21 August 2025

Ki Panjawi / Ki Ageng Gede Penjawi Ki Panjawi atau Ki Ageng Gede Penjawi adalah keturunan kelima dari Bhre Kertabhumi melalui garis ayahnya Ki Ageng Ngerang III, ibunya adalah Raden Ayu Panengah putri Sunan Kalijaga dari isteri putri Aria Dikara. Semasa anak-anak sampai dewasa Ki Panjawi menerima gemblengan ilmu keagamaan dan ilmu pemerintahan dari Sunan Kalijaga, Ki Panjawi juga mendapatkan bimbingan ilmu spiritual dari Nenek dan Kakek-buyutnya yang masih keturunan Sunan Ngadipala. Seperti halnya Sunan Kalijaga adalah anggota Walisongo yang dalam kegiatan lainnya menjadi Penasihat Raja/Kesultanan yang hidup di 3 generasi, Ki Penjawi juga selalu menjadi penasihat sahabat-sahabatnya yang juga kerabat dekatnya, seperti Ki Ageng Pamanahan maupun Ki Juru Martani, dan murid-muridnya, serta menjadi Penasehat dari menantunya yang juga adalah Raja Mataram, Panembahan Senopati. Ki Panjawi memilki putri yang bernama Putri Waskita Jawi yang menjadi Permaisuri dari Panembahan Senapati dengan gelar Kanjeng Ratu Mas, jadi Ki Penjawi juga disamping sebagai penasihat Panembahan Senapati besama-sama Ki Juru Martani dan Ki Ageng Pemanahan, ia juga mertua yang dihormati oleh Panembahan Senapati. Disclaimer: gambar hanya ilustrasi Karena keterbatasan literasi, sumber dan sejarah mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi dan mohon untuk dikoreksi Terimakasih. #sejarah #budaya #kerajaan #jawa #nusantara #raja #yogyakarta #mataramislamKi Panjawi / Ki Ageng Gede Penjawi Ki Panjawi atau Ki Ageng Gede Penjawi adalah keturunan kelima dari Bhre Kertabhumi melalui garis ayahnya Ki Ageng Ngerang III, ibunya adalah Raden Ayu Panengah putri Sunan Kalijaga dari isteri putri Aria Dikara. Semasa anak-anak sampai dewasa Ki Panjawi menerima gemblengan ilmu keagamaan dan ilmu pemerintahan dari Sunan Kalijaga, Ki Panjawi juga mendapatkan bimbingan ilmu spiritual dari Nenek dan Kakek-buyutnya yang masih keturunan Sunan Ngadipala. Seperti halnya Sunan Kalijaga adalah anggota Walisongo yang dalam kegiatan lainnya menjadi Penasihat Raja/Kesultanan yang hidup di 3 generasi, Ki Penjawi juga selalu menjadi penasihat sahabat-sahabatnya yang juga kerabat dekatnya, seperti Ki Ageng Pamanahan maupun Ki Juru Martani, dan murid-muridnya, serta menjadi Penasehat dari menantunya yang juga adalah Raja Mataram, Panembahan Senopati. Ki Panjawi memilki putri yang bernama Putri Waskita Jawi yang menjadi Permaisuri dari Panembahan Senapati dengan gelar Kanjeng Ratu Mas, jadi Ki Penjawi juga disamping sebagai penasihat Panembahan Senapati besama-sama Ki Juru Martani dan Ki Ageng Pemanahan, ia juga mertua yang dihormati oleh Panembahan Senapati. Disclaimer: gambar hanya ilustrasi Karena keterbatasan literasi, sumber dan sejarah mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi dan mohon untuk dikoreksi Terimakasih. #sejarah #budaya #kerajaan #jawa #nusantara #raja #yogyakarta #mataramislam

 Ki Panjawi / Ki Ageng Gede Penjawi


Ki Panjawi atau Ki Ageng Gede Penjawi adalah keturunan kelima dari Bhre Kertabhumi melalui garis ayahnya Ki Ageng Ngerang III, ibunya adalah Raden Ayu Panengah putri Sunan Kalijaga dari isteri putri Aria Dikara. Semasa anak-anak sampai dewasa Ki Panjawi menerima gemblengan ilmu keagamaan dan ilmu pemerintahan dari Sunan Kalijaga, Ki Panjawi juga mendapatkan bimbingan ilmu spiritual dari Nenek dan Kakek-buyutnya yang masih keturunan Sunan Ngadipala.


Seperti halnya Sunan Kalijaga adalah anggota Walisongo yang dalam kegiatan lainnya menjadi Penasihat Raja/Kesultanan yang hidup di 3 generasi, Ki Penjawi juga selalu menjadi penasihat sahabat-sahabatnya yang juga kerabat dekatnya, seperti Ki Ageng Pamanahan maupun Ki Juru Martani, dan murid-muridnya, serta menjadi Penasehat dari menantunya yang juga adalah Raja Mataram, Panembahan Senopati.


Ki Panjawi memilki putri yang bernama Putri Waskita Jawi yang menjadi Permaisuri dari Panembahan Senapati dengan gelar Kanjeng Ratu Mas, jadi Ki Penjawi juga disamping sebagai penasihat Panembahan Senapati besama-sama Ki Juru Martani dan Ki Ageng Pemanahan, ia juga mertua yang dihormati oleh Panembahan Senapati.




Disclaimer: gambar hanya ilustrasi Karena keterbatasan literasi, sumber dan sejarah mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi dan mohon untuk dikoreksi Terimakasih.


#sejarah #budaya #kerajaan #jawa

#nusantara #raja #yogyakarta #mataramislamKi Panjawi / Ki Ageng Gede Penjawi


Ki Panjawi atau Ki Ageng Gede Penjawi adalah keturunan kelima dari Bhre Kertabhumi melalui garis ayahnya Ki Ageng Ngerang III, ibunya adalah Raden Ayu Panengah putri Sunan Kalijaga dari isteri putri Aria Dikara. Semasa anak-anak sampai dewasa Ki Panjawi menerima gemblengan ilmu keagamaan dan ilmu pemerintahan dari Sunan Kalijaga, Ki Panjawi juga mendapatkan bimbingan ilmu spiritual dari Nenek dan Kakek-buyutnya yang masih keturunan Sunan Ngadipala.


Seperti halnya Sunan Kalijaga adalah anggota Walisongo yang dalam kegiatan lainnya menjadi Penasihat Raja/Kesultanan yang hidup di 3 generasi, Ki Penjawi juga selalu menjadi penasihat sahabat-sahabatnya yang juga kerabat dekatnya, seperti Ki Ageng Pamanahan maupun Ki Juru Martani, dan murid-muridnya, serta menjadi Penasehat dari menantunya yang juga adalah Raja Mataram, Panembahan Senopati.


Ki Panjawi memilki putri yang bernama Putri Waskita Jawi yang menjadi Permaisuri dari Panembahan Senapati dengan gelar Kanjeng Ratu Mas, jadi Ki Penjawi juga disamping sebagai penasihat Panembahan Senapati besama-sama Ki Juru Martani dan Ki Ageng Pemanahan, ia juga mertua yang dihormati oleh Panembahan Senapati.


Disclaimer: gambar hanya ilustrasi Karena keterbatasan literasi, sumber dan sejarah mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi dan mohon untuk dikoreksi Terimakasih.


#sejarah #budaya #kerajaan #jawa

#nusantara #raja #yogyakarta #mataramislam

Gambar tersebut menunjukkan upacara peletakan batu pertama kota Tel Aviv, Israel, pada tahun 1909. Latar Belakang: Tel Aviv didirikan di atas bukit pasir di luar kota kuno Jaffa pada tanggal 11 April 1909. Upacara: Upacara ini melibatkan 66 keluarga Yahudi yang berkumpul untuk mengundi kavling tanah mereka menggunakan kerang laut. Nama: Nama "Tel Aviv" yang berarti "bukit musim semi" dalam bahasa Ibrani, diusulkan oleh Nahum Sokolov dan terinspirasi dari terjemahan Ibrani buku "Altneuland" (Negara Lama Baru) karya Theodor Herzl.

 Gambar tersebut menunjukkan upacara peletakan batu pertama kota Tel Aviv, Israel, pada tahun 1909. 

Latar Belakang:

Tel Aviv didirikan di atas bukit pasir di luar kota kuno Jaffa pada tanggal 11 April 1909. 

Upacara:

Upacara ini melibatkan 66 keluarga Yahudi yang berkumpul untuk mengundi kavling tanah mereka men


ggunakan kerang laut. 

Nama:

Nama "Tel Aviv" yang berarti "bukit musim semi" dalam bahasa Ibrani, diusulkan oleh Nahum Sokolov dan terinspirasi dari terjemahan Ibrani buku "Altneuland" (Negara Lama Baru) karya Theodor Herzl.


Pada musim panas tahun 1975, seorang seniman muda India bernama Pradyumna Kumar, yang dikenal sebagai "PK," duduk di trotoar yang ramai di New Delhi, menggambar potret orang-orang asing dengan tangan bernoda arang. Gambar-gambarnya lebih dari sekadar garis; gambar-gambar itu mengandung emosi, seolah-olah ia mampu menangkap jiwa di balik setiap wajah. PK berasal dari salah satu kasta terendah di India, latar belakang yang seringkali membuat orang-orang seperti dirinya tak terlihat, namun dalam karya seninya, ia menemukan martabat sekaligus suara. Hari itu, takdir mempertemukannya dengan Charlotte von Schedvin, seorang perempuan Swedia dari keluarga bangsawan, yang rambut pirang dan matanya yang cemerlang tampak mencolok di antara kerumunan. Ia berhenti untuk mengamati karya-karyanya, terpikat oleh kelembutan yang mengalir dari goresan-goresannya, dan tak lama kemudian, hati mereka memulai percakapan yang lebih dalam daripada kata-kata. Dalam beberapa minggu, ikatan mereka berkembang menjadi pernikahan, yang dirayakan dengan ritual tradisional India di bawah langit terbuka New Delhi. Namun, hidup dengan cepat menguji cinta mereka. Charlotte harus kembali ke Swedia, hatinya tercabik-cabik oleh gagasan untuk meninggalkan PK. Ia memohon agar PK ikut dengannya, menawarkan untuk membelikannya tiket, tetapi PK menolak. Sebaliknya, PK berjanji dengan keyakinan yang tenang: "Aku akan datang kepadamu... dengan caraku sendiri. Tunggulah aku." Apa yang terjadi selanjutnya bukan sekadar perjalanan, melainkan legenda hidup pengabdian. Di awal tahun 1978, PK mengemas tas kecil, menaiki sepedanya, dan memulai pengembaraan yang luar biasa melintasi benua. Dengan sedikit uang, tanpa kemewahan, dan hanya alamat Charlotte yang tertulis di atas kertas, ia bersepeda melintasi Pakistan, Afghanistan, Iran, Turki, Yugoslavia, Jerman, dan Denmark. Ia bertahan hidup dengan jajanan kaki lima, sesekali beramal, dan dengan membuat sketsa potret untuk orang-orang asing agar cukup untuk melanjutkan hidup. Setiap mil adalah doa, setiap kesulitan adalah ujian cintanya, namun semangatnya tak pernah pudar. Setelah empat bulan yang melelahkan dan lebih dari 7.000 kilometer, PK tiba di depan pintu Charlotte di Swedia. Lelah namun penuh kemenangan, ia mengetuk pintu dengan tangan gemetar, dan ketika Charlotte membukanya, tak perlu kata-kata—pelukan mereka yang penuh air mata telah mengungkapkan segalanya. Tak lama kemudian, mereka menikah secara resmi, membangun keluarga, dan menjalani kehidupan sederhana namun penuh cinta bersama. PK menjadi seniman yang disegani dan anggota aktif masyarakat Swedia, tetapi pada hakikatnya, ia tetaplah pria yang percaya bahwa cinta dapat menaklukkan segala rintangan. Kisahnya dengan Charlotte menjadi bukti bahwa cinta sejati tak mengenal batas, kelas, atau jarak—bahwa ketika hati tulus, ia dapat mengubah ketidakmungkinan menjadi takdir.

 Pada musim panas tahun 1975, seorang seniman muda India bernama Pradyumna Kumar, yang dikenal sebagai "PK," duduk di trotoar yang ramai di New Delhi, menggambar potret orang-orang asing dengan tangan bernoda arang. Gambar-gambarnya lebih dari sekadar garis; gambar-gambar itu mengandung emosi, seolah-olah ia mampu menangkap jiwa di balik setiap wajah. PK berasal dari salah satu kasta terendah di India, latar belakang yang seringkali membuat orang-orang seperti dirinya tak terlihat, namun dalam karya seninya, ia menemukan martabat sekaligus suara. Hari itu, takdir mempertemukannya dengan Charlotte von Schedvin, seorang perempuan Swedia dari keluarga bangsawan, yang rambut pirang dan matanya yang cemerlang tampak mencolok di antara kerumunan. Ia berhenti untuk mengamati karya-karyanya, terpikat oleh kelembutan yang mengalir dari goresan-goresannya, dan tak lama kemudian, hati mereka memulai percakapan yang lebih dalam daripada kata-kata. Dalam beberapa minggu, ikatan mereka berkembang menjadi pernikahan, yang dirayakan dengan ritual tradisional India di bawah langit terbuka New Delhi.



Namun, hidup dengan cepat menguji cinta mereka. Charlotte harus kembali ke Swedia, hatinya tercabik-cabik oleh gagasan untuk meninggalkan PK. Ia memohon agar PK ikut dengannya, menawarkan untuk membelikannya tiket, tetapi PK menolak. Sebaliknya, PK berjanji dengan keyakinan yang tenang: "Aku akan datang kepadamu... dengan caraku sendiri. Tunggulah aku." Apa yang terjadi selanjutnya bukan sekadar perjalanan, melainkan legenda hidup pengabdian. Di awal tahun 1978, PK mengemas tas kecil, menaiki sepedanya, dan memulai pengembaraan yang luar biasa melintasi benua. Dengan sedikit uang, tanpa kemewahan, dan hanya alamat Charlotte yang tertulis di atas kertas, ia bersepeda melintasi Pakistan, Afghanistan, Iran, Turki, Yugoslavia, Jerman, dan Denmark. Ia bertahan hidup dengan jajanan kaki lima, sesekali beramal, dan dengan membuat sketsa potret untuk orang-orang asing agar cukup untuk melanjutkan hidup. Setiap mil adalah doa, setiap kesulitan adalah ujian cintanya, namun semangatnya tak pernah pudar.


Setelah empat bulan yang melelahkan dan lebih dari 7.000 kilometer, PK tiba di depan pintu Charlotte di Swedia. Lelah namun penuh kemenangan, ia mengetuk pintu dengan tangan gemetar, dan ketika Charlotte membukanya, tak perlu kata-kata—pelukan mereka yang penuh air mata telah mengungkapkan segalanya. Tak lama kemudian, mereka menikah secara resmi, membangun keluarga, dan menjalani kehidupan sederhana namun penuh cinta bersama. PK menjadi seniman yang disegani dan anggota aktif masyarakat Swedia, tetapi pada hakikatnya, ia tetaplah pria yang percaya bahwa cinta dapat menaklukkan segala rintangan. Kisahnya dengan Charlotte menjadi bukti bahwa cinta sejati tak mengenal batas, kelas, atau jarak—bahwa ketika hati tulus, ia dapat mengubah ketidakmungkinan menjadi takdir.

Ini adalah Potret Keraton Kasepuhan Cirebon, Tahun 1920an. Tampak didepan Pintu Bentar ada dua orang kemungkinan satu abdi dalem dan satunya lagi Noni Belanda. Tampak juga ada dua meriam di depan gapura itu.

 Ini adalah Potret Keraton Kasepuhan Cirebon, Tahun 1920an. Tampak didepan Pintu Bentar ada dua orang kemungkinan satu abdi dalem dan satunya lagi Noni Belanda. Tampak juga ada dua meriam di depan gapura itu.




Letjen Hendrik Merkus de Kock Otak dibalik Perang Jawa dan Penangkapan Pangeran Diponegoro Di balik gemuruh Perang Jawa (1825–1830), nama Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock muncul sebagai tokoh yang menentukan arah pertempuran. Ia bukan sekadar prajurit biasa, melainkan otak strategi militer Belanda yang mampu mengubah jalannya perang melawan Pangeran Diponegoro. Dengan dingin dan penuh perhitungan, de Kock menerapkan strategi Benteng Stelsel. Puluhan hingga ratusan benteng kecil dibangun di setiap jalur gerakan Diponegoro, menutup akses logistik, mengisolasi pasukan, dan perlahan-lahan mematahkan semangat juang rakyat Jawa. Strategi ini membuat perang yang semula bergerak cepat berubah menjadi perang yang melelahkan dan mematikan. Namun kemenangan Belanda bukan tanpa harga. Tanah Jawa memerah oleh darah. Lebih dari 200 ribu jiwa rakyat Jawa gugur—bukan hanya karena peluru, tapi juga akibat kelaparan dan wabah penyakit yang merajalela. Perang Jawa meninggalkan luka yang mendalam bagi bangsa ini, sebuah luka yang sampai kini masih dikenang sebagai salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Nusantara. Puncaknya terjadi pada tahun 1830. De Kock memimpin perundingan di Magelang yang berujung pada penangkapan Pangeran Diponegoro dengan tipu daya. Momen itu menjadi titik akhir perlawanan besar-besaran rakyat Jawa, sekaligus awal dari semakin kuatnya cengkeraman kolonial di tanah air. Bagi Belanda, de Kock diagungkan dan diberi gelar kehormatan Baron. Namun bagi rakyat Jawa, namanya tercatat sebagai simbol kelicikan kolonial, seorang jenderal yang kemenangannya dibayar dengan penderitaan jutaan jiwa. Tulisan ini disusun berdasarkan sumber sejarah yang ada. Namun, mengingat luasnya peristiwa dan banyaknya versi penuturan, mohon maaf jika terdapat kekeliruan. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk meluruskan dan memperkaya pemahaman sejarah bersama. #SejarahIndonesia #PerangJawa #PangeranDiponegoro #HendrikMerkusDeKock #Kolonialisme #SejarahNusantara #LukaSejarah #LiterasiSejarah

 Letjen Hendrik Merkus de Kock 

Otak dibalik Perang Jawa dan Penangkapan 

Pangeran Diponegoro


Di balik gemuruh Perang Jawa (1825–1830), nama Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock muncul sebagai tokoh yang menentukan arah pertempuran. Ia bukan sekadar prajurit biasa, melainkan otak strategi militer Belanda yang mampu mengubah jalannya perang melawan Pangeran Diponegoro.



Dengan dingin dan penuh perhitungan, de Kock menerapkan strategi Benteng Stelsel. Puluhan hingga ratusan benteng kecil dibangun di setiap jalur gerakan Diponegoro, menutup akses logistik, mengisolasi pasukan, dan perlahan-lahan mematahkan semangat juang rakyat Jawa. Strategi ini membuat perang yang semula bergerak cepat berubah menjadi perang yang melelahkan dan mematikan.


Namun kemenangan Belanda bukan tanpa harga. Tanah Jawa memerah oleh darah. Lebih dari 200 ribu jiwa rakyat Jawa gugur—bukan hanya karena peluru, tapi juga akibat kelaparan dan wabah penyakit yang merajalela. Perang Jawa meninggalkan luka yang mendalam bagi bangsa ini, sebuah luka yang sampai kini masih dikenang sebagai salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Nusantara.


Puncaknya terjadi pada tahun 1830. De Kock memimpin perundingan di Magelang yang berujung pada penangkapan Pangeran Diponegoro dengan tipu daya. Momen itu menjadi titik akhir perlawanan besar-besaran rakyat Jawa, sekaligus awal dari semakin kuatnya cengkeraman kolonial di tanah air.


Bagi Belanda, de Kock diagungkan dan diberi gelar kehormatan Baron. Namun bagi rakyat Jawa, namanya tercatat sebagai simbol kelicikan kolonial, seorang jenderal yang kemenangannya dibayar dengan penderitaan jutaan jiwa.


Tulisan ini disusun berdasarkan sumber sejarah yang ada. Namun, mengingat luasnya peristiwa dan banyaknya versi penuturan, mohon maaf jika terdapat kekeliruan. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk meluruskan dan memperkaya pemahaman sejarah bersama.


Sumber : Tri Pawiro Mintardjo

#SejarahIndonesia #PerangJawa #PangeranDiponegoro #HendrikMerkusDeKock #Kolonialisme #SejarahNusantara #LukaSejarah #LiterasiSejarah

WANITA PEJUANG YANG TERKENA SIFILIS ( RAJA SINGA ) Perempuan penghibur pernah dijadikan senjata biologis oleh pejuang Indonesia kala itu. Hujan Darah di Langit Semarang tahun 1947 mengungkap tabir mengisahkan seorang tokoh bernama Ratna, merekrut perempuan perempuan penghibur untuk menyebarkan penyakit kelamin pada serdadu Belanda yang kesepian. Kala itu strategi ini harus digunakan karena sejarah mencatat bahwa pasukan Belanda kala itu memang lebih unggul dalam segala macam persenjataan. Selain senjata fisik, para petinggi militer kala itu merekrut banyak perempuan penghibur, merayu, mendengar, bahkan menebar penyakit menular kepada serdadu lawan? Awal nya ide ini ditentang dan dianggap gila, tapi justru itu yang membuat Belanda mulai mengalami tekanan hebat. Novel ini hadir mencatat fakta sejarah, bacaan yang dianggap berbahaya bagi sebagian orang. Novel ini tidak hanya menceritakan, akan tetapi memberitahu fakta yang sesungguhnya. Setiap lembarnya membuat kamu tidak akan bisa berhenti menelusuri, setiap jejak kata dan jumlah bab novel ini bukan hanya cerita tapi juga sebuah potongan sejarah yang tersembunyi. Setiap dialog akan membuatmu seakan mendengar kembali suara perempuan di masa lalu, bahwa kemerdekaan tidak hanya direbut dengan senjata, tetapi juga dengan tubuh para perempuan yang dianggap hina. Jangan sekedar membaca sejarah di buku teks. Rasakan denyut nadi bangsa di jalanan Semarang tahun 1947, di mana darah, dan dendam bercampur jadi satu. Novel ini bukan hanya untuk dibaca, ia wajib kamu miliki, agar kamu tak pernah lupa bahwa kemerdekaan lahir dari cerita-cerita yang berlumur darah dan rahasia perjuangan di masa lalu. Novel ini berjudul 1947, HUJAN DARAH DI LANGIT SEMARANG. Bisa kamu beli novel digitalnya hanya 25 ribu atau bisa dibaca sampai tamat di sini 👇 https://read.kbm.id/book/detail/846d3c42-8388-412c-be37-14b88edc3ba8

 WANITA PEJUANG YANG TERKENA SIFILIS ( RAJA SINGA ) 


Perempuan penghibur pernah dijadikan senjata biologis oleh pejuang Indonesia kala itu.



Hujan Darah di Langit Semarang tahun 1947 mengungkap tabir mengisahkan  seorang tokoh bernama Ratna, merekrut perempuan perempuan penghibur untuk menyebarkan penyakit kelamin pada serdadu Belanda yang kesepian.


Kala itu strategi ini harus digunakan karena sejarah mencatat bahwa pasukan Belanda kala itu memang lebih unggul dalam segala macam persenjataan. Selain senjata fisik, para petinggi militer kala itu merekrut banyak perempuan penghibur, merayu, mendengar, bahkan menebar penyakit menular kepada serdadu lawan? Awal nya ide ini ditentang dan dianggap gila, tapi justru itu yang membuat Belanda  mulai mengalami tekanan hebat.


Novel ini hadir mencatat fakta sejarah, bacaan yang dianggap berbahaya bagi sebagian orang. Novel ini tidak hanya menceritakan, akan tetapi memberitahu fakta yang sesungguhnya. 

Setiap lembarnya membuat  kamu tidak akan bisa berhenti menelusuri, setiap jejak kata dan jumlah bab novel ini bukan hanya cerita tapi juga sebuah potongan sejarah yang tersembunyi. Setiap dialog akan membuatmu seakan  mendengar kembali suara perempuan di masa lalu, bahwa kemerdekaan tidak hanya direbut dengan senjata, tetapi juga dengan tubuh para perempuan yang dianggap hina.


Jangan sekedar membaca sejarah di buku teks. Rasakan denyut nadi bangsa di jalanan Semarang tahun 1947, di mana darah, dan dendam bercampur jadi satu.

Novel ini bukan hanya untuk dibaca, ia wajib kamu miliki, agar kamu tak pernah lupa bahwa kemerdekaan lahir dari cerita-cerita yang berlumur darah dan rahasia perjuangan di masa lalu.


 

Novel ini berjudul 1947, HUJAN DARAH DI LANGIT SEMARANG. Bisa kamu beli novel digitalnya hanya 25 ribu atau bisa dibaca sampai tamat di sini 👇 


https://read.kbm.id/book/detail/846d3c42-8388-412c-be37-14b88edc3ba8

Pandangan Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan jurnalisnya pada majalah 'Tentara Keamanan Rakyat' edisi pertama 10 Januari 1946 tentang 'Arti Perkataan Merdeka !'

 Pandangan Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan jurnalisnya pada majalah 'Tentara Keamanan Rakyat' edisi pertama 10 Januari 1946 tentang 'Arti Perkataan Merdeka !'



20 August 2025

Perbandingan Suasana Jalan Alun Alun Utara Magelang Pasa Tahun 1930 Dan Tahun 2022

 Perbandingan Suasana Jalan Alun Alun Utara Magelang Pada Tahun 1930 Dan Tahun 2022



19 August 2025

Pemuda Wikana punya peran sentral saat proklamasi: desak Sukarno-hatta, bujuk tentara Jepang supaya tak ganggu jalannya upacaya; hilang tak jelas pasca-1965 Selain mendesak Bung Karno-Bung Hatta segera membacakan proklamasi, Wikana juga mengatur dan menyiakan segala kebutuhan pembacaan proklamasi. Berkat Wikana yang memiliki koneksi dengan Angkatan Laut Jepang (Kaigun), proses penyusunan proklamasi bisa dilakukan di rumah Laksamana Maeda di Menteng, begitu Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Begitu naskah proklamasi selesai disusun dan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, keesokan harinya, pada 17 Agustus 1945, upacara kemerdekaan dilaksanakan. Kabarnya, Wikana juga sangat tegang ketika tahu Bung Karno sakit malaria parah pagi itu menjelang detik-detik Proklamasi. Wikana juga membujuk kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Setelah Indonesia merdeka, Wikana ditunjuk sebagai Menteri Negara Urusan Kepemudaan dalam Kabinet Sjahrir I dan II periode 1945-1946. Karier Wikana mulai meredup pasca Madiun 1948. Setelah peristiwa itu, dia bersama para tokoh kiri lainnya menghilang dan baru muncul lagi setelah Aidit bersama Lukman dan Njoto menghidupkan kembali PKI pada awal 1950-an. Setelah G30S 1965, dia ditangkap tentara dan nasibnya tak jelas hingga sekarang. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034286580/wikana-pemuda-ngotot-yang-desak-sukarno-hatta-segera-baca-proklamasi-nasibnya-tak-jelas-pasca-1965 #wikana #proklamasi #golongamuda #pki

 Pemuda Wikana punya peran sentral saat proklamasi: desak Sukarno-hatta, bujuk tentara Jepang supaya tak ganggu jalannya upacaya; hilang tak jelas pasca-1965



Selain mendesak Bung Karno-Bung Hatta segera membacakan proklamasi, Wikana juga mengatur dan menyiakan segala kebutuhan pembacaan proklamasi. Berkat Wikana yang memiliki koneksi dengan Angkatan Laut Jepang (Kaigun), proses penyusunan proklamasi bisa dilakukan di rumah Laksamana Maeda di Menteng, begitu Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta.


Begitu naskah proklamasi selesai disusun dan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, keesokan harinya, pada 17 Agustus 1945, upacara kemerdekaan dilaksanakan. Kabarnya, Wikana juga sangat tegang ketika tahu Bung Karno sakit malaria parah pagi itu menjelang detik-detik Proklamasi.


Wikana juga membujuk kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Setelah Indonesia merdeka, Wikana ditunjuk sebagai Menteri Negara Urusan Kepemudaan dalam Kabinet Sjahrir I dan II periode 1945-1946.


Karier Wikana mulai meredup pasca Madiun 1948. Setelah peristiwa itu, dia bersama para tokoh kiri lainnya menghilang dan baru muncul lagi setelah Aidit bersama Lukman dan Njoto menghidupkan kembali PKI pada awal 1950-an. Setelah G30S 1965, dia ditangkap tentara dan nasibnya tak jelas hingga sekarang.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034286580/wikana-pemuda-ngotot-yang-desak-sukarno-hatta-segera-baca-proklamasi-nasibnya-tak-jelas-pasca-1965


#wikana #proklamasi #golongamuda #pki

PERAN "FIGURAN" DALAM LAKON PROKLAMASI.... SYAHRUDIN PENGABAR PROKLAMASI PERTAMA MELALUI TELEGRAF! Hari sudah beranjak sore.....para pekerja Jepang di kantor berita " Domei" Jakarta mulai turun ke bawah untuk makan dan Istirahat. Syahrudin sendiri adalah salah satu pribumi yang bekerja sebagai telegrafis di kantor berita bentukan Tentara Dai Nipon ini, ia terlihat masih "sibuk" atau memang sibuk. Pekerja Jepang sudah turun semua hanya Syahrudin sendiri di ruang itu. Sambil matanya awas menatap sekeliling ia tetap pada kesibukannya... Ya Syahrudin diam diam mengirim kawat telegraf ke seluruh Indonesia mengabarkan bahwa Indonesia telah diprokamirkan hari ini. Ya hari itu tanggal 17 Agustus 1945 jam 16:00 dengan diam diam dan tentu sangat beresiko.... Syahrudin mengambil inisiatif untuk mengabarkan kemerdekaan Indonesia. Tindakan yang sangat berani kalo tidak bisa di bilang konyol...Syahrudin tahu betul resiko nya adalah nyawa bila ia ketahuan melakukan itu. Sejarah akhirnya mencatat bahwa Syahrudin lah orang pertama yang mengabarkan melalui telegraf tentang kemerdekaan Indonesia. Sampai kini jarang orang tahu mengenai jasa nya.... Sumber : Beny Rusmawan, Sejarah Nusantara

 PERAN "FIGURAN" DALAM LAKON PROKLAMASI....


SYAHRUDIN PENGABAR PROKLAMASI PERTAMA MELALUI TELEGRAF! 



Hari sudah beranjak sore.....para pekerja Jepang di kantor berita " Domei" Jakarta mulai turun ke bawah untuk makan dan Istirahat.


Syahrudin sendiri adalah salah satu pribumi yang bekerja sebagai telegrafis di kantor berita bentukan Tentara Dai Nipon ini, ia terlihat masih "sibuk" atau memang sibuk.


Pekerja Jepang sudah turun semua hanya Syahrudin sendiri di ruang itu.


Sambil matanya awas menatap sekeliling ia tetap pada kesibukannya... Ya Syahrudin diam diam mengirim kawat telegraf ke seluruh Indonesia mengabarkan bahwa Indonesia telah diprokamirkan hari ini.


Ya hari itu tanggal 17 Agustus 1945 jam 16:00 dengan diam diam dan tentu sangat beresiko.... Syahrudin mengambil inisiatif untuk mengabarkan kemerdekaan Indonesia. 


Tindakan yang sangat berani kalo tidak bisa di bilang konyol...Syahrudin tahu betul resiko nya adalah nyawa bila ia ketahuan melakukan itu.


Sejarah akhirnya mencatat bahwa Syahrudin lah orang pertama yang mengabarkan melalui telegraf tentang kemerdekaan Indonesia. 


Sampai kini jarang orang tahu mengenai jasa nya....


Sumber : Beny Rusmawan, Sejarah Nusantara

H.Mutahar dan Kecintaannya kepada NKRI Sayyid Husein Bin Salim Bin Ahmad Al Muthahar atau yg lebih dikenal dg nama H.Mutahar ini dilahirkan pada 5 Agustus 1916 di Jl Petekan / Petek Kp Geni Semarang. Walau berdarah arab, dada H Mutahar sudah merah putih sejak usia muda, ia terlibat aktif diantara kalangan nasionalis berdarah arab. H Mutahar sudah ikut organisasi pemuda keturunan Arab di semarang ,Wihdatul Syubban Islamiyyah ( Persatuan Pemuda Islam ) dan kemudian ikut bergabung ke gerakan Persatuan Arab Indonesia ( PAI ) yang didirikan AR.Baswedan di Semarang pada tahun 1934. Boleh jadi bila bukan karena peran H.Mutahar, bendera pusaka Merah Putih tidak akan pernah berkibar kembali dan dikibarkan dalam setiap peringatan hari kemerdekaan sejak 17 Agustus 1946. Kelak setelah kondisinya semakin rapuh karena usia, bendera pusaka itu menjadi pengiring pasukan pengibar bendera dalam setiap acara peringatan HUT RI di Istana Negara sampai sekarang. Ia adalah tokoh penyelamat bendera pusaka yang di jahit oleh Ibu Fatmawati dan dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.Di pundaknyalah, tugas terberat untuk menjaga keselamatan bendera pusaka dipikul. Dan dengan seluruh jerih payahnya, akhirnya bendera pusaka selamat dari tangan kotor para penjajah, hingga generasi kita masih dapat menjumpainya yang kini disimpan dalam ruang khusus di Istana Negara Kepresidenan RI Jakarta. Sebagai salah seorang ajudan Presiden Sukarno, H.Mutahar mendapatkan tugas menyiapkan dan menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1946 di Istana. Beliau penggagas Paskibraka dan Pendiri Pramuka,Tokoh Peranakan Arab yang menjadi bagian pergerakan kemerdekaan Negeri ini, juga menciptakan lagu-lagu Nasional diantaranya yang kita nyanyikan setiap Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yakni lagu Hari Merdeka ( 17 Agustus) serta satu buah lagu pengungkapan rasa syukur diberikannya kemerdekaan oleh Tuhan YME yaitu lagu yg berjudul Syukur... Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 80 Merdeka..Merdeka..Merdeka 🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩 Sumber : Sejarah Nusantara

 

H.Mutahar dan Kecintaannya kepada NKRI

Sayyid Husein Bin Salim Bin Ahmad Al Muthahar atau yg lebih dikenal dg nama H.Mutahar ini dilahirkan pada 5 Agustus 1916 di Jl Petekan / Petek Kp Geni Semarang.
Walau berdarah arab, dada H Mutahar sudah merah putih sejak usia muda, ia terlibat aktif diantara kalangan nasionalis berdarah arab. H Mutahar sudah ikut organisasi pemuda keturunan Arab di semarang ,Wihdatul Syubban Islamiyyah ( Persatuan Pemuda Islam ) dan kemudian ikut bergabung ke gerakan Persatuan Arab Indonesia ( PAI ) yang didirikan AR.Baswedan di Semarang pada tahun 1934.

Boleh jadi bila bukan karena peran H.Mutahar, bendera pusaka Merah Putih tidak akan pernah berkibar kembali dan dikibarkan dalam setiap peringatan hari kemerdekaan sejak 17 Agustus 1946. Kelak setelah kondisinya semakin rapuh karena usia, bendera pusaka itu menjadi pengiring pasukan pengibar bendera dalam setiap acara peringatan HUT RI di Istana Negara sampai sekarang. Ia adalah tokoh penyelamat bendera pusaka yang di jahit oleh Ibu Fatmawati dan dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.Di pundaknyalah, tugas terberat untuk menjaga keselamatan bendera pusaka dipikul. Dan dengan seluruh jerih payahnya, akhirnya bendera pusaka selamat dari tangan kotor para penjajah, hingga generasi kita masih dapat menjumpainya yang kini disimpan dalam ruang khusus di Istana Negara Kepresidenan RI Jakarta.

Sebagai salah seorang ajudan Presiden Sukarno, H.Mutahar mendapatkan tugas menyiapkan dan menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1946 di Istana. Beliau penggagas Paskibraka dan Pendiri Pramuka,Tokoh Peranakan Arab yang menjadi bagian pergerakan kemerdekaan Negeri ini, juga menciptakan lagu-lagu Nasional diantaranya yang kita nyanyikan setiap Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yakni lagu Hari Merdeka ( 17 Agustus) serta satu buah lagu pengungkapan rasa syukur diberikannya kemerdekaan oleh Tuhan YME yaitu lagu yg berjudul Syukur...





Selamat Hari Kemerdekaan
Republik Indonesia ke 80
Merdeka..Merdeka..Merdeka
🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
Sumber : Sejarah Nusantara

R.M. Dipoatmaja: Putra Diponegoro yang Memimpin Perang Jawa di Pacitan dan Madiun Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perlawanan seorang pangeran yang merasa haknya dirampas, melainkan perang yang berakar pada ketidakadilan kolonial, penindasan, dan kemerosotan legitimasi Kesultanan Yogyakarta di bawah kendali Belanda. Salah satu tokoh yang memainkan peran penting dalam perang ini adalah Raden Mas Dipoatmaja, juga dikenal sebagai R.M. Dipokusumo atau Pangeran Abdul Aziz, putra kedua Pangeran Diponegoro dari Retno Madubrongto. Lahir pada tahun 1805, ia sudah cukup dewasa ketika Perang Jawa pecah dan menjadi salah satu pemimpin pasukan Diponegoro di kawasan Pacitan dan Madiun. Ketika perang pecah pada 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya melakukan serangkaian serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda. Di wilayah Pacitan, perang dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat, dan Ahmad Aris, dengan R.M. Dipoatmaja sebagai salah satu tokoh yang turut serta dalam pertempuran. * Pewaris Darah Ksatria dan Ulama Lahir pada tahun 1805, Raden Mas Dipoatmaja, yang juga dikenal sebagai R.M. Dipokusumo atau Pangeran Abdul Aziz, adalah putra kedua Pangeran Diponegoro dari pernikahannya dengan Raden Ayu Retno Madubrongto. Ibunya adalah seorang guru agama, putri dari Kiai Gede Dadapan, seorang kepala Pathok Negara di Dadapan, Sleman. Dari garis keturunan ini, Dipoatmaja mewarisi dua hal sekaligus: darah seorang ulama dari pihak ibunya dan darah ksatria pejuang dari pihak ayahnya. Ayahnya, Pangeran Diponegoro, adalah tokoh yang sangat religius, melihat dirinya bukan sekadar pangeran pewaris takhta, tetapi juga pemimpin spiritual yang berjuang untuk menegakkan nilai-nilai Islam dan keadilan di Tanah Jawa. Kombinasi antara pendidikan keagamaan dan tradisi keprajuritan aMadubrongto bukan sekadar istri pertama Pangeran Diponegoro, tetapi juga seorang wanita yang memiliki kedalaman spiritual dan keturunan dari garis ulama terkemuka. Ia adalah putri kedua dari Kiai Gede Dadapan, seorang pemuka agama yang menjadi kepala Pathok Negara Dadapan di Sleman, sebuah lembaga keagamaan yang memiliki peran penting dalam sistem keislaman di Kesultanan Yogyakarta. Sebagai seorang guru agama, Raden Ayu Retno Madubrongto tumbuh dalam lingkungan pesantren dan dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat. Pendidikan agama yang ia terima sejak kecil membentuknya menjadi seorang perempuan yang cerdas, salehah, dan memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam. Hal ini yang membuatnya menjadi sosok yang dihormati di lingkungannya. Pernikahan Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Retno Madubrongto bukan sekadar ikatan keluarga biasa, tetapi juga memiliki nilai ideologis dan spiritual yang mendalam. Diponegoro bukan hanya seorang pangeran, tetapi juga seorang yang sangat religius, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para ulama. Pernikahannya dengan putri seorang kepala Pathok Negara semakin memperkuat posisi Diponegoro dalam lingkaran ulama tradisional yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Jawa. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang putra. Putra pertama adalah R.M. Dipoatmaja, yang juga dikenal sebagai Pangeran Abdul Aziz, dan kelak menjadi salah satu pemimpin perlawanan dalam Perang Jawa (1825–1830). Sementara itu, putra kedua adalah Pangeran Diponegoro II, yang turut serta dalam Perang Jawa dan kemudian diasingkan ke Madura. Sebagai istri, Raden Ayu Retno Madubrongto memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi dan spiritual Diponegoro. Ia menjadi pendamping setia dalam pencarian spiritual suaminya dan mendukung gagasan-gagasan keagamaannya. Pernikahan ini juga menegaskan bahwa Diponegoro, meskipun seorang pangeran, lebih memilih untuk menikahi seorang perempuan dari kalangan ulama dibandingkan dengan putri bangsawan istana. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, Diponegoro lebih dekat dengan lingkungan santri dan kaum agamawan dibandingkan dengan istana Kesultanan Yogyakarta yang ia anggap sudah terlalu tunduk pada pengaruh Belanda. * Awal Perang: Dari Mataram ke Pacitan dan Madiun Ketika Perang Jawa pecah pada 20 Juli 1825, R.M. Dipoatmaja yang saat itu telah berusia 20 tahun, turut serta dalam perjuangan ayahnya. Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya di berbagai daerah, termasuk Pacitan dan Madiun, wilayah yang menjadi basis perlawanan putranya. Di Pacitan, perang dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat, dan Ahmad Aris. Dipoatmaja menjadi salah satu komandan yang turut serta dalam perjuangan ini. Namun, meski mendapatkan perlawanan sengit, pasukan Belanda yang lebih unggul dalam persenjataan akhirnya berhasil merebut Pacitan pada akhir Agustus 1825. Kekalahan ini menyebabkan Bupati Joyokariyo dipecat, sementara Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris ditangkap. Nasib keduanya setelahnya tidak diketahui. Sementara itu, Belanda mengangkat Mas Tumenggung Somodiwiryo sebagai bupati baru Pacitan untuk menggantikan Joyokariyo. Namun, pengangkatan ini tidak bertahan lama. * Serangan Balik: Pembunuhan Bupati Baru Pacitan Pada 9 Oktober 1825, pasukan dari Madiun yang dipimpin oleh R.M. Dipoatmaja melancarkan serangan balasan ke Pacitan. Serangan ini dilakukan dengan taktik gerilya khas Diponegoro—penyergapan cepat di daerah yang tidak terduga. Dalam pertempuran ini, mereka berhasil membunuh Bupati Somodiwiryo, yang baru beberapa bulan menjabat. Keberhasilan ini menjadi pukulan telak bagi Belanda, karena menunjukkan bahwa pasukan Diponegoro masih memiliki daya tempur yang kuat di daerah selatan. Namun, kemenangan ini tidak bertahan lama. Pada awal Desember 1825, Belanda mengerahkan pasukan tambahan dan berhasil menguasai Pacitan sepenuhnya, memecah belah pasukan Madiun, dan mengakhiri perlawanan di wilayah tersebut. * Akhir Perang: Pengkhianatan dan Pembuangan ke Ambon Seiring berjalannya waktu, Perang Jawa mulai mengalami kemunduran. Banyak pemimpin perang Diponegoro yang gugur atau ditangkap. R.M. Dipoatmaja sendiri akhirnya berlindung di Surakarta, tempat keluarga dari garis ibunya berada. Namun, keberadaannya tidak berlangsung lama. Pada 8 Januari 1830, ia tertangkap oleh pasukan Belanda di Surakarta. Sebagai bagian dari upaya kolonial untuk menghabisi gerakan perlawanan, R.M. Dipoatmaja segera diasingkan ke Ambon, sebuah tempat pembuangan yang jauh dari Tanah Jawa. Pembuangan ini bukan hanya hukuman, tetapi juga taktik Belanda untuk memutus hubungan para pejuang dengan masyarakat mereka, sehingga perlawanan tidak bisa lagi berlanjut. Tidak ada catatan pasti tentang kehidupannya setelah pembuangan, tetapi kemungkinan besar, seperti banyak pejuang lainnya, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam keterasingan.Historiografi: Mewaris Takdir Ayahnya, Tenggelam dalam Pengasingan Peran R.M. Dipoatmaja dalam Perang Jawa sering kali tertutup oleh bayang-bayang besar ayahnya, Pangeran Diponegoro. Namun, historiografi menunjukkan bahwa ia bukan hanya sekadar putra Diponegoro, tetapi juga seorang pemimpin perang yang berani. Kisahnya mencerminkan nasib generasi muda bangsawan Jawa yang harus memilih antara tunduk pada kolonialisme atau melawan dengan konsekuensi kehilangan segalanya. R.M. Dipoatmaja memilih jalan perjuangan, tetapi seperti ayahnya, ia harus menerima takdir pahit dalam pengasingan. Perjuangannya di Pacitan dan Madiun adalah bagian dari mozaik besar Perang Jawa, perang yang bukan hanya pertarungan fisik melawan Belanda, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Nama R.M. Dipoatmaja mungkin tidak sepopuler Diponegoro, tetapi jejak langkahnya di medan perang tetap menjadi bukti bahwa ia adalah seorang pangeran yang berjuang sampai titik terakhir. * Abror Subhi https://www.malangtimes.com/baca/334702/20250404/085600/privacy

R.M. Dipoatmaja: Putra Diponegoro yang Memimpin Perang Jawa di Pacitan dan Madiun
Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perlawanan seorang pangeran yang merasa haknya dirampas, melainkan perang yang berakar pada ketidakadilan kolonial, penindasan, dan kemerosotan legitimasi Kesultanan Yogyakarta di bawah kendali Belanda.



Salah satu tokoh yang memainkan peran penting dalam perang ini adalah Raden Mas Dipoatmaja, juga dikenal sebagai R.M. Dipokusumo atau Pangeran Abdul Aziz, putra kedua Pangeran Diponegoro dari Retno Madubrongto.
Lahir pada tahun 1805, ia sudah cukup dewasa ketika Perang Jawa pecah dan menjadi salah satu pemimpin pasukan Diponegoro di kawasan Pacitan dan Madiun.

Ketika perang pecah pada 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya melakukan serangkaian serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda. Di wilayah Pacitan, perang dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat, dan Ahmad Aris, dengan R.M. Dipoatmaja sebagai salah satu tokoh yang turut serta dalam pertempuran. 

* Pewaris Darah Ksatria dan Ulama
Lahir pada tahun 1805, Raden Mas Dipoatmaja, yang juga dikenal sebagai R.M. Dipokusumo atau Pangeran Abdul Aziz, adalah putra kedua Pangeran Diponegoro dari pernikahannya dengan Raden Ayu Retno Madubrongto. Ibunya adalah seorang guru agama, putri dari Kiai Gede Dadapan, seorang kepala Pathok Negara di Dadapan, Sleman.
Dari garis keturunan ini, Dipoatmaja mewarisi dua hal sekaligus: darah seorang ulama dari pihak ibunya dan darah ksatria pejuang dari pihak ayahnya.

Ayahnya, Pangeran Diponegoro, adalah tokoh yang sangat religius, melihat dirinya bukan sekadar pangeran pewaris takhta, tetapi juga pemimpin spiritual yang berjuang untuk menegakkan nilai-nilai Islam dan keadilan di Tanah Jawa. Kombinasi antara pendidikan keagamaan dan tradisi keprajuritan aMadubrongto bukan sekadar istri pertama Pangeran Diponegoro, tetapi juga seorang wanita yang memiliki kedalaman spiritual dan keturunan dari garis ulama terkemuka.
Ia adalah putri kedua dari Kiai Gede Dadapan, seorang pemuka agama yang menjadi kepala Pathok Negara Dadapan di Sleman, sebuah lembaga keagamaan yang memiliki peran penting dalam sistem keislaman di Kesultanan Yogyakarta.

Sebagai seorang guru agama, Raden Ayu Retno Madubrongto tumbuh dalam lingkungan pesantren dan dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat. Pendidikan agama yang ia terima sejak kecil membentuknya menjadi seorang perempuan yang cerdas, salehah, dan memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam. Hal ini yang membuatnya menjadi sosok yang dihormati di lingkungannya.

Pernikahan Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Retno Madubrongto bukan sekadar ikatan keluarga biasa, tetapi juga memiliki nilai ideologis dan spiritual yang mendalam.

Diponegoro bukan hanya seorang pangeran, tetapi juga seorang yang sangat religius, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para ulama. Pernikahannya dengan putri seorang kepala Pathok Negara semakin memperkuat posisi Diponegoro dalam lingkaran ulama tradisional yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Jawa.

Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang putra. Putra pertama adalah R.M. Dipoatmaja, yang juga dikenal sebagai Pangeran Abdul Aziz, dan kelak menjadi salah satu pemimpin perlawanan dalam Perang Jawa (1825–1830). Sementara itu, putra kedua adalah Pangeran Diponegoro II, yang turut serta dalam Perang Jawa dan kemudian diasingkan ke Madura.

Sebagai istri, Raden Ayu Retno Madubrongto memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi dan spiritual Diponegoro. Ia menjadi pendamping setia dalam pencarian spiritual suaminya dan mendukung gagasan-gagasan keagamaannya.

Pernikahan ini juga menegaskan bahwa Diponegoro, meskipun seorang pangeran, lebih memilih untuk menikahi seorang perempuan dari kalangan ulama dibandingkan dengan putri bangsawan istana. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, Diponegoro lebih dekat dengan lingkungan santri dan kaum agamawan dibandingkan dengan istana Kesultanan Yogyakarta yang ia anggap sudah terlalu tunduk pada pengaruh Belanda.

* Awal Perang: Dari Mataram ke Pacitan dan Madiun
Ketika Perang Jawa pecah pada 20 Juli 1825, R.M. Dipoatmaja yang saat itu telah berusia 20 tahun, turut serta dalam perjuangan ayahnya. Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya di berbagai daerah, termasuk Pacitan dan Madiun, wilayah yang menjadi basis perlawanan putranya.

Di Pacitan, perang dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat, dan Ahmad Aris. Dipoatmaja menjadi salah satu komandan yang turut serta dalam perjuangan ini. Namun, meski mendapatkan perlawanan sengit, pasukan Belanda yang lebih unggul dalam persenjataan akhirnya berhasil merebut Pacitan pada akhir Agustus 1825.

Kekalahan ini menyebabkan Bupati Joyokariyo dipecat, sementara Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris ditangkap. Nasib keduanya setelahnya tidak diketahui. Sementara itu, Belanda mengangkat Mas Tumenggung Somodiwiryo sebagai bupati baru Pacitan untuk menggantikan Joyokariyo. Namun, pengangkatan ini tidak bertahan lama.

* Serangan Balik: Pembunuhan Bupati Baru Pacitan
Pada 9 Oktober 1825, pasukan dari Madiun yang dipimpin oleh R.M. Dipoatmaja melancarkan serangan balasan ke Pacitan. Serangan ini dilakukan dengan taktik gerilya khas Diponegoro—penyergapan cepat di daerah yang tidak terduga. Dalam pertempuran ini, mereka berhasil membunuh Bupati Somodiwiryo, yang baru beberapa bulan menjabat.

Keberhasilan ini menjadi pukulan telak bagi Belanda, karena menunjukkan bahwa pasukan Diponegoro masih memiliki daya tempur yang kuat di daerah selatan. Namun, kemenangan ini tidak bertahan lama. Pada awal Desember 1825, Belanda mengerahkan pasukan tambahan dan berhasil menguasai Pacitan sepenuhnya, memecah belah pasukan Madiun, dan mengakhiri perlawanan di wilayah tersebut.

* Akhir Perang: Pengkhianatan dan Pembuangan ke Ambon
Seiring berjalannya waktu, Perang Jawa mulai mengalami kemunduran. Banyak pemimpin perang Diponegoro yang gugur atau ditangkap. R.M. Dipoatmaja sendiri akhirnya berlindung di Surakarta, tempat keluarga dari garis ibunya berada.

Namun, keberadaannya tidak berlangsung lama. Pada 8 Januari 1830, ia tertangkap oleh pasukan Belanda di Surakarta. Sebagai bagian dari upaya kolonial untuk menghabisi gerakan perlawanan, R.M. Dipoatmaja segera diasingkan ke Ambon, sebuah tempat pembuangan yang jauh dari Tanah Jawa.

Pembuangan ini bukan hanya hukuman, tetapi juga taktik Belanda untuk memutus hubungan para pejuang dengan masyarakat mereka, sehingga perlawanan tidak bisa lagi berlanjut. Tidak ada catatan pasti tentang kehidupannya setelah pembuangan, tetapi kemungkinan besar, seperti banyak pejuang lainnya, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam keterasingan.Historiografi: Mewaris Takdir Ayahnya, Tenggelam dalam Pengasingan

Peran R.M. Dipoatmaja dalam Perang Jawa sering kali tertutup oleh bayang-bayang besar ayahnya, Pangeran Diponegoro. Namun, historiografi menunjukkan bahwa ia bukan hanya sekadar putra Diponegoro, tetapi juga seorang pemimpin perang yang berani.

Kisahnya mencerminkan nasib generasi muda bangsawan Jawa yang harus memilih antara tunduk pada kolonialisme atau melawan dengan konsekuensi kehilangan segalanya. R.M. Dipoatmaja memilih jalan perjuangan, tetapi seperti ayahnya, ia harus menerima takdir pahit dalam pengasingan.

Perjuangannya di Pacitan dan Madiun adalah bagian dari mozaik besar Perang Jawa, perang yang bukan hanya pertarungan fisik melawan Belanda, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan.
 Nama R.M. Dipoatmaja mungkin tidak sepopuler Diponegoro, tetapi jejak langkahnya di medan perang tetap menjadi bukti bahwa ia adalah seorang pangeran yang berjuang sampai titik terakhir.

* Abror Subhi 
https://www.malangtimes.com/baca/334702/20250404/085600/privacy

Bupati Pati yang dicintai Rakyatnya Dulu Pati memiliki beberapa bupati yang dicintai rakyatnya. Salah satunya Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo. Setidaknya begitu salah satu bunyi sebuah rubrik obituari di suratkabar De Locomotief edisi 5 Juni 1934. Nama Bupati Soewondo pun hingga kini masih diabadikan sebagai nama rumahsakit, RSUD RAA Soewondo. “Berita lokal mengabarkan wafatnya Bupati Pati, Raden Adipati Ario Soewondo. Bupati tertua di Jawa Tengah, baik dari segi usia maupun masa pengabdiannya itu wafat kemarin petang (4 Juni 1934) pukul 2.30. Seorang bupati yang sangat dicintai rakyatnya, termasuk kalangan priayi,” tulis harian tersebut. Bupati Soewondo, lanjut koran tersebut, menghembuskan nafas terakhir setelah 12 hari menderita tipes dan mendapat perawatan intensif di Ziekenhuis (rumahsakit) Mardi Oesodo. Rumahsakit itulah yang di kemudian hari menjadi RSUD RAA Soewondo. Sebagaimana dimuat rubrik obituari di De Locomotief tadi, Raden Ngabehi Soewondo lahir pada 11 Juni 1875. Sebagai kalangan priayi, ia berkesempatan mengenyam pendidikan Eropa karena ayahnya juga seorang bupati di daerah yang sama, yakni Raden Tumenggung Prawiro Werdojo. Soewondo mulai 1893 berkarier di pemerintahan kolonial di Pati sebagai juru tulis. Tujuh tahun berselang, ia sudah mengemban jabatan asisten wedana. Sebelum mendaki jabatan bupati, Soewondo lebih dulu mengambil karier di bidang hukum, baik di Openbare Ministerie (Dinas Kejaksaan Umum) pada 1903 maupun deputi jaksa pada 1905. Pada medio Agustus 1907, ia ditunjuk menjadi bupati menggantikan ayahnya. “Pada Selasa pagi, bupati Pati yang baru (mantan deputi jaksa R. Ngabehi Soewondo) meninggalkan kantornya. Ia dikawal beberapa priayi dengan alunan musik yang mengalun dari sebuah panggung. Dilaporkan kakak kandungnya dan kakak iparnya kurang berkenan dengan penunjukan itu,” tulis suratkabar Het nieuws van den dag voor Nederlandcsh-Indië, 3 Agustus 1907. Meski berasal dari kalangan priayi, Bupati Soewondo dianggap sangat peduli pada semua lapisan masyarakat Pati. Sebagai bupati, ia pada 1908 juga menjadi salah satu anggota Gewestelijke Raad (Dewan Provinsi) serta anggota dewan lokal di Semarang, Rembang, Kedu, dan Blora. Pada 1911, ia mendapat tambahan gelar “Ario” dan satu dekade berselang, dianugerahi medali dan gelar Officier in de Order van Oranje-Nassau dari Ratu Belanda. Bupati Soewondo juga dikenal dekat dengan kalangan agama. Terutama setelah ia turut dalam Kapengulon atau Komisi Pembaruan Agama pada 1922. “Upaya pembaruan yang dilakukan pemerintah Belanda atas kapengulon sejalan dengan program-program lain yang berkaitan secara langsung dengan bidang tugas dan misi yang diemban kapengulon. Sebagaimana tampak dalam kegiatan studi tentang hukum adat, yang dilancarkan oleh para sarjana hukum Belanda yang menerapkan hukum Islam kepada masyarakat Jawa yang beragama Islam. Hal ini tampak jelas dengan dibentuknya tim komisi pembaruan agama atau kapengulon pada 1922. Keanggotaannya terdiri atas Dr. RA Hoesin Djajadiningrat (adviseur Indlandsche Zaken), Bupati R.A.A. Soewondo dari Pati dan Bupati R.A.A. Tjakraningrat dari Bangkalan, Madura. Selanjutnya, ditambah tiga penghulu, yaitu KH Ahmad Dahlan dari Kapengulon Yogyakarta, KH R. Muhammad Isa dari Purbolinggo dan Banyumas, seorang lagi mewakili pemerintah Belanda yaitu Bertrandter Haar Bzn,” ungkap Ibnu Qoyim Ismail dalam Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Sebagai rasa hormat dan kecintaan publik Pati terhadap Bupati Soewondo, sebuah festival rakyat besar-besaran digelar pada 20 Juli 1927 untuk memperingati dua dekade masa jabatannya. Paginya, digelar pertandingan sepakbola antara tim Belanda M.O.S melawan tim Tionghoa J.C.V.O di Paseban, lalu dilanjutkan parade oleh anak-anak dari beragam sekolah –baik sekolah Eropa, sekolah rakyat, maupun sekolah Jepang– dari jalan-jalan dekat stadion yang berakhir di pendopo kabupaten. Di podium pendopo, Asisten Residen Pati Mayer Ranneft jadi pembicara utama untuk mengapresiasi sang bupati. Perayaan tersebut merupakan bukti rasa hormat dan kekaguman kaum muda dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat terhadap karakter Bupati Soewondo selama menjabat 20 tahun terakhir. “Seperti yang semua kita rasakan di Pati, kami sangat bersyukur bahwa bupati kami adalah seseorang yang mumpuni dalam memenuhi banyak tuntutan, terutama dalam memadukan hal-hal baik dari masa lalu dengan era modern, termasuk di masa-masa sulit. Selama 20 tahun Anda menjabat dengan sangat bijak. Semoga Tuhan memberkati Anda selama tahun-tahun ke depan dan semoga Anda terus memimpin dengan baik demi negeri dan rakyat,” tukas Renneft, dikutip De Locomotief, 26 Juli 1927. Salah satu warisan berharga Bupati Soewondo adalah cikal-bakal RSUD RAA Soewondo. Fasilitas kesehatan umum itu berawal dari yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang berdiri sejak 1929. “Mengenai laporan tahunan yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang diketuai oleh bupati kami (RAA Soewondo) dan didirikan pada Mei 1929, sampai Juni 1930 telah menerima banyak sumbangan pihak ketiga mencapai 3.567 gulden, sementara pengeluarannya sebanyak 2.124 gulden sehingga sisa kas yang ada di Volksbank di Pati sebesar 442 gulden,” tulis De Locomotief, 27 Juni 1930. Yayasan itu, lanjut suratkabar tersebut, menerima banyak sumbangan dana dari berbagai pihak. Dana tersebut digunakan untuk penyediaan sejumlah alat kesehatan dan prasarana lain di klinik-klinik darurat di Jakenan, Tambakromo, maupun Kajen. Mereka berencana membangun rumahsakit di pusat kota walau masih butuh biaya hingga 200 ribu gulden. “Seperti diketahui, fasilitas kesehatan lainnya juga dibuka oleh dr. Van Noordt, sebuah zendinghospitaal (rumahsakit misionaris) di Kelet. Jika kami bisa membuka Rumahsakit Mardi Oesodo, maka banyak orang sakit tak perlu pergi jauh untuk menerima perawatan,” lanjut suratkabar tersebut. Harapan itu terwujud pada 1932, di mana Ziekenhuis Mardi Oesodo mulai dibangun dan rampung dua tahun berselang. Namun, tak lama berselang Bupati Soewondo pun jadi pasiennya karena penyakit tipes. Meski selama 12 hari mendapat perawatan intensif langsung dari direktur rumahsakit, dr. Veldstra, nyawa Bupati Soewondo tak tertolong. Bupati Soewondo wafat pada 4 Juni 1934. Namanya kemudian dikenal sebagai salah satu bupati Pati paling dihormati. Potret : Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo

 Bupati Pati yang dicintai Rakyatnya


Dulu Pati memiliki beberapa bupati yang dicintai rakyatnya. Salah satunya Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo. Setidaknya begitu salah satu bunyi sebuah rubrik obituari di suratkabar De Locomotief edisi 5 Juni 1934. Nama Bupati Soewondo pun hingga kini masih diabadikan sebagai nama rumahsakit, RSUD RAA Soewondo.



“Berita lokal mengabarkan wafatnya Bupati Pati, Raden Adipati Ario Soewondo. Bupati tertua di Jawa Tengah, baik dari segi usia maupun masa pengabdiannya itu wafat kemarin petang (4 Juni 1934) pukul 2.30. Seorang bupati yang sangat dicintai rakyatnya, termasuk kalangan priayi,” tulis harian tersebut.


Bupati Soewondo, lanjut koran tersebut, menghembuskan nafas terakhir setelah 12 hari menderita tipes dan mendapat perawatan intensif di Ziekenhuis (rumahsakit) Mardi Oesodo. Rumahsakit itulah yang di kemudian hari menjadi RSUD RAA Soewondo.


Sebagaimana dimuat rubrik obituari di De Locomotief tadi, Raden Ngabehi Soewondo lahir pada 11 Juni 1875. Sebagai kalangan priayi, ia berkesempatan mengenyam pendidikan Eropa karena ayahnya juga seorang bupati di daerah yang sama, yakni Raden Tumenggung Prawiro Werdojo.


Soewondo mulai 1893 berkarier di pemerintahan kolonial di Pati sebagai juru tulis. Tujuh tahun berselang, ia sudah mengemban jabatan asisten wedana. Sebelum mendaki jabatan bupati, Soewondo lebih dulu mengambil karier di bidang hukum, baik di Openbare Ministerie (Dinas Kejaksaan Umum) pada 1903 maupun deputi jaksa pada 1905. Pada medio Agustus 1907, ia ditunjuk menjadi bupati menggantikan ayahnya.


“Pada Selasa pagi, bupati Pati yang baru (mantan deputi jaksa R. Ngabehi Soewondo) meninggalkan kantornya. Ia dikawal beberapa priayi dengan alunan musik yang mengalun dari sebuah panggung. Dilaporkan kakak kandungnya dan kakak iparnya kurang berkenan dengan penunjukan itu,” tulis suratkabar Het nieuws van den dag voor Nederlandcsh-Indië, 3 Agustus 1907.


Meski berasal dari kalangan priayi, Bupati Soewondo dianggap sangat peduli pada semua lapisan masyarakat Pati. Sebagai bupati, ia pada 1908 juga menjadi salah satu anggota Gewestelijke Raad (Dewan Provinsi) serta anggota dewan lokal di Semarang, Rembang, Kedu, dan Blora. Pada 1911, ia mendapat tambahan gelar “Ario” dan satu dekade berselang, dianugerahi medali dan gelar Officier in de Order van Oranje-Nassau dari Ratu Belanda.


Bupati Soewondo juga dikenal dekat dengan kalangan agama. Terutama setelah ia turut dalam Kapengulon atau Komisi Pembaruan Agama pada 1922.


“Upaya pembaruan yang dilakukan pemerintah Belanda atas kapengulon sejalan dengan program-program lain yang berkaitan secara langsung dengan bidang tugas dan misi yang diemban kapengulon. Sebagaimana tampak dalam kegiatan studi tentang hukum adat, yang dilancarkan oleh para sarjana hukum Belanda yang menerapkan hukum Islam kepada masyarakat Jawa yang beragama Islam. Hal ini tampak jelas dengan dibentuknya tim komisi pembaruan agama atau kapengulon pada 1922. 


Keanggotaannya terdiri atas Dr. RA Hoesin Djajadiningrat (adviseur Indlandsche Zaken), Bupati R.A.A. Soewondo dari Pati dan Bupati R.A.A. Tjakraningrat dari Bangkalan, Madura. Selanjutnya, ditambah tiga penghulu, yaitu KH Ahmad Dahlan dari Kapengulon Yogyakarta, KH R. Muhammad Isa dari Purbolinggo dan Banyumas, seorang lagi mewakili pemerintah Belanda yaitu Bertrandter Haar Bzn,” ungkap Ibnu Qoyim Ismail dalam Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial.


Sebagai rasa hormat dan kecintaan publik Pati terhadap Bupati Soewondo, sebuah festival rakyat besar-besaran digelar pada 20 Juli 1927 untuk memperingati dua dekade masa jabatannya. Paginya, digelar pertandingan sepakbola antara tim Belanda M.O.S melawan tim Tionghoa J.C.V.O di Paseban, lalu dilanjutkan parade oleh anak-anak dari beragam sekolah –baik sekolah Eropa, sekolah rakyat, maupun sekolah Jepang– dari jalan-jalan dekat stadion yang berakhir di pendopo kabupaten.


Di podium pendopo, Asisten Residen Pati Mayer Ranneft jadi pembicara utama untuk mengapresiasi sang bupati. Perayaan tersebut merupakan bukti rasa hormat dan kekaguman kaum muda dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat terhadap karakter Bupati Soewondo selama menjabat 20 tahun terakhir.


“Seperti yang semua kita rasakan di Pati, kami sangat bersyukur bahwa bupati kami adalah seseorang yang mumpuni dalam memenuhi banyak tuntutan, terutama dalam memadukan hal-hal baik dari masa lalu dengan era modern, termasuk di masa-masa sulit. Selama 20 tahun Anda menjabat dengan sangat bijak. Semoga Tuhan memberkati Anda selama tahun-tahun ke depan dan semoga Anda terus memimpin dengan baik demi negeri dan rakyat,” tukas Renneft, dikutip De Locomotief, 26 Juli 1927.


Salah satu warisan berharga Bupati Soewondo adalah cikal-bakal RSUD RAA Soewondo. Fasilitas kesehatan umum itu berawal dari yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang berdiri sejak 1929.


“Mengenai laporan tahunan yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang diketuai oleh bupati kami (RAA Soewondo) dan didirikan pada Mei 1929, sampai Juni 1930 telah menerima banyak sumbangan pihak ketiga mencapai 3.567 gulden, sementara pengeluarannya sebanyak 2.124 gulden sehingga sisa kas yang ada di Volksbank di Pati sebesar 442 gulden,” tulis De Locomotief, 27 Juni 1930.


Yayasan itu, lanjut suratkabar tersebut, menerima banyak sumbangan dana dari berbagai pihak. Dana tersebut digunakan untuk penyediaan sejumlah alat kesehatan dan prasarana lain di klinik-klinik darurat di Jakenan, Tambakromo, maupun Kajen. Mereka berencana membangun rumahsakit di pusat kota walau masih butuh biaya hingga 200 ribu gulden.


“Seperti diketahui, fasilitas kesehatan lainnya juga dibuka oleh dr. Van Noordt, sebuah zendinghospitaal (rumahsakit misionaris) di Kelet. Jika kami bisa membuka Rumahsakit Mardi Oesodo, maka banyak orang sakit tak perlu pergi jauh untuk menerima perawatan,” lanjut suratkabar tersebut.


Harapan itu terwujud pada 1932, di mana Ziekenhuis Mardi Oesodo mulai dibangun dan rampung dua tahun berselang. Namun, tak lama berselang Bupati Soewondo pun jadi pasiennya karena penyakit tipes. Meski selama 12 hari mendapat perawatan intensif langsung dari direktur rumahsakit, dr. Veldstra, nyawa Bupati Soewondo tak tertolong. Bupati Soewondo wafat pada 4 Juni 1934. Namanya kemudian dikenal sebagai salah satu bupati Pati paling dihormati. 


Potret : Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo

KETIKA BUNG TOMO DIPENJARAKAN SOEHARTO Kisah mantan pejuang yang kemudian dipenjarakan Pemerintah bukan hanya satu, banyak dan diantaranya adalah Bung Tomo. Tokoh yang dalam dalam perang Surabaya sebagai orator ulung yang membakar semangat pejuang untuk melawan Inggris dan sekutunya di Surabaya. Beliau dijebloskan oleh Pemerintahan Presiden Soeharto. Pada April 1978, Soetomo atau Bung Tomo ditahan di Rumah Tahanan Inrehab Nirbaya, Jakarta. Rezim Orde Baru menahan tokoh Pertempuran Surabaya ini dengan tuduhan telah melakukan subversi (berusaha menjatuhkan kekuasaan) dan menghasut mahasiswa. “Pada awal 1970-an, Mas Tom banyak berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Dia mengkritik keras program-program Presiden Soeharto,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu. Padahal, lanjut Sulistina, pada Pemilihan Umum 1977 namanya selama beberapa bulan sempat disebut-sebut akan dicalonkan sebagai anggota DPR kedua oleh Ketua DPP Golongan Karya (Golkar) Amir Moertono. “Namun, entah mengapa gaungnya kemudian lenyap begitu saja, hingga dia ditahan,” kata Sulistina. Sebelumnya, pada masa Orde Lama, Bung Tomo pernah mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PRI) yang ikut serta dalam Pemilu 1955. PRI mendapat dua kursi DPR, salah satunya untuk Bung Tomo. Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan mencatat bahwa ketika Orde Baru berkuasa, Bung Tomo sering mengkritik kebijakan pemerintah. Bung Tomo menilai pemerintah Orde Baru korup dan menyalahgunakan kekuasaan. Pernyataan-pernyataan Bung Tomo dalam berbagai kesempatan dianggap menghasut mahasiswa yang pada 1978 melakukan demonstrasi besar-besaran. Bung Tomo juga mengkritik kongkalikongnya penguasa dan pengusaha serta penguasa sipil dan militer. “Berbagai kritik yang dipandang mengganggu stabilitas nasional yang mantap dan dinamis itu membawa Bung Tomo ke penjara pada 11 April 1978,” tulis Yudi. Bung Tomo tidak memandang penjara sebagai sumber penderitaan. Tidak mengherankan saat keluar dari penjara tubuhnya lebih gemuk. “Habis, di sini makan melulu. Lagi pula ada larangan dokter untuk senam,” kata Bung Tomo dikutip Tempo, 14 April 1979. Namun, hikmah terbesar di penjara yang dialami Bung Tomo adalah merasakan kedekatan dengan Tuhan. “Sembahyang di Nirbaya rasanya lebih tenang dan mantap,” kata Bung Tomo. Penghuni Nirbaya menganggap Bung Tomo aneh. Dia dikira cengeng karena suka menangis. Terutama ketika bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Nirbaya pada peringatan 17 Agustus 1978. “Bendera itu bikinan istri saya sendiri,” kata Bung Tomo. Setelah itu, setiap kali bendera itu dikerek, Bung Tomo mengambil sikap hormat dari kamar tahanannya. Bersama Bung Tomo, dua tokoh lagi yang dipenjara adalah Prof. Dr. Ismail Sunny, ahli hukum tatanegara dan rektor Universitas Muhammadiyah; dan Mahbub Djunaidi, tokoh pers, kolumnis, penerjemah, politikus Nahdlatul Ulama, dan wakil Sekjen PPP. Mahbub harus berbaring selama sebelas bulan di RS Gatot Subroto karena menderita darah tinggi. “Ketiganya dituduh subversi dan ditahan setahun. Belakangan menurut seorang pejabat tinggi Hankam (Pertahanan dan Keamanan), mereka dituduh menghasut mahasiswa,” tulis Tempo. Mahbub dituduh subversi bukan karena tulisan-tulisannya. Tetapi karena pembicaraannya di beberapa seminar dan diskusi, serta kampanye PPP. Selama dalam tahanan, Mahbub sempat menulis novel dan menerjemahkan buku The Road to Ramadhan karangan wartawan Mesir Hassanain Heikal. Jaksa Agung Ali Said menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan sementara tak ada alasan lagi menahan mereka bertiga. Mereka dibebaskan tanpa syarat pada 9 April 1979. Bung Tomo, Mahbub, dan Sunny, dibawa ke Kejaksaan Agung untuk menerima surat pembebasan. “Sebagai ahli hukum, saya sudah tahu sebelumnya tentang pembebasan ini. Penahanan perkara subversi paling lama kan setahun,” kata Sunny. Bung Tomo menunaikan nazarnya kalau bebas akan membopong istrinya. Begitu istrinya datang ke Kejaksaan Agung, dia langsung membopongnya. “Dialah yang begitu tabah setiap hari menengok dan mengirim makanan ke Nirbaya,” kata Bung Tomo. Dari Kejaksaan Agung, mereka dibawa kembali ke Nirbaya. Siang itu juga Mahbub dan Sunny pulang, sementara Bung Tomo dijemput istri dan anaknya menjelang Isya. Bung Tomo meninggal dunia ketika menjalankan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, sehari sebelum Hari Raya Iduladha. Jenazahnya dibawa kembali ke Indonesia pada 1982 setelah melalui proses yang panjang. Bung Tomo tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi di Taman Pemakaman Umum Ngagel Surabaya. “Banyak anak muda yang menyangka Mas Tom itu Pahlawan Nasional... Aku menghargai sekali orang-orang yang ingin mengajukannya agar diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Itu terserah mereka, bagiku diangkat atau tidak, bukan soal karena itu soal duniawi. Karena aku menganggap Mas Tom sudah dianugerahi oleh Allah dengan meninggal di Arafah. Itu merupakan penghargaan yang tinggi sekali,” kata Sulistina. Foto : Bung Tomo sebagai tahanan di penjara Nirbaya, Jakarta. (Dok. Keluarga).

 KETIKA BUNG TOMO DIPENJARAKAN SOEHARTO


Kisah mantan pejuang yang kemudian dipenjarakan Pemerintah bukan hanya satu, banyak dan diantaranya adalah Bung Tomo. Tokoh yang dalam dalam perang Surabaya sebagai orator ulung yang membakar semangat pejuang untuk melawan Inggris dan sekutunya di Surabaya. Beliau dijebloskan oleh Pemerintahan Presiden Soeharto. 



Pada April 1978, Soetomo atau Bung Tomo ditahan di Rumah Tahanan Inrehab Nirbaya, Jakarta. Rezim Orde Baru menahan tokoh Pertempuran Surabaya ini dengan tuduhan telah melakukan subversi (berusaha menjatuhkan kekuasaan) dan menghasut mahasiswa.


“Pada awal 1970-an, Mas Tom banyak berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Dia mengkritik keras program-program Presiden Soeharto,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu.


Padahal, lanjut Sulistina, pada Pemilihan Umum 1977 namanya selama beberapa bulan sempat disebut-sebut akan dicalonkan sebagai anggota DPR kedua oleh Ketua DPP Golongan Karya (Golkar) Amir Moertono. “Namun, entah mengapa gaungnya kemudian lenyap begitu saja, hingga dia ditahan,” kata Sulistina.


Sebelumnya, pada masa Orde Lama, Bung Tomo pernah mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PRI) yang ikut serta dalam Pemilu 1955. PRI mendapat dua kursi DPR, salah satunya untuk Bung Tomo.


Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan mencatat bahwa ketika Orde Baru berkuasa, Bung Tomo sering mengkritik kebijakan pemerintah. Bung Tomo menilai pemerintah Orde Baru korup dan menyalahgunakan kekuasaan. Pernyataan-pernyataan Bung Tomo dalam berbagai kesempatan dianggap menghasut mahasiswa yang pada 1978 melakukan demonstrasi besar-besaran. Bung Tomo juga mengkritik kongkalikongnya penguasa dan pengusaha serta penguasa sipil dan militer.


“Berbagai kritik yang dipandang mengganggu stabilitas nasional yang mantap dan dinamis itu membawa Bung Tomo ke penjara pada 11 April 1978,” tulis Yudi.


Bung Tomo tidak memandang penjara sebagai sumber penderitaan. Tidak mengherankan saat keluar dari penjara tubuhnya lebih gemuk. “Habis, di sini makan melulu. Lagi pula ada larangan dokter untuk senam,” kata Bung Tomo dikutip Tempo, 14 April 1979.


Namun, hikmah terbesar di penjara yang dialami Bung Tomo adalah merasakan kedekatan dengan Tuhan. “Sembahyang di Nirbaya rasanya lebih tenang dan mantap,” kata Bung Tomo.


Penghuni Nirbaya menganggap Bung Tomo aneh. Dia dikira cengeng karena suka menangis. Terutama ketika bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Nirbaya pada peringatan 17 Agustus 1978. “Bendera itu bikinan istri saya sendiri,” kata Bung Tomo. Setelah itu, setiap kali bendera itu dikerek, Bung Tomo mengambil sikap hormat dari kamar tahanannya.


Bersama Bung Tomo, dua tokoh lagi yang dipenjara adalah Prof. Dr. Ismail Sunny, ahli hukum tatanegara dan rektor Universitas Muhammadiyah; dan Mahbub Djunaidi, tokoh pers, kolumnis, penerjemah, politikus Nahdlatul Ulama, dan wakil Sekjen PPP. Mahbub harus berbaring selama sebelas bulan di RS Gatot Subroto karena menderita darah tinggi.


“Ketiganya dituduh subversi dan ditahan setahun. Belakangan menurut seorang pejabat tinggi Hankam (Pertahanan dan Keamanan), mereka dituduh menghasut mahasiswa,” tulis Tempo.


Mahbub dituduh subversi bukan karena tulisan-tulisannya. Tetapi karena pembicaraannya di beberapa seminar dan diskusi, serta kampanye PPP. Selama dalam tahanan, Mahbub sempat menulis novel dan menerjemahkan buku The Road to Ramadhan karangan wartawan Mesir Hassanain Heikal.


Jaksa Agung Ali Said menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan sementara tak ada alasan lagi menahan mereka bertiga. Mereka dibebaskan tanpa syarat pada 9 April 1979.


Bung Tomo, Mahbub, dan Sunny, dibawa ke Kejaksaan Agung untuk menerima surat pembebasan. “Sebagai ahli hukum, saya sudah tahu sebelumnya tentang pembebasan ini. Penahanan perkara subversi paling lama kan setahun,” kata Sunny.


Bung Tomo menunaikan nazarnya kalau bebas akan membopong istrinya. Begitu istrinya datang ke Kejaksaan Agung, dia langsung membopongnya. “Dialah yang begitu tabah setiap hari menengok dan mengirim makanan ke Nirbaya,” kata Bung Tomo.


Dari Kejaksaan Agung, mereka dibawa kembali ke Nirbaya. Siang itu juga Mahbub dan Sunny pulang, sementara Bung Tomo dijemput istri dan anaknya menjelang Isya.


Bung Tomo meninggal dunia ketika menjalankan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, sehari sebelum Hari Raya Iduladha. Jenazahnya dibawa kembali ke Indonesia pada 1982 setelah melalui proses yang panjang. Bung Tomo tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi di Taman Pemakaman Umum Ngagel Surabaya.


“Banyak anak muda yang menyangka Mas Tom itu Pahlawan Nasional... Aku menghargai sekali orang-orang yang ingin mengajukannya agar diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Itu terserah mereka, bagiku diangkat atau tidak, bukan soal karena itu soal duniawi. Karena aku menganggap Mas Tom sudah dianugerahi oleh Allah dengan meninggal di Arafah. Itu merupakan penghargaan yang tinggi sekali,” kata Sulistina.


Foto : Bung Tomo sebagai tahanan di penjara Nirbaya, Jakarta. (Dok. Keluarga).

Upacara ritual Labuhan Parangkusumo Yogyakarta tahun 1937. Ritual Labuhan Parangkusumo merupakan bagian dari rangkaian tradisi Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Yogyakarta. Dalam upacara ritual ini, jenggot dan kuku Sultan yang telah dikumpulkan akan dilarung atau dipersembahkan kepada Kanjeng Ratu Kidul di Pantai Parangkusumo, Bantul. Sumber foto : KITLV

 Upacara ritual Labuhan Parangkusumo Yogyakarta tahun 1937.

 

Ritual Labuhan Parangkusumo merupakan bagian dari rangkaian tradisi Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Yogyakarta. 

Dalam upacara ritual ini, jenggot dan kuku Sultan yang telah dikumpulkan akan dilarung atau dipersembahkan kepada Kanjeng Ratu Kidul di Pantai Parangkusumo, Bantul. 



Sumber foto : KITLV

18 August 2025

Pada 3 April 1882, legenda Jesse James berakhir bukan dengan baku tembak yang berkobar, melainkan dengan satu tembakan di belakang kepala. Pria yang menarik pelatuknya adalah Robert Ford, anggota gengnya sendiri, yang haus akan hadiah dan catatan sejarah. Keesokan paginya, jenazah penjahat paling terkenal di Barat terbaring tak bergerak di St. Joseph, Missouri, dipersiapkan untuk pemakaman tetapi disulap menjadi barang pameran. Peti mati seharga $500, yang dipadatkan dengan es untuk memperlambat pembusukan, menjadi panggung untuk aksi terakhir hidupnya—sebuah tontonan yang disaksikan dengan saksama seperti perampokannya. Keadaan di Sidenfaden Funeral Parlor berbeda dari acara penghormatan terakhir pada umumnya. Kerumunan orang berbondong-bondong maju untuk melihat sekilas, mata mereka mengamati wajah pucat seorang pria yang telah mencuri kereta api, merampok bank, dan menghindari petugas hukum selama lebih dari satu dekade. Petugas penegak hukum berjaga-jaga, bukan untuk melindungi almarhum, melainkan untuk mengatur kerumunan yang tertarik oleh rasa ingin tahu, dendam, dan keinginan manusia yang aneh untuk menyaksikan kejatuhan seseorang yang lebih besar daripada kehidupan. Dalam sebuah foto, Frank James, kakak laki-lakinya, berdiri di dekat peti jenazah, ekspresinya tertahan antara duka dan ketenangan yang keras, seperti seorang pria yang tahu foto ini akan hidup lebih lama dari mereka semua. Foto itu akan beredar jauh melampaui Missouri, dimuat di koran, dijual sebagai kartu pos, dan diselipkan di buku tempel. Foto itu bukan sekadar catatan kematian—melainkan sebuah pernyataan, bukti bahwa bahkan penjahat paling ditakuti di Barat pun dapat ditundukkan. Dalam beberapa dekade sejak itu, foto itu telah menjadi artefak kebenaran sekaligus mitos, mewujudkan hubungan yang tak nyaman antara ketenaran dan kehinaan. Di ruangan yang dingin dan sunyi itu, Jesse James menjadi lebih dari sekadar manusia—ia menjadi legenda yang membeku dalam waktu, para penonton terakhirnya berdiri bahu-membahu, bersemangat menyaksikan akhir sebuah era

 Pada 3 April 1882, legenda Jesse James berakhir bukan dengan baku tembak yang berkobar, melainkan dengan satu tembakan di belakang kepala. Pria yang menarik pelatuknya adalah Robert Ford, anggota gengnya sendiri, yang haus akan hadiah dan catatan sejarah. Keesokan paginya, jenazah penjahat paling terkenal di Barat terbaring tak bergerak di St. Joseph, Missouri, dipersiapkan untuk pemakaman tetapi disulap menjadi barang pameran. Peti mati seharga $500, yang dipadatkan dengan es untuk memperlambat pembusukan, menjadi panggung untuk aksi terakhir hidupnya—sebuah tontonan yang disaksikan dengan saksama seperti perampokannya.



Keadaan di Sidenfaden Funeral Parlor berbeda dari acara penghormatan terakhir pada umumnya. Kerumunan orang berbondong-bondong maju untuk melihat sekilas, mata mereka mengamati wajah pucat seorang pria yang telah mencuri kereta api, merampok bank, dan menghindari petugas hukum selama lebih dari satu dekade. Petugas penegak hukum berjaga-jaga, bukan untuk melindungi almarhum, melainkan untuk mengatur kerumunan yang tertarik oleh rasa ingin tahu, dendam, dan keinginan manusia yang aneh untuk menyaksikan kejatuhan seseorang yang lebih besar daripada kehidupan. Dalam sebuah foto, Frank James, kakak laki-lakinya, berdiri di dekat peti jenazah, ekspresinya tertahan antara duka dan ketenangan yang keras, seperti seorang pria yang tahu foto ini akan hidup lebih lama dari mereka semua.


Foto itu akan beredar jauh melampaui Missouri, dimuat di koran, dijual sebagai kartu pos, dan diselipkan di buku tempel. Foto itu bukan sekadar catatan kematian—melainkan sebuah pernyataan, bukti bahwa bahkan penjahat paling ditakuti di Barat pun dapat ditundukkan. Dalam beberapa dekade sejak itu, foto itu telah menjadi artefak kebenaran sekaligus mitos, mewujudkan hubungan yang tak nyaman antara ketenaran dan kehinaan. Di ruangan yang dingin dan sunyi itu, Jesse James menjadi lebih dari sekadar manusia—ia menjadi legenda yang membeku dalam waktu, para penonton terakhirnya berdiri bahu-membahu, bersemangat menyaksikan akhir sebuah era

Perisai Aceh tahun 1876 yang disita pada saat peperangan di Aceh dan berhasil membunuh seorang Letnan Satu Belanda. Perisai ini mirip dengan perisai Dayak dari Kalimantan. Namun disita di Aceh (Sumatera). Provinsi Aceh menentang keras ekspansi rezim kolonial Belanda. Label pada perisai tersebut dengan jelas menunjukkan perjuangan dramatis. 'Perisai dari orang Aceh, yang pada bulan Desember 1876 membunuh Letnan Satu Regensburg di banteng Lembu. Warga Aceh jugasyahid.' Perang Aceh (1873-1914) memakan korban jiwa lebih dari 100.000 jiwa. Perisai berbentuk persegi panjang yang diakhiri dengan satu titik di bagian atas dan bawah. Pada bagian tengah perisai terdapat lengkungan ke depan sebesar 15° dalam arah memanjang. Terdapat pegangan di bagian tengah (di bagian tikungan) belakang. Lukisan simetris diaplikasikan pada latar belakang coklat di tengah, membentang seluruh lebarnya. Lukisan: kepala bergaya dengan 2 mata dan mulut berakhir dengan hidung. Figur geometris ditempatkan di bagian atas dan bawah perisai, bergantian dengan anyaman alang-alang. Buluh dimasukkan langsung melalui perisai dan dililitkan di sisinya. Sumber : Rijksmuseum, Belanda Judul Asli : Acehnese Shield Object Number : NG-NM-11552-86 Created :

 Perisai Aceh tahun 1876 yang disita pada saat peperangan di Aceh dan berhasil membunuh seorang Letnan Satu Belanda.


Perisai ini mirip dengan perisai Dayak dari Kalimantan. Namun disita di Aceh (Sumatera). Provinsi Aceh menentang keras ekspansi rezim kolonial Belanda. Label pada perisai tersebut dengan jelas menunjukkan perjuangan dramatis. 'Perisai dari orang Aceh, yang pada bulan Desember 1876 membunuh Letnan Satu Regensburg di banteng Lembu. Warga Aceh jugasyahid.' Perang Aceh (1873-1914) memakan korban jiwa lebih dari 100.000 jiwa.



Perisai berbentuk persegi panjang yang diakhiri dengan satu titik di bagian atas dan bawah. Pada bagian tengah perisai terdapat lengkungan ke depan sebesar 15° dalam arah memanjang. Terdapat pegangan di bagian tengah (di bagian tikungan) belakang. Lukisan simetris diaplikasikan pada latar belakang coklat di tengah, membentang seluruh lebarnya. Lukisan: kepala bergaya dengan 2 mata dan mulut berakhir dengan hidung. Figur geometris ditempatkan di bagian atas dan bawah perisai, bergantian dengan anyaman alang-alang. Buluh dimasukkan langsung melalui perisai dan dililitkan di sisinya.


Sumber              : Rijksmuseum, Belanda

Judul Asli           : Acehnese Shield

Object Number : NG-NM-11552-86

Created              :

Tentara Belanda berpose di sebuah mobil pada tahun 1903. Sejumlah perwira Belanda berpose di dalam dan di samping mobil dengan sopir asal Sumatera, di halaman depan rumah bivak di Krueng Seumpo (Simpo). Foto tunggal milik album berisi 87 foto tentang pembangunan Gajoweg di Sumatera Utara antara Bireuen dan Takinguen antara tahun 1903-1914. Setelah ekspedisi ke tanah Gajo (Gayo) dan Alas yang dipimpin oleh Van Daalen (perjalanan pertama pada tahun 1901), pada tahun 1903 ia ditugaskan untuk mempersiapkan pendirian tetap kekuasaan Belanda. Pembangunan jalan dari Pantai Utara ke pedalaman sangatlah penting. Gajoweg ini dibangun antara tahun 1903 dan 1914, dari Bireuen di pesisir pantai hingga Takeuen di danau pegunungan Danau Lauttawar, dengan panjang total 104 km. Sumber : Rijksmuseum Judul Asli : Officieren in een auto Object Number : NG-1988-30-C-3 Created : 1903

 Tentara Belanda berpose di sebuah mobil pada tahun 1903.


Sejumlah perwira Belanda berpose di dalam dan di samping mobil dengan sopir asal Sumatera, di halaman depan rumah bivak di Krueng Seumpo (Simpo). Foto tunggal milik album berisi 87 foto tentang pembangunan Gajoweg di Sumatera Utara antara Bireuen dan Takinguen antara tahun 1903-1914.



Setelah ekspedisi ke tanah Gajo (Gayo) dan Alas yang dipimpin oleh Van Daalen (perjalanan pertama pada tahun 1901), pada tahun 1903 ia ditugaskan untuk mempersiapkan pendirian tetap kekuasaan Belanda. Pembangunan jalan dari Pantai Utara ke pedalaman sangatlah penting. Gajoweg ini dibangun antara tahun 1903 dan 1914, dari Bireuen di pesisir pantai hingga Takeuen di danau pegunungan Danau Lauttawar, dengan panjang total 104 km.


Sumber              : Rijksmuseum

Judul Asli           : Officieren in een auto

Object Number : NG-1988-30-C-3

Created              : 1903

Inilah 10 Negara Pertama yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia. 1. Palestina (Palestina mengakui kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 6 September 1944, setahun sebelum proklamasi.) 2. Arab Saudi 3. Mesir 4. Lebanon 5. Syiria 6. Irak 7. Iran 8. Yaman 9. Afganistan 10. Turki Tercatat dalam sejarah bahwa negara-negara Arab adalah negara-negara pertama yang mengakui Kemerdekaan Indonesia. #HUTRI #KemerdekaanIndonesia #BangsaIndonesia #NegaraArab #Arab #NegaraMuslim #ExplorerIndonesia

 Inilah 10 Negara Pertama yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia.


1. Palestina (Palestina mengakui kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 6 September 1944, setahun sebelum proklamasi.)

2. Arab Saudi

3. Mesir

4. Lebanon

5. Syiria

6. Irak

7. Iran

8. Yaman

9. Afganistan

10. Turki



Tercatat dalam sejarah bahwa negara-negara Arab adalah negara-negara pertama yang mengakui Kemerdekaan Indonesia.


#HUTRI #KemerdekaanIndonesia #BangsaIndonesia #NegaraArab #Arab #NegaraMuslim #ExplorerIndonesia

Seorang TNI tertembak disebuah jembatan dengan sepedanya di Malang, Juli 1947.

 Seorang TNI tertembak disebuah jembatan dengan sepedanya di Malang, Juli 1947.