yang berdarah. Perang ini meletus sekitar tahun 1404, dikenal dengan nama Paregreg. Kata paregreg berarti perang yang berulang, perang yang terus berlarut. Dari sisi timur Jawa, pasukan Bhre Wirabhumi bangkit dengan kekuatan besar. Dari sisi barat, Wikramawardhana memimpin armada dan tentara kerajaan pusat. Jawa seakan terbelah: saudara melawan saudara, prajurit yang dahulu bersatu di bawah satu panji kini saling menebas di medan laga. Catatan sejarah menggambarkan perang ini berlangsung hingga tahun 1406. Tidak hanya memakan banyak korban jiwa, tetapi juga melemahkan sendi-sendi Majapahit. Perdagangan laut terganggu, wilayah taklukan mulai goyah, dan kekuatan maritim yang dulu ditakuti perlahan redup. Puncak tragedi terjadi ketika pasukan Wikramawardhana berhasil menembus benteng timur dan menewaskan Bhre Wirabhumi. Ia ditangkap, dihukum mati, dan kisahnya berakhir tragis. Namun kemenangan itu sesungguhnya adalah kekalahan bersama. Majapahit mungkin tetap berdiri, tetapi ibarat pohon besar yang akarnya telah keropos. Dari sinilah kita belajar, bahwa sebuah kerajaan besar tidak runtuh karena serangan luar semata, tetapi karena retaknya persatuan di dalam. Perang Paregreg menjadi simbol bagaimana ambisi pribadi bisa mengalahkan kepentingan bersama. Setelah perang ini, Majapahit tidak pernah lagi mencapai kejayaannya yang dulu. Perlahan, ia tenggelam, digantikan oleh kekuatan-kekuatan baru di Nusantara. Refleksi dari Perang Paregreg bukan hanya untuk masa lalu. Ia adalah cermin untuk kita hari ini. Persatuan adalah kekuatan. Ketika perpecahan merajalela, bahkan kerajaan sebesar Majapahit pun bisa runtuh. Sejarah selalu berulang, hanya aktornya yang berbeda. Maka, marilah kita belajar dari darah dan air mata yang tertumpah dalam perang saudara itu, bahwa ambisi, keserakahan, dan dendam hanya akan meninggalkan kehancuran. Tetapi persatuan, kebijaksanaan, dan rasa hormat pada sesama, itulah yang menjaga sebuah bangsa tetap berdiri.

 Perang Paregreg – Retaknya Majapahit dari Dalam


Dalam lembaran sejarah Nusantara, ada sebuah kisah getir yang menjadi titik balik keruntuhan kerajaan besar Majapahit, "Perang Paregreg". Perang ini bukan sekadar pertarungan senjata, tetapi juga pertempuran ambisi, keserakahan, dan luka batin bangsa yang akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.



Majapahit pada abad ke-14 pernah berdiri sebagai imperium terbesar di Asia Tenggara. Dari semenanjung Malaka, laut Jawa, hingga kepulauan Maluku, semua tunduk pada panji Surya Majapahit. Namun, semakin tinggi sebuah pohon menjulang, semakin kencang pula angin yang mengguncangnya.


Awal mula perang ini berakar dari suksesi tahta setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389. Sang raja, yang dikenal sebagai pemimpin agung bersama patih Gajah Mada, meninggalkan kerajaan dalam kondisi kuat tetapi rapuh di dalam. Ia tidak memiliki putra laki-laki. Yang tersisa hanyalah seorang putri, Kusumawardhani, yang kemudian dinikahkan dengan Wikramawardhana. Melalui perkawinan politik ini, Wikramawardhana naik sebagai raja.


Namun di sisi lain, ada seorang tokoh kuat bernama Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir keturunan Tiongkok. Ia diberi kedudukan sebagai penguasa wilayah timur. Meski bukan pewaris resmi, darah yang mengalir di nadinya membuatnya merasa berhak atas tahta.


Di sinilah benih konflik tumbuh. Perselisihan keluarga kerajaan berubah menjadi perang saudara yang berdarah. Perang ini meletus sekitar tahun 1404, dikenal dengan nama Paregreg. Kata paregreg berarti perang yang berulang, perang yang terus berlarut.


Dari sisi timur Jawa, pasukan Bhre Wirabhumi bangkit dengan kekuatan besar. Dari sisi barat, Wikramawardhana memimpin armada dan tentara kerajaan pusat. Jawa seakan terbelah: saudara melawan saudara, prajurit yang dahulu bersatu di bawah satu panji kini saling menebas di medan laga.


Catatan sejarah menggambarkan perang ini berlangsung hingga tahun 1406. Tidak hanya memakan banyak korban jiwa, tetapi juga melemahkan sendi-sendi Majapahit. Perdagangan laut terganggu, wilayah taklukan mulai goyah, dan kekuatan maritim yang dulu ditakuti perlahan redup.


Puncak tragedi terjadi ketika pasukan Wikramawardhana berhasil menembus benteng timur dan menewaskan Bhre Wirabhumi. Ia ditangkap, dihukum mati, dan kisahnya berakhir tragis. Namun kemenangan itu sesungguhnya adalah kekalahan bersama. Majapahit mungkin tetap berdiri, tetapi ibarat pohon besar yang akarnya telah keropos.


Dari sinilah kita belajar, bahwa sebuah kerajaan besar tidak runtuh karena serangan luar semata, tetapi karena retaknya persatuan di dalam. Perang Paregreg menjadi simbol bagaimana ambisi pribadi bisa mengalahkan kepentingan bersama. Setelah perang ini, Majapahit tidak pernah lagi mencapai kejayaannya yang dulu. Perlahan, ia tenggelam, digantikan oleh kekuatan-kekuatan baru di Nusantara.


Refleksi dari Perang Paregreg bukan hanya untuk masa lalu. Ia adalah cermin untuk kita hari ini. Persatuan adalah kekuatan. Ketika perpecahan merajalela, bahkan kerajaan sebesar Majapahit pun bisa runtuh. Sejarah selalu berulang, hanya aktornya yang berbeda.


Maka, marilah kita belajar dari darah dan air mata yang tertumpah dalam perang saudara itu, bahwa ambisi, keserakahan, dan dendam hanya akan meninggalkan kehancuran. Tetapi persatuan, kebijaksanaan, dan rasa hormat pada sesama, itulah yang menjaga sebuah bangsa tetap berdiri.

Seperti inilah makam Sunan Ampel Tahun 1910. Siapa Sunan Ampel itu ? Sunan Ampel adalah Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Jawa bersama ayahnya bernama Syekh Ibrahim Asmaraqandi untuk menyebarkan agama Islam. Sekaligus silaturahmi ke bibinya, Dewi Dwarawati yang menjadi istri Prabu Kertabhumi. Sunan Ampel berhijrah ke Jawa diduga karena ibu kota Champa, negerinya jatuh ke dalam penjajahan Vietnam pada 1471.

 Seperti inilah makam Sunan Ampel Tahun 1910. 



Siapa Sunan Ampel itu ?


Sunan Ampel adalah Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Jawa bersama ayahnya bernama Syekh Ibrahim Asmaraqandi untuk menyebarkan agama Islam. Sekaligus silaturahmi ke bibinya, Dewi Dwarawati yang menjadi istri Prabu Kertabhumi.


Sunan Ampel berhijrah ke Jawa diduga karena ibu kota Champa, negerinya jatuh ke dalam penjajahan Vietnam pada 1471.

H. Chrismansyah Rahadi lahir dengan nama Christian Rahadi (16 September 1949 – 30 Maret 2007) yang lebih dikenal dengan nama panggung Chrisye, merupakan seorang penyanyi dan pencipta lagu asal Indonesia. Ia dilahirkan di Jakarta dari keluarga Tionghoa-Indonesia, Chrisye menjadi tertarik dengan musik saat masih muda. Waktu masih belajar di SMA, Chrisye bermain gitar bas dalam sebuah band yang ia bentuk bersama kakaknya, Joris. Pada akhir dasawarsa 1960-an dia menjadi anggota band Sabda Nada (yang kemudian hari berganti nama menjadi Gipsy). Pada tahun 1973, setelah mengambil cuti beberapa lama, dia mengikuti band tersebut ke New York untuk main musik. Setelah kembali ke Indonesia untuk waktu singkat, dia kembali ke New York dengan band lain, yaitu The Pro's. Sekembali ke Indonesia, pada tahun 1975 dia bekerja sama dengan Gipsy dan Guruh Soekarnoputra untuk merekam album indie Guruh Gipsy. Setelah keberhasilan Guruh Gipsy, pada tahun 1977 Chrisye menghasilkan 2 karya terbaiknya, yaitu "Lilin-Lilin Kecil" tulisan James F. Sundah serta album jalur suara Badai Pasti Berlalu. Sukses kedua karya ini membuat Chrisye direkrut oleh Musica Studios, yang dengan perusahaan rekaman itu dia merilis album solo perdananya, Sabda Alam, pada tahun 1978. Selama kariernya yang lebih dari 25 tahun dia menghasilkan 20 album solo lain, serta main dalam 1 film: Seindah Rembulan (1981). Chrisye meninggal di rumahnya di Jakarta pada hari Jumat tanggal 30 Maret 2007 setelah bertahun-tahun mengidap kanker paru-paru. Dia meninggalkan seorang istri, Gusti Firoza Damayanti Noor, dan empat anak. #ArtisIndonesia #BeritaSelebriti #ArtisJadul #AhSyafii #BeritaArtisTerkini #Infotainment #Chrisye Sumber: wikipedia

 H. Chrismansyah Rahadi lahir dengan nama Christian Rahadi (16 September 1949 – 30 Maret 2007) yang lebih dikenal dengan nama panggung Chrisye, merupakan seorang penyanyi dan pencipta lagu asal Indonesia.



Ia dilahirkan di Jakarta dari keluarga Tionghoa-Indonesia, Chrisye menjadi tertarik dengan musik saat masih muda. Waktu masih belajar di SMA, Chrisye bermain gitar bas dalam sebuah band yang ia bentuk bersama kakaknya, Joris. Pada akhir dasawarsa 1960-an dia menjadi anggota band Sabda Nada (yang kemudian hari berganti nama menjadi Gipsy). Pada tahun 1973, setelah mengambil cuti beberapa lama, dia mengikuti band tersebut ke New York untuk main musik. Setelah kembali ke Indonesia untuk waktu singkat, dia kembali ke New York dengan band lain, yaitu The Pro's. Sekembali ke Indonesia, pada tahun 1975 dia bekerja sama dengan Gipsy dan Guruh Soekarnoputra untuk merekam album indie Guruh Gipsy.


Setelah keberhasilan Guruh Gipsy, pada tahun 1977 Chrisye menghasilkan 2 karya terbaiknya, yaitu "Lilin-Lilin Kecil" tulisan James F. Sundah serta album jalur suara Badai Pasti Berlalu. Sukses kedua karya ini membuat Chrisye direkrut oleh Musica Studios, yang dengan perusahaan rekaman itu dia merilis album solo perdananya, Sabda Alam, pada tahun 1978. Selama kariernya yang lebih dari 25 tahun dia menghasilkan 20 album solo lain, serta main dalam 1 film: Seindah Rembulan (1981).


Chrisye meninggal di rumahnya di Jakarta pada hari Jumat tanggal 30 Maret 2007 setelah bertahun-tahun mengidap kanker paru-paru. Dia meninggalkan seorang istri, Gusti Firoza Damayanti Noor, dan empat anak.

#ArtisIndonesia #BeritaSelebriti #ArtisJadul #AhSyafii #BeritaArtisTerkini #Infotainment #Chrisye 

Sumber: wikipedia

Nyaris Satu Abad Melawan Kolonial, Kisah Keluarga Suropati yang Berujung Tragis di Tangan Belanda Terbunuhnya Kapten François Tack, seorang perwira VOC di Kartasura oleh Untung Suropati membuat kolonial Belanda meradang. Pihak kolonial pun menaruh dendam kesumat pada Suropati dan keturunannya. * Trah Suropati Suropati dan keluarga serta keturunannya merupakan pihak penting dalam konflik-konflik antara pihak kolonial dengan pribumi yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah selama nyaris satu abad, yakni mulai tahun 1686 hingga 1770. Trah Suropati menunjukkan keteguhannya melakukan perlawanan terhadap kolonial. Sikap inilah yang membuat mereka berbeda dari bangsawan Jawa lain yang banyak memilih tunduk pada Belanda. Semangat perlawanan trah Suropati yang selalu membara membuat pihak kolonial bersikap opresif dan agresif menghadapi mereka. Kolonial Belanda berupaya keras menumpas trah Suropati, kolonial Belanda menggunakan gagasan Tumpes Kelor, yakni menumpas seluruhnya anggota keluarga Suropati sampai ke akar-akar. Selain membalas dendam atas kematian salah satu perwira VOC, pihak kolonial ingin mengontrol kekuasaan dan perpolitikan di tahan Jawa yang sebelumnya berada di tangan trah Suropati, sehingga pihak kolonial ingin melenyapkan keluarga Suropati dari sistem kekuasaan dan perpolitikan di Pulau Jawa. * Nasib Trah Suropati Lumajang dulunya dipimpin trah Suropati yakni Adipati Kartanagara. Pada medio September-Oktober 1768 Lumajang tahun ke tangan kolonial. Tak mau membiarkan keturunan Adipati Kartanagara melancarkan perlawanan kembali, kolonial memburu mereka ke berbagai daerah di Jawa Timur. Pihak Belanda meminta bantuan Sultan mengambil langkah penting guna memburu sisa-sisa keluarga Adipati Kartanagara. Pada tahun 1770, prajurit Sultan dan Kompeni berhasil menangkap 21 orang keluarga Kartanagara. Mereka merupakan kelompok terakhir yang berhasil diketahui dan ditangkap. Meski demikian, pihak kolonial meyakini ada lebih banyak sisa-sisa keluarga Adipati Lumajang yang masih bersembunyi di wilayah Jawa dan tidak bisa terdeteksi. * Keluarga Kartanagara yang ditangkap kolonial Belanda pada tahun 1768 yakni: 1. Adipati Lumajang, (Putra/Cucu Suropati), meninggal dilereng selatan Gunung Semeru pada tahun 1767. 2. Kartayuda, Adipati Lumajang setelah Kartanagara (Saudara Kartanagara), meninggal tahun 1768. 3. Natakusuma, Patih Lumajang era Kartanagara (Saudara Kartanagara). 4. Putra Kartanagara. Ditangkap pada 1768 di Blambangan bersama keempat istrinya, 7 budak, dua saudara ipar dan dua orang keluarga Blambangan yakni Mas Uno dan Mas Weka, dua orang Adipati pertama Blambangan yang dipasang Kompeni. Natapura dikirim ke Batavia pada September 1768. 5. Mas Ekalaya. Putra Natapura ini ditahan pada 1768 di Blambangan dengan Mas Uno dan Mas Weka. Ia dikirim ke Batavia pada September 1768. 6. Mas Brahim, saudara Kartanagara yang ditahan pada 1768. 7. Nurdin, putra Kartayuda, ditahan di Lumajang pada 1768, dan dikirim ke Batavia pada bulan September 1768. 8. Tirtakusuma, Putra Kartayuda. Mantan Adipati Winongan, melarikan diri ke Blambangan setelah gagal melakukan pemberontakan pada 1713-1714, dan ditangkap di Lumajang. Selain kedelapan nama tersebut, masih ada sejumlah trah Suropati yang ditumpas pihak kolonial Belanda. * Pemimpin Baru VOC berhasil meredam kericuhan yang terjadi di Wilayah Brang Wetan (Java Oosthoek) pada akhir tahun 1770. Selanjutnya, mereka menunjuk tumenggung baru dari Trah Kadipaten Soerabaja untuk memimpin Lumajang. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Nyaris Satu Abad Melawan Kolonial, Kisah Keluarga Suropati yang Berujung Tragis di Tangan Belanda

Terbunuhnya Kapten François Tack, seorang perwira VOC di Kartasura oleh Untung Suropati membuat kolonial Belanda meradang. Pihak kolonial pun menaruh dendam kesumat pada Suropati dan keturunannya.



* Trah Suropati


Suropati dan keluarga serta keturunannya merupakan pihak penting dalam konflik-konflik  antara pihak kolonial dengan pribumi yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah selama nyaris satu abad, yakni mulai tahun 1686 hingga 1770. 

Trah Suropati menunjukkan keteguhannya melakukan perlawanan terhadap kolonial. Sikap inilah yang membuat mereka berbeda dari bangsawan Jawa lain yang banyak memilih tunduk pada Belanda.


Semangat perlawanan trah Suropati yang selalu membara membuat pihak kolonial bersikap opresif dan agresif menghadapi mereka. Kolonial Belanda berupaya keras menumpas trah Suropati, kolonial Belanda menggunakan gagasan Tumpes Kelor, yakni menumpas seluruhnya anggota keluarga Suropati sampai ke akar-akar.


Selain membalas dendam atas kematian salah satu perwira VOC, pihak kolonial ingin mengontrol kekuasaan dan perpolitikan di tahan Jawa yang sebelumnya berada di tangan trah Suropati, sehingga pihak kolonial ingin melenyapkan keluarga Suropati dari sistem kekuasaan dan perpolitikan di Pulau Jawa.


* Nasib Trah Suropati


Lumajang dulunya dipimpin trah Suropati yakni Adipati Kartanagara.  Pada medio September-Oktober 1768 Lumajang tahun ke tangan kolonial. Tak mau membiarkan keturunan Adipati Kartanagara melancarkan perlawanan kembali, kolonial memburu mereka ke berbagai daerah di Jawa Timur. 

Pihak Belanda meminta bantuan Sultan mengambil langkah penting guna memburu sisa-sisa keluarga Adipati Kartanagara.


Pada tahun 1770, prajurit Sultan dan Kompeni berhasil menangkap 21 orang keluarga Kartanagara. Mereka merupakan kelompok terakhir yang berhasil diketahui dan ditangkap. 

Meski demikian, pihak kolonial meyakini ada lebih banyak sisa-sisa keluarga Adipati Lumajang yang masih bersembunyi di wilayah Jawa dan tidak bisa terdeteksi.


* Keluarga Kartanagara yang ditangkap kolonial Belanda pada tahun 1768 yakni:


1. Adipati Lumajang, (Putra/Cucu Suropati), meninggal dilereng selatan Gunung Semeru pada tahun 1767.

2. Kartayuda, Adipati Lumajang setelah Kartanagara (Saudara Kartanagara), meninggal tahun 1768.

3. Natakusuma, Patih Lumajang era Kartanagara (Saudara Kartanagara).

4. Putra Kartanagara. Ditangkap pada 1768 di Blambangan bersama keempat istrinya, 7 budak, dua saudara ipar dan dua orang keluarga Blambangan yakni Mas Uno dan Mas Weka, dua orang Adipati pertama Blambangan yang dipasang Kompeni. Natapura dikirim ke Batavia pada September 1768.

5. Mas Ekalaya. Putra Natapura ini ditahan pada 1768 di Blambangan dengan Mas Uno dan Mas Weka. Ia dikirim ke Batavia pada September 1768.

6. Mas Brahim, saudara Kartanagara yang ditahan pada 1768.

7. Nurdin, putra Kartayuda, ditahan di Lumajang pada 1768, dan dikirim ke Batavia pada bulan September 1768.

8. Tirtakusuma, Putra Kartayuda. Mantan Adipati Winongan, melarikan diri ke Blambangan

setelah gagal melakukan pemberontakan pada 1713-1714, dan ditangkap di Lumajang.


Selain kedelapan nama tersebut, masih ada sejumlah trah Suropati yang ditumpas pihak kolonial Belanda.


* Pemimpin Baru


VOC berhasil meredam kericuhan yang terjadi di Wilayah Brang Wetan (Java Oosthoek) pada akhir tahun 1770. Selanjutnya, mereka menunjuk tumenggung baru dari Trah Kadipaten Soerabaja untuk memimpin Lumajang.


* Abror Subhi 

Dari berbagai sumber

Letkol Untung sedang dipersiapkan untuk dieksekusi oleh regu tembak polisi militer di Lembang, Jawa Barat tahun 1967. Dipersidangan Mahkamah Militer, Letkol Untung terbukti bersalah dan divonis Hukuman Mati atas aksi penculikan dan pembunuhan terhadap para Jenderal. Sampai menjelang eksekusi mati, Untung masih percaya, bahwa nyawanya masih selamat. Bukan tanpa sebab, Untung merasa kedekatannya dengan Soeharto bisa membatalkan putusan mati yang di hadapinya. Tapi apa boleh buat, sampai detik Untung di ikat pada pancang tiang eksekusi, Soeharto tak kunjung menyelamatkan. Untung yang tak Beruntung. Akhirnya ia menghadapi regu tembak di Lembang. Sebelum peluru para ekskutor menerjang tubuhnya, Untung dengan mata tertutup kain meneriakkan kalimat lantang: "Hidup Bung Karno!" 📸 Pusat Persenjataan dan Sejarah Militer (PPDSM) #tempodoeloe #letkoluntung #g30s #g30s1965 #pki #gestapu #indonesia #perfectlifeindonesia #sejarahg30s #sejarahindonesia

 Letkol Untung sedang dipersiapkan untuk dieksekusi oleh regu tembak polisi militer di Lembang, Jawa Barat tahun 1967.


Dipersidangan Mahkamah Militer, Letkol Untung terbukti bersalah dan divonis Hukuman Mati atas aksi penculikan dan pembunuhan terhadap para Jenderal.



Sampai menjelang eksekusi mati, Untung masih percaya, bahwa nyawanya masih selamat. Bukan tanpa sebab, Untung merasa kedekatannya dengan Soeharto bisa membatalkan putusan mati yang di hadapinya. Tapi apa boleh buat, sampai detik Untung di ikat pada pancang tiang eksekusi, Soeharto tak kunjung menyelamatkan. Untung yang tak Beruntung. Akhirnya ia menghadapi regu tembak di Lembang.


Sebelum peluru para ekskutor menerjang tubuhnya, Untung dengan mata tertutup kain meneriakkan kalimat lantang: "Hidup Bung Karno!"


📸 Pusat Persenjataan dan Sejarah Militer (PPDSM)


#tempodoeloe #letkoluntung #g30s #g30s1965

#pki #gestapu #indonesia #perfectlifeindonesia #sejarahg30s #sejarahindonesia

09 September 2025

Panembahan Juminah: Panglima Anti-VOC dan Arsitek Spiritual Dinasti Mataram Jawa pada awal abad ke-17 adalah kanvas intrik dan gema perlawanan. Dinasti Mataram, dengan ambisi hegemoninya, bergulat memantapkan kuasa di tengah riak politik daerah dan ancaman kolonialisme yang baru menancapkan kuku di Nusantara. Di tengah pusaran takdir ini, seorang bangsawan mengukir jejaknya, bukan di atas singgasana utama, melainkan sebagai simpul yang mempertautkan tiga dunia: kadipaten pedalaman, keraton pusat Mataram, dan medan laga melawan Kompeni Belanda. Dialah Panembahan Juminah, sosok yang lahir dari darah biru Madiun dan Mataram, dibesarkan dalam bayang-bayang ambisi Panembahan Senapati, dan kemudian menjadi salah satu kepercayaan utama Sultan Agung. Kisahnya adalah narasi tentang integrasi kekuasaan, dendam sejarah, spiritualitas Jawa, dan denyut perlawanan. * Jejak Darah dan Simpul Dua Dinasti: Dari Retno Dumilah ke Juminah Panembahan Juminah, terlahir sebagai Raden Mas Bagus, membawa warisan darah yang luar biasa. Ia adalah putra Panembahan Senapati, pendiri Mataram, dari permaisuri kedua, Raden Ayu Retno Dumilah. Namun, siapa sang ibu? Retno Dumilah bukan sekadar permaisuri, melainkan putri sulung Pangeran Timur, Adipati Madiun I, penguasa yang menjadikan Madiun poros penting di Jawa Timur pedalaman. Pernikahan Senapati dan Retno Dumilah bukanlah asmara semata, melainkan sebuah pernikahan politik yang brilian: menyatukan trah Mataram yang sedang mengembang dengan darah bangsawan Madiun. Ikatan ini melahirkan anak-anak yang kelak menempati posisi strategis di berbagai kadipaten penting. Bahkan, Retno Dumilah tampil di panggung militer, turut diboyong dalam penyerangan Senapati ke Pasuruan, simbol menyatunya darah “Brang Wetan” dengan ekspansi politik Mataram. Garis darah Raden Mas Bagus semakin kaya ketika ditarik ke atas, ke kakeknya dari pihak ibu, Pangeran Timur, yang terlahir sebagai Pangeran Maskumambang. Ia adalah putra bungsu Sultan Trenggono, raja Kesultanan Demak, dari permaisuri Kanjeng Ratu Pembayun—putri Sunan Kalijaga dengan Siti Zaenab, putri Syekh Siti Jenar.Dari jalur ini, tampak jelas Panembahan Juminah mewarisi kebangsawanan ganda: trah para wali melalui Sunan Kalijaga, dan trah raja-raja Islam awal Jawa melalui Kesultanan Demak. Sebuah legitimasi politik sekaligus spiritual yang tak tertandingi. Pangeran Maskumambang, yang kemudian bergelar Panembahan Mas atau Panembahan Timur, diangkat sebagai Bupati Madiun oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Pajang. Penunjukan ini diperkuat ikatan keluarga: kakaknya, Kanjeng Ratu Mas Cempaka, adalah permaisuri Sultan Pajang. Namun, hegemoninya tak berlangsung abadi. Ketika Pajang melemah, Mataram bergerak. Perlawanan rakyat Madiun terhadap Mataram, yang dikenang dalam tarian rakyat “Bedhah Madiun,” akhirnya takluk, dan Madiun diintegrasikan ke dalam Mataram melalui pernikahan politik antara Senapati dan Retno Dumilah. * Madiun, Takhta Muda, dan Strategi Mataram Setelah Madiun resmi jatuh, Mataram menempatkan putra-putra Retno Dumilah sebagai bupati. Sebuah strategi cerdas untuk mengikat loyalitas. Pertama, Raden Mas Julig menjadi Raden Tumenggung Pringgalaya (1595–1601). Kemudian, giliran Raden Mas Bagus, yang setelah dewasa bergelar Pangeran Balitar I, diangkat sebagai Bupati Madiun dengan gelar Adipati Juminah (1601–1613). Meskipun sempat digadang-gadang sebagai calon penerus takhta Mataram, takdir politik menempatkannya di Madiun. Uniknya, mereka diangkat saat masih berusia belia, sehingga diperlukan pengasuh atau wali pemerintahan. Peran ini dipercayakan kepada Raden Mas Bagus Pethak, putra Pangeran Mangkubumi, kakak Panembahan Senapati, yang bahkan tercatat dalam dokumen Pemerintah Kabupaten Madiun sebagai Bupati Mangkunegara I (1601–1613). Fenomena ini menyingkap mekanisme Mataram: memadukan legitimasi darah biru dengan mekanisme pengawasan internal keluarga, menempatkan anak-anak Senapati di wilayah strategis, tetapi tetap dalam pengawalan tokoh senior dari lingkaran istana. * Di Lingkar Dalam Sultan Agung: Penasihat dan Panglima Tahun 1613 menjadi titik balik. Susuhunan Hanyakrawati, putra Senapati, wafat, membuka jalan bagi putranya, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1646), untuk naik takhta. Pada masa inilah Adipati Juminah dipanggil ke istana pusat. Ia diberi posisi penting sebagai penasihat raja. Laporan De Haen, seorang utusan Belanda yang berkunjung ke Mataram, mencatat bahwa Sultan Agung tidak mengambil keputusan penting tanpa meminta nasihat para sesepuh yang dituakan, termasuk Pangeran Adipati Juminah, Pangeran Puger, dan Pangeran Purbaya. Ini menegaskan posisi Juminah bukan sekadar pejabat administratif, melainkan bagian dari lingkaran dalam penentu arah kerajaan. Awal kekuasaan Sultan Agung diwarnai gejolak besar. Pada 1617, meletus pemberontakan di Pajang yang dipimpin Pangeran Benawa II, cucu Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Benawa II, yang merasa mewarisi legitimasi Demak–Pajang, mengangkat senjata. Sultan Agung mengutus Pangeran Adipati Juminah bersama para pembesar Mataram memimpin pasukan. Kehadiran Juminah memberi legitimasi sekaligus kekuatan moral bagi bala Mataram. Pertempuran berakhir dengan kekalahan Pajang, Benawa II melarikan diri, dan wilayah Pajang dihancurkan. Kisah Benawa II adalah potret aristokrat pewaris Jaka Tingkir yang tersingkir, namun namanya tetap hidup dalam ingatan lokal sebagai pangeran yang kalah, tetapi tidak hilang. Tidak hanya Pajang, tahun 1619 Mataram juga menghadapi pemberontakan Adipati Tuban. Sumber Jawa dan Belanda menyebut keterlibatan Pangeran Juminah dalam menumpas pemberontakan ini, serta dalam menghadapi perlawanan orang Sunda. Pola yang tampak adalah konsolidasi kekuasaan Sultan Agung dengan mengandalkan jaringan bangsawan trah Senapati-Retno Dumilah untuk memukul balik daerah yang mencoba melepaskan diri. * Bayangan Perang: Dari Batavia hingga Pengkhianatan Namun, puncak peran politik dan militer Juminah terlihat ketika Mataram berhadapan dengan Kompeni Belanda di Batavia. Pada 1628, Sultan Agung mengirim ribuan pasukan untuk mengepung Batavia, berambisi mengusir Belanda dari Jawa. Serangan pertama gagal. Setahun kemudian, pada 1629, serangan kedua dilancarkan. Kali ini, Pangeran Adipati Juminah mendapat peran penting sebagai salah satu pemimpin pasukan, bersama Tumenggung Singaranu dan Pangeran Mangkubumi. Sayangnya, sejarah mencatat pahit: serangan kedua pun gagal. Pengkhianatan di dalam barisan membuat pasukan tercerai-berai. Banyak panglima yang pulang dihukum mati oleh Sultan Agung, dianggap gagal menjaga wibawa kerajaan. Van Goens dan De Graaf mencatat pemancungan Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Namun, berbeda dengan banyak panglima lain, Juminah selamat dari hukuman. Kedudukannya yang istimewa sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung (karena ia adalah suami kedua Ratu Mas Hadi, ibunda Sultan Agung) membuat posisinya tak tergantikan. Hal ini menunjukkan peran strategis Juminah sebagai simbol loyalitas keluarga Senapati terhadap proyek besar Sultan Agung: menyingkirkan VOC dari tanah Jawa. * Imogiri: Makam Para Raja dan Simbol Kebangkitan Spiritual Kegagalan mengusir VOC menorehkan luka politik yang dalam. Sultan Agung harus segera memulihkan kewibawaannya. Salah satu langkah simbolik yang ditempuh adalah pembangunan kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Menurut Babad Alit, proyek besar ini dipercayakan kepada dua tokoh utama: Panembahan Juminah dan Pangeran Balitar. Pembangunan dimulai sekitar 1629–1630, bertepatan dengan masa sulit pasca kegagalan ekspedisi militer ke Batavia.Dalam kosmologi politik Jawa, makam raja bukan sekadar tempat peristirahatan, melainkan pusat spiritual yang mengikat legitimasi kekuasaan. Dengan menempatkan makam di bukit tinggi, Sultan Agung menghidupkan kembali tradisi Jawa-Hindu yang menempatkan raja sebagai figur sakral, penghubung dunia atas dan dunia leluhur. Keputusan ini juga menandai pergeseran dari tradisi lama Mataram yang memakamkan raja-raja dekat Masjid Kotagede, mengikuti praktik Islam. Dengan Imogiri, Sultan Agung menggabungkan simbolisme Hindu-Jawa lama dengan spiritualitas Islam, memperkuat klaimnya sebagai raja dunia sekaligus raja gaib. Panembahan Juminah, atau Raden Mas Bagus Suratani, ditunjuk mengawasi pembangunan awal makam di Girilaya. Tugas ini sangat strategis, bukan sekadar administratif, tetapi juga penegasan perannya sebagai penghubung antara politik praktis dan spiritualitas dinasti. Material terbaik dikerahkan, termasuk kayu wungle dari Palembang. Namun, sebelum proyek itu rampung, Juminah wafat pada tahun Jawa 1565 (sekitar 1643–1644 Masehi) dalam usia 52 tahun, dan dimakamkan di Bukit Girilaya atas perintah Sultan Agung. Peristiwa ini menjadi titik balik penting: Sultan Agung kecewa karena bukan dirinya yang pertama dimakamkan di lokasi sakral itu. Kekecewaan ini mendorongnya membangun kompleks pemakaman baru di sebuah bukit yang lebih tinggi, yang kemudian dikenal sebagai Imogiri. Sultan Agung wafat pada 1646 dan dimakamkan di Imogiri, yang sejak saat itu menjadi makam resmi raja-raja Mataram. Panembahan Juminah, meskipun wafat lebih awal, memainkan peran kunci dalam kelahiran salah satu situs paling sakral dalam sejarah Jawa. Makam Imogiri bukan hanya kuburan, melainkan monumen kosmologi politik Jawa: simbol perpaduan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi dinasti. * Legasi yang Tak Pernah Padam: Genealogi Raja-Raja Jawa Meski wafat lebih awal, warisan Juminah tidak hilang. Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Hadi, janda Panembahan Hanyakrawati sekaligus ibunda Sultan Agung, lahir keturunan yang menempati posisi penting dalam jaringan politik dan spiritual Jawa. Dari garis keturunannya, muncul Pangeran Adipati Balitar yang menurunkan garis bangsawan Madiun, termasuk Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III (dimakamkan di Kuncen, Madiun) dan Pangeran Arya Balitar IV (dimakamkan di Astana Nitikan, Yogyakarta). Lebih jauh, dari Pangeran Balitar Tumapel III lahirlah Raden Ayu Puger yang kemudian bergelar Ratu Mas Blitar, permaisuri Sunan Pakubuwana I Kartasura. Dari perkawinan Ratu Mas Blitar dengan Pakubuwana I, lahirlah Sunan Amangkurat IV, yang kemudian menjadi leluhur dinasti Mangkunegaran dan Pakualaman. Amangkurat IV adalah ayah dari Pangeran Mangkubumi, yang memproklamasikan diri sebagai Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta pada 1755. Salah satu putranya, Pangeran Notokusumo, mendirikan Kadipaten Pakualaman pada 1812. Ratu Mas Blitar juga memiliki putra lain, Gusti Raden Mas Sudomo (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar), yang garis keturunannya menyambung ke Raden Ayu Wulan, ibu dari Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Dengan demikian, darah Panembahan Juminah mengalir dalam trah istana Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman hingga abad ke-18 dan seterusnya. Ratu Mas Blitar, cucunya, menjadi poros genealogis yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18, menjadikannya leluhur bagi dinasti-dinasti besar Jawa yang kita kenal hari ini. * Epilog: Cermin Jawa yang Berjuang Panembahan Juminah bukanlah raja yang memerintah sendiri, tetapi jejak hidupnya menyingkap kompleksitas politik, militer, dan spiritual Jawa abad ke-17. Ia adalah cermin bagaimana kadipaten seperti Madiun diserap ke dalam tubuh kerajaan, bagaimana loyalitas keluarga menjadi alat legitimasi, dan bagaimana perang melawan VOC menjadi medan pengorbanan yang sarat simbolisme. Perannya sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung, panglima dalam pengepungan Batavia, dan pengawas pembangunan Imogiri menegaskan bahwa kekuasaan Jawa bukan hanya soal takhta, melainkan juga tentang jaringan keluarga, simbol, dan legitimasi spiritual. Warisannya tidak hanya berupa prestasi militer atau politik, tetapi juga melalui keturunan yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18. Melalui kisah Panembahan Juminah, kita melihat bahwa sejarah tidak hanya ditentukan oleh mereka yang duduk di atas takhta, tetapi juga oleh sosok-sosok yang berada di lingkar inti kekuasaan, yang memainkan peran strategis dalam menentukan arah politik, spiritualitas, dan nasib bangsa. Ia adalah simpul takdir yang mengukir garis sejarah Jawa, dari pedalaman Madiun hingga puncak Imogiri yang sakral.

 Panembahan Juminah: Panglima Anti-VOC dan Arsitek Spiritual Dinasti Mataram

Jawa pada awal abad ke-17 adalah kanvas intrik dan gema perlawanan. Dinasti Mataram, dengan ambisi hegemoninya, bergulat memantapkan kuasa di tengah riak politik daerah dan ancaman kolonialisme yang baru menancapkan kuku di Nusantara.



Di tengah pusaran takdir ini, seorang bangsawan mengukir jejaknya, bukan di atas singgasana utama, melainkan sebagai simpul yang mempertautkan tiga dunia: kadipaten pedalaman, keraton pusat Mataram, dan medan laga melawan Kompeni Belanda.


Dialah Panembahan Juminah, sosok yang lahir dari darah biru Madiun dan Mataram, dibesarkan dalam bayang-bayang ambisi Panembahan Senapati, dan kemudian menjadi salah satu kepercayaan utama Sultan Agung. Kisahnya adalah narasi tentang integrasi kekuasaan, dendam sejarah, spiritualitas Jawa, dan denyut perlawanan.


* Jejak Darah dan Simpul Dua Dinasti: Dari Retno Dumilah ke Juminah


Panembahan Juminah, terlahir sebagai Raden Mas Bagus, membawa warisan darah yang luar biasa. Ia adalah putra Panembahan Senapati, pendiri Mataram, dari permaisuri kedua, Raden Ayu Retno Dumilah.


Namun, siapa sang ibu? Retno Dumilah bukan sekadar permaisuri, melainkan putri sulung Pangeran Timur, Adipati Madiun I, penguasa yang menjadikan Madiun poros penting di Jawa Timur pedalaman. Pernikahan Senapati dan Retno Dumilah bukanlah asmara semata, melainkan sebuah pernikahan politik yang brilian: menyatukan trah Mataram yang sedang mengembang dengan darah bangsawan Madiun.


Ikatan ini melahirkan anak-anak yang kelak menempati posisi strategis di berbagai kadipaten penting. Bahkan, Retno Dumilah tampil di panggung militer, turut diboyong dalam penyerangan Senapati ke Pasuruan, simbol menyatunya darah “Brang Wetan” dengan ekspansi politik Mataram.


Garis darah Raden Mas Bagus semakin kaya ketika ditarik ke atas, ke kakeknya dari pihak ibu, Pangeran Timur, yang terlahir sebagai Pangeran Maskumambang. Ia adalah putra bungsu Sultan Trenggono, raja Kesultanan Demak, dari permaisuri Kanjeng Ratu Pembayun—putri Sunan Kalijaga dengan Siti Zaenab, putri Syekh Siti Jenar.Dari jalur ini, tampak jelas Panembahan Juminah mewarisi kebangsawanan ganda: trah para wali melalui Sunan Kalijaga, dan trah raja-raja Islam awal Jawa melalui Kesultanan Demak. Sebuah legitimasi politik sekaligus spiritual yang tak tertandingi.


Pangeran Maskumambang, yang kemudian bergelar Panembahan Mas atau Panembahan Timur, diangkat sebagai Bupati Madiun oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Pajang.


Penunjukan ini diperkuat ikatan keluarga: kakaknya, Kanjeng Ratu Mas Cempaka, adalah permaisuri Sultan Pajang. Namun, hegemoninya tak berlangsung abadi. Ketika Pajang melemah, Mataram bergerak. Perlawanan rakyat Madiun terhadap Mataram, yang dikenang dalam tarian rakyat “Bedhah Madiun,” akhirnya takluk, dan Madiun diintegrasikan ke dalam Mataram melalui pernikahan politik antara Senapati dan Retno Dumilah.


* Madiun, Takhta Muda, dan Strategi Mataram


Setelah Madiun resmi jatuh, Mataram menempatkan putra-putra Retno Dumilah sebagai bupati. Sebuah strategi cerdas untuk mengikat loyalitas. Pertama, Raden Mas Julig menjadi Raden Tumenggung Pringgalaya (1595–1601).


Kemudian, giliran Raden Mas Bagus, yang setelah dewasa bergelar Pangeran Balitar I, diangkat sebagai Bupati Madiun dengan gelar Adipati Juminah (1601–1613). Meskipun sempat digadang-gadang sebagai calon penerus takhta Mataram, takdir politik menempatkannya di Madiun.


Uniknya, mereka diangkat saat masih berusia belia, sehingga diperlukan pengasuh atau wali pemerintahan. Peran ini dipercayakan kepada Raden Mas Bagus Pethak, putra Pangeran Mangkubumi, kakak Panembahan Senapati, yang bahkan tercatat dalam dokumen Pemerintah Kabupaten Madiun sebagai Bupati Mangkunegara I (1601–1613).


Fenomena ini menyingkap mekanisme Mataram: memadukan legitimasi darah biru dengan mekanisme pengawasan internal keluarga, menempatkan anak-anak Senapati di wilayah strategis, tetapi tetap dalam pengawalan tokoh senior dari lingkaran istana.


* Di Lingkar Dalam Sultan Agung: Penasihat dan Panglima


Tahun 1613 menjadi titik balik. Susuhunan Hanyakrawati, putra Senapati, wafat, membuka jalan bagi putranya, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1646), untuk naik takhta.


Pada masa inilah Adipati Juminah dipanggil ke istana pusat. Ia diberi posisi penting sebagai penasihat raja. Laporan De Haen, seorang utusan Belanda yang berkunjung ke Mataram, mencatat bahwa Sultan Agung tidak mengambil keputusan penting tanpa meminta nasihat para sesepuh yang dituakan, termasuk Pangeran Adipati Juminah, Pangeran Puger, dan Pangeran Purbaya.


Ini menegaskan posisi Juminah bukan sekadar pejabat administratif, melainkan bagian dari lingkaran dalam penentu arah kerajaan.


Awal kekuasaan Sultan Agung diwarnai gejolak besar. Pada 1617, meletus pemberontakan di Pajang yang dipimpin Pangeran Benawa II, cucu Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).


Benawa II, yang merasa mewarisi legitimasi Demak–Pajang, mengangkat senjata. Sultan Agung mengutus Pangeran Adipati Juminah bersama para pembesar Mataram memimpin pasukan. Kehadiran Juminah memberi legitimasi sekaligus kekuatan moral bagi bala Mataram.


Pertempuran berakhir dengan kekalahan Pajang, Benawa II melarikan diri, dan wilayah Pajang dihancurkan. Kisah Benawa II adalah potret aristokrat pewaris Jaka Tingkir yang tersingkir, namun namanya tetap hidup dalam ingatan lokal sebagai pangeran yang kalah, tetapi tidak hilang.


Tidak hanya Pajang, tahun 1619 Mataram juga menghadapi pemberontakan Adipati Tuban. Sumber Jawa dan Belanda menyebut keterlibatan Pangeran Juminah dalam menumpas pemberontakan ini, serta dalam menghadapi perlawanan orang Sunda.

Pola yang tampak adalah konsolidasi kekuasaan Sultan Agung dengan mengandalkan jaringan bangsawan trah Senapati-Retno Dumilah untuk memukul balik daerah yang mencoba melepaskan diri.


* Bayangan Perang: Dari Batavia hingga Pengkhianatan


Namun, puncak peran politik dan militer Juminah terlihat ketika Mataram berhadapan dengan Kompeni Belanda di Batavia. Pada 1628, Sultan Agung mengirim ribuan pasukan untuk mengepung Batavia, berambisi mengusir Belanda dari Jawa.


Serangan pertama gagal. Setahun kemudian, pada 1629, serangan kedua dilancarkan. Kali ini, Pangeran Adipati Juminah mendapat peran penting sebagai salah satu pemimpin pasukan, bersama Tumenggung Singaranu dan Pangeran Mangkubumi.


Sayangnya, sejarah mencatat pahit: serangan kedua pun gagal. Pengkhianatan di dalam barisan membuat pasukan tercerai-berai. Banyak panglima yang pulang dihukum mati oleh Sultan Agung, dianggap gagal menjaga wibawa kerajaan.


Van Goens dan De Graaf mencatat pemancungan Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Namun, berbeda dengan banyak panglima lain, Juminah selamat dari hukuman. Kedudukannya yang istimewa sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung (karena ia adalah suami kedua Ratu Mas Hadi, ibunda Sultan Agung) membuat posisinya tak tergantikan.


Hal ini menunjukkan peran strategis Juminah sebagai simbol loyalitas keluarga Senapati terhadap proyek besar Sultan Agung: menyingkirkan VOC dari tanah Jawa.


* Imogiri: Makam Para Raja dan Simbol Kebangkitan Spiritual


Kegagalan mengusir VOC menorehkan luka politik yang dalam. Sultan Agung harus segera memulihkan kewibawaannya. Salah satu langkah simbolik yang ditempuh adalah pembangunan kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.


Menurut Babad Alit, proyek besar ini dipercayakan kepada dua tokoh utama: Panembahan Juminah dan Pangeran Balitar. Pembangunan dimulai sekitar 1629–1630, bertepatan dengan masa sulit pasca kegagalan ekspedisi militer ke Batavia.Dalam kosmologi politik Jawa, makam raja bukan sekadar tempat peristirahatan, melainkan pusat spiritual yang mengikat legitimasi kekuasaan. Dengan menempatkan makam di bukit tinggi, Sultan Agung menghidupkan kembali tradisi Jawa-Hindu yang menempatkan raja sebagai figur sakral, penghubung dunia atas dan dunia leluhur.


Keputusan ini juga menandai pergeseran dari tradisi lama Mataram yang memakamkan raja-raja dekat Masjid Kotagede, mengikuti praktik Islam. Dengan Imogiri, Sultan Agung menggabungkan simbolisme Hindu-Jawa lama dengan spiritualitas Islam, memperkuat klaimnya sebagai raja dunia sekaligus raja gaib.


Panembahan Juminah, atau Raden Mas Bagus Suratani, ditunjuk mengawasi pembangunan awal makam di Girilaya. Tugas ini sangat strategis, bukan sekadar administratif, tetapi juga penegasan perannya sebagai penghubung antara politik praktis dan spiritualitas dinasti.


Material terbaik dikerahkan, termasuk kayu wungle dari Palembang. Namun, sebelum proyek itu rampung, Juminah wafat pada tahun Jawa 1565 (sekitar 1643–1644 Masehi) dalam usia 52 tahun, dan dimakamkan di Bukit Girilaya atas perintah Sultan Agung.


Peristiwa ini menjadi titik balik penting: Sultan Agung kecewa karena bukan dirinya yang pertama dimakamkan di lokasi sakral itu. Kekecewaan ini mendorongnya membangun kompleks pemakaman baru di sebuah bukit yang lebih tinggi, yang kemudian dikenal sebagai Imogiri.


Sultan Agung wafat pada 1646 dan dimakamkan di Imogiri, yang sejak saat itu menjadi makam resmi raja-raja Mataram. Panembahan Juminah, meskipun wafat lebih awal, memainkan peran kunci dalam kelahiran salah satu situs paling sakral dalam sejarah Jawa. Makam Imogiri bukan hanya kuburan, melainkan monumen kosmologi politik Jawa: simbol perpaduan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi dinasti.


* Legasi yang Tak Pernah Padam: Genealogi Raja-Raja Jawa


Meski wafat lebih awal, warisan Juminah tidak hilang. Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Hadi, janda Panembahan Hanyakrawati sekaligus ibunda Sultan Agung, lahir keturunan yang menempati posisi penting dalam jaringan politik dan spiritual Jawa.


Dari garis keturunannya, muncul Pangeran Adipati Balitar yang menurunkan garis bangsawan Madiun, termasuk Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III (dimakamkan di Kuncen, Madiun) dan Pangeran Arya Balitar IV (dimakamkan di Astana Nitikan, Yogyakarta). Lebih jauh, dari Pangeran Balitar Tumapel III lahirlah Raden Ayu Puger yang kemudian bergelar Ratu Mas Blitar, permaisuri Sunan Pakubuwana I Kartasura.


Dari perkawinan Ratu Mas Blitar dengan Pakubuwana I, lahirlah Sunan Amangkurat IV, yang kemudian menjadi leluhur dinasti Mangkunegaran dan Pakualaman. Amangkurat IV adalah ayah dari Pangeran Mangkubumi, yang memproklamasikan diri sebagai Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta pada 1755. Salah satu putranya, Pangeran Notokusumo, mendirikan Kadipaten Pakualaman pada 1812.


Ratu Mas Blitar juga memiliki putra lain, Gusti Raden Mas Sudomo (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar), yang garis keturunannya menyambung ke Raden Ayu Wulan, ibu dari Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran.


Dengan demikian, darah Panembahan Juminah mengalir dalam trah istana Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman hingga abad ke-18 dan seterusnya. Ratu Mas Blitar, cucunya, menjadi poros genealogis yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18, menjadikannya leluhur bagi dinasti-dinasti besar Jawa yang kita kenal hari ini.


* Epilog: Cermin Jawa yang Berjuang


Panembahan Juminah bukanlah raja yang memerintah sendiri, tetapi jejak hidupnya menyingkap kompleksitas politik, militer, dan spiritual Jawa abad ke-17. Ia adalah cermin bagaimana kadipaten seperti Madiun diserap ke dalam tubuh kerajaan, bagaimana loyalitas keluarga menjadi alat legitimasi, dan bagaimana perang melawan VOC menjadi medan pengorbanan yang sarat simbolisme.


Perannya sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung, panglima dalam pengepungan Batavia, dan pengawas pembangunan Imogiri menegaskan bahwa kekuasaan Jawa bukan hanya soal takhta, melainkan juga tentang jaringan keluarga, simbol, dan legitimasi spiritual. Warisannya tidak hanya berupa prestasi militer atau politik, tetapi juga melalui keturunan yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18.


Melalui kisah Panembahan Juminah, kita melihat bahwa sejarah tidak hanya ditentukan oleh mereka yang duduk di atas takhta, tetapi juga oleh sosok-sosok yang berada di lingkar inti kekuasaan, yang memainkan peran strategis dalam menentukan arah politik, spiritualitas, dan nasib bangsa. Ia adalah simpul takdir yang mengukir garis sejarah Jawa, dari pedalaman Madiun hingga puncak Imogiri yang sakral.