06 June 2024

Masjid, mungkin di Metro, pusat jajahan pertanian Jawa di Lampung - LAMPUNG - 1940 Pencipta/lainnya Kolk, Jan van der. sumber : KITLV Leiden #lampung #metro #lampungtengah #lampungtimur #lampungbarat #lampungutara #tanjungkarang #tulangbawang #waykanan #jadul #jamandulu #photojadul #old #oldphotos📷 #oldpic📷 #sejarah #tempodulu #tempoedoeloe #sejarah #indonesia #oldvideo #videolama

 Masjid, mungkin di Metro, pusat jajahan pertanian Jawa di  Lampung - LAMPUNG - 1940 




Pencipta/lainnya

Kolk, Jan van der.

sumber : KITLV Leiden 

#lampung #metro #lampungtengah #lampungtimur #lampungbarat #lampungutara #tanjungkarang #tulangbawang #waykanan   #jadul #jamandulu #photojadul #old #oldphotos📷 #oldpic📷 #sejarah #tempodulu #tempoedoeloe #sejarah #indonesia #oldvideo #videolama

TARI BEDHAYA KETAWANG EKSPRESI RASA CINTA NYAI RORO KIDUL KEPADA SULTAN MATARAM Tari Bedaya Ketawang adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta raja). Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut KeTuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tari Bedhaya Ketawang dianggap sebagai bedhaya yang tertua dan dijadikan sebagai kiblat dari tari bedhaya lainnya yang lebih muda. LEGENDA TARI BEDHAYA KETAWANG Ada beberapa legenda yang menceritakan asal usul tarian ini. Untuk versi pertama pada suatu ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semadi. Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara tembang (senandung) dari arah tawang atau langit. Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut. Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka. Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung akhirnya menciptakan sendiri sebuah tarian yang kemudian diberi nama tari Bedhaya Ketawang. Versi kedua, dikisahkan bahwa dalam pertapaannya Panembahan Senopati secara kebetulan bertemu dengan Nyi Roro Kidul di pantai perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Panembahan Senopati dan Nyo Roro Kidul saling tertarik satu sama lain. Panembahan Senopati kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka kemudian menikah dan tinggal selama beberapa waktu disana, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda. Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul. Pada akhirnya, Sang Sultan kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu berjanji akan selalu melindungi Sultan Mataram dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya. SEPUTAR TARIAN BEDHAYA KETAWANG Meskipun Tari Bedhaya Ketawang merupakan hasil warisan dari kesultanan Mataram, namun tari ini sekarang hanya dipentaskan di Kasunanan Surakarta. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang mana perjanjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pembagian wilayah ini juga dibarengi dengan pembagian kebudayaan serta kesenian yang ditinggalkan oleh Kerajaan Mataram, salah satunya adalah Tari Bedhaya Ketawang. Tari ini dibawakan oleh sembilan orang penari. Dalam pementasannya, konon Nyai Roro Kidul akan ikut menari dan menggenapi jumlah penari menjadi sepuluh orang. Penari tarian Bedhaya Ketawang tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Terdapat beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh seorang penari Bedhaya Ketawang. Beberapa syarat tersebut di antaranya: 1. Para penari harus dalam keadaan suci dan tidak sedang mengalami menstruasi. 2. Para penari harus masih dalam keadaan perawan. 3. Para penari berusia antara 17-25 tahun. Umur tersebut dipilih karena masih mempunyai kekuatan untuk menari selama 1,5 jam dan masih memiliki kulit yang kencang, cantik, dengan wajah yang berseri-seri. 4. Seorang penari harus memiliki postur tubuh yang proporsional dan memiliki daya tahan tubuh yang baik. 5. Dan yang terakhir, seorang penari harus melakukan puasa mutih. Yaitu puasa dengan tidak makan selain makanan yang berwarna putih selama beberapa hari. Kemudian busana yang dikenakan pada penari Bedhaya Ketawang yaitu menggunakan dodot ageng atau basahan yang dipadukan dengan kain cindhe kembang warna ungu. Rambu penari dihias dengan gelung bokor mengkurep. Kemudian penari Bedhaya Ketawang menggunakan aksesoris seperti kentrung, garuda mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha. Kostum yang digunakan tersebut merupakan kostum pengantin perempuan Jawa Tengah. Lalu pengiring yang digunakan untuk mengiringi tarian Bedhaya Ketawang adalah gamelan, yang terdiri atas lima macam yang berlaras pelog pathet lima. Gamelan tersebut yaitu gendhing (kemanak), kala (kendhang), sangka (gong), pamucuk (kethuk), dan sauran (kenong). Terdapat beberapa aturan yang harus ditaati oleh penonton pada saat pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang berlangsung. Pertama, tidak boleh makan. Kedua, tidak boleh merokok. Lalu yang terakhir, para penonton harus diam dan tidak boleh mengobrol atau berbicara. Sudah sebaiknya kita menghargai dan menjalankan pakem dalam penyelenggaraan Tari Bedhaya Ketawang tersebut. Agar, keasliannya dan keberadaannya tetap terus terjaga. Sekian cerita mengenai asal usul tari Bedhaya Ketawang semoga bermanfaat. Sumber : surakarta.go.id, wikipedia, www.merdeka.com

 TARI BEDHAYA KETAWANG

EKSPRESI RASA CINTA NYAI RORO KIDUL

KEPADA SULTAN MATARAM


Tari Bedaya Ketawang adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta raja). 



Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut KeTuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tari Bedhaya Ketawang dianggap sebagai bedhaya yang tertua dan dijadikan sebagai kiblat dari tari bedhaya lainnya yang lebih muda. 


LEGENDA TARI BEDHAYA KETAWANG

Ada beberapa legenda yang menceritakan asal usul tarian ini. Untuk versi pertama pada suatu ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semadi. Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara tembang (senandung) dari arah tawang atau langit. Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut. Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka. Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung akhirnya menciptakan sendiri sebuah tarian yang kemudian diberi nama tari Bedhaya Ketawang.

 

Versi kedua, dikisahkan bahwa dalam pertapaannya Panembahan Senopati secara kebetulan bertemu dengan Nyi Roro Kidul di pantai perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Panembahan Senopati dan Nyo Roro Kidul saling tertarik satu sama lain.


Panembahan Senopati kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka kemudian menikah dan tinggal selama beberapa waktu disana, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda.


Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul. Pada akhirnya, Sang Sultan kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu berjanji akan selalu melindungi Sultan Mataram dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya.


SEPUTAR TARIAN BEDHAYA KETAWANG

Meskipun Tari Bedhaya Ketawang merupakan hasil warisan dari kesultanan Mataram, namun tari ini sekarang hanya dipentaskan di Kasunanan Surakarta. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang mana perjanjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pembagian wilayah ini juga dibarengi dengan pembagian kebudayaan serta kesenian yang ditinggalkan oleh Kerajaan Mataram, salah satunya adalah Tari Bedhaya Ketawang. 


Tari ini dibawakan oleh sembilan orang penari. Dalam pementasannya, konon Nyai Roro Kidul akan ikut menari dan menggenapi jumlah penari menjadi sepuluh orang. 


Penari tarian Bedhaya Ketawang tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Terdapat beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh seorang penari Bedhaya Ketawang. Beberapa syarat tersebut di antaranya: 

1. Para penari harus dalam keadaan suci dan tidak sedang mengalami menstruasi. 

2. Para penari harus masih dalam keadaan perawan. 

3. Para penari berusia antara 17-25 tahun. Umur tersebut dipilih karena masih mempunyai kekuatan untuk menari selama 1,5 jam dan masih memiliki kulit yang kencang, cantik, dengan wajah yang berseri-seri. 

4. Seorang penari harus memiliki postur tubuh yang proporsional dan memiliki daya tahan tubuh yang baik.

5. Dan yang terakhir, seorang penari harus melakukan puasa mutih. Yaitu puasa dengan tidak makan selain makanan yang berwarna putih selama beberapa hari.


Kemudian busana yang dikenakan pada penari Bedhaya Ketawang yaitu menggunakan dodot ageng atau basahan yang dipadukan dengan kain cindhe kembang warna ungu. Rambu penari dihias dengan gelung bokor mengkurep. Kemudian penari Bedhaya Ketawang menggunakan aksesoris seperti kentrung, garuda mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha. Kostum yang digunakan tersebut merupakan kostum pengantin perempuan Jawa Tengah. 


Lalu pengiring yang digunakan untuk mengiringi tarian Bedhaya Ketawang adalah gamelan, yang terdiri atas lima macam yang berlaras pelog pathet lima. Gamelan tersebut yaitu gendhing (kemanak), kala (kendhang), sangka (gong), pamucuk (kethuk), dan sauran (kenong). 


Terdapat beberapa aturan yang harus ditaati oleh penonton pada saat pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang berlangsung. Pertama, tidak boleh makan. Kedua, tidak boleh merokok. Lalu yang terakhir, para penonton harus diam dan tidak boleh mengobrol atau berbicara. Sudah sebaiknya kita menghargai dan menjalankan pakem dalam penyelenggaraan Tari Bedhaya Ketawang tersebut. Agar, keasliannya dan keberadaannya tetap terus terjaga. Sekian cerita mengenai asal usul tari Bedhaya Ketawang semoga bermanfaat.


Sumber : surakarta.go.id, wikipedia, www.merdeka.com

"MICKEY MOUSE" BERUSIA 1100 TAHUN Sebuah artefak kuno berumur 1100 tahun yang memiliki bentuk mirip karakter kartun terkenal Disney, Mickey Mouse ditemukan di Kawasan Uppakra, 5 KM di sebelah selatan Lund, Swedia. Artefak kecil yang terbuat dari bahan perunggu ini kemungkinan merupakan aksesoris baju/bros yang digunakan orang2 pada masa itu. Menurut Jerry Rosenberg, kepala penggalian situs purbakala di Uppakra, ia beserta rekan2-nya setidaknya telah menemukan 20.000 artefak2 unik di situs tersebut. Saat ini, artefak unik yang berasal dari zaman besi itu telah terpajang dan tersimpan dengan baik di Historical Museeum Lund. Sumber : Kumpulan Misteri Dunia

 "MICKEY MOUSE" BERUSIA 1100 TAHUN


Sebuah  artefak  kuno  berumur  1100  tahun  yang memiliki bentuk mirip karakter kartun terkenal Disney, Mickey Mouse ditemukan di Kawasan Uppakra, 5 KM di sebelah selatan Lund, Swedia. 



Artefak kecil yang  terbuat  dari  bahan  perunggu  ini  kemungkinan merupakan  aksesoris  baju/bros  yang  digunakan orang2  pada  masa  itu.  Menurut  Jerry  Rosenberg, kepala  penggalian  situs  purbakala  di  Uppakra,  ia beserta  rekan2-nya  setidaknya  telah  menemukan 20.000  artefak2  unik  di  situs  tersebut.  


Saat  ini,  artefak  unik  yang  berasal  dari zaman besi itu telah terpajang dan tersimpan dengan baik di Historical Museeum Lund.


Sumber : Kumpulan Misteri Dunia

Tempatmu nyebutnya apa lur? Orson apa bukan ? Diantara rasa yang dijual (biasanya jeruk, moka, sarsaparila, frambozen dll), yg kamu suka rasa apa ? Buat pembaca yg lahir 90an, zaman dulu belum ada minimarket. Jadi kalau mo minum soft drink ya nunggu bakul orson/limun lewat. Jadi sensasinya ini persis kalau kamu buka lemari es isi softdrink di minimart jaman now.. Uademm.. nyesss Nek ora lewat yo wis, ngombé banyu kendi. Simple haha Note Penjual limun/drankverkoper te Djokja Tropenmuseum

 Tempatmu nyebutnya apa lur?

Orson apa bukan ?

Diantara rasa yang dijual (biasanya jeruk, moka, sarsaparila, frambozen dll), 

yg kamu suka rasa apa ? 


Buat pembaca yg lahir 90an, zaman dulu belum ada minimarket. Jadi kalau mo minum soft drink ya nunggu bakul orson/limun lewat. 

Jadi sensasinya ini persis kalau kamu buka lemari es isi softdrink di minimart jaman now..

Uademm.. nyesss


Nek ora lewat yo wis, ngombé banyu kendi.

Simple haha



Note

Penjual limun/drankverkoper te Djokja

Tropenmuseum

Pohon palsu digunakan dalam Perang Dunia 1 sebagai pos pengamatan.

 Pohon palsu digunakan dalam Perang Dunia 1 sebagai pos pengamatan.



05 June 2024

KI AGENG SELO LEGENDA “FLASH” TANAH JAWA Saat dunia belum mengenal tokoh Superhero Amerika “Flash” dan Superhero lokal Indonesia Sang Putra Petir “Gundala” belum lahir ke dunia, ratusan tahun sebelumnya Indonesia sudah melahirkan tokoh hebat yang berhasil menangkap petir (bledeg). Beliau adalah Ki Ageng Selo. Berbeda dengan Flash dan Gundala yang tersambar petir (bledeg), Ki Ageng Selo malah berhasil menangkap petir (bledeg) yang bermaksud menyambarnya. Siapa Ki Ageng Selo silakan baca cerita dibawah ini. SILSILAH & ASAL USUL KI AGENG SELO Ki Ageng Selo memiliki nama kecil Bagus Songgom, beliau keturunan Ki Getas Pandawa anak dari Bondan Kejawan alias Dyah Lembu Peteng anak dari Prabu Kertabumi (Majapahit). Ki Ageng Selo kemudian memiliki anak laki-laki yang dikenal sebagai Ki Ageng Ngenis dengan enam kakak yang semuanya perempuan. Ki Ageng Ngenis memiliki anak yang dikenal sebagai Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan inilah yang membuka hutan Mataram , anak Ki Ageng Pemanahan bernama Danang Sutowijaya, dan Sutowijaya ini dikenal sebagai Panembahan Senopati pendiri Dinasti Mataram Islam. Ki Ageng Selo hidup di masa Kesultanan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16. Dinamakan Selo karena desa tempatnya tinggal bernama desa Selo. Nama Selo berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan. LEGENDA KI AGENG SELO MENANGKAP PETIR Ki Ageng Selo dikenal sebagai sang penakluk petir. Kisah tersebut bermula saat Ki Ageng Selo membuka ladang. Kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika itu datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga mengganggu kegiatan pertaniannya. Terganggu dengan hal tersebut, Ki Ageng Selo menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya. Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Selo yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Ki Ageng Selo berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandrik dan makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua. Ki Ageng Selo pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Di Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang. Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Selo menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api. Demikianlah sekilas kisah legenda Ki Ageng Selo leluhur Mataram Islam. Terima kasih sudah membaca. Sumber : jateng.solopos, Babad Tanah Jawi, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

 KI AGENG SELO

LEGENDA “FLASH” TANAH JAWA



Saat dunia belum mengenal tokoh Superhero Amerika “Flash” dan Superhero lokal Indonesia Sang Putra Petir “Gundala” belum lahir ke dunia, ratusan tahun sebelumnya Indonesia sudah melahirkan tokoh hebat yang berhasil menangkap petir (bledeg). Beliau adalah Ki Ageng Selo. Berbeda dengan Flash dan Gundala yang tersambar petir (bledeg), Ki Ageng Selo malah berhasil menangkap petir (bledeg) yang bermaksud menyambarnya. Siapa Ki Ageng Selo silakan baca cerita dibawah ini.

 

SILSILAH & ASAL USUL KI AGENG SELO

Ki Ageng Selo memiliki nama kecil Bagus Songgom, beliau keturunan Ki Getas Pandawa anak dari Bondan Kejawan alias Dyah Lembu Peteng anak dari Prabu Kertabumi (Majapahit). Ki Ageng Selo kemudian memiliki anak laki-laki yang dikenal sebagai Ki Ageng Ngenis dengan enam kakak yang semuanya perempuan. Ki Ageng Ngenis memiliki anak yang dikenal sebagai Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan inilah yang membuka hutan Mataram , anak Ki Ageng Pemanahan bernama Danang Sutowijaya, dan Sutowijaya ini dikenal sebagai Panembahan Senopati pendiri Dinasti Mataram Islam.

 

Ki Ageng Selo hidup di masa Kesultanan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16. Dinamakan Selo karena desa tempatnya tinggal bernama desa Selo. Nama Selo berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan.


LEGENDA KI AGENG SELO MENANGKAP PETIR

Ki Ageng Selo dikenal sebagai sang penakluk petir. Kisah tersebut bermula saat Ki Ageng Selo membuka ladang. Kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika itu datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga mengganggu kegiatan pertaniannya. Terganggu dengan hal tersebut, Ki Ageng Selo menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya. 


Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Selo yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Ki Ageng Selo berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandrik dan makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua. 


Ki Ageng Selo pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Di Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang. 


Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Selo menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.


Demikianlah sekilas kisah legenda Ki Ageng Selo leluhur Mataram Islam. Terima kasih sudah membaca.


Sumber : jateng.solopos, Babad Tanah Jawi, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

MISTERI BATERAI BAGHDAD Ini adalah Baterai Baghdad, sebuah sebutan untuk artefak-artefak yang ditemukan pada tahun 1936 oleh seorang arkeolog Jerman bernama Wilhelm König, yang sedang melakukan pencarian di sebuah makam kuno di desa Khuyut Rabbou'a, dekat Baghdad, Irak. Artefak ini berupa sebuah pot tanah liat berwarna kuning, berukuran 6 inci, sebuah silinder yang terbuat dari lembaran tembaga yang ditempelkan pada mulut panci menggunakan segel dari 60% -40% campuran timbal-timah, dan sebuah batang besi. Pada tahun 1938, König menerbitkan tulisan yang menduga bahwa artefak tersebut merupakan sel galvanik, yaitu sebuah alat yang dapat menghasilkan arus listrik dengan menggunakan reaksi kimia antara dua logam yang dicelupkan ke dalam larutan elektrolit. Jika benar, artefak ini mendahului penemuan Alessandro Volta tahun 1800, yang dianggap sebagai penemu baterai modern. Tapi beberapa ilmuwan tidak sependapat dengan Konig dan berspekulasi bahwa artefak ini tidak benar berfungsi sebagai baterai, karena tidak ada bukti bahwa orang-orang di zaman kuno memiliki pengetahuan dan teknologi listrik yang cukup untuk membuat dan menggunakan baterai. Selain itu, tidak ada penjelasan yang meyakinkan tentang kegunaan dan asal-usul artefak ini. Apakah artefak ini benar dibuat di Mesopotamia atau diimpor dari tempat lain? Dan apakah untuk tujuan keagamaan, medis, atau ilmiah? Atau apakah artefak ini hanyalah sebuah kebetulan yang tidak berarti? Sampai saat ini, belum ada jawaban yang pasti. Sumber: Baterai Baghdad berusia 2.000 tahun (jp-robinson.com)

 MISTERI BATERAI BAGHDAD


Ini adalah Baterai Baghdad, sebuah sebutan untuk artefak-artefak yang ditemukan pada tahun 1936 oleh seorang arkeolog Jerman bernama Wilhelm König, yang sedang melakukan pencarian di sebuah makam kuno di desa Khuyut Rabbou'a, dekat Baghdad, Irak. 



Artefak ini berupa sebuah pot tanah liat berwarna kuning, berukuran 6 inci, sebuah silinder yang terbuat dari lembaran tembaga yang ditempelkan pada mulut panci menggunakan segel dari 60% -40% campuran timbal-timah, dan sebuah batang besi. 


Pada tahun 1938, König menerbitkan tulisan yang menduga bahwa artefak tersebut merupakan sel galvanik, yaitu sebuah alat yang dapat menghasilkan arus listrik dengan menggunakan reaksi kimia antara dua logam yang dicelupkan ke dalam larutan elektrolit. Jika benar, artefak ini mendahului penemuan Alessandro Volta tahun 1800, yang dianggap sebagai penemu baterai modern.


Tapi beberapa ilmuwan tidak sependapat dengan Konig dan berspekulasi bahwa artefak ini tidak benar berfungsi sebagai baterai, karena tidak ada bukti bahwa orang-orang di zaman kuno memiliki pengetahuan dan teknologi listrik yang cukup untuk membuat dan menggunakan baterai. 


Selain itu, tidak ada penjelasan yang meyakinkan tentang kegunaan dan asal-usul artefak ini. Apakah artefak ini benar dibuat di Mesopotamia atau diimpor dari tempat lain? Dan apakah untuk tujuan keagamaan, medis, atau ilmiah? Atau apakah artefak ini hanyalah sebuah kebetulan yang tidak berarti? Sampai saat ini, belum ada jawaban yang pasti. 


Sumber: Baterai Baghdad berusia 2.000 tahun (jp-robinson.com)

04 June 2024

PRABHU AMANGKURAT AGUNG Terlahir dengan nama Gusti Raden Mas Sayidin pada tanggal 24 Juni 1619 di Keraton Kotagedhe. Beliau adalah putra Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Garwa Ratu Mas Batang, cucu Ki Ageng Juru Mertani. Sejak kecil Raden Sayidin adalah pribadi yang ramah tamah, cerdas , pintar, terampil, welas asih, unggul, bijaksana Ketika kecil beliau diasuh oleh Eyang putri Ratu Mas Hadi, Garwa Panembahan Hadi Hanyakrawati. Sultan Agung sangat perhatian dan peduli untuk pendidikan dan masa depan putranya. Raden Sayidin menghabiskan waktunya untuk sekolah / menimba ilmu diluar Kraton Karta. Pada usia 4 tahun dimasukkan ke pesantren anak anak di Nglandoh Kayen Pati.Tahun 1625 Raden Sayidin melanjutkan belajar Agama di Pondok Pesantren Besuki Pasuruan. Di antar oleh Kanjeng Ratu Pandansari istri dari Pangeran Pekik bupati Surabaya. Tahun 1627 Belajar Ilmu kejawen Di padepokan Joyoboyo yang di kelola oleh Raden Panji di Kediri.Kemudian Tahun 1628 Raden Sayidin melanjutkan Belajar Agama dengan Syech Syamsuddin Berasal dari Baros atau sering di sebut Ki Lembah Manah di padepokan Pekuncen Tegal.Tahun 1629 Melanjutkan belajar Agama di Perguruan Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak. Tahun 1630 melanjutkan belajar Sejarah Ki Ageng tarub dan Ki Ageng Selo di wilayah Grobogan. Tahun 1632 Raden Sayidin belajar Demografi di kota Tamasek Singapura. Tahun 1634 Hamangkurat Agung lanjut belajar ke Turki Dengan izin Sultan Murad IV beliau belajar ilmu sosiologi di Universitas Teknik Istanbul Turki. Tahun 1636 Raden Sayidin melanjutkan belajar tentang ilmu Tata kota di negri Paris, atas beasiswa dari Raja Louis IV Perancis. Tahun 1638 sepulang dari Prancis beliau menunaikan ibadah haji ke kota Mekkah. Bersama rombongan Alim Ulama dari Sumenep Madura. Setelah Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat, beliau menggantikan sebagai Raja Mataram. Tetapi penobatan dilaksanakan pada tahun 1646 dengan gelar : Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I Pada tahun 1647 Sunan Amangkurat I memindahkan kedudukan ibukota Keraton Mataram dari Karta ke Plered. " Segenap rakyatku, buatlah batu bata. Karena saya tidak mau tinggal di bekas kediaman Ayahanda. Saya akan membangun Kota Pleret " Itulah sabda Raden Sayidin sesaat setelah dinobatkan menjadi Sultan Mataram yang bergelar Sunan Amangkurat I Sunan Amangkurat I memindahkan pusat kerajaan Mataram dari Karta ke Pleret yang jaraknya hanya 2km pada tahun 1647 Karena pada intinya Sunan Amangkurat I menginginkan istana yang terlindung dari serangan musuh. Beliau ingin membangun kraton di Pleret karena disana kotanya diapit oleh dua sungai yaitu Kali Opak dan Kali Gajah yang membuat musuh tidak bisa langsung menyerbu Pleret. Dan lagi beliau meneruskan pembangunan Danau buatan yang membendung Kali Opak yang dulu telah dibangun oleh Sultan Agung dan dinamakan " Segara Yasa " sebagai tempat berlatih armada perang, juga untuk keperluan sehari hari kraton dan rakyat sekitar.Juga untuk pengamanan jika ada serangan dari luar. Istana Pleret di bangun diatas tanah seluas 35 hektar didalam tembok beteng yang tingginya tiga depa. dengan dua lapis pintu gerbang,dan disekeliling luar beteng dibangun parit parit dalam. Sunan Amangkurat I juga membangun Masjid yang lebih luas dan indah dan Krapyak untuk Beliau berburu. Beliau juga membangun Sumur Gumuling, yang menurut babad menghubungkan Kraton Pleret hingga ke Laut Selatan. Lebih dari semua itu Kraton Pleret sangatlah indah dipandang, sebuah istana dipinggir danau dengan latar belakang gunung Seribu. Masa pemerintahan Sunan Amangkurat I banyak dibangun usaha industri dan mengembangkan pertanian sebagai Nagari Agraris Tahun 1639 mendirikan Pabrik trasi di lasem rembang dan pabrik brem di madiun. Tahun 1661 Membangun Industri logam di Kudus Tahun 1666 Mengembangkan Tanaman agrobis di lereng Semeru Malang. Tahun 1659 Mengembangkan Tanaman kopi di kembang Ungaran. Tahun 1669 membangun pasar lelang ikan di Sampang Madura. Tahun 1670 membangun Industri kopi di Bangkalan Madura. Tahun 1668 mengembangkan garam yodium di Pamekasan Madura. Tahun 1673 membangun Industri logam di Sidoarjo. Tahun 1656 membangun Bendungan serayu di Purbalingga Tahun 1672 membangun Industri gula merah di Kebumen Sunan Amangkurat I juga ingin mewujudkan Kraton Mataram sebagai Negeri Bahari atau Nagari Maritim Tahun 1640 Pangeran Sayidin Mendirikan Sekolah Pelayaran di Kabupaten Tegal. Tahun 1648 Hamangkurat Agung Membangun Pelabuhan Tanjung Perak surabaya. Tahun 1654 Hamangkurat Agung membangun Pelabuhan Tanjung Kodok Lamongan. Tahun 1658 Hamangkurat Agung membangun Pelabuhan Tanjung Emas Kendal Semarang Sunan Amangkurat I sangat peduli kepada rakyatnya terbukti beliau mendirikan yayasan untuk menolong rakyatnya Tahun 1643 mendirikan Yayasan Pendidikan Untuk Anak tidak mampu di Brosot Kulonprogo Tahun 1643 mendirikan Yayasan Yatim piatu di Lesmana Ajibarang Banyumas. Tahun 1674 membangun rumah sakit umum di salatiga. Tahun 1676 membangun rumah sosial di Gumelem Susukan Banjarnegara. Tahun 1676 membuat kantor pertolongan buat orang miskin di Karanggayam Kebumen. Namun demikian masa pemerintahan Sunan Amangkurat ,Kraton Pleret banyak menyimpan kisah intrik, tragedi, tragis dan miris para penghuninya. Ada cerita pembunuhan, perselingkuhan, perebutan tahta.Ada kisah Pangeran Alit adik Sunan Amangkurat I yang dibunuh berikut para pendukungnya karena melawan kakaknya, Ada kisah cinta segitiga Rara Hoyi , Sunan Amangkurat I dan Raden Rahmat putranya yang akhirnya Rara Hoyi dibunuh oleh Raden Rahmat karena perintah ayahnya. Ada kisah Pangeran Pekik sang mertua Sunan Amangkurat I yang dibunuh oleh menantunya. Ada pula kisah Ratu Malang, istri Sunan Amangkurat I yang wafat dan dianggap pembunuhnya para selirnya Hingga Pleret mencapai titik akhir ketika Sunan Amangkurat I membatalkan Raden Rahmat sebagai putra mahkota digantikan putranya yang lain. Dan Raden Rahmat meminta Panembahan Rama seorang cucu Sunan Tembayat juga keturunan Pangeran Kajoran seorang Guru spritual yang dikenal sakti dan dihormati untuk mencari orang untuk menundukkan ayahnya. Dan tersebutlah Trunajaya keponakan Panembahan Rama yang kemudian menyerang Pleret dan menguasai Kraton Pleret pada tanggal 28 Juni 1677 hingga membuat Sunan Amangkurat I keluar dari istana pada malam hari dengan didampingi keluarganya juga Raden Rahmat yang berbalik arah memusuhi Trunajaya. Tujuannya adalah ke Batavia. Sebelum menuju ke barat, Sunan Amangkurat I terlebih dahulu nyekar ke makam Sultan Agung, Ayahandanya di Astana Imogiri. Di sana beliau bermalam satu hari. Keesokan harinya beliau dan rombongan melanjutkan perjalanan ke arah barat. Pada tanggal 30 Juni 1677 rombongan Amangkurat Agung memasuki wilayah Panjer Roma yaitu di Rowo Ambal yang disambut langsung oleh Adipati Panjer Roma yaitu Ki Kertowongso (Ki Gedhe Panjer lll) putra Ki Curigo putra Ki Kertasuta putra Ki Bodronolo putra Ki Madusena putra Ki Ageng Wanabaya. Sesampainya di rumah kediaman Ki Gedhe Panjer lll, didapatinya badan Sunan Amangkurat I terlihat lemas dengan wajah pucat. Ki Gedhe Panjer lll memastikan bahwa penyakit beliau bukan penyakit biasa melainkan akibat keracunan. Ki Gedhe Panjer lll berinsiatif untuk memberinya air kelapa muda, tetapi karena suasananya malam hari dan sedang hujan lebat Ki Gedhe Panjer lll yang didapatinya adalah kelapa yang sudah tua dan memberikan air kelapa tua (kelapa aking) tersebut kepada Amangkurat Agung. Ajaibnya badan beliau kembali sehat dan merasa segar, kekuatannya pun pulih kembali. Maka atas jasanya dalam memberi minum kelapa aking kepada Sunan Amangkurat Agung itulah Ki Gedhe Panjer III kemudian diangkat sebagai seorang Tumenggung dengan gelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I) Selain itu, ia juga dinikahkan dengan putri Sunan Amangkurat I yang bernama Dewi Mulat (Klenting Abang). Dan kelak menurunkan Kolopaking. Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 1677 rombongan Amangkurat Agung kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat dengan diantar oleh Ki Gedhe Panjer lll melalui daerah Bocor sampai ke Nampudadi dimana Adipati Anom, sang putra mahkota menyusul ayahnya dari arah timur dan bergabung bersama rombongan sampai ke Karanganyar. Tiba di Banyumas rombongan Amangkurat Agung menginap tiga malam. Ketika kesehatannya sudah agak membaik, rombongan Raja itu melanjutkan perjalanannya ke Ajibarang. Di Ajibarang kembali jatuh sakit. Raja pun menyerahkan benda pusaka berupa gong Kiai Bijak dan keris Kiai Baladar kepada Raden Rahmat dan terpaksa menunjuk Raden Rahmat sebagai Penggantinya sebagai raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat II. Tetapi Sunan Amangkurat I juga bersumpah kelak Raden Rahmat hanya akan menurunkan satu keturunan raja saja. Perjalanan masih dilanjutkan, tapi tiba di Wanayasa atau Winduaji, Raja Mataram Amangkurat I itu pun wafat, di Desa Pasiraman. Dari kata siram, yang artinya dimandikan, berubah menjadi nama desa, yaitu Pasiraman. Tanggal 13 Juli 1677 Sunan Amangkurat I meninggal di Wanayasa (suatu desa di Banyumas utara) ketika dalam pelarian, dan beliau berwasiat agar dimakamkan di dekat gurunya. Lokasinya kini ada di Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Karena tanahnya berbau harum, daerah tempat Amangkurat I dimakamkan dijuluki "Tegalarum" atau "Tegalwangi". Akhirnya Sunan Amangkurat I dijuluki dengan nama Sunan Tegalarum atau Sunan Tegalwangi. Jenasah Susuhunan Amangkurat Agung yang berkuasa selama 33 tahun itu akhirnya dimakamkan / diletakkan / disarekan di Tegalwangi, di bangun di suatu ketinggian puncak bukit buatan tanpa dikuburkan. Hingga akhirnya tahun 1960 an peti jenasah beliau ditutup dengan tanah. Dan disempurnakan dengan batu nisan / kijing diatasnya Amangkurat I dimakamkan disamping makam gurunya Tumenggung Danupaya alias Ki Ageng Lembah Manah, agak jauh dari makam guru spiritualnya Syekh Syamsuddin. Di atas makamnya dibangun cungkup yang sederhana. Setelah beliau wafat, pada tahun 1678 sebagai penghormatan untuk Sunan Amangkurat I atas jasa jasa beliau untuk Kraton Mataram dan kepedulian beliau kepada rakyat miskin akhirnya Sunan Amangkurat II menganugrahkan gelar untuk Sunan Amangkurat I yaitu : " Susuhunan Prabhu Amangkurat Agung " Tahun 1644 menikah dengan Kanjeng Ratu Pembayun putri Pangeran Pekik. Kanjeng Ratu Pembayun wafat setelah melahirkan Raden Rahmat ( kelak Sunan Amangkurat II ) Tahun 1646 Sunan Amangkurat I menikah dengan Ratu Wiratsari Atau Kanjeng Ratu kencono, putri pangeran major dari pajang melahirkan Raden Drajat ( kelak Pakubuwana I) Garwa Sunan Amangkurat I: I.Kangjêng Ratu Pembayun, putri P.Pekik Surabaya II. Kangjêng Ratu Wetan, banjur nama Ratu Kulon, Kangdjeng Ratu Kencono Trah Kajoran III. Kangjêng Ratu Mas Malang, IV. Kangjêng Ratu Kêncana, saka Kranon, V. Kangjêng Ratu Pasuruhan, kemudian nama Ratu Ayu Mangkurat, Para Putra : 1. Radèn Mas Rahmat, apêparab Radèn Mas Kuning (saka garwa padmi I) nama Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom Mataram, barêng jumênêng nata ajêjuluk Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat, ing Kartasura. . 2. Putri (saka garwa padmi I.) seda timur, ora antara lawas kang ibu nututi seda, Radèn Mas Rahmat, kaparingake marang ingkang garwa II. 3. Pangeran Adipati Pugêr (saka garwa padmi II) jumênêng nata ana ing Mataram, ajêjuluk Kangjêng Susuhunan ing Ngalaga, ,Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana I Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama. 4. Radèn Ajêng Putih (saka garwa pangrêmbe Radèn Langênkusuma, saka ing Banyumas) nama Radèn Ayu Pamot. 5. Radèn Mas Kabula (saka garwa pangrêmbe Radèn Mangkukusuma, putri Mangkubumèn, Mataram, nama Pangeran Martasana. 6. Radèn Mas Pandonga (saka garwa padmi II) nama Pangeran Singasari. 7. Kakung (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Galuh saka Majagaluh) seda timur. 8. Radèn Mas Subêkti (saka garwa padmi III) nama Pangeran Silarong. 9. Putri (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Wulan, saka ing Kajoran) seda timur. 10. Radèn Mas Rêsika (saka garwa padmi III) nama Pangeran Natapraja. 11. Radèn Mas Dadi (saka garwa padmi V) nama Pangeran Rănggasatata. 12. Radèn Mas Sujanma (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Wulan, nama Pangeran Arya Panular. 13. Radèn Ajêng Brungut (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Mayangsari) nama Radèn Ayu Klêting Kuning, salin nama Radèn Ayu Pucang, krama olèh Radèn Arya Sindurêja pêpatih ing Kartasura, pêputra Radèn Sukra, iya Natadirja. 14. Putri (saka garwa padmi IV) nama nunggaksêmi kangbok ayu (13) Radèn Ayu Klêting Kuning, kaboyong marang Trunajaya. 15. Putri (saka garwa pangrêmbe Mas Kênya ing Priyêmbadan) nama Radèn Ayu Klêting Biru, ditrimakake dening kang raka (1) olèh Bagus Buwang, banjur jinunjung linggihe aran Tumênggung Mangkuyuda. 16. Putri (id.) nama Radèn Ayu Klêting Wungu, banjur nama Radèn Ayu Răngga ing Kaliwungu, pêgat seda, krama manèh olèh adipati Mangkupraja. 17. Radèn Mas Tapa (id.) jinunjung dening kang raka (1) nama Pangeran Arya Mataram. 18. Radèn Ajêng Mulat (saka kalangênan manggung Rara Wilas) nama Radèn Ayu Klêting Abang seda. 19. Radèn Ajêng Siram (saka Bok Pantês ing Pajagalan) nama Radèn Ayu Klêting Irêng seda. 20. Kakung (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Danariyêm, saka Gadhing) seda timur. 21. Radèn Ajêng Tungle (saka garwa pangrêmbe Mas Tasik) nama Radèn Ayu Klêting Dadu, katrimakake dening kang raka (1) olèh Radèn Danurêja, banjur nama Radèn Ayu Danurêja. 22. Radèn Ajêng Pusuh (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Danariyêm) nama Radèn Ayu Klêting Ijo, dhaup olèh Pangeran Adipati Wiramênggala 23. Pangeran Harya Natabrata ( saka garwa Ratu Mas Malang ) Al-Fatihah kagem Sunan Amangkurat I. Dikisahkan ulang oleh K.R.T Koes Sajid Djayaningrat

 PRABHU AMANGKURAT AGUNG  


Terlahir dengan nama Gusti Raden Mas Sayidin pada tanggal 24 Juni 1619 di Keraton Kotagedhe. 

Beliau adalah putra Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Garwa Ratu Mas Batang, cucu Ki Ageng Juru Mertani.



Sejak kecil Raden Sayidin adalah pribadi yang ramah tamah, cerdas , pintar, terampil, welas asih, unggul, bijaksana 


Ketika kecil beliau diasuh oleh Eyang putri Ratu  Mas Hadi, Garwa Panembahan Hadi Hanyakrawati. Sultan Agung sangat perhatian dan peduli untuk pendidikan dan masa depan putranya. Raden Sayidin menghabiskan waktunya untuk sekolah  / menimba ilmu diluar Kraton Karta.

Pada usia 4 tahun dimasukkan ke pesantren anak anak di Nglandoh Kayen Pati.Tahun 1625 Raden Sayidin melanjutkan belajar Agama di Pondok Pesantren Besuki Pasuruan. Di antar oleh Kanjeng Ratu Pandansari istri dari Pangeran Pekik bupati Surabaya. Tahun 1627 Belajar Ilmu kejawen Di padepokan Joyoboyo yang di kelola oleh Raden Panji di Kediri.Kemudian Tahun 1628 Raden Sayidin melanjutkan Belajar Agama dengan Syech Syamsuddin Berasal dari Baros atau sering di sebut Ki Lembah Manah di padepokan Pekuncen Tegal.Tahun 1629 Melanjutkan belajar Agama di Perguruan Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak. Tahun 1630 melanjutkan belajar Sejarah Ki Ageng tarub dan Ki Ageng Selo di wilayah Grobogan. Tahun 1632 Raden Sayidin belajar Demografi di kota Tamasek Singapura. Tahun 1634 Hamangkurat Agung lanjut belajar ke Turki Dengan izin Sultan Murad IV beliau belajar ilmu sosiologi di Universitas Teknik Istanbul Turki. 

Tahun 1636 Raden Sayidin melanjutkan belajar tentang ilmu Tata kota di negri Paris, atas beasiswa dari Raja Louis IV Perancis. 

Tahun 1638 sepulang dari Prancis beliau menunaikan ibadah haji ke kota Mekkah. Bersama rombongan Alim Ulama dari Sumenep Madura. 


Setelah Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat, beliau menggantikan sebagai Raja Mataram. Tetapi penobatan dilaksanakan  pada tahun 1646 dengan gelar :


Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I


Pada tahun 1647 Sunan Amangkurat I memindahkan kedudukan ibukota Keraton Mataram dari Karta ke Plered.


" Segenap rakyatku,  buatlah batu bata. Karena saya tidak mau tinggal di bekas kediaman Ayahanda. Saya akan membangun Kota Pleret "


Itulah sabda Raden Sayidin sesaat setelah dinobatkan menjadi Sultan Mataram yang bergelar Sunan Amangkurat I


Sunan Amangkurat I memindahkan pusat kerajaan Mataram dari Karta ke Pleret yang jaraknya hanya 2km pada tahun 1647 Karena pada intinya Sunan Amangkurat I menginginkan istana yang terlindung dari serangan musuh. Beliau ingin membangun kraton di Pleret karena disana kotanya diapit oleh dua sungai yaitu Kali Opak dan Kali Gajah yang membuat musuh tidak bisa langsung menyerbu Pleret. Dan lagi beliau meneruskan pembangunan Danau buatan yang membendung Kali Opak  yang dulu telah dibangun oleh Sultan Agung dan dinamakan " Segara Yasa " sebagai tempat berlatih armada perang, juga untuk keperluan sehari hari kraton dan rakyat sekitar.Juga untuk pengamanan jika ada serangan dari luar. 


Istana Pleret di bangun diatas tanah seluas 35 hektar didalam tembok beteng yang tingginya tiga depa. dengan dua lapis pintu gerbang,dan disekeliling luar beteng dibangun parit parit dalam. 

Sunan Amangkurat I juga membangun Masjid yang lebih luas dan indah  dan Krapyak untuk Beliau berburu. Beliau juga  membangun Sumur Gumuling, yang menurut babad menghubungkan Kraton Pleret hingga ke Laut Selatan. 


Lebih dari semua itu Kraton Pleret sangatlah indah dipandang, sebuah istana dipinggir danau dengan latar belakang gunung Seribu. 


Masa pemerintahan Sunan Amangkurat I banyak dibangun usaha industri dan mengembangkan pertanian sebagai Nagari Agraris

Tahun 1639 mendirikan Pabrik trasi di lasem rembang dan pabrik brem di madiun.

Tahun 1661 Membangun Industri logam di Kudus

Tahun 1666 Mengembangkan Tanaman agrobis di lereng Semeru Malang. 

Tahun 1659  Mengembangkan Tanaman kopi di kembang Ungaran. 

Tahun 1669 membangun pasar lelang ikan di Sampang Madura. 

Tahun 1670 membangun Industri kopi di Bangkalan Madura. 

Tahun 1668  mengembangkan garam yodium di Pamekasan Madura. 

Tahun 1673 membangun Industri logam di Sidoarjo.

Tahun 1656 membangun Bendungan serayu di Purbalingga

Tahun 1672 membangun Industri gula merah di Kebumen


Sunan Amangkurat I juga ingin mewujudkan Kraton Mataram sebagai Negeri Bahari atau Nagari Maritim 

Tahun 1640 Pangeran  Sayidin Mendirikan Sekolah Pelayaran di Kabupaten Tegal. 

Tahun 1648 Hamangkurat Agung Membangun Pelabuhan Tanjung Perak surabaya. 

Tahun 1654 Hamangkurat Agung membangun Pelabuhan Tanjung Kodok Lamongan. 

Tahun 1658 Hamangkurat Agung membangun Pelabuhan Tanjung Emas Kendal Semarang


Sunan Amangkurat I sangat peduli kepada rakyatnya terbukti beliau mendirikan yayasan untuk menolong rakyatnya

Tahun 1643  mendirikan Yayasan Pendidikan Untuk Anak tidak mampu di Brosot Kulonprogo 

Tahun 1643 mendirikan Yayasan Yatim piatu di Lesmana Ajibarang Banyumas. 

Tahun 1674  membangun rumah sakit umum di salatiga. 

Tahun 1676 membangun rumah sosial di Gumelem Susukan Banjarnegara. 

Tahun 1676 membuat kantor pertolongan buat orang miskin di Karanggayam Kebumen. 


Namun demikian masa pemerintahan Sunan Amangkurat  ,Kraton Pleret banyak menyimpan kisah intrik,  tragedi, tragis dan miris para penghuninya. Ada cerita pembunuhan, perselingkuhan, perebutan tahta.Ada kisah Pangeran Alit adik Sunan Amangkurat I yang dibunuh berikut para pendukungnya karena melawan kakaknya, Ada kisah cinta segitiga Rara Hoyi , Sunan Amangkurat I dan Raden Rahmat putranya yang akhirnya Rara Hoyi dibunuh oleh Raden Rahmat  karena perintah ayahnya. Ada kisah Pangeran Pekik sang mertua Sunan Amangkurat I yang dibunuh oleh menantunya. Ada pula kisah Ratu Malang, istri Sunan Amangkurat I yang wafat dan dianggap pembunuhnya para selirnya 


Hingga Pleret mencapai titik akhir ketika Sunan Amangkurat I membatalkan Raden Rahmat sebagai putra mahkota digantikan putranya yang lain. Dan Raden Rahmat meminta Panembahan Rama seorang cucu Sunan Tembayat juga keturunan Pangeran Kajoran  seorang Guru spritual yang dikenal sakti dan dihormati untuk mencari orang untuk menundukkan ayahnya. Dan tersebutlah Trunajaya keponakan Panembahan Rama yang kemudian menyerang Pleret dan menguasai Kraton Pleret pada tanggal 28 Juni 1677 hingga membuat Sunan Amangkurat I keluar dari istana pada malam hari dengan didampingi keluarganya juga Raden Rahmat yang berbalik arah memusuhi Trunajaya. 

Tujuannya adalah ke Batavia. Sebelum menuju ke barat, Sunan Amangkurat I terlebih dahulu nyekar ke makam Sultan Agung,  Ayahandanya di Astana Imogiri. Di sana beliau bermalam satu hari. Keesokan harinya beliau dan rombongan melanjutkan perjalanan ke arah barat. Pada tanggal 30 Juni 1677 rombongan Amangkurat Agung memasuki wilayah Panjer Roma yaitu di Rowo Ambal yang disambut langsung oleh Adipati Panjer Roma yaitu Ki Kertowongso (Ki Gedhe Panjer lll) putra Ki Curigo putra Ki Kertasuta putra Ki Bodronolo putra Ki Madusena putra Ki Ageng Wanabaya. 


Sesampainya di rumah kediaman Ki Gedhe Panjer lll, didapatinya badan Sunan Amangkurat I terlihat lemas dengan wajah pucat. Ki Gedhe Panjer lll memastikan bahwa penyakit beliau bukan penyakit biasa melainkan akibat keracunan. Ki Gedhe Panjer lll berinsiatif untuk memberinya air kelapa muda, tetapi karena suasananya malam hari dan sedang hujan lebat Ki Gedhe Panjer lll yang didapatinya adalah kelapa yang sudah tua dan memberikan air kelapa tua (kelapa aking) tersebut kepada Amangkurat Agung. Ajaibnya badan beliau kembali sehat dan merasa segar, kekuatannya pun pulih kembali. 


Maka atas jasanya dalam memberi minum kelapa aking kepada Sunan Amangkurat Agung itulah Ki Gedhe Panjer III kemudian diangkat sebagai seorang Tumenggung dengan gelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I) Selain itu, ia juga dinikahkan dengan putri Sunan Amangkurat I yang bernama Dewi Mulat (Klenting Abang). Dan kelak menurunkan Kolopaking.


Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 1677 rombongan Amangkurat Agung kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat dengan diantar oleh Ki Gedhe Panjer lll melalui daerah Bocor sampai ke Nampudadi dimana Adipati Anom, sang putra mahkota menyusul ayahnya dari arah timur dan bergabung bersama rombongan sampai ke Karanganyar. 


Tiba di Banyumas rombongan Amangkurat Agung menginap tiga malam. Ketika kesehatannya sudah agak membaik, rombongan Raja itu melanjutkan perjalanannya ke Ajibarang. Di Ajibarang kembali jatuh sakit. Raja pun menyerahkan benda pusaka berupa gong Kiai Bijak dan keris Kiai Baladar kepada Raden Rahmat dan  terpaksa menunjuk Raden Rahmat sebagai Penggantinya sebagai raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat II. Tetapi Sunan Amangkurat I juga bersumpah kelak Raden Rahmat hanya akan menurunkan satu keturunan raja saja. 


Perjalanan masih dilanjutkan, tapi tiba di Wanayasa atau Winduaji, Raja Mataram Amangkurat I itu pun wafat, di Desa Pasiraman. Dari kata siram, yang artinya dimandikan, berubah menjadi nama desa, yaitu Pasiraman.


Tanggal 13 Juli 1677 Sunan Amangkurat I meninggal di Wanayasa (suatu desa di Banyumas utara) ketika dalam pelarian, dan beliau berwasiat agar dimakamkan di dekat gurunya. Lokasinya kini ada di Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Karena tanahnya berbau harum, daerah tempat Amangkurat I dimakamkan dijuluki "Tegalarum" atau "Tegalwangi". Akhirnya  Sunan Amangkurat I dijuluki dengan nama Sunan Tegalarum atau Sunan Tegalwangi. 


Jenasah Susuhunan Amangkurat Agung yang berkuasa selama 33 tahun itu akhirnya dimakamkan / diletakkan / disarekan di Tegalwangi, di bangun di suatu ketinggian puncak bukit buatan tanpa dikuburkan. Hingga akhirnya tahun 1960 an peti jenasah beliau ditutup dengan tanah. Dan disempurnakan dengan batu nisan / kijing diatasnya

Amangkurat I dimakamkan  disamping makam gurunya Tumenggung Danupaya alias Ki Ageng Lembah Manah, agak jauh dari makam guru spiritualnya Syekh Syamsuddin. Di atas makamnya  dibangun cungkup yang sederhana. 


Setelah beliau wafat, pada tahun 1678 sebagai penghormatan untuk Sunan Amangkurat I atas jasa jasa beliau untuk Kraton Mataram dan kepedulian beliau kepada rakyat miskin akhirnya Sunan Amangkurat II menganugrahkan gelar untuk Sunan Amangkurat I yaitu :


" Susuhunan Prabhu Amangkurat Agung " 


Tahun 1644  menikah dengan Kanjeng Ratu Pembayun putri Pangeran Pekik. Kanjeng Ratu Pembayun wafat setelah melahirkan Raden Rahmat ( kelak Sunan Amangkurat II )

Tahun 1646 Sunan Amangkurat I menikah dengan Ratu Wiratsari Atau Kanjeng Ratu kencono, putri pangeran major dari pajang melahirkan Raden Drajat ( kelak Pakubuwana I)


Garwa Sunan Amangkurat I:


I.Kangjêng Ratu Pembayun, putri P.Pekik  Surabaya


II. Kangjêng Ratu Wetan, banjur nama Ratu Kulon, Kangdjeng Ratu Kencono Trah Kajoran


III. Kangjêng Ratu Mas Malang,


IV. Kangjêng Ratu Kêncana, saka Kranon,


V. Kangjêng Ratu Pasuruhan, kemudian nama Ratu Ayu Mangkurat, 


Para Putra :

 1. Radèn Mas Rahmat, apêparab Radèn Mas Kuning (saka garwa padmi I) nama Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom Mataram, barêng jumênêng nata ajêjuluk Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat, ing Kartasura. .


2. Putri (saka garwa padmi I.) seda timur, ora antara lawas kang ibu nututi seda, Radèn Mas Rahmat, kaparingake marang ingkang garwa II.


3. Pangeran Adipati Pugêr (saka garwa padmi II) jumênêng nata ana ing Mataram, ajêjuluk Kangjêng Susuhunan ing Ngalaga, ,Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana I Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama.


4. Radèn Ajêng Putih (saka garwa pangrêmbe Radèn Langênkusuma, saka ing Banyumas) nama Radèn Ayu Pamot.


5. Radèn Mas Kabula (saka garwa pangrêmbe Radèn Mangkukusuma, putri Mangkubumèn, Mataram, nama Pangeran Martasana.


6. Radèn Mas Pandonga (saka garwa padmi II) nama Pangeran Singasari.


7. Kakung (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Galuh saka Majagaluh) seda timur.


8. Radèn Mas Subêkti (saka garwa padmi III) nama Pangeran Silarong.


9. Putri (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Wulan, saka ing Kajoran) seda timur.


10. Radèn Mas Rêsika (saka garwa padmi III) nama Pangeran Natapraja.


11. Radèn Mas Dadi (saka garwa padmi V) nama Pangeran Rănggasatata.


12. Radèn Mas Sujanma (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Wulan, nama Pangeran Arya Panular.


13. Radèn Ajêng Brungut (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Mayangsari) nama Radèn Ayu Klêting Kuning, salin nama Radèn Ayu Pucang, krama olèh Radèn Arya Sindurêja pêpatih ing Kartasura, pêputra Radèn Sukra, iya Natadirja.


14. Putri (saka garwa padmi IV) nama nunggaksêmi kangbok ayu (13) Radèn Ayu Klêting Kuning, kaboyong marang Trunajaya.


15. Putri (saka garwa pangrêmbe Mas Kênya ing Priyêmbadan) nama Radèn Ayu Klêting Biru, ditrimakake dening kang raka (1) olèh Bagus Buwang, banjur jinunjung linggihe aran Tumênggung Mangkuyuda.


16. Putri (id.) nama Radèn Ayu Klêting Wungu, banjur nama Radèn Ayu Răngga ing Kaliwungu, pêgat seda, krama manèh olèh adipati Mangkupraja.


17. Radèn Mas Tapa (id.) jinunjung dening kang raka (1) nama Pangeran Arya Mataram.


18. Radèn Ajêng Mulat (saka kalangênan manggung Rara Wilas) nama Radèn Ayu Klêting Abang seda.


19. Radèn Ajêng Siram (saka Bok Pantês ing Pajagalan) nama Radèn Ayu Klêting Irêng seda.


20. Kakung (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Danariyêm, saka Gadhing) seda timur.


21. Radèn Ajêng Tungle (saka garwa pangrêmbe Mas Tasik) nama Radèn Ayu Klêting Dadu, katrimakake dening kang raka (1) olèh Radèn Danurêja, banjur nama Radèn Ayu Danurêja.


22. Radèn Ajêng Pusuh (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Danariyêm) nama Radèn Ayu Klêting Ijo, dhaup olèh Pangeran Adipati Wiramênggala

23. Pangeran Harya Natabrata ( saka garwa Ratu Mas Malang )


Al-Fatihah kagem Sunan Amangkurat I.


Dikisahkan ulang oleh K.R.T Koes Sajid Djayaningrat

Perang Batak ( 1878 - 1907 M ) ________________________________________________ Tanggal : 1878-1907 M Lokasi : Tapanuli Utara. Hasil : Kemenangan Belanda. Pihak terlibat : Belanda, Kerajaan Batak, Dinasti Sisingamangaraja. Tokoh dan pemimpin : Van Daalen, Sisingamangaraja XII †. Keterangan : Perang Batak (1878-1907) merupakan konflik bersenjata antara Kerajaan Batak dan Belanda yang berlangsung selama 29 tahun. Perang ini dipicu oleh upaya Belanda untuk mewujudkan Pax Netherlandica yang melibatkan penyebaran agama Kristen di wilayah tersebut. Perang ini juga dipicu oleh upaya Belanda untuk menguasai pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak yang memaksa Sisingamangaraja XII untuk pindah ke daerah lain. Selain itu, perang ini juga melibatkan serangan Belanda untuk menguasai wilayah Batak yang menyebabkan pertempuran sengit antara pasukan Batak dan Belanda. Latar Belakang Perang Batak Perang Batak adalah konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, Indonesia, pada awal abad ke-20. Peperangan antara pasukan Belanda yang menjajah dan Suku Batak yang menentang penyebaran agama Kristen serta upaya pengaruh dan penguasaan Belanda di wilayah tersebut. Konflik ini melibatkan perlawanan yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII dari Suku Batak terhadap kebijakan kolonial Belanda. Faktor-faktor yang memicu Perang Batak adalah sebagai berikut: 1. Penolakan Terhadap Kristenisasi Raja Sisingamangaraja XII dan Suku Batak secara umum menolak penyebaran agama Kristen oleh para misionaris Belanda. Mereka khawatir bahwa agama Kristen akan menghancurkan tatanan sosial dan budaya tradisional Batak yang telah ada selama berabad-abad. Ini adalah salah satu faktor utama yang memicu perlawanan mereka terhadap kolonialisasi Belanda. 2. Upaya Belanda Menguasai Wilayah Tapanuli Belanda, dalam upaya untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya di wilayah tersebut, mencoba menguasai pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Hal ini menciptakan ketegangan antara pemerintah kolonial Belanda dan otoritas tradisional Batak yang telah lama berkuasa di wilayah tersebut. 3. Ancaman Terhadap Agama Batak Kuno Agama Batak kuno memiliki peranan penting dalam budaya dan tradisi suku Batak. Kehadiran agama Kristen dianggap sebagai ancaman terhadap agama tradisional ini, dan ini juga memicu perlawanan suku Batak terhadap Belanda. Perang Batak sendiri terjadi dalam beberapa gelombang perlawanan selama bertahun-tahun, dimulai pada awal abad ke-20 dan berlangsung hingga sekitar tahun 1907. Perlawanan ini melibatkan serangkaian pertempuran dan konfrontasi antara pasukan Belanda dan pasukan suku Batak di berbagai wilayah Tapanuli. Kronologi Perang Batak Berikut urutan waktu berlangsung Perang Batak. Tahun 1878 M. Sisingamangaraja XII telah lama ditunggu-tunggu oleh Belanda sebagai pihak yang akan memulai perlawanan dan menyatakan perang. Belanda menggunakan hal ini sebagai dasar untuk mengklaim bahwa Kerajaan Batak adalah pihak yang memulai perang. Untuk menghadapi perlawanan dari Kerajaan Batak, Belanda mengirim residen Boyle pada tanggal 14 Maret 1878 bersama dengan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engles. Pada tanggal 1 Mei 1878, pasukan Belanda menyerbu Bangkara, pusat pemerintahan Sisingamangaraja XII. Sayangnya, pasukan Belanda berhasil merebut Bangkara pada tanggal 3 Mei 1878. Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri dan terpaksa meninggalkan wilayah Aceh untuk mengungsi. Di sisi lain, beberapa raja lain yang masih berada di Bangkara tidak dapat melarikan diri dan dipaksa oleh Belanda untuk bersumpah setia kepada mereka. Namun, Sisingamangaraja XII tidak menyerah begitu saja. Meskipun Bangkara sudah jatuh ke tangan Belanda, dia terus melanjutkan perlawanan secara gerilya. Sayangnya, pada akhir Desember 1878, beberapa daerah seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, dan Huta Ginjang berhasil ditaklukkan oleh pasukan Belanda. Pasukan Sisingamangaraja XII menghadapi keterbatasan dalam hal persenjataan, sehingga mereka menjalin kerjasama dengan para pemimpin di Aceh untuk merancang taktik perang yang efektif. Mereka menerapkan taktik perang sembunyi-sembunyi yang mirip dengan gerilya untuk melanjutkan perlawanan mereka. Tahun 1888 M Pada tahun 1888, pejuang Batak melancarkan serangan ke Kota Tua dengan dukungan tentara Aceh. Meskipun perlawanan ini terjadi, pasukan Belanda di bawah komando J. A. Visser berhasil mengatasi serangan tersebut. Namun, pada saat yang sama, Belanda juga menghadapi serangan yang sedang berlangsung di wilayah Aceh yang membuat mereka mengurangi fokus perlawanan terhadap Sisingamangaraja XII. Tindakan ini diambil oleh Belanda untuk menghindari kerugian lebih lanjut dalam bentuk korban jiwa di tengah pertempuran yang berkecamuk di Aceh. Tahun 1889 M Pasukan Sisingamangaraja XII terus melanjutkan perlawanannya di Lobu Talu. Pada tanggal 8 Agustus 1889, mereka kembali menyerang pasukan Belanda, yang menyebabkan kematian seorang prajurit Belanda. Akibatnya, pasukan Belanda terpaksa mundur dari Lobu Talu. Namun, akhirnya Belanda berhasil merebut kembali kendali atas Lobu Talu setelah mendapat bantuan dari Padang. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paung juga mengalami kekalahan. Pasukan Batak terpaksa melakukan penarikan mundur ke Passinguran. Namun, dalam proses penarikan tersebut, pasukan Belanda tiba-tiba menyerang mereka, memicu pertempuran sengit di antara kedua belah pihak. Pasukan Batak dan Belanda terlibat dalam pertempuran sengit di mana keduanya tidak ingin menyerah. Belanda mulai khawatir dengan keteguhan perlawanan yang terus dilakukan oleh Sisingamangaraja XII, sehingga mereka mencoba mencari jalan diplomatis. Namun, tawaran perdamaian dari Belanda ditolak dengan tegas oleh Sisingamangaraja XII. Tindakan ini membuat Belanda tersinggung, dan sebagai respons, mereka memanggil regu pencari jejak dari Afrika untuk melacak Sisingamangaraja XII. Tahun 1906 M Hingga tahun 1906, Sisingamangaraja XII terus memimpin perlawanan. Namun, sayangnya, panglima perangnya yang bernama Amandopang Manullang ditangkap oleh pasukan Belanda. Pada tahun yang sama, Penasehat Sisingamangaraja XII yang bernama Guru Somaling Pardede juga ditahan oleh pihak Belanda. Tahun 1907 M Pada tahun 1907, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Macan atau Brigade Setan mengelilingi Sisingamangaraja XII. Meskipun demikian, semangat perlawanan sang raja tidak pernah surut, dan ia terus bertahan menghadapi serangan tersebut. Selama pengepungan ini, istri dan anak-anak Sisingamangaraja XII berhasil ditawan oleh Belanda. Kemudian, diikuti dengan penangkapan Raja Buntal, Pangkilim, Boru Sitomorang, Ibunda Sisingamangaraja XII, Sunting Mariam, serta kerabat lainnya. Dampak dan Akibat Perang Batak Perang Batak memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Batak. Salah satu dampak utama dari perang ini adalah tersebarnya agama Kristen ke wilayah Batak yang dibawa oleh para misionaris. Penyebaran agama Kristen ini menjadi salah satu pemicu perlawanan rakyat Tapanuli terhadap Belanda. Selain itu, Perang Batak juga menyebabkan banyaknya masyarakat yang terbunuh, termasuk Raja Sisingamangaraja XII yang gugur pada 17 Juni 1907 ketika sedang berusaha bertahan di situasi genting. Hal ini tentu menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat Batak. Dampak lain dari perang ini adalah kerugian ekonomi yang dialami oleh masyarakat Batak akibat banyak pemukiman yang hancur akibat dibakar oleh pasukan Belanda. Seluruh daerah di Tapanuli juga dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga masyarakat Batak kehilangan kedaulatan atas wilayah mereka.

 Perang Batak ( 1878 - 1907 M )

________________________________________________


Tanggal : 1878-1907 M

Lokasi : Tapanuli Utara.

Hasil : Kemenangan Belanda.

Pihak terlibat : Belanda, Kerajaan Batak, Dinasti Sisingamangaraja.

Tokoh dan pemimpin : Van Daalen, Sisingamangaraja XII  †.



Keterangan : 


Perang Batak (1878-1907) merupakan konflik bersenjata antara Kerajaan Batak dan Belanda yang berlangsung selama 29 tahun.


Perang ini dipicu oleh upaya Belanda untuk mewujudkan Pax Netherlandica yang melibatkan penyebaran agama Kristen di wilayah tersebut.


Perang ini juga dipicu oleh upaya Belanda untuk menguasai pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak yang memaksa Sisingamangaraja XII untuk pindah ke daerah lain.


Selain itu, perang ini juga melibatkan serangan Belanda untuk menguasai wilayah Batak yang menyebabkan pertempuran sengit antara pasukan Batak dan Belanda.


Latar Belakang Perang Batak


Perang Batak adalah konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, Indonesia, pada awal abad ke-20.


Peperangan antara pasukan Belanda yang menjajah dan Suku Batak yang menentang penyebaran agama Kristen serta upaya pengaruh dan penguasaan Belanda di wilayah tersebut.


Konflik ini melibatkan perlawanan yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII dari Suku Batak terhadap kebijakan kolonial Belanda.


Faktor-faktor yang memicu Perang Batak adalah sebagai berikut:


1. Penolakan Terhadap Kristenisasi


Raja Sisingamangaraja XII dan Suku Batak secara umum menolak penyebaran agama Kristen oleh para misionaris Belanda. Mereka khawatir bahwa agama Kristen akan menghancurkan tatanan sosial dan budaya tradisional Batak yang telah ada selama berabad-abad. Ini adalah salah satu faktor utama yang memicu perlawanan mereka terhadap kolonialisasi Belanda.


2. Upaya Belanda Menguasai Wilayah Tapanuli


Belanda, dalam upaya untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya di wilayah tersebut, mencoba menguasai pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Hal ini menciptakan ketegangan antara pemerintah kolonial Belanda dan otoritas tradisional Batak yang telah lama berkuasa di wilayah tersebut.


3. Ancaman Terhadap Agama Batak Kuno


Agama Batak kuno memiliki peranan penting dalam budaya dan tradisi suku Batak.

Kehadiran agama Kristen dianggap sebagai ancaman terhadap agama tradisional ini, dan ini juga memicu perlawanan suku Batak terhadap Belanda. Perang Batak sendiri terjadi dalam beberapa gelombang perlawanan selama bertahun-tahun, dimulai pada awal abad ke-20 dan berlangsung hingga sekitar tahun 1907.

Perlawanan ini melibatkan serangkaian pertempuran dan konfrontasi antara pasukan Belanda dan pasukan suku Batak di berbagai wilayah Tapanuli.


Kronologi Perang Batak

Berikut urutan waktu berlangsung Perang Batak.


Tahun 1878 M.


Sisingamangaraja XII telah lama ditunggu-tunggu oleh Belanda sebagai pihak yang akan memulai perlawanan dan menyatakan perang. Belanda menggunakan hal ini sebagai dasar untuk mengklaim bahwa Kerajaan Batak adalah pihak yang memulai perang.

Untuk menghadapi perlawanan dari Kerajaan Batak, Belanda mengirim residen Boyle pada tanggal 14 Maret 1878 bersama dengan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engles.


Pada tanggal 1 Mei 1878, pasukan Belanda menyerbu Bangkara, pusat pemerintahan Sisingamangaraja XII. Sayangnya, pasukan Belanda berhasil merebut Bangkara pada tanggal 3 Mei 1878. Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri dan terpaksa meninggalkan wilayah Aceh untuk mengungsi.


Di sisi lain, beberapa raja lain yang masih berada di Bangkara tidak dapat melarikan diri dan dipaksa oleh Belanda untuk bersumpah setia kepada mereka. Namun, Sisingamangaraja XII tidak menyerah begitu saja. Meskipun Bangkara sudah jatuh ke tangan Belanda, dia terus melanjutkan perlawanan secara gerilya.


Sayangnya, pada akhir Desember 1878, beberapa daerah seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, dan Huta Ginjang berhasil ditaklukkan oleh pasukan Belanda. Pasukan Sisingamangaraja XII menghadapi keterbatasan dalam hal persenjataan, sehingga mereka menjalin kerjasama dengan para pemimpin di Aceh untuk merancang taktik perang yang efektif. Mereka menerapkan taktik perang sembunyi-sembunyi yang mirip dengan gerilya untuk melanjutkan perlawanan mereka.


Tahun 1888 M


Pada tahun 1888, pejuang Batak melancarkan serangan ke Kota Tua dengan dukungan tentara Aceh. Meskipun perlawanan ini terjadi, pasukan Belanda di bawah komando J. A. Visser berhasil mengatasi serangan tersebut. Namun, pada saat yang sama, Belanda juga menghadapi serangan yang sedang berlangsung di wilayah Aceh yang membuat mereka mengurangi fokus perlawanan terhadap Sisingamangaraja XII.

Tindakan ini diambil oleh Belanda untuk menghindari kerugian lebih lanjut dalam bentuk korban jiwa di tengah pertempuran yang berkecamuk di Aceh.


Tahun 1889 M


Pasukan Sisingamangaraja XII terus melanjutkan perlawanannya di Lobu Talu. Pada tanggal 8 Agustus 1889, mereka kembali menyerang pasukan Belanda, yang menyebabkan kematian seorang prajurit Belanda.


Akibatnya, pasukan Belanda terpaksa mundur dari Lobu Talu. Namun, akhirnya Belanda berhasil merebut kembali kendali atas Lobu Talu setelah mendapat bantuan dari Padang. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paung juga mengalami kekalahan.


Pasukan Batak terpaksa melakukan penarikan mundur ke Passinguran. Namun, dalam proses penarikan tersebut, pasukan Belanda tiba-tiba menyerang mereka, memicu pertempuran sengit di antara kedua belah pihak.  Pasukan Batak dan Belanda terlibat dalam pertempuran sengit di mana keduanya tidak ingin menyerah.


Belanda mulai khawatir dengan keteguhan perlawanan yang terus dilakukan oleh Sisingamangaraja XII, sehingga mereka mencoba mencari jalan diplomatis. Namun, tawaran perdamaian dari Belanda ditolak dengan tegas oleh Sisingamangaraja XII.


Tindakan ini membuat Belanda tersinggung, dan sebagai respons, mereka memanggil regu pencari jejak dari Afrika untuk melacak Sisingamangaraja XII.


Tahun 1906 M


Hingga tahun 1906, Sisingamangaraja XII terus memimpin perlawanan. Namun, sayangnya, panglima perangnya yang bernama Amandopang Manullang ditangkap oleh pasukan Belanda.

Pada tahun yang sama, Penasehat Sisingamangaraja XII yang bernama Guru Somaling Pardede juga ditahan oleh pihak Belanda.


Tahun 1907 M


Pada tahun 1907, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Macan atau Brigade Setan mengelilingi Sisingamangaraja XII. Meskipun demikian, semangat perlawanan sang raja tidak pernah surut, dan ia terus bertahan menghadapi serangan tersebut. Selama pengepungan ini, istri dan anak-anak Sisingamangaraja XII berhasil ditawan oleh Belanda. Kemudian, diikuti dengan penangkapan Raja Buntal, Pangkilim, Boru Sitomorang, Ibunda Sisingamangaraja XII, Sunting Mariam, serta kerabat lainnya.


Dampak dan Akibat Perang Batak


Perang Batak memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Batak.

Salah satu dampak utama dari perang ini adalah tersebarnya agama Kristen ke wilayah Batak yang dibawa oleh para misionaris.


Penyebaran agama Kristen ini menjadi salah satu pemicu perlawanan rakyat Tapanuli terhadap Belanda. Selain itu, Perang Batak juga menyebabkan banyaknya masyarakat yang terbunuh, termasuk Raja Sisingamangaraja XII yang gugur pada 17 Juni 1907 ketika sedang berusaha bertahan di situasi genting.


Hal ini tentu menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat Batak. Dampak lain dari perang ini adalah kerugian ekonomi yang dialami oleh masyarakat Batak akibat banyak pemukiman yang hancur akibat dibakar oleh pasukan Belanda. Seluruh daerah di Tapanuli juga dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga masyarakat Batak kehilangan kedaulatan atas wilayah mereka.

Sejarah Magelang - Central ANIEM Magelang Sumber daya listrik yang berasal dari PLTA Jelok di Tuntang, timur Ambarawa, disalurkan melalui bentangan kabel panjang menuju Central ANIEM atau gardu induk listrik ANIEM di Elloweg Wates (kini kantor PLN Kebonpolo/depan eks RSB Budi Rahayu Jl. Urip Sumoharjo). Central ANIEM ini menjadi pusat penyimpanan dan pembagian listrik untuk wilayah Magelang. 📷 : De Indische Courant, 22 April 1938 & Streetview, Februari 2024

 Central ANIEM Magelang


Sumber daya listrik yang berasal dari PLTA Jelok di Tuntang, timur Ambarawa, disalurkan melalui bentangan kabel panjang menuju Central ANIEM atau gardu induk listrik ANIEM di Elloweg Wates (kini kantor PLN Kebonpolo/depan eks RSB Budi Rahayu Jl. Urip Sumoharjo). 

Central ANIEM ini menjadi pusat penyimpanan dan pembagian listrik untuk wilayah Magelang.



📷 : De Indische Courant, 22 April 1938 & Streetview, Februari 2024

Sumber : Cahyono Edo Santosa

ASAL USUL KATA DUIT Kata "duit" berasal dari bahasa Belanda "duit" atau "deut" (dibaca: geld), sebutan untuk uang koin kuno di Eropa yang dibuat pada abad ke-14. Secara harfiah, kata duit atau deut berarti kepingan-kepingan. Duit pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada masa pemerintahan VOC dan digunakan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan. Kemudian, pada masa kolonial Belanda, duit mulai diterbitkan dalam berbagai denominasi dan digunakan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan serta upeti kepada pemerintah kolonial. Setelah kemerdekaan Indonesia, duit masih digunakan sebagai alat pembayaran dalam masyarakat Indonesia hingga akhirnya digantikan oleh uang kertas dan koin. Saat ini di Indonesia kata Duit mengalami perluasan makna merujuk pada semua jenis uang bukan hanya uang koin tapi juga uang kertas. Populernya kata duit di Indonesia bahkan menjadi inspirasi lagu berjudul "MABOK DUIT" yang dinyanyikan Erie Susan. "Duh aduh-aduh pusing mikirin duit Duh aduh-aduh bingung nggak punya duit Duh aduh-aduh puyeng kepala puyeng Nyut-nyut-nyut Mabuk, mabuk, mabuk, mabuk duit Semua orang mabuk duit Siang dan malam mikirin duit Mabuk, mabuk, mabuk, mabuk duit Yang sudah kaya mabuk duit Yang miskin pusing mencari duit" dst...... Sumber : Kompas.com

 ASAL USUL KATA DUIT


Kata "duit" berasal dari bahasa Belanda "duit" atau "deut" (dibaca: geld), sebutan untuk uang koin kuno di Eropa yang dibuat pada abad ke-14. Secara harfiah, kata duit atau deut berarti kepingan-kepingan.


Duit pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada masa pemerintahan VOC dan digunakan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan. Kemudian, pada masa kolonial Belanda, duit mulai diterbitkan dalam berbagai denominasi dan digunakan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan serta upeti kepada pemerintah kolonial.



Setelah kemerdekaan Indonesia, duit masih digunakan sebagai alat pembayaran dalam masyarakat Indonesia hingga akhirnya digantikan oleh uang kertas dan koin.


Saat ini di Indonesia kata Duit mengalami perluasan makna merujuk pada semua jenis uang bukan hanya uang koin tapi juga uang kertas. 


Populernya kata duit di Indonesia bahkan menjadi inspirasi lagu berjudul "MABOK DUIT" yang dinyanyikan Erie Susan.

  

"Duh aduh-aduh pusing mikirin duit

Duh aduh-aduh bingung nggak punya duit

Duh aduh-aduh puyeng kepala puyeng

Nyut-nyut-nyut

Mabuk, mabuk, mabuk, mabuk duit

Semua orang mabuk duit

Siang dan malam mikirin duit

Mabuk, mabuk, mabuk, mabuk duit

Yang sudah kaya mabuk duit

Yang miskin pusing mencari duit"

dst...... 


Sumber : Kompas.com

03 June 2024

Pria Indonesia menuangkan kopi ke cangkir tentara Belanda 1947. koleksi: Nederlands Indie

 Pria Indonesia menuangkan kopi ke cangkir tentara Belanda 1947.



koleksi:

Nederlands Indie

Gombloh Musisi Legendaris Di Era Tahun 1980-an Gombloh yang memiliki nama asli Soedjarwoto Soemarsono lahir pada tanggal 12 Juli 1948 di Jombang, Jawa Timur. Sejak kecil Gombloh hidup dari keluarga yang berkecukupan, bahkan ketika Gombloh lahir penuh dengan kisah dramatis akibat peristiwa Agresi Militer Belanda di Jawa Timur sedang berkecamuk. Meskipun demikian Gombloh selamat dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Ayahnya bernama Slamet terkenal sebagai pedagang ayam potong di salah satu pasar tradisional Kota Jombang, Jawa Timur. Sang ayah menginginkan anaknya pintar dan sukses kala dewasa. Namun apa daya, teman-temannya sering membully. Mereka menyebut Gombloh kecil dengan sebutan Nggomblohi yang berarti pura-pura bodoh. Namun ejekan ini ternyata berbuah manis. Sebab karena nama ini dipakai Soedjarwoto manggung, “Gombloh” jadi musisi terkenal dan sukses. Karir sukses Gombloh dalam bermusik tercatat sejarah ketika Ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Adapun grup band pertama yang didirikan Gombloh ini Bernama ”The Dangerous”. Grup Band ini biasa manggung di cafe-cafe dengan membawakan lagu-lagu The Beatles. The Dangerous semakin terkenal dan mengantarkan Gombloh melanglang perjalanan musiknya hingga ke Bali dan di sana membentuk Grup Band baru bernama”The Sheeryl”. Menurut Mukhamad Yunus Priambodo dalam Jurnal Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. (2) Mei 2013 berjudul, ”Perjalanan Gombloh dalam Panggung Musik Indonesia Tahun 1969-1988” sepulangnya dari Bali, Gombloh sukses berkarir di dunia seni tarik suara. Profil Gombloh sebagai penyanyi ternyata juga terkenal sebagai penulis lagu yang spontan. Terkenal sebagai Penyanyi Sekaligus Penulis Lagu yang Spontan Karir suksesnya menjadi penyanyi Gombloh juga terkenal dengan prestasinya sebagai penulis lagu secara spontan. Banyak orang-orang heran pada Gombloh, sebab dalam situasi seramai apapun, seberantakan apapun, Ia tetap bisa menulis lagu yang bagus. Salah satunya Gombloh..... Zaman DOELOE ruarrrrbiasa

 Gombloh Musisi Legendaris Di Era Tahun 1980-an



Gombloh yang memiliki nama asli Soedjarwoto Soemarsono lahir pada tanggal 12 Juli 1948 di Jombang, Jawa Timur.


Sejak kecil Gombloh hidup dari keluarga yang berkecukupan, bahkan ketika Gombloh lahir penuh dengan kisah dramatis akibat peristiwa Agresi Militer Belanda di Jawa Timur sedang berkecamuk.


Meskipun demikian Gombloh selamat dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Ayahnya bernama Slamet terkenal sebagai pedagang ayam potong di salah satu pasar tradisional Kota Jombang, Jawa Timur.


Sang ayah menginginkan anaknya pintar dan sukses kala dewasa. Namun apa daya, teman-temannya sering membully. Mereka menyebut Gombloh kecil dengan sebutan Nggomblohi yang berarti pura-pura bodoh.


Namun ejekan ini ternyata berbuah manis. Sebab karena nama ini dipakai Soedjarwoto manggung, “Gombloh” jadi musisi terkenal dan sukses.


Karir sukses Gombloh dalam bermusik tercatat sejarah ketika Ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).


Adapun grup band pertama yang didirikan Gombloh ini Bernama ”The Dangerous”. Grup Band ini biasa manggung di cafe-cafe dengan membawakan lagu-lagu The Beatles.


The Dangerous semakin terkenal dan mengantarkan Gombloh melanglang perjalanan musiknya hingga ke Bali dan di sana membentuk Grup Band baru bernama”The Sheeryl”.


Menurut Mukhamad Yunus Priambodo dalam Jurnal Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. (2) Mei 2013 berjudul, ”Perjalanan Gombloh dalam Panggung Musik Indonesia Tahun 1969-1988”  sepulangnya dari Bali, Gombloh sukses berkarir di dunia seni tarik suara. Profil Gombloh sebagai penyanyi ternyata juga terkenal sebagai penulis lagu yang spontan.


Terkenal sebagai Penyanyi Sekaligus Penulis Lagu yang Spontan


Karir suksesnya menjadi penyanyi Gombloh juga terkenal dengan prestasinya sebagai penulis lagu secara spontan. Banyak orang-orang heran pada Gombloh, sebab dalam situasi seramai apapun, seberantakan apapun, Ia tetap bisa menulis lagu yang bagus.


Salah satunya Gombloh.....


Zaman DOELOE ruarrrrbiasa

Potret Goesti Raden Ajoe Siti Noeroel bersama Mangkunegoro VII di atas sebuah motor Harley Davidson pada tahun 1930 Sumber foto KITLV Leiden

 Potret Goesti Raden Ajoe Siti Noeroel bersama Mangkunegoro VII di atas sebuah motor Harley Davidson pada tahun 1930 



Sumber foto KITLV Leiden

Seorang bangsawan dari Bandung bersama seorang pembantunya tahun 1880 Poto koleksi KITLV

 Seorang bangsawan dari Bandung bersama seorang pembantunya tahun 1880



Poto koleksi KITLV

Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 1991. Sumber: Media Indonesia, 25-01-1991. Koleksi Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI Salemba (Skala-Team) #haji #ongkos

 Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 1991.



Sumber: Media Indonesia, 25-01-1991. Koleksi Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI Salemba (Skala-Team)


#haji #ongkos

MATA UANG KUNO KERAJAAN – KERAJAAN DI INDONESIA 1. KERAJAAN MATARAM KUNO (KOIN SYAILENDRA) Uang ini pertama kali dicetak pada masa kerajaan Mataram Kuno sekitar tahun 850-an. Memiliki bentuk koin yang terbuat dari perak atau emas, serta di bagian depan koin Syailendra terdapat tulisan huruf Devanagari yang digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta. 2. KERAJAAN JENGGALA (KOIN KRISHNALA) Koin Krishnala merupakan mata uang yang digunakan oleh Kerajaan Jenggala yang berdiri di wilayah Jawa Timur. Uang ini digunakan pertama kali pada sekitar 1042 hingga 1130. Krishnala terbuat dari emas berbentuk bulat datar, sedangkan yang berbentuk bulat cembung terbuat dari perak. 3. KERAJAAN MAJAPAHIT (KOIN MA & GOBOG) Saat era Kerajaan Majapahit tiba, sisa-sisa mata uang dari Mataram Kuno masih digunakan oleh penduduk. Dari beberapa peninggalan yang ditemukan, mata uang jenis Masa (Ma) masih ditemukan dengan beberapa uang perak dan mata uang berbentuk geometri seperti segitiga. Selain uang yang mirip dengan era Syailendra, ditemukan juga Gobog Wayang. Uang ini mirip sekali dengan kepeng logam milik pedagang dari Tiongkok. Meski berupa uang, koin ini digunakan untuk persembahan-persembahan saat upacara adat atau keagamaan dilaksanakan. 4. KERAJAAN SAMUDRA PASAI (KOIN DIRHAM) Samudra Pasai adalah salah satu Kerajaan Islam di Nusantara, besarnya pengaruh perdagangan dengan saudagar dari Arab membuat mata uang di Samudra Pasai menggunakan satuan dirham. Satu keping uang emas memiliki berat sekitar 0,6 gram. Mata uang ini berbentuk kepeng namun tidak memiliki lubang di tengahnya. Di permukaan dari uang emas ini tertulis aksara Arab dengan bunyi Malik az-Zahir yang merupakan nama dan gelar dari sultan di Samudra Pasai. 5. KESULTANAN BANTEN (KOIN KASHA) Menjelang runtuhnya Kesultanan Demak, Kesultanan Banten tumbuh dengan sangat cepat. Kerajaan ini akhirnya mampu melepaskan diri dan menjalankan pemerintahannya dengan baik. Saat perkembangan perdagangan di kawasan ini ramai, Kesultanan Banten akhirnya menggunakan mata uang bernama Kasha. Uang ini berbentuk bulat mirip sekali dengan uang kepeng Tiongkok. Yang membedakan uang Kasha dengan milik pedagang Tiongkok adalah bulatan di tengahnya. Pada mata uang Kasha, bulatan di tengah berbentuk segi enam sama sisi. 6. KESULTANAN GOWA (KOIN JINGGARA) Pada abad ke-17, Kerajaan Gowa yang terletak di kawasan Sulawesi Selatan mencetak mata uang bernama Jinggara. Mata uang ini terbuat dari timah dan tembaga dengan warna kuning keemasan. Di permukaan yang yang tidak berlubang di tengahnya ini terdapat tulisan Arab yang menjadi bukti bawah kerajaan ini merupakan kerajaan Islam. Sultan Hassanudin adalah orang dibalik mata uang yang saat ini mulai dicari oleh banyak orang. 7. KESULTANAN CIREBON (KOIN PICIS) Uang Kerajaan Cirebon terbuat dari timah yang sangat tipis dengan lubang segi empat atau bundar di tengahnya. Mata uang yang disebut picis ini dibuat sekitar abad ke-17 8. KERAJAAN BUTON (UANG TENUN KAMPUA) Mata uang kampua merupakan mata uang yang pernah digunakan pada era Kerajaan Buton di abad ke 14 sampai dengan era Kesultanan Buton. Ide kemunculan uang tenun ini muncul dari ratu pertama Buton, Ratu Wa Kaa Kaa. Saat itu, ia mencoba memanfaatkan kainnya yang dipotong-potong sebagai alat pembayaran. Yang mana, warga buton menyisihkan sebagian hasil mata pencahariannya dan mendapatkan potongan kain sang ratu. Sementara menurut situs Bank Indonesia, pencipta pertamanya adalah ratu Buton yang kedua, yaitu Ratu Bulawambona. Yang jelas, inti pembuatan dari mata uang kain ini adalah untuk memudahkan transaksi masyarakat Buton pada saat itu. Karena keefektifan dalam penggunannya, uang ini pun terus dipakai oleh Kerajaan Buton sebagai alat transaksi. Bahkan, sampai dengan kerajaan ini berubah menjadi kesultanan. Sumber : https://www.goodnewsfromindonesia.id/, https://daerah.sindonews.com/ dan berbagai sumber lain

 MATA UANG KUNO

KERAJAAN – KERAJAAN DI INDONESIA


1. KERAJAAN MATARAM KUNO (KOIN SYAILENDRA)

Uang ini pertama kali dicetak pada masa kerajaan Mataram Kuno sekitar tahun 850-an. Memiliki bentuk koin yang terbuat dari perak atau emas, serta di bagian depan koin Syailendra terdapat tulisan huruf Devanagari yang digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta.


2. KERAJAAN JENGGALA (KOIN KRISHNALA)

Koin Krishnala merupakan mata uang yang digunakan oleh Kerajaan Jenggala yang berdiri di wilayah Jawa Timur. Uang ini digunakan pertama kali pada sekitar 1042 hingga 1130. Krishnala terbuat dari emas berbentuk bulat datar, sedangkan yang berbentuk bulat cembung terbuat dari perak.



3. KERAJAAN MAJAPAHIT (KOIN MA & GOBOG)

Saat era Kerajaan Majapahit tiba, sisa-sisa mata uang dari Mataram Kuno masih digunakan oleh penduduk. Dari beberapa peninggalan yang ditemukan, mata uang jenis Masa (Ma) masih ditemukan dengan beberapa uang perak dan mata uang berbentuk geometri seperti segitiga. Selain uang yang mirip dengan era Syailendra, ditemukan juga Gobog Wayang. Uang ini mirip sekali dengan kepeng logam milik pedagang dari Tiongkok. Meski berupa uang, koin ini digunakan untuk persembahan-persembahan saat upacara adat atau keagamaan dilaksanakan.


4. KERAJAAN SAMUDRA PASAI (KOIN DIRHAM)

Samudra Pasai adalah salah satu Kerajaan Islam di Nusantara, besarnya pengaruh perdagangan dengan saudagar dari Arab membuat mata uang di Samudra Pasai menggunakan satuan dirham. Satu keping uang emas memiliki berat sekitar 0,6 gram. Mata uang ini berbentuk kepeng namun tidak memiliki lubang di tengahnya. Di permukaan dari uang emas ini tertulis aksara Arab dengan bunyi Malik az-Zahir yang merupakan nama dan gelar dari sultan di Samudra Pasai.


5. KESULTANAN BANTEN (KOIN KASHA)

Menjelang runtuhnya Kesultanan Demak, Kesultanan Banten tumbuh dengan sangat cepat. Kerajaan ini akhirnya mampu melepaskan diri dan menjalankan pemerintahannya dengan baik. Saat perkembangan perdagangan di kawasan ini ramai, Kesultanan Banten akhirnya menggunakan mata uang bernama Kasha. Uang ini berbentuk bulat mirip sekali dengan uang kepeng Tiongkok. Yang membedakan uang Kasha dengan milik pedagang Tiongkok adalah bulatan di tengahnya. Pada mata uang Kasha, bulatan di tengah berbentuk segi enam sama sisi.


6. KESULTANAN GOWA (KOIN JINGGARA)

Pada abad ke-17, Kerajaan Gowa yang terletak di kawasan Sulawesi Selatan mencetak mata uang bernama Jinggara. Mata uang ini terbuat dari timah dan tembaga dengan warna kuning keemasan. Di permukaan yang yang tidak berlubang di tengahnya ini terdapat tulisan Arab yang menjadi bukti bawah kerajaan ini merupakan kerajaan Islam. Sultan Hassanudin adalah orang dibalik mata uang yang saat ini mulai dicari oleh banyak orang.


7. KESULTANAN CIREBON (KOIN PICIS)

Uang Kerajaan Cirebon terbuat dari timah yang sangat tipis dengan lubang segi empat atau bundar di tengahnya. Mata uang yang disebut picis ini dibuat sekitar abad ke-17


8. KERAJAAN BUTON (UANG TENUN KAMPUA)

Mata uang kampua merupakan mata uang yang pernah digunakan pada era Kerajaan Buton di abad ke 14 sampai dengan era Kesultanan Buton. Ide kemunculan uang tenun ini muncul dari ratu pertama Buton, Ratu Wa Kaa Kaa. Saat itu, ia mencoba memanfaatkan kainnya yang dipotong-potong sebagai alat pembayaran. Yang mana, warga buton menyisihkan sebagian hasil mata pencahariannya dan mendapatkan potongan kain sang ratu. Sementara menurut situs Bank Indonesia, pencipta pertamanya adalah ratu Buton yang kedua, yaitu Ratu Bulawambona. Yang jelas, inti pembuatan dari mata uang kain ini adalah untuk memudahkan transaksi masyarakat Buton pada saat itu. Karena keefektifan dalam penggunannya, uang ini pun terus dipakai oleh Kerajaan Buton sebagai alat transaksi. Bahkan, sampai dengan kerajaan ini berubah menjadi kesultanan.


Sumber : https://www.goodnewsfromindonesia.id/, https://daerah.sindonews.com/ dan berbagai sumber lain

Sejarah Magelang - Pembangunan jembatan kereta api jalur Jogja - Magelang di Hindia Belanda, 30-Jan-1898 fotografer : Kassian Céphas, sumber : rijks museum amsterdam

 Pembangunan jembatan kereta api jalur Jogja - Magelang di Hindia Belanda, 30-Jan-1898



fotografer : Kassian Céphas,

sumber : rijks museum amsterdam

Lukisan anonim yang menggambarkan Trunajaya ditusuk Sunan Amangkurat II, c. 1890 (KITLV)




 Lukisan anonim yang menggambarkan Trunajaya ditusuk Sunan Amangkurat II, c. 1890 (KITLV)


KITLV A63 - Sultan van Sambas (Circa 1867) Indisch Album. Photographieën naar de natuur van J.A. Meessen. Uitgegeven door J.H. De Bussy te Amsterdam en gedrukt door de Kon. Ned. Stoomdrukkerij te Amsterdam Foto is ingekleurd. *Album Hindia Belanda.. Foto diambil oleh J.A. Meessen. Diterbitkan oleh J.H. De Bussy di Amsterdam dan dicetak oleh Kon. Belanda Perusahaan percetakan foto di Amsterdam. Foto telah diwarnai. Arsip Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda

 KITLV A63 - Sultan van Sambas (Circa 1867)


Indisch Album. Photographieën naar de natuur van J.A. Meessen. Uitgegeven door J.H. De Bussy te Amsterdam en gedrukt door de Kon. Ned. Stoomdrukkerij te Amsterdam Foto is ingekleurd.



*Album Hindia Belanda.. Foto diambil oleh J.A. Meessen. Diterbitkan oleh J.H. De Bussy di Amsterdam dan dicetak oleh Kon. Belanda Perusahaan percetakan foto  di Amsterdam. Foto telah diwarnai.


Arsip Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda