14 September 2025

Detik-detik evakuasi 7 Pahlawan Revolusi dari Lubang Buaya, setelah pencarian selama 4 hari dan berkat jasa seorang polisi bernama Sukitman Dibutuhkan waktu setidaknya empat hari untuk akhirnya bisa mengevakuasi tujuh pahlawan revokusi korban Gerakan 30 September 1965. Penemuan lokasi sumur tua tempat para pahlawan revolusi dikubur itu berhasil berkat pengakuan seorang polisi yang sempat ditangkap komplotan G30S. 4 Oktober 1965,tujuh jenazah Pahlawan Revolusi dievakuasi dari sumur Lubang Buaya. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre A Tendean. Tujuh perwira itu diculik lalu dibunuh dalam peristiwa G-30-S yang berlangsung pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965. Penemuan korban peristiwa G-30-S itu tidak lepas dari peran Sukitman. Sukitman adalah anggota kepolisian yang sempat dibawa paksa ke Lubang Buaya oleh kelompok G-30-S pada 1 Oktober 1965 dan berhasil meloloskan diri. Berdasarkan catatan Berita Yudha dan siaran radio Jakarta yang diterbitkan Cornell University Press (1966), jenazah para pahlawan revolusi dapat ditemukan seluruhnya tanggal 4 Oktober 1965. Menurut pemberitaan Harian Kompas (6/10/1965), sejak peristiwa penculikan G-30-S itu, pengejaran intensif langsung dilakukan pada subuh, 1 Oktober 1965. Tim satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) akhirnya menemukan lokasi jenazah ketujuh korban G-30-S di kawasan hutan karet Lubang Buaya. Proses pengangkatan jenazah dimulai sejak Minggu, 3 Oktober 1965. Namun, karena terkendala teknis, pengangkatan jenazah baru dapat dilakukan seluruhnya pada Senin, 4 Oktober 1965. Evakuasi dilakukan menggunakan tabung zat asam oleh evakuator. Sekitar pukul 19.00 WIB, 7 jenazah tersebut ditempatkan di Aula Departemen Angkatan Darat di Jalan Merdeka Utara. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033906550/begini-detik-detik-evakuasi-7-pahlawan-revolusi-korban-gerakan-30-september-1965 #pahlawanrevolusi #LubangBuaya #G30S

 Detik-detik evakuasi 7 Pahlawan Revolusi dari Lubang Buaya, setelah pencarian selama 4 hari dan berkat jasa seorang polisi bernama Sukitman



Dibutuhkan waktu setidaknya empat hari untuk akhirnya bisa mengevakuasi tujuh pahlawan revokusi korban Gerakan 30 September 1965.


Penemuan lokasi sumur tua tempat para pahlawan revolusi dikubur itu berhasil berkat pengakuan seorang polisi yang sempat ditangkap komplotan G30S.


4 Oktober 1965,tujuh jenazah Pahlawan Revolusi dievakuasi dari sumur Lubang Buaya. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre A Tendean.


Tujuh perwira itu diculik lalu dibunuh dalam peristiwa G-30-S yang berlangsung pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965. Penemuan korban peristiwa G-30-S itu tidak lepas dari peran Sukitman.


Sukitman adalah anggota kepolisian yang sempat dibawa paksa ke Lubang Buaya oleh kelompok G-30-S pada 1 Oktober 1965 dan berhasil meloloskan diri. Berdasarkan catatan Berita Yudha dan siaran radio Jakarta yang diterbitkan Cornell University Press (1966), jenazah para pahlawan revolusi dapat ditemukan seluruhnya tanggal 4 Oktober 1965.


Menurut pemberitaan Harian Kompas (6/10/1965), sejak peristiwa penculikan G-30-S itu, pengejaran intensif langsung dilakukan pada subuh, 1 Oktober 1965.


Tim satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) akhirnya menemukan lokasi jenazah ketujuh korban G-30-S di kawasan hutan karet Lubang Buaya. 


Proses pengangkatan jenazah dimulai sejak Minggu, 3 Oktober 1965. Namun, karena terkendala teknis, pengangkatan jenazah baru dapat dilakukan seluruhnya pada Senin, 4 Oktober 1965.


Evakuasi dilakukan menggunakan tabung zat asam oleh evakuator. Sekitar pukul 19.00 WIB, 7 jenazah tersebut ditempatkan di Aula Departemen Angkatan Darat di Jalan Merdeka Utara.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033906550/begini-detik-detik-evakuasi-7-pahlawan-revolusi-korban-gerakan-30-september-1965


#pahlawanrevolusi #LubangBuaya #G30S

Gamawijaya, Pemimpin Begal di Kebumen Yang Berperang Melawan Belanda Pada waktu berkobarnya perang Diponegoro 1825 -1830, P. Diponegoro bergerilya melewati perbukitan dan sampai di wilayah Kabupaten Panjer (Kebumen) dan Kabupaten Roma (Sempor), beberapa abdi yang ikut bersama P. Diponegoro diantaranya Raden Mas Arya Mangunprawira (adik P. Diponegoro), Raden Mas Jayaprana (adik sepupu P. Diponegoro/putra Pangeran Arya Murdaningrat), P. Adisurya, Bantengwareng, Suroto, dan di dukung oleh para punggawa Kabupaten Panjer, seperti Ki Endang Kertawangsa, Ki Hajar Welaran, Tumenggung Kartanegara IV (Adipati Kab Roma), Ki Kertadrana (Adipati Sigaluh Banjarnegara), Jamenggala, dan Gamawijaya, serta pasukan Kab Panjer. Setelah pasukan gabungan Belandan dan Pasukan Arung binang IV berhasil menguasai pendopo agung Panjer, pasukan Panjer bergerilya di kawasan perbukitan dan ada yang bergerilya sampai pesisir selatan. Salah satunya adalah Senopati Gamawijaya dan pasukannya yang mundur dari Kaligending sampai ke pegunungan Wanasara dan Karangsari. Dan terus bergerilya sampai ke pesisir selatan. Gamawijaya, namanya sangat terkenal oleh masyatakat, warga mulai dari Karangbolong hingga Kesultanan Yogyakarta mengetahui namanya. Gamawijaya bersama pengikutnya sering membegal para antek penjajah Belanda yang hendak setor upeti ke Mataram. Hasil begalan tersebut kemudian dibagikan atau dimakan bersama dengan rakyat kecil yang hidup susah akibat penjajahan. Gamawijaya memang menyulitkan pihak Belanda. Belanda selalu gagal menangkap Gamawijaya karena kesaktiannya yang kebal terhadap peluru. Juga karena tempat persembuyiannya yang sulit dilacak karena dibantu oleh masyarakat setempat. Untuk menumpasnya pemerintah kolonial Belanda mengadakan sayembara yang isinya: "barang siapa yang mampu menangkap Gamawijaya akan mendapat hadiah besar". Ternyata tidak ada yang berani mengikuti sayembara itu. Kemudian datanglah seseorang yang berniat mengikuti sayembara itu, yaitu R.M Arya Mangunprawira (adik Pangeran Diponegoro yang pernah ditahan Belanda dan kemudian diangkat jadi collecteur/pengumpul pajak di Kebumen). Mangunprawira awalnya ikut bersama P. Diponegoro berperang melawan Belanda, namun setelah ditangkap oleh Belanda dia bisa "dijinakan" dengan cara diberi jabatan sebagai pengumpul pajak supaya luluh dan tidak melawan Belanda lagi. Dia kemudian menemui dan berbicara dengan Lurah Desa Sijeruk yang bernama Wargantaka dan putranya Andaga. Wargantaka dan Gamawijaya adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama berguru pada Gamawikangka. Berkat kerjasama itu, rahasia kekuatan dan kelemahan Gamawijaya akhirnya bisa diketahui oleh Mangunprawira. Kelemahan Gamawijaya ada pada selendang yang berada di kaki sebelah kiri. Maka apabila ingin mengalahkan Gamawijaya syaratnya harus bisa membuka selendang yang menutupi kakinya itu. kemudian hari pertarungan keduanya pun tiba, dengan bersusah payah RM Mangunprawira berupaya agar selendang yang dipakai Gamawijaha ini bisa dilepas. Dengan banyak cara selendang yang dipakai untuk tali di badan akhirnya terbuka dan kaki sebelah kiri Gamawijaya bisa dipatahkan oleh Mangunprawira. Peristiwa ini konon terjadi di dukuh Jeblog desa Ambal Komolo. Bahkan karena Gamawijaya ini dianggap mempunyai kekuatan lebih, oleh Mangunprawira tubuh Gamawijaya dipotong-potong. Kepalanya dip*nggal dan dipertontonkan kepada masyarakat supaya masyarakat takut kepada kompeni Belanda, kemudian Kepala Gamawijaya ditanam di Pasar Bocor, Bulus Pesantren, dan pada bagian tubuhnya ditanam ditempat lain. Dari keberhasilanya membunuh Gamawijaya dan memenangkan sayembara, maka RM Mangunprawira mendapat hadiah jabatan lalu diangkat sebagai Bupati Ambal dan mendapat gelar K.R.A.A. Poerbanegoro. Bupati Poerbonegoro wafat pada Sabtu Legi 7 Maret 1871 dimakamkan Di Desa Benerwetan, Kecamatan Ambal. satu tahun berikutnya, 17 Maret 1872 pemerintahan Kadipaten Ambal dihapuskan dan dijadikan distrik/wilayah dari Kabupaten Karanganyar (Kebumen) Gamawijaya, dalam sejarah versi umum digambarkan sebagai berandal yang meresahkan. Terutama bagi penguasa Mataram yang saat itu berhubungan baik dengan VOC. Tapi menurut versi lain, Gamawijaya sesungguhnya sosok yang penuh budi. Setidaknya, lewat aksi-aksinya membuat kekuatan Mataram yang pro penjajah VOC bisa digerogoti. Memang, hingga saat ini, masih sangat sedikit yang berani mengungkap bahwa Gamawijaya adalah tokoh baik. Setiap membicarakan Kabupaten Ambal, nama Gamawijaya disebut dengan cap penjahat. tetapi ada juga yg menganggap Gamawijaya sebagai tokoh baik yang membegal para antek penjajah VOC yang hendak setor upeti ke Mataram. Hasil begalan tersebut kemudian dibagikan atau dimakan bersama dengan masyarakat. Tapi menurut versi VOC dan Kesultanan Yogyakarta, Gamawijaya adalah penjahat atau brandal yang harus dimusnahkan. * Abror Subhi facebook.com/100001856336410/posts/28183351867976647/

 Gamawijaya, Pemimpin Begal di Kebumen Yang Berperang Melawan Belanda 

Pada waktu berkobarnya perang Diponegoro 1825 -1830, P. Diponegoro bergerilya melewati perbukitan dan sampai di wilayah Kabupaten Panjer (Kebumen) dan Kabupaten Roma (Sempor), beberapa abdi yang ikut bersama P. Diponegoro diantaranya Raden Mas Arya Mangunprawira (adik P. Diponegoro), Raden Mas Jayaprana (adik sepupu P. Diponegoro/putra Pangeran Arya Murdaningrat), P. Adisurya, Bantengwareng, Suroto, dan di dukung oleh para punggawa Kabupaten Panjer, seperti Ki Endang Kertawangsa, Ki Hajar Welaran, Tumenggung Kartanegara IV (Adipati Kab Roma), Ki Kertadrana (Adipati Sigaluh Banjarnegara), Jamenggala, dan Gamawijaya, serta pasukan Kab Panjer.



Setelah pasukan gabungan Belandan dan Pasukan Arung binang IV berhasil menguasai pendopo agung Panjer, pasukan Panjer bergerilya di kawasan perbukitan dan ada yang bergerilya sampai pesisir selatan. Salah satunya adalah Senopati Gamawijaya dan pasukannya yang mundur dari Kaligending sampai ke pegunungan Wanasara dan Karangsari. Dan terus bergerilya sampai ke pesisir selatan.


Gamawijaya, namanya sangat terkenal oleh masyatakat, warga mulai dari Karangbolong hingga Kesultanan Yogyakarta mengetahui namanya. Gamawijaya bersama pengikutnya sering membegal para antek penjajah Belanda yang hendak setor upeti ke Mataram. Hasil begalan tersebut kemudian dibagikan atau dimakan bersama dengan rakyat kecil yang hidup susah akibat penjajahan.


Gamawijaya memang menyulitkan pihak Belanda. Belanda selalu gagal menangkap Gamawijaya karena kesaktiannya yang kebal terhadap peluru. Juga karena tempat persembuyiannya yang sulit dilacak karena dibantu oleh masyarakat setempat.

Untuk menumpasnya pemerintah kolonial Belanda mengadakan sayembara yang isinya: "barang siapa yang mampu menangkap Gamawijaya akan mendapat hadiah besar". Ternyata tidak ada yang berani mengikuti sayembara itu.


Kemudian datanglah seseorang yang berniat mengikuti sayembara itu, yaitu R.M Arya Mangunprawira (adik Pangeran Diponegoro yang pernah ditahan Belanda dan kemudian diangkat jadi collecteur/pengumpul pajak di Kebumen). Mangunprawira awalnya ikut bersama P. Diponegoro berperang melawan Belanda, namun setelah ditangkap oleh Belanda dia bisa "dijinakan" dengan cara diberi jabatan sebagai pengumpul pajak supaya luluh dan tidak melawan Belanda lagi.


Dia kemudian menemui dan berbicara dengan Lurah Desa Sijeruk yang bernama Wargantaka dan putranya Andaga. Wargantaka dan Gamawijaya adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama berguru pada Gamawikangka.

Berkat kerjasama itu, rahasia kekuatan dan kelemahan Gamawijaya akhirnya bisa diketahui oleh Mangunprawira. Kelemahan Gamawijaya ada pada selendang yang berada di kaki sebelah kiri. Maka apabila ingin mengalahkan Gamawijaya syaratnya harus bisa membuka selendang yang menutupi kakinya itu.


kemudian hari pertarungan keduanya pun tiba, dengan bersusah payah RM Mangunprawira berupaya agar selendang yang dipakai Gamawijaha ini bisa dilepas. Dengan banyak cara selendang yang dipakai untuk tali di badan akhirnya terbuka dan kaki sebelah kiri Gamawijaya bisa dipatahkan oleh Mangunprawira. Peristiwa ini konon terjadi di dukuh Jeblog desa Ambal Komolo.


Bahkan karena Gamawijaya ini dianggap mempunyai kekuatan lebih, oleh Mangunprawira tubuh Gamawijaya dipotong-potong. Kepalanya dip*nggal dan dipertontonkan kepada masyarakat supaya masyarakat takut kepada kompeni Belanda, kemudian Kepala Gamawijaya ditanam di Pasar Bocor, Bulus Pesantren, dan pada bagian tubuhnya ditanam ditempat lain. 

Dari keberhasilanya membunuh Gamawijaya dan memenangkan sayembara, maka RM Mangunprawira mendapat hadiah jabatan lalu diangkat sebagai Bupati Ambal dan mendapat gelar K.R.A.A. Poerbanegoro.


Bupati Poerbonegoro wafat pada Sabtu Legi 7 Maret 1871 dimakamkan Di Desa Benerwetan, Kecamatan Ambal. satu tahun berikutnya, 17 Maret 1872 pemerintahan Kadipaten Ambal dihapuskan dan dijadikan distrik/wilayah dari Kabupaten Karanganyar (Kebumen)

Gamawijaya, dalam sejarah versi umum digambarkan sebagai berandal yang meresahkan. Terutama bagi penguasa Mataram yang saat itu berhubungan baik dengan VOC. Tapi menurut versi lain, Gamawijaya sesungguhnya sosok yang penuh budi. Setidaknya, lewat aksi-aksinya membuat kekuatan Mataram yang pro penjajah VOC bisa digerogoti.


Memang, hingga saat ini, masih sangat sedikit yang berani mengungkap bahwa Gamawijaya adalah tokoh baik. Setiap membicarakan Kabupaten Ambal, nama Gamawijaya disebut dengan cap penjahat. tetapi ada juga yg menganggap Gamawijaya sebagai tokoh baik yang membegal para antek penjajah VOC yang hendak setor upeti ke Mataram. Hasil begalan tersebut kemudian dibagikan atau dimakan bersama dengan masyarakat. Tapi menurut versi VOC dan Kesultanan Yogyakarta, Gamawijaya adalah penjahat atau brandal yang harus dimusnahkan.


* Abror Subhi 

facebook.com/100001856336410/posts/28183351867976647/

Bataljon Pagarujung tahun 1950 dikirim ke Jabar memadamkan DI/TII, Prajurit dari Prov Sumatra Tengah ini menumpas dengan cara Humanis. namun Ahmad Husein kecewa Batalion Pagaruyung dilebur kesiliwangi oleh pemerintah Hidupkan Kembali Batalion Pagaruyung 🔥🔥🔥 #sejarahmilitersumatratengah

 Bataljon Pagarujung tahun 1950 dikirim ke Jabar memadamkan DI/TII, Prajurit dari Prov Sumatra Tengah ini menumpas dengan cara Humanis.  namun Ahmad Husein kecewa Batalion Pagaruyung dilebur kesiliwangi oleh pemerintah 



Hidupkan Kembali Batalion Pagaruyung 🔥🔥🔥

#sejarahmilitersumatratengah

Kisah Jenderal Besar Nasution Terkait Wafatnya Sutan Syahrir dan Tahanan Politik Perdana Menteri yang pertama Republik Indonesia Sutan Syahrir wafat di Swiss dalam status tahanan pemerintah Orde Lama pada 9 April 1966. Jenderal Besar Purn Abdul Haris Nasution menuliskan kisahnya prihal wafatnya Sutan Syahrir dan tahanan politik Orde Lama dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 7; Masa Konsolidasi Orde Baru ". Dalam rangka wafatnya Sutan Syahrir Brigjen Prof. Dr. Erie Sudewo datang ke rumah Jendral Nasution meminta agar pak Nas menjernihkan soal penahanan Sutan Syahrir, sehingga namanya dibersihkan dari hal-hal yang tidak semestinya. Pak Nas mengatakan keyakinannya bahwa Bung Syahrir tidak bersalah. Pimpinan AD pun menyatakan keraguan atas laporan Jaksa Agung Muda waktu itu, tentang dugaan subversif yang dituduhkan kepada Bung Syahrir. Untuk jelasnya secara detail, pak Nas memanggil Kolonel Hadi yang dulunya menggarap soal ini di staf Peperti, pada masa Mayjen Basuki Rachmad sebagai Kepala Stafnya. Kolonel Hadi membenarkan pendapat pak Nas. Atas dasar penjelasan tersebut Jenderal Nasution yang masih menjabat Wapangsar KOTI mengeluarkan penjelasan resmi, yang intinya sebagai berikut. Jasa dan nama Sutan Syahrir tidak bisa lepas dari revolusi kita, untuk mana beliau telah memberikan peranan yang positif. Tidak ada manusia tanpa kekurangan. Bagaimana pun beliau adalah tokoh utama revolusi 1945. Mengenai tindakan pemerintah terhadap beliau selama ini adalah tindakan keamanan oleh Peperti kemudian berdasarkan Penpres yang pelaksanaannya oleh Kejaksaan Agung. Dalam masa Peperti menurut pak Nas tidak ada bukti kesalahan. Sekarang ini adalah sewajarnya negara memberikan penghargaan dan penghormatan kepada Sutan Syahrir. Beliau telah berjuang dan memberikan pengorbanan yang besar. Kemudian pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sutan Syahrir dan dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Teman-teman dekat Sutan Syahrir membentuk panitia. Pasukan Kehormatan diberikan dari Kostrad yang diatur langsung oleh Jenderal Kemal Idris. Ketika jenazah tiba pak Nas bertemu dengan Bung Hatta di rumah duka. Bung Hatta dalam sambutannya menyebut, "Bekas Perdana Menteri ini adalah korban tirani, dan dituntutnya pembebasan semua tahanan politik Orde Lama". Terkait tahanan politik Orde Lama pak Nas mengatakan bahwa mereka ditahan berdasarkan Penpres. Sumber utama informasi sehingga mereka ditahan adalah Kejaksaan Agung dan BPI. Pak Nas meragukan kebenaran laporan atau informasi tersebut. Karena itu adalah tugas kita bersama untuk menegakkan kebenaran. Tugas ini penting pula dalam hal penyelesaian tahanan-tahanan tertentu yang menjadi perhatian serius masyarakat. Soal tahanan politik Orde Lama perlu diselesaikan selekas-lekasnya.

 Kisah Jenderal Besar Nasution Terkait Wafatnya Sutan Syahrir dan Tahanan Politik 



Perdana Menteri yang pertama Republik Indonesia Sutan Syahrir wafat di Swiss dalam status tahanan pemerintah Orde Lama pada 9 April 1966. Jenderal Besar Purn Abdul Haris Nasution menuliskan kisahnya prihal wafatnya Sutan Syahrir dan tahanan politik Orde Lama dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 7; Masa Konsolidasi Orde Baru ".


Dalam rangka wafatnya Sutan Syahrir Brigjen Prof. Dr. Erie Sudewo datang ke rumah Jendral Nasution meminta agar pak Nas menjernihkan soal penahanan Sutan Syahrir, sehingga namanya dibersihkan dari hal-hal yang tidak semestinya. Pak Nas mengatakan keyakinannya bahwa Bung Syahrir tidak bersalah. Pimpinan AD pun menyatakan keraguan atas laporan Jaksa Agung Muda waktu itu, tentang dugaan subversif yang dituduhkan kepada Bung Syahrir. 


Untuk jelasnya secara detail, pak Nas memanggil Kolonel Hadi yang dulunya menggarap soal ini di staf Peperti, pada masa Mayjen Basuki Rachmad sebagai Kepala Stafnya. Kolonel Hadi membenarkan pendapat pak Nas. Atas dasar penjelasan tersebut Jenderal Nasution yang masih menjabat Wapangsar KOTI mengeluarkan penjelasan resmi, yang intinya sebagai berikut. 


Jasa dan nama Sutan Syahrir tidak bisa lepas dari revolusi kita, untuk mana beliau telah memberikan peranan yang positif. Tidak ada manusia tanpa kekurangan. Bagaimana pun beliau adalah tokoh utama revolusi 1945.

Mengenai tindakan pemerintah terhadap beliau selama ini adalah tindakan keamanan oleh Peperti kemudian berdasarkan Penpres yang pelaksanaannya oleh Kejaksaan Agung. Dalam masa Peperti menurut pak Nas tidak ada bukti kesalahan. Sekarang ini adalah sewajarnya negara memberikan penghargaan dan penghormatan kepada Sutan Syahrir. Beliau telah berjuang dan memberikan pengorbanan yang besar. 


Kemudian pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sutan Syahrir dan dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Teman-teman dekat Sutan Syahrir membentuk panitia. Pasukan Kehormatan diberikan dari

Kostrad yang diatur langsung oleh Jenderal Kemal Idris.


Ketika jenazah tiba pak Nas bertemu dengan Bung Hatta di rumah duka. Bung Hatta dalam sambutannya menyebut, "Bekas Perdana Menteri ini adalah korban tirani, dan dituntutnya pembebasan semua tahanan politik Orde Lama".


Terkait tahanan politik Orde Lama pak Nas mengatakan bahwa mereka ditahan berdasarkan Penpres. Sumber utama informasi sehingga mereka ditahan adalah Kejaksaan Agung dan BPI. Pak Nas meragukan kebenaran laporan atau informasi tersebut. Karena itu adalah tugas kita bersama untuk menegakkan kebenaran. Tugas ini penting pula dalam hal penyelesaian tahanan-tahanan tertentu yang menjadi perhatian serius masyarakat. Soal tahanan politik Orde Lama perlu diselesaikan selekas-lekasnya.

Joyokusumo Gugur dalam perang Diponegoro. Ketika peristiwa Geger Sepehi (19–20 Juni 1812) terjadi, di mana pasukan Sir Thomas Stamford Raffles menghancurkan keraton Yogyakarta, Joyokusumo berdiri teguh di tengah-tengah kehancuran ,tidak lari keluar meninggalkan Keraton. Peter Carey dalam Kuasa Ramalan menulis bahwa Joyokusumo lahir dari sosok bernama Mas Ayu Sumarsonowati, seorang keturunan keluarga Tionghoa yang menjadi selir kesayangan Hamengkubuwono II. Carey mendeskripsikan Joyokusumo sebagai “pria ningrat kekar, cerdas, berwawasan luas” yang mewarisi kulit kuning bersih ibunya. Saat Perang Jawa pecah, tujuh dari 19 putra Hamengku Buwono II bergabung dengan Diponegoro. Di antara mereka, Pangeran Joyokusumo dan Wiromenggolo menjadi dua nama yang selalu berada di garis depan. Hubungan Joyokusumo dengan Diponegoro bukan sekadar hubungan keluarga; ia adalah besan sang pangeran Joyokusumo memimpin perang di sebelah barat Sungai Progo hingga ke wilayah Purworejo. Sementara Diponegoro memimpin pasukan di timur Sungai Progo hingga ke daerah Magelang. Ia juga mengatakan bahwa Joyokusumo adalah pembina pasukan Perang Jawa. sebagai komandan senior dan panglima kavaleri. Dalam struktur militer gerilya yang dibangun oleh Diponegoro, Joyokusumo memainkan peran vital, memimpin serangan mendadak, mengatur strategi pengepungan, hingga menyelamatkan pasukan dari ambang kekalahan. Tragedi menimpa Joyokusumo pada 21 September 1829, ketika pasukan Belanda menyergapnya di Gunung Kelir, Bagelen. Dalam pertempuran sengit itu, ia gugur bersama dua anaknya, Joyokusumo II dan Adikusumo. Kabar kematiannya menghantam Diponegoro dengan keras. Dalam salah satu catatan "Babad Dipanagara," sang pangeran merasakan kehilangan yang mendalam atas gugurnya salah satu panglima kepercayaannya. "Gugurnya Pangeran Joyokusumo Dalam Tragedi Penyergapan 21 September 1829. Pada 21 September 1829, P. Diponegoro beserta pasukanya disergap oleh pasukan Belanda, mereka pun terpojok di Gunung Kelir, Kulonprogo. Paman P. Diponegoro yang bernama Pangeran Joyokusumo I dan dua putranya, Joyokusumo II dan Atmokusumo serta beberapa prajurit tewas di tangan serdadu pribumi Belanda (hulptroepoen) asal Manado, Ternate dan Madura pimpinan Cokrojoyo. Jenazah P. Joyokusumo dan kedua anaknya dipotong, kepalanya dikirim ke Jenderal De Kock di Magelang dan dikebumikan di Banyusumurup, sedangkan tubuhnya dikebumikan di Sengir. P. Diponegoro dan pasukan yang selamat memutuskan bergerak ke arah barat untuk menjauh dari bumi Mataram agar tidak terkejar lagi oleh pasukan Kolonial Belanda. Pada malam hari 26-27 September 1829, P. Diponegoro dan pasukannya menyeberangi Sungai Bogowonto menuju barat, daerah Bagelen (Purworejo). Suatu hari di akhir September 1829, P. Diponegoro duduk dibawah pohon asam. Dia dikelilingi oleh beberapa panglimanya seperti Raden Adipati, Basah Prawirodirjo, Basah Sumonegoro, Basah Prawirokusumo, Pangeran Suryowijoyo, Pangeran Dipokusumo, Pangeran Abdurrahim, dan beberapa prajurit yang lain. Ketika P. Diponegoro melihat semua para panglimanya itu, beliau tidak melihat Pangeran Joyokusumo I dan dua putranya, Pangeran Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo. Karena keheranan, Diponegoro bertanya pada mereka dimanakan pamannya dan kedua anaknya? Para panglima yang ada dihadapannya itu menunduk dan semua tidak mau menjawab, hanya diam membisu. Para panglima itu khawatir gugurnya Pangeran Joyokusumo I dan kedua anaknya akan memukul hati Diponegoro dan meruntuhkan semangatnya melawan Kolonial Belanda. Tentu saja, P. Diponegoro semakin keheranan dan marah karena mereka hanya menunduk dan diam saja. Tiba-tiba Pangeran Diponegoro teringat sebelumnya saat dalam penyergapan, dia mendengar ada suara letusan-letusan tembakan berkali-kali sangat ramai. Dan setelah itu Pangeran Joyokusumo I tidak tampak bersamanya. Pangeran Diponegoro merasa heran mengapa mereka semua tidak cerita tentang keberadaan pamannya. Pangeran Joyokusumo I merupakan putra dari Sultan Hamengku Buwono II. Di saat keheningan itu, majulah Raden Sindorejo dan berkata bahwa pamannya telah wafat bersama dua putranya. Mendengar laporan itu Pangeran Diponegoro duduk terdiam dalam kesedihan, air matanya menetes. Dia merasa terpukul, seakan-akan ia merasa tinggal sendirian di tanah Jawa karena sekarang ia tidak punya siapa-siapa lagi, sebab pamannya itu adalah satu-satunya sesepuh (orangtua) yang masih mendampingi Pangeran Diponegoro pada saat itu. Sekarang, ia telah gugur. Pangeran Diponegoro merasa sedih yang luar biasa karena beliau merasa tidak bisa menata pengikutnya dan merasa tidak bisa melakukan apapun tanpa dukungan pamannya itu. Tanpa bicara sepatah pun, segera P. Diponegoro mencari kudanya dan akan berangkat mengambil jenazah paman dan kedua keponakanya. Melihat Diponegoro yang masih kebingungan itu, Raden Sindorejo kembali mendekati Diponegoro dan melaporkan bahwa jenazah Pangeran Joyokusumo I dan kedua putranya, Pangeran Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo sudah dimakamkan oleh warga Sengir. Para prajurit juga menyampaikan, bahwa paman dan kedua putranya gugur mengenaskan karena diberondong tembakan dan dimutilasi saat pertempuran di Dusun Sengir, Kalirejo Kulonprogo. Kepala paman dan kedua putranya dipenggal oleh tentara kolonial Belanda. Setelah itu, badan ketiganya dipotong-potong. Mendengar itu, Pangeran Diponegoro kembali terdiam mematung dan sedih dengan keadaan jenazah paman dan kedua putranya itu." Pada 21 September 1829, Joyokusumo I dan dua putranya, Joyokusumo II dan Atmokusumo terpojok di Gunung Kelir, Kulonprogo dan tewas di tangan serdadu pribumi Belanda (hulptroepoen) asal Manado, Ternate dan Madura pimpinan Cokrojoyo. Jenazahnya kemudian dikirim ke Jenderal De Kock di Magelang. Kepalanya dikebumikan di Banyusumurup (Carey, Peter (2017). Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang Jawa. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 151. ISBN 978-602-424-680-8.) Menurut Carey, Joyokusumo, 2 putranya, dan 20 prajurit berkuda dikepung di Sengir, dekat Pegunungan Kelir pada 21 September 1829. Di tengah situasi terdesak, Joyokusumo mengaku sebagai anak raja kepada para serdadu itu, sebuah pengakuan yang belakangan tidak berguna sama sekali. Carey menulis, Joyokusumo kena tebasan klewang prajurit hussar Belanda dalam tragedi tersebut. Dalam versi cerita masyarakat Sengir, mereka dibunuh dan mayatnya dibuang di sebuah sungai kecil, sekitar 200 meter dari makam. Di sungai itu, Karti mengatakan masih ada batu besar yang diyakini sebagai tempat pem3nggalan kepala Joyokusumo, lengkap dengan bekas aliran darah Sang Panglima Kavaleri. Secara ironis dan mengenaskan, sosok Joyokusumo ini meregang nyawa di sekelompok pasukan berisi orang-orang Manado dan pimpinan pasukan ini adalah orang Jawa. Sosok ini bernama Raden Ngabehi Resodiwiryo, seorang bangsawan Kraton Surakarta. Carey dalam Sisi Lain Diponegoro, Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa mengisahkan sosok ini diangkat menjadi wakil komandan hulptroepen (pasukan cadangan pribumi) untuk mempertahankan wilayah mancanegara Kraton Surakarta di sekitar Bagelen dari pasukan Diponegoro. Lebih ironis lagi, Resodiwiryo dan Diponegoro dahulu pernah sama-sama berguru ke Kyai Taptojani di Mlangi. Jika masih mau mencari sisi lebih ironis, Resodiwiryo mempunyai komandan bernama Pangeran Kusumoyudo dan sosok ini masih kerabat Joyokusumo. Kelak, setahun setelah Perang Jawa usai, Resodiwiryo diangkat sebagai bupati pertama Purworejo dan mendapat gelar Raden Adipati Cokronegoro I. #KisahNusantaraPerangDiponegoro Foto Cokronegoro 1 (Kiri) dan van Pabst (Kanan) Sumber: Foto dari buku Peter Carey, (2017), Sisi Lain Diponegoro, Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa, (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia).

 Joyokusumo Gugur dalam perang Diponegoro.

Ketika peristiwa Geger Sepehi (19–20 Juni 1812) terjadi, di mana pasukan Sir Thomas Stamford Raffles menghancurkan keraton Yogyakarta, Joyokusumo berdiri teguh di tengah-tengah kehancuran ,tidak lari keluar meninggalkan Keraton.



Peter Carey dalam Kuasa Ramalan menulis bahwa Joyokusumo lahir dari sosok bernama Mas Ayu Sumarsonowati, seorang keturunan keluarga Tionghoa yang menjadi selir kesayangan Hamengkubuwono II. Carey mendeskripsikan Joyokusumo sebagai “pria ningrat kekar, cerdas, berwawasan luas” yang mewarisi kulit kuning bersih ibunya.


Saat Perang Jawa pecah, tujuh dari 19 putra Hamengku Buwono II bergabung dengan Diponegoro. Di antara mereka, Pangeran Joyokusumo dan Wiromenggolo menjadi dua nama yang selalu berada di garis depan. Hubungan Joyokusumo dengan Diponegoro bukan sekadar hubungan keluarga; ia adalah besan sang pangeran


Joyokusumo memimpin perang di sebelah barat Sungai Progo hingga ke wilayah Purworejo. Sementara Diponegoro memimpin pasukan di timur Sungai Progo hingga ke daerah Magelang. Ia juga mengatakan bahwa Joyokusumo adalah pembina pasukan Perang Jawa.


sebagai komandan senior dan panglima kavaleri. Dalam struktur militer gerilya yang dibangun oleh Diponegoro, Joyokusumo memainkan peran vital, memimpin serangan mendadak, mengatur strategi pengepungan, hingga menyelamatkan pasukan dari ambang kekalahan.


Tragedi menimpa Joyokusumo pada 21 September 1829, ketika pasukan Belanda menyergapnya di Gunung Kelir, Bagelen. Dalam pertempuran sengit itu, ia gugur bersama dua anaknya, Joyokusumo II dan Adikusumo. Kabar kematiannya menghantam Diponegoro dengan keras. Dalam salah satu catatan "Babad Dipanagara," sang pangeran merasakan kehilangan yang mendalam atas gugurnya salah satu panglima kepercayaannya. "Gugurnya Pangeran Joyokusumo Dalam Tragedi Penyergapan 21 September 1829.

Pada 21 September 1829, P. Diponegoro beserta pasukanya disergap oleh pasukan Belanda, mereka pun terpojok di Gunung Kelir, Kulonprogo. Paman P. Diponegoro yang bernama Pangeran Joyokusumo I dan dua putranya, Joyokusumo II dan Atmokusumo serta beberapa prajurit tewas di tangan serdadu pribumi Belanda (hulptroepoen) asal Manado, Ternate dan Madura pimpinan Cokrojoyo.


Jenazah P. Joyokusumo dan kedua anaknya dipotong, kepalanya dikirim ke Jenderal De Kock di Magelang dan dikebumikan di Banyusumurup, sedangkan tubuhnya dikebumikan di Sengir.

P. Diponegoro dan pasukan yang selamat memutuskan bergerak ke arah barat untuk menjauh dari bumi Mataram agar tidak terkejar lagi oleh pasukan Kolonial Belanda.

Pada malam hari 26-27 September 1829, P. Diponegoro dan pasukannya menyeberangi Sungai Bogowonto menuju barat, daerah Bagelen (Purworejo).


Suatu hari di akhir September 1829, P. Diponegoro duduk dibawah pohon asam. Dia dikelilingi oleh beberapa panglimanya seperti Raden Adipati, Basah Prawirodirjo, Basah Sumonegoro, Basah Prawirokusumo, Pangeran Suryowijoyo, Pangeran Dipokusumo, Pangeran Abdurrahim, dan beberapa prajurit yang lain.

Ketika P. Diponegoro melihat semua para panglimanya itu, beliau tidak melihat Pangeran Joyokusumo I dan dua putranya, Pangeran Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo. Karena keheranan, Diponegoro bertanya pada mereka dimanakan pamannya dan kedua anaknya?

Para panglima yang ada dihadapannya itu menunduk dan semua tidak mau menjawab, hanya diam membisu. Para panglima itu khawatir gugurnya Pangeran Joyokusumo I dan kedua anaknya akan memukul hati Diponegoro dan meruntuhkan semangatnya melawan Kolonial Belanda.

Tentu saja, P. Diponegoro semakin keheranan dan marah karena mereka hanya menunduk dan diam saja. Tiba-tiba Pangeran Diponegoro teringat sebelumnya saat dalam penyergapan, dia mendengar ada suara letusan-letusan tembakan berkali-kali sangat ramai. Dan setelah itu Pangeran Joyokusumo I tidak tampak bersamanya.

Pangeran Diponegoro merasa heran mengapa mereka semua tidak cerita tentang keberadaan pamannya. Pangeran Joyokusumo I merupakan putra dari Sultan Hamengku Buwono II.

Di saat keheningan itu, majulah Raden Sindorejo dan berkata bahwa pamannya telah wafat bersama dua putranya.

Mendengar laporan itu Pangeran Diponegoro duduk terdiam dalam kesedihan, air matanya menetes. Dia merasa terpukul, seakan-akan ia merasa tinggal sendirian di tanah Jawa karena sekarang ia tidak punya siapa-siapa lagi, sebab pamannya itu adalah satu-satunya sesepuh (orangtua) yang masih mendampingi Pangeran Diponegoro pada saat itu.

Sekarang, ia telah gugur. Pangeran Diponegoro merasa sedih yang luar biasa karena beliau merasa tidak bisa menata pengikutnya dan merasa tidak bisa melakukan apapun tanpa dukungan pamannya itu.

Tanpa bicara sepatah pun, segera P. Diponegoro mencari kudanya dan akan berangkat mengambil jenazah paman dan kedua keponakanya.

Melihat Diponegoro yang masih kebingungan itu, Raden Sindorejo kembali mendekati Diponegoro dan melaporkan bahwa jenazah Pangeran Joyokusumo I dan kedua putranya, Pangeran Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo sudah dimakamkan oleh warga Sengir.

Para prajurit juga menyampaikan, bahwa paman dan kedua putranya gugur mengenaskan karena diberondong tembakan dan dimutilasi saat pertempuran di Dusun Sengir, Kalirejo Kulonprogo.

Kepala paman dan kedua putranya dipenggal oleh tentara kolonial Belanda. Setelah itu, badan ketiganya dipotong-potong. Mendengar itu, Pangeran Diponegoro kembali terdiam mematung dan sedih dengan keadaan jenazah paman dan kedua putranya itu."


Pada 21 September 1829, Joyokusumo I dan dua putranya, Joyokusumo II dan Atmokusumo terpojok di Gunung Kelir, Kulonprogo dan tewas di tangan serdadu pribumi Belanda (hulptroepoen) asal Manado, Ternate dan Madura pimpinan Cokrojoyo. Jenazahnya kemudian dikirim ke Jenderal De Kock di Magelang. Kepalanya dikebumikan di Banyusumurup (Carey, Peter (2017). Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang Jawa. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 151. ISBN 978-602-424-680-8.)


Menurut Carey, Joyokusumo, 2 putranya, dan 20 prajurit berkuda dikepung di Sengir, dekat Pegunungan Kelir pada 21 September 1829. 


Di tengah situasi terdesak, Joyokusumo mengaku sebagai anak raja kepada para serdadu itu, sebuah pengakuan yang belakangan tidak berguna sama sekali. Carey menulis, Joyokusumo kena tebasan klewang prajurit hussar Belanda dalam tragedi tersebut.


Dalam versi cerita masyarakat Sengir, mereka dibunuh dan mayatnya dibuang di sebuah sungai kecil, sekitar 200 meter dari makam. Di sungai itu, Karti mengatakan masih ada batu besar yang diyakini sebagai tempat pem3nggalan kepala Joyokusumo, lengkap dengan bekas aliran darah Sang Panglima Kavaleri.


Secara ironis dan mengenaskan, sosok Joyokusumo ini meregang nyawa di sekelompok pasukan berisi orang-orang Manado dan pimpinan pasukan ini adalah orang Jawa.


Sosok ini bernama Raden Ngabehi Resodiwiryo, seorang bangsawan Kraton Surakarta. Carey dalam Sisi Lain Diponegoro, Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa mengisahkan sosok ini diangkat menjadi wakil komandan hulptroepen (pasukan cadangan pribumi) untuk mempertahankan wilayah mancanegara Kraton Surakarta di sekitar Bagelen dari pasukan Diponegoro.


Lebih ironis lagi, Resodiwiryo dan Diponegoro dahulu pernah sama-sama berguru ke Kyai Taptojani di Mlangi. Jika masih mau mencari sisi lebih ironis, Resodiwiryo mempunyai komandan bernama Pangeran Kusumoyudo dan sosok ini masih kerabat Joyokusumo. Kelak, setahun setelah Perang Jawa usai, Resodiwiryo diangkat sebagai bupati pertama Purworejo dan mendapat gelar Raden Adipati Cokronegoro I. #KisahNusantaraPerangDiponegoro


Foto Cokronegoro 1 (Kiri) dan van Pabst (Kanan)  Sumber: Foto dari buku Peter Carey, (2017), Sisi Lain Diponegoro, Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa, (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia).

(Sinau sejarah leluhur nuswantoro) SILSILAH TRAH SUNAN KALIJAGA Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Wali Songo. Beliau adalah salah satu leluhur trah Kraton Mataram Islam. Disebutkan didalam serat yang tertulis dalam Babad dijelaskan bahwa silsilah Sunan Kalijaga sbb: Arya Teja I , Adipati Tuban menurunkan Arya Teja Laku menjadi punggawa di Kraton Majapahit. Arya Teja Laku (Arya Teja II ) menurunkan: 1. Arya Lembu Sura, Bupati Surabaya 2. Dewi Umuni, menikah dengan Prabhu Brawijaya II bergelar Dewi Panurun Arya Lembu Sura bupati ing Surabaya, menurunkan putra 6: 1. Arya Nembé punggawa ing Majapahit, 2. Arya Lembu Sana bupati ing Surabaya, 3. Arya Kendhi Wiring punggawa Majapahit, 4. Retna Panjawi menikah dengan Prabu Brawijaya III, 5. Arya Sendhi punggawa ing Majapahit, 6. Dèwi Surati menikah dengan Panji Suralaya. Arya Nembé punggawa di Kraton Majapahit, menurunkan putra 2: 1. Arya Tèja III Adipati di Tuban, 2. Arya Danu punggawa ing Majapahit. Arya Tèja III Adipati ing Tuban, puputra 6: 1. Pangèran Ibrahim ing Garesik, 2. Rara Johar menikah dengan Sunan Majagung , 3. Rara Manik menikah dengan Syech Maulana Malik Maghribi menurunkan Raden Kidang Tilangkas atau Ki Ageng Tarub II, Ki Ageng Tarub II menurunkan Dewi Nawangsih 4. Rara Nila kasebut nama Nyai Ageng Manila menikah dengan Sunan Ngampèl Denta menurunkan Ratu Panggung ( Permaisuri Raden Patah, Raja Demak Bintoro ) 5. Rara Pakaja menikah dengan Raja Pandhita Ngali Murtala ing Garesik, 6. Tumenggung Wilwatikta ing Jepara, Tumenggung Wilwatikta menurunkan putra 3: 1. Perempuan menikah dengan Arya Timus, bupati Jepara, 2. Raden Sahid bergelar Sunan Kalijaga, 3. Radèn Wijil. Sunan Kalijaga memiliki tiga orang istri, yakni Dewi Sarah, Siti Zaenab ( Putri Sunan Gunung Jati ), dan Siti Hafsah ( Putri Sunan Ampel Denta ) Sunan Kalijaga peputra 8: Dari Siti Zaenab : 1. Ratu Pembayun, menikah dengan Sultan Trenggana, Raja Demak Bintoro 2. Raden Ayu Panengah menikah dengan Ki Ageng Ngerang III 3. Susuhunan Adi ing Kalijaga, 4. Pangèran Samudra 5. Raden Abdurrahman ( naik haji ) Dari Dewi Sarah : 1. Raden Umar Said (Sunan Muria), 2. Dewi Rukayah, 3. Dewi Sofiah. I. Kanjeng Ratu Pembayun menikah dengan Sultan Trenggana menurunkan : 1. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang menurunkan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa menurunkan Ratu Mas Hadi. Ratu Mas Hadi menikah dengan Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Sultan Agung. 2. Pangeran Timur , Panembahan Madiun , Bupati I Kadipaten Madiun menurunkan Retno Dumilah. Retno Dumilah menikah dengan Panembahan Senopati menurunkan Panembahan Juminah. Panembahan Juminah menikah dengan Ratu Mas Hadi ( janda Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Pangeran Balitar. Pangeran Balitar menurunkan Kanjeng Ratu Mas Balitar. Kanjeng Ratu Mas Balitar menikah dengan Sunan Pakubuwana I menurunkan Sunan Amangkurat IV. Sunan Amangkurat IV menurunkan : 1. Pangeran Mangkunagara menurunkan KGPAA Mangkunagara I menjadi Pendiri Puro Mangkunagaran. 2. Pangeran Probosuyoso kelak menjadi Raja Kraton Mataram selanjutnya bergelar Susuhunan Pakubuwana II 3. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi pendiri Kraton Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. II. Raden Ayu Panengah menikah dengan Ki Ageng Ngerang III menurunkan : 1. Ki Pendjawi atau Ki Ageng Pati 2. Nyai Ageng Kemiri ing Pati Ki Ageng Pati atau Ki Pendjawi menikah dengan putri Nyai Ageng Kemiri ing Pati menurunkan: 1. Kangjeng Ratu Waskita Jawi 2. Adipati Pragola Pati I Kangjeng Ratu Waskita Jawi menikah dan menjadi Permaisuri Panembahan Senopati, Raja Mataram I. Berputra Panembahan Hadi Hanyokrowati ( Raja Mataram II ) Adipati Pragola Pati menurunkan : 1. Adipati Pragola Pati II 2. Raden Londoh ( Pangeran Ronggopati ) III. Susuhunan Adi ing Kalijaga peputra 2: 1. Ratu Mas Kadilangu, 2. Sunan Adi Kadilangu, Sunan Adi Kadilangu menurunkan Sunan Kadilangu sèda ing Kanitèn, beliau menurunkan : Panembahan Kadilangu sèda Kepuh, beliau menurunkan : Panembahan Natapraja ing Kadilangu, beliau menurunkan putra 2: 1. Perempuan menikah dengan Panembahan Wijil Kadilangu, 2. Pangèran Natapraja ing Kadilangu. Putri perempuan yang menikah dengan Panembahan Wijil ing Kadilangu, puputra 2: 1. Pangèran Wijil sèda ing Kartasura, 2. Radèn Ayu Danupaya. Pangèran Wijil sèda ing Kartasura menurunkan putra bernama Pangèran Wijil Inthik-Inthik, Pangeran Wijil Inthik Inthik menurunkan putra 2: 1. Pangèran Wijil kaping IV, 2. Radèn Kusuma. Pangèran Wijil kaping IV puputra 5: 1. Pangèran Wijil kaping V, 2. Tumenggung Mangkupraja ing Demak, 3. Radèn Ayu Kaji Sumenep, 4. Radèn Ayu Kertadipa, 5. Radèn Wirakusuma. Pangèran Wijil V menurunkan Pangèran Wijil VI,beliau menurunkan putra Pangèran Wijil VII Sumber data : 1. Diambil dari Petikan Serat Soejarah karya Pujangga Harttati th 1935. 2. Silsilah Sunan Kalijaga yang ditulis oleh KRMAA Sosronagoro Patih Kraton Surakarta yang tertulis dalam naskah yang tersimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman dengan kode Ms. Or. Fol. 3163 3. Lukisan Sunan Kalijaga yang tertempel di Pendopo Astana Kadilangu. Al Fatihah

 (Sinau sejarah leluhur nuswantoro) 

SILSILAH TRAH SUNAN KALIJAGA



Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Wali Songo. Beliau adalah salah satu leluhur trah Kraton Mataram Islam.

Disebutkan didalam serat yang tertulis dalam Babad dijelaskan bahwa silsilah Sunan Kalijaga sbb: 


Arya Teja I , Adipati Tuban menurunkan Arya Teja Laku menjadi punggawa di Kraton Majapahit. Arya Teja Laku (Arya Teja II ) menurunkan:

1. Arya Lembu Sura, Bupati Surabaya

2. Dewi Umuni, menikah dengan Prabhu Brawijaya II bergelar Dewi Panurun


Arya Lembu Sura bupati ing Surabaya, menurunkan putra 6: 

1. Arya Nembé punggawa ing Majapahit, 

2. Arya Lembu Sana bupati ing Surabaya, 

3. Arya Kendhi Wiring punggawa  Majapahit, 

4. Retna Panjawi menikah dengan Prabu Brawijaya III, 

5. Arya Sendhi punggawa ing Majapahit, 

6. Dèwi Surati menikah dengan Panji Suralaya.


Arya Nembé punggawa di Kraton Majapahit, menurunkan putra 2: 

1. Arya Tèja III Adipati di Tuban, 

2. Arya Danu punggawa ing Majapahit.


Arya Tèja III Adipati ing Tuban, puputra 6: 

1. Pangèran Ibrahim ing Garesik, 

2. Rara Johar menikah dengan Sunan Majagung , 

3. Rara Manik menikah dengan Syech Maulana Malik Maghribi menurunkan Raden Kidang Tilangkas atau Ki Ageng Tarub II, Ki Ageng Tarub II menurunkan Dewi Nawangsih

4. Rara Nila kasebut nama Nyai Ageng Manila menikah dengan Sunan Ngampèl Denta menurunkan Ratu Panggung ( Permaisuri Raden Patah, Raja Demak Bintoro )

5. Rara Pakaja menikah dengan Raja Pandhita Ngali Murtala ing Garesik, 

6. Tumenggung Wilwatikta ing Jepara, 


Tumenggung Wilwatikta menurunkan putra 3: 1. Perempuan menikah dengan Arya Timus, bupati Jepara, 

2. Raden Sahid bergelar Sunan Kalijaga, 

3. Radèn Wijil.


Sunan Kalijaga memiliki tiga orang istri, yakni Dewi Sarah, Siti Zaenab ( Putri Sunan Gunung Jati ), dan Siti Hafsah ( Putri Sunan Ampel Denta )


Sunan Kalijaga peputra 8: 

Dari Siti Zaenab :

1. Ratu Pembayun, menikah dengan  Sultan Trenggana, Raja Demak Bintoro 

2. Raden Ayu  Panengah menikah dengan Ki Ageng Ngerang III

3. Susuhunan Adi ing Kalijaga, 

4. Pangèran Samudra 

5. Raden Abdurrahman ( naik haji )


Dari Dewi Sarah :

1. Raden Umar Said (Sunan Muria), 

2. Dewi Rukayah, 

3. Dewi Sofiah.


I. Kanjeng Ratu Pembayun menikah dengan Sultan Trenggana menurunkan : 

1. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang menurunkan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa menurunkan Ratu Mas Hadi. Ratu Mas Hadi menikah dengan Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Sultan Agung.


2. Pangeran Timur , Panembahan Madiun ,  Bupati I Kadipaten Madiun menurunkan Retno Dumilah. Retno Dumilah menikah dengan Panembahan Senopati menurunkan Panembahan Juminah. Panembahan Juminah menikah dengan Ratu Mas Hadi ( janda Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Pangeran Balitar. Pangeran Balitar menurunkan Kanjeng Ratu Mas Balitar. Kanjeng Ratu Mas Balitar menikah dengan Sunan Pakubuwana I menurunkan Sunan Amangkurat IV.

Sunan Amangkurat IV menurunkan :

1. Pangeran Mangkunagara menurunkan KGPAA Mangkunagara I menjadi Pendiri Puro Mangkunagaran.

2. Pangeran Probosuyoso kelak menjadi Raja Kraton Mataram selanjutnya bergelar Susuhunan Pakubuwana II

3. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi pendiri Kraton Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.


II. Raden Ayu Panengah menikah dengan 

Ki Ageng Ngerang III menurunkan :

1. Ki Pendjawi atau Ki Ageng Pati

2. Nyai Ageng Kemiri ing Pati


Ki Ageng Pati atau Ki Pendjawi menikah dengan putri Nyai Ageng Kemiri ing Pati menurunkan:

1. Kangjeng Ratu Waskita Jawi 

2. Adipati Pragola Pati I


Kangjeng Ratu Waskita Jawi menikah dan menjadi Permaisuri Panembahan Senopati, Raja Mataram I. Berputra Panembahan Hadi   Hanyokrowati ( Raja Mataram II )


Adipati Pragola Pati menurunkan :

1. Adipati Pragola Pati II

2. Raden Londoh ( Pangeran Ronggopati )


III. Susuhunan Adi ing Kalijaga peputra 2: 

1. Ratu Mas  Kadilangu, 

2. Sunan Adi Kadilangu, 


Sunan Adi Kadilangu menurunkan Sunan Kadilangu sèda ing Kanitèn, beliau menurunkan :

Panembahan Kadilangu sèda Kepuh, beliau menurunkan :

Panembahan Natapraja ing Kadilangu, beliau menurunkan putra 2: 

1. Perempuan menikah dengan Panembahan Wijil Kadilangu, 

2. Pangèran Natapraja ing Kadilangu.


Putri perempuan yang menikah dengan Panembahan Wijil ing Kadilangu, puputra 2: 

1. Pangèran Wijil sèda ing Kartasura, 

2. Radèn Ayu Danupaya.


Pangèran Wijil sèda ing Kartasura menurunkan putra bernama Pangèran Wijil Inthik-Inthik,

Pangeran Wijil Inthik Inthik menurunkan putra 2: 

1. Pangèran Wijil kaping IV, 

2. Radèn Kusuma.


Pangèran Wijil kaping IV puputra 5: 

1. Pangèran Wijil kaping V, 

2. Tumenggung Mangkupraja ing Demak, 

3. Radèn Ayu Kaji Sumenep, 

4. Radèn Ayu Kertadipa, 

5. Radèn Wirakusuma.


Pangèran Wijil V menurunkan Pangèran Wijil VI,beliau menurunkan putra Pangèran Wijil VII


Sumber data :


1. Diambil dari Petikan Serat Soejarah karya Pujangga Harttati th 1935.


2. Silsilah Sunan Kalijaga yang ditulis oleh KRMAA Sosronagoro Patih Kraton Surakarta yang tertulis dalam naskah yang tersimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman dengan kode Ms. Or. Fol. 3163


3. Lukisan Sunan Kalijaga yang tertempel di Pendopo Astana Kadilangu.


Al Fatihah

13 September 2025

PANGLIMA POLEM Panglima Polem merupakan pejuang asal Aceh. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda di Aceh bersama dengan Teuku Umar. Untuk mengenang perjuangannya, namanya diabadikan menjadi beberapa nama jalan di Indonesia. Panglima Polem memiliki nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud. Hingga saat ini belum ditemukan keterangan yang menjelaskan kapan Panglima Polem dilahirkan. Namun yang jelas, Panglima Polem merupakan keturunan bangsawan Aceh. Ayahnya adalah Panglima Polem VIII Raja Kuala yang merupakan anak Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin atau Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin, kakek Panglima Polem merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar. Pada Januari tahun 1891, Panglima Polem diangkat menjadi Panglima Polem IX setelah ia menikah dengan putri dari Tuanku Hasyim Banta Muda. Ia diangkat menjadi Panglima Polem IX menggantikan ayahnya yang meninggal dunia. Setelah ia diangkat, Panglima Polem mewarisi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Wazirul Azmi. Pada saat itu, Belanda yang menjajah Indonesia sedang berusaha untuk menaklukkan Aceh. Melawan Belanda Pada tahun 1893, Panglima Polem bergabung dengan Teuku Umar untuk melawan penjajahan Belanda. Perlu diketahui sebelumnya, Teuku Umar pura-pura menyerah lalu menyerang kembali Belanda bersama dengan Panglima Polem. Pada tahun 1897, Panglima Polem bersama pasukannya terlibat pertempuran dengan Belanda di wilayah Seulimeum. Dalam pertempuran tersebut, Belanda berhasil menguasai tiga benteng pertahanan yang sebelumnya dibangun oleh Panglima Polem bersama pasukannya. Setelah kekalahannya pada pertempuran di wilayah Seulimeum, Panglima Polem kemudian bertemu dengan Sultan Aceh yang bernama Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1898, Panglima Polem bersama Teuku Umar bersumpah setia terhadap Sultan Aceh untuk bersama-sama melawan Belanda. Lalu pada tahun 1901, Panglima Polem bersama Teuku Umar dan Sultan Daud Syah menyingkir ke pedalaman Gayo. Gayo dijadikan sebagai pusat pertahanan dan tempat menyusun strategi melawan Belanda. BERDAMAI DENGAN BELANDA Pertahanan yang dibuat di wilayah Gayo berhasil membuat Belanda frustasi karena selalu gagal menguasainya. Kemudian Belanda melakukan siasat licik dengan mencoba menangkap keluarga Raja Daud Syah dari Aceh. Belanda akhirnya berhasil menangkap isteri sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong. Selain itu Belanda juga menangkap isteri sultan lainnya yang bernama Pocut cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Belanda kemudian memaksa Sultan Daud Syah untuk menyerahkan diri dan berdamai dengan Belanda. Selain itu, Belanda juga mengancam apabila Sultan Daud Syah tidak segera menyerahkan diri, maka keluarganya tersebut akan dibuang dalam pengasingan. Karena ancaman tersebut, pada Januari 1903, Sultan Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Belanda kemudian mengasingkannya ke Ambon dan ke Batavia hingga meninggal dunia pada 1939. Ditangkapnya Sultan Daud Syah ternyata mempengaruhi Panglima Polem yang masih berjuang di Aceh. Hingga akhirnya Panglima Polem terpaksa menyerahkan diri dan berdamai dengan Belanda pada 1903. Panglima Polem kemudian ditahan hingga ia meninggal dunia pada tahun 1939. Sumber : Kompas.com, Wikipedia dll Keterangan gambar Panglima Polem istri dan saudara Panglima Polem, Perdamaian dengan Belanda, Makam Panglima Polem

 PANGLIMA POLEM


Panglima Polem merupakan pejuang asal Aceh. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda di Aceh bersama dengan Teuku Umar.  Untuk mengenang perjuangannya, namanya diabadikan menjadi beberapa nama jalan di Indonesia. 


Panglima Polem memiliki nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud. Hingga saat ini belum ditemukan keterangan yang menjelaskan kapan Panglima Polem dilahirkan. Namun yang jelas, Panglima Polem merupakan keturunan bangsawan Aceh. Ayahnya adalah Panglima Polem VIII Raja Kuala yang merupakan anak Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin atau Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin, kakek Panglima Polem merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar. Pada Januari tahun 1891, Panglima Polem diangkat menjadi Panglima Polem IX setelah ia menikah dengan putri dari Tuanku Hasyim Banta Muda. Ia diangkat menjadi Panglima Polem IX menggantikan ayahnya yang meninggal dunia.



Setelah ia diangkat, Panglima Polem mewarisi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Wazirul Azmi. Pada saat itu, Belanda yang menjajah Indonesia sedang berusaha untuk menaklukkan Aceh. Melawan Belanda Pada tahun 1893, Panglima Polem bergabung dengan Teuku Umar untuk melawan penjajahan Belanda. Perlu diketahui sebelumnya, Teuku Umar pura-pura menyerah lalu menyerang kembali Belanda bersama dengan Panglima Polem. 

Pada tahun 1897, Panglima Polem bersama pasukannya terlibat pertempuran dengan Belanda di wilayah Seulimeum. Dalam pertempuran tersebut, Belanda berhasil menguasai tiga benteng pertahanan yang sebelumnya dibangun oleh Panglima Polem bersama pasukannya. Setelah kekalahannya pada pertempuran di wilayah Seulimeum, Panglima Polem kemudian bertemu dengan Sultan Aceh yang bernama Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1898, Panglima Polem bersama Teuku Umar bersumpah setia terhadap Sultan Aceh untuk bersama-sama melawan Belanda. Lalu pada tahun 1901, Panglima Polem bersama Teuku Umar dan Sultan Daud Syah menyingkir ke pedalaman Gayo. Gayo dijadikan sebagai pusat pertahanan dan tempat menyusun strategi melawan Belanda.


BERDAMAI DENGAN BELANDA

Pertahanan yang dibuat di wilayah Gayo berhasil membuat Belanda frustasi karena selalu gagal menguasainya. Kemudian Belanda melakukan siasat licik dengan mencoba menangkap keluarga Raja Daud Syah dari Aceh. Belanda akhirnya berhasil menangkap isteri sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong. Selain itu Belanda juga menangkap isteri sultan lainnya yang bernama Pocut cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Belanda kemudian memaksa Sultan Daud Syah untuk menyerahkan diri dan berdamai dengan Belanda. Selain itu, Belanda juga mengancam apabila Sultan Daud Syah tidak segera menyerahkan diri, maka keluarganya tersebut akan dibuang dalam pengasingan. Karena ancaman tersebut, pada Januari 1903, Sultan Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Belanda kemudian mengasingkannya ke Ambon dan ke Batavia hingga meninggal dunia pada 1939. Ditangkapnya Sultan Daud Syah ternyata mempengaruhi Panglima Polem yang masih berjuang di Aceh. Hingga akhirnya Panglima Polem terpaksa menyerahkan diri dan berdamai dengan Belanda pada 1903. Panglima Polem kemudian ditahan hingga ia meninggal dunia pada tahun 1939.


Sumber : Kompas.com, Wikipedia dll

Keterangan gambar Panglima Polem istri dan saudara Panglima Polem, Perdamaian dengan Belanda, Makam Panglima Polem

Taman Makam Pahlawan Kalibata 5 Oktober 1965. Suasana Haru menyelimuti prosesi pemakaman secara militer 7 pahlawan Revolusi. Tampak Mayjen Soeharto sebagai Pangkopkamtib dan beberapa pejabat kabinet Dwi kora, para panglima 4 angkatan, dan para perwakilan negara asing ikut menghadiri upacara pemakaman itu. Bertindak sebagai pembina upaca Wkl. PM I/Menlu I Dr Soebandrio. Upacara pemakaman yang penuh dengan suasana emosional dengan disaksikan ribuan warga masyarakat DKI Jakarta. Hari itu bendera dikibarkan setengah tiang. Sejarah nasional Indonesia.

 Taman Makam Pahlawan Kalibata 5 Oktober 1965. Suasana Haru menyelimuti prosesi pemakaman secara militer 7 pahlawan Revolusi. Tampak Mayjen Soeharto sebagai Pangkopkamtib dan beberapa pejabat kabinet Dwi kora, para panglima 4 angkatan, dan para perwakilan negara asing ikut menghadiri upacara pemakaman itu. Bertindak sebagai pembina upaca Wkl. PM I/Menlu I Dr Soebandrio. Upacara pemakaman yang penuh dengan suasana emosional dengan disaksikan ribuan warga masyarakat DKI Jakarta. Hari itu bendera dikibarkan setengah tiang. 



Sejarah nasional Indonesia.

Akhir Kehidupan Musso, Si Haus Darah Wajah Musso terlihat letih dan muram. Lelaki gempal itu lahir dari keluarga relijius pada tahun 1897 di Desa Jagung Kec Pagu Kab Kediri Jatim. Dia tak menyangka jika perjuangannya akan berakhir begitu cepat. Dialah Musso, pimpinan tertinggi PKI, otak seluruh pemberontakan PKI nan berdarah. Dia sedang berusaha melarikan diri dari Madiun. Pemberontakannya gagal total. Lelaki itu memiliki nama asli Munawar Musso. Dia sedang melarikan diri bersama Amir Sjarifudin dan gerombolan PKI lainnya. Awalnya mereka adalah satu rombongan besar. Mereka bergerak ke arah utara. Mereka mencoba mendekati garis Van Mook. Berusaha mencari perlindungan di daerah yg dikuasai Belanda. Ditengah perjalanan, Musso berselisih faham dengan Amir. Keduanya saling menyalahkan atas kegagalan revolusi di Madiun. Keduanya saling menghujat berselisih faham. Akhirnya Musso memisahkan diri dari rombongan besar. Musso hanya didampingi satu regu pengawal bergerak menuju Pacitan. Dia berusaha menempuh perjalanan laut menuju Singapura. Musso bermaksud meminta bantuan komunis internasional. Sebagai Stalinis garis keras, Musso memiliki kedudukan penting di Komunis internasional (komintern). Dia pernah tinggal di Moscow selama 23 tahun dan memegang berbagai jabatan penting. Semuanya berawal dari pelariannya pasca kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926. Musso menjadi buronan pemerintah Hindia Belanda. Dia melarikan diri ke berbagai negara. Ia loncat dari satu negara ke negara lain dengan menyamar menggunakan berbagai nama. Ia pernah tinggal di Singapura, Canton/Tiongkok dan berlabuh di Moscow. Di Moscow inilah dia mendalami dan menjiwai ajaran marxisme leninisme. Pada bulan Juli 1928 Musso mengikuti Kongres Komunis Internasional ke-6. Saat itu dia terlihat sangat menonjol dan berhasil memikat hati Joseph Vissarionovich Stalin. Dan sejak itu Musso dikenal ssbagai Stalinis garis keras berdarah Jawa. Musso ditunjuk sebagai Komite Executive Komunis Internasional. Sempat kuliah di sebuah universitas di Moscow, tapi drop out karena lebih sibuk berorganisasi daripada menghadiri perkuliahan. Meskipun sudah memiliki jabatan penting di Komintern, tapi Musso selalu memiliki tujuan utama kembali ke tanah Jawa. Berusaha mewujudkan mimpinya utk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Komunis Internasional. Berusaha menyingkirkan kaum borjuis dan memperjuangkan kaum proletar. Dan mimpi itu hampir ia wujudkan di Madiun. Tapi kini semua mimpinya sirna. Dia hanya mampu berkuasa selama 11 hari. Dan kini ia menjadi pelarian yg paling dicari. Nama Musso beserta fotonya dihafalkan oleh seluruh Tentara Republik Indonesia. Saat itu tanggal 31 September 1948. Musso memisahkan diri dari rombongan besar. Di tengah perjalanan, Musso menyuruh pengawalnya utk membubarkan diri. Dia akan melarikan diri sendirian dg menyamar sbg rakyat jelata. Musso berpikir jika dalam rombongan, meskipun tidak banyak, tetap akan mengundang kecurigaan. Maka solusinya adalah berjalan sendirian dg menyamar. Kemudian Musso melepaskan kemejanya dan mengganti dg kaos oblong. Celananya dilipat hingga lutut. Dan bawaannya dibuntal sarung yg dicangklongkan ke pundak. Musso menutupi kepalanya dg caping. Dg harapan bisa menyembunyikan wajahnya. Meskipun sudah berusaha menyamar sebagus mungkin, tapi penampilan Musso masih mencurigakan. kulitnya yg bersih dan tangannya yg mulus menyebabkan ia terlihat bukan seperti petani biasa. Sewaktu akan melewati Pos Kesehatan Balong, Musso melihat seorang pegawai kelurahan sedang berbicara dg polisi. Musso menenangkan dirinya dan melangkah dg tenang. Polisi yg bernama Rejosudarmo itu memberhentikan Musso dan memeriksa buntalannya. Di dalam buntalan tsb terdapat celana, ikat kepala dan jas hujan. Dan di dalam saku jas hujan terdapat sebuah kertas beraksara Rusia. Seketika Rejosudarmo kaget dan menanyakan perihal kertas beraksara Rusia itu. Musso yg temperamen langsung kalap. Tanpa banyak cingcong, Musso otomatis menembak Rejosudarmo. Sang Polisi seketika roboh. Kemudian pegawai kelurahan yg bernama Soewarno itu melompat dan berteriak minta tolong. Juga berteriak bahwa ada mata-mata. Sejumlah pemuda segera berdatangan dan membawa Rejosudarmo ke pos kesehatan. Sementara yg lain mengejar Musso. Melihat ada yg mengejarnya, kontan Musso lari tunggang langgang. Dia membajak sebuah dokar dg menodongkan pistolnya kepada kusir. Para pengejarnya menyusul dg naik sepeda. Diantara para pemuda pengejar tsb ada anggota Dewan Pertahanan Masjumi (DPM) yg bernama Benu. Sembari mengayuh sepeda, Benu menyuruh dokar berhenti. Seruannya dijawab tembakan pistol. Benu balas menembak. Terjadilah baku tembak antara penumpang dokar dan pengendara sepeda. Sesampai di Desa Semanding, datang mobil dari arah berlawanan. Benu buru-buru menghentikan mobil. Di dalamnya ada lima orang perwira. Dari dokar, Musso mengarahkan trmbakannya ke mobil. Tak ayal, para perwira itu berhamburan keluar lalu balas menembak dokar. Kuda dokar mati tertembak dan si kusir lari menyelamatkan diri. Tiba-tiba tembakan para perwira itu berhentj, ternyata pelurunya habis. Ini memberi peluang Musso utk menghujani para perwira itu dg tembakan. Mereka berlarian menuju markas tentara. Melihat mobil ditinggalkan begitu saja, Musso berusaha membajak mobil tsb. Tapi malangnya mobil tersebut tidak mau jalan. Musso bertambah panik. Dia cepat-cepat keluar dari mobil dan lari mencari tempat persembunyian. Kejar-kejaran membuat Musso haus. Saat melihat sebuah warung, dia mampir mengambil minum lalu pergi lagi. Musso tak menyadari keberadaan Benu dan teman-temannya anggota DPM yg berlindung di balik pohon. Mereka hanya berjarak sepuluh meter dari Musso. Benu berusaha menyergap Musso dalam keadaan hidup. Mereka hendak membujuk sang buronan. Benu memberikan dua buah mangga kepada Musso dg perantaraan anak gembala yg kebetulan lewat. Lantaran sangat lapar, Musso segera melahap mangga tsb. Tak dinyana, dari arah utara datang perwira yg tadi baku tembak. Perwira tsb membawa pasukan satu seksi. Para pemuda DPM kaget dan segera melarang mereka utk menembak sebab sedang ada upaya pembujukan. Tapi para perwira tsb tidak peduli. Musso yg sudah lari dan mencapai emperan sebuah rumah ditembaki. Segera dia mencari perlindungan dan masuk kamar mandi yg menjadi satu dg wc. Kamar mandi tsb berada di luar rumah. Tentara terus menembaki. Entah kenapa, Musso nekat keluar. Peluru watermelon mengoyak lengan kiri atas dan peluru karaben menembus dada kiri. Musso roboh bersimbah darah. Mayat Musso dibawa ke pos kesehatan. diidentifikasi oleh paramedis utk membuktikan bahwa orang tsb benar-benar Musso. Dan ternyata memang mayat tsb benar-benar Musso pemimpin pemberontakan PKI di Madiun. Kemudian mayat tersebut dibawa ke alun-alun Ponorogo, dipertontonkan kepada khalayak ramai. Tak lama kemudian mayat Musso dibakar hingga menjadi abu berserakan. Mayat tersebut sengaja dibakar dengan pertimbangan agar para pemgikut Musso tidak ngalap berkah ke makam Musso. Pemerintah faham bahwa di masyarakat masih sangat banyak terdapat orang PKI. Apabila mayat musso dimakamkan, niscaya para simpatisan PKI akan mengagungkan makam tersebut karena Musso dianggap sebagai pahlawan bahkan Ratu Adil Kaum Merah. Padahal sejatinya Musso adalah Si Tukang Jagal Berdarah Dingin.

 Akhir Kehidupan Musso, Si Haus Darah 


Wajah Musso terlihat letih dan muram. Lelaki gempal itu lahir dari keluarga relijius pada tahun 1897 di Desa Jagung Kec Pagu Kab Kediri Jatim.  Dia tak menyangka jika perjuangannya akan berakhir begitu cepat.



Dialah Musso, pimpinan tertinggi PKI, otak seluruh pemberontakan PKI nan berdarah. Dia sedang berusaha melarikan diri dari Madiun. Pemberontakannya gagal total.


Lelaki itu memiliki nama asli Munawar Musso. Dia sedang melarikan diri bersama Amir Sjarifudin dan gerombolan PKI lainnya. Awalnya mereka adalah satu rombongan besar. Mereka bergerak ke arah utara. Mereka mencoba mendekati garis Van Mook. Berusaha mencari perlindungan di daerah yg dikuasai Belanda.


Ditengah perjalanan, Musso berselisih faham dengan Amir. Keduanya saling menyalahkan atas kegagalan revolusi di Madiun. Keduanya saling menghujat berselisih faham. Akhirnya Musso memisahkan diri dari rombongan besar.


 Musso hanya didampingi satu regu pengawal bergerak menuju Pacitan. Dia berusaha menempuh perjalanan laut menuju Singapura. Musso bermaksud meminta bantuan komunis internasional.


Sebagai Stalinis garis keras, Musso memiliki kedudukan penting di Komunis internasional (komintern). Dia pernah tinggal di Moscow selama 23 tahun dan memegang berbagai jabatan penting. 


Semuanya berawal dari pelariannya pasca kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926. Musso menjadi buronan pemerintah Hindia Belanda. Dia melarikan diri ke berbagai negara. Ia loncat dari satu negara ke negara lain dengan menyamar menggunakan berbagai nama. Ia pernah tinggal di Singapura, Canton/Tiongkok dan berlabuh di Moscow. 


Di Moscow inilah dia mendalami dan menjiwai ajaran marxisme leninisme. Pada bulan Juli 1928 Musso mengikuti Kongres Komunis Internasional ke-6. Saat itu dia terlihat sangat menonjol dan berhasil memikat hati Joseph Vissarionovich Stalin. 


Dan sejak itu Musso dikenal ssbagai Stalinis garis keras berdarah Jawa. Musso ditunjuk sebagai Komite Executive Komunis Internasional. Sempat kuliah di sebuah universitas di Moscow, tapi drop out karena lebih sibuk berorganisasi daripada menghadiri perkuliahan.


Meskipun sudah memiliki jabatan penting di Komintern, tapi Musso selalu memiliki tujuan utama kembali ke tanah Jawa. Berusaha mewujudkan mimpinya utk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Komunis Internasional. Berusaha menyingkirkan kaum borjuis dan memperjuangkan kaum proletar.


Dan mimpi itu hampir ia wujudkan di Madiun. Tapi kini semua mimpinya sirna. Dia hanya mampu berkuasa selama 11 hari. Dan kini ia menjadi pelarian yg paling dicari. Nama Musso beserta fotonya dihafalkan oleh seluruh Tentara Republik Indonesia.


Saat itu tanggal 31 September 1948. Musso memisahkan diri dari rombongan besar. Di tengah perjalanan, Musso menyuruh pengawalnya utk membubarkan diri. Dia akan melarikan diri sendirian dg menyamar sbg rakyat jelata. Musso berpikir jika dalam rombongan, meskipun tidak banyak, tetap akan mengundang kecurigaan. Maka solusinya adalah berjalan sendirian dg menyamar.


Kemudian Musso melepaskan kemejanya dan mengganti dg kaos oblong. Celananya dilipat hingga lutut. Dan bawaannya dibuntal sarung yg dicangklongkan ke pundak. Musso menutupi kepalanya dg caping. Dg harapan bisa menyembunyikan wajahnya.


Meskipun sudah berusaha menyamar sebagus mungkin, tapi penampilan Musso masih mencurigakan. kulitnya yg bersih dan tangannya yg mulus menyebabkan ia terlihat bukan seperti petani biasa.


Sewaktu akan melewati Pos Kesehatan Balong,  Musso melihat seorang pegawai kelurahan sedang berbicara dg polisi. Musso menenangkan dirinya dan melangkah dg tenang. 


Polisi yg bernama Rejosudarmo itu memberhentikan Musso dan memeriksa buntalannya. Di dalam buntalan tsb terdapat celana, ikat kepala dan jas hujan. Dan di dalam saku jas hujan terdapat sebuah kertas beraksara Rusia. Seketika Rejosudarmo kaget dan menanyakan perihal kertas beraksara Rusia itu. Musso yg temperamen langsung kalap. Tanpa banyak cingcong, Musso otomatis menembak Rejosudarmo. Sang Polisi seketika roboh.


Kemudian pegawai kelurahan yg bernama Soewarno itu melompat dan berteriak minta tolong. Juga berteriak bahwa ada mata-mata. 


Sejumlah pemuda segera berdatangan dan membawa Rejosudarmo ke pos kesehatan. Sementara yg lain mengejar Musso. 


Melihat ada yg mengejarnya, kontan Musso lari tunggang langgang. Dia membajak sebuah dokar dg menodongkan pistolnya kepada kusir.  Para pengejarnya menyusul dg naik sepeda. Diantara para pemuda pengejar tsb ada anggota Dewan Pertahanan Masjumi (DPM) yg bernama Benu. 


Sembari mengayuh sepeda, Benu menyuruh dokar berhenti. Seruannya dijawab tembakan pistol. Benu balas menembak. Terjadilah baku tembak antara penumpang dokar dan pengendara sepeda.


Sesampai di Desa Semanding, datang mobil dari arah berlawanan. Benu buru-buru menghentikan mobil. Di dalamnya ada lima orang perwira. 


Dari dokar, Musso mengarahkan trmbakannya ke mobil. Tak ayal, para perwira itu berhamburan keluar lalu balas menembak dokar. Kuda dokar mati tertembak dan si kusir lari menyelamatkan diri.


Tiba-tiba tembakan para perwira itu berhentj, ternyata pelurunya habis. Ini memberi peluang Musso utk menghujani para perwira itu dg tembakan. Mereka berlarian menuju markas tentara.


Melihat mobil ditinggalkan begitu saja, Musso berusaha membajak mobil tsb. Tapi malangnya  mobil tersebut tidak mau jalan. Musso bertambah panik. Dia cepat-cepat keluar dari mobil dan lari mencari tempat persembunyian.


 Kejar-kejaran membuat Musso haus. Saat melihat sebuah warung, dia mampir mengambil minum lalu pergi lagi. Musso tak menyadari keberadaan Benu dan teman-temannya anggota DPM yg berlindung di balik pohon. Mereka hanya berjarak sepuluh meter dari Musso. Benu berusaha menyergap Musso dalam keadaan hidup. Mereka hendak membujuk sang buronan. 


Benu memberikan dua buah mangga kepada Musso dg perantaraan anak gembala yg kebetulan lewat. Lantaran sangat lapar, Musso segera melahap mangga tsb.


Tak dinyana, dari arah utara datang perwira yg tadi baku tembak. Perwira tsb membawa pasukan satu seksi. Para pemuda DPM kaget dan segera melarang mereka utk menembak sebab sedang ada upaya pembujukan. Tapi para perwira tsb tidak peduli. 


Musso yg sudah lari dan mencapai emperan sebuah rumah ditembaki. Segera dia mencari perlindungan dan masuk kamar mandi yg menjadi satu dg wc. Kamar mandi tsb berada di luar rumah. Tentara terus menembaki. Entah kenapa, Musso nekat keluar. Peluru watermelon mengoyak lengan kiri atas dan peluru karaben menembus dada kiri.  Musso roboh bersimbah darah.


Mayat Musso dibawa ke pos kesehatan. diidentifikasi oleh paramedis utk membuktikan bahwa orang tsb benar-benar Musso. Dan ternyata memang mayat tsb benar-benar Musso pemimpin pemberontakan PKI di Madiun. 


Kemudian mayat tersebut dibawa ke alun-alun Ponorogo, dipertontonkan kepada khalayak ramai. Tak lama kemudian mayat Musso dibakar hingga menjadi abu berserakan.


Mayat tersebut sengaja dibakar dengan pertimbangan agar para pemgikut Musso tidak ngalap berkah ke makam Musso. Pemerintah faham bahwa di masyarakat masih sangat banyak terdapat orang PKI. Apabila mayat musso dimakamkan, niscaya para simpatisan PKI akan mengagungkan makam tersebut karena Musso dianggap sebagai pahlawan bahkan Ratu Adil Kaum Merah. Padahal sejatinya Musso adalah Si Tukang Jagal Berdarah Dingin.

Dua potret Teuku Umar dalam rentang waktu dan kesempatan yang berbeda. Foto pertama ketika Teuku Umar sedang bergerilya berjuang melawan tentara kolonial Belanda pada tahun 1876. Foto kedua Teuku Umar memakai busana bangsawan sekitar tahun 1890an yang kemungkinan pada saat itu Teuku Umar sedang membelot ke pihak kolonial Belanda dan diberi gelar Johan Pahlawan. Source : KITLV

 Dua potret Teuku Umar dalam rentang waktu dan kesempatan yang berbeda.

Foto pertama ketika Teuku Umar sedang bergerilya berjuang melawan tentara kolonial Belanda pada tahun 1876.

Foto kedua Teuku Umar memakai busana bangsawan sekitar tahun 1890an yang kemungkinan pada saat itu Teuku Umar sedang membelot ke pihak kolonial Belanda dan diberi gelar Johan Pahlawan.




Source : KITLV

Hukuman Mati Bagi Pemimpin PKI Amir Sjarifuddin gamang. Perjalanan panjang tanpa keberadaan Musso di sisinya membuatnya banyak melamun. Terlebih lagi pertemuan terakhirnya dg Musso diisi dg pertengkaran, saling menyalahkan atas kegagalan pemberontakan PKI 1948 di Madiun. Amir yg merupakan Mantan Perdana Menteri itu berada dalam rombongan besar long march pelarian PKI. Saat itu mereka sedang berhenti sejenak di suatu tanah datar yg kosong di suatu hutan. Perbekalan sudah habis sama sekali. Tanpa kenal jeri, mereka melahap dedaunan yg tumbuh di sekitar dan menyembelih kuda angkut. Mereka melakukannya secepat mungkin karena Pasukan Siliwangi sudah tak begitu jauh di belakang rombongan. Selesai dg urusan perut, semua diperintahkan berjalan dg cepat. Sedapat mungkin menempuh tujuh kilometer sejam. Rombongan long march PKI itu terlihat payah, hampir semuanya berwajah kusut nan letih. Mereka sudah menempuh jarak 500 km, longmarch dari Madiun selama dua bulan. Mereka memasuki daerah Grobogan, utara Purwodadi Jateng. Jumlah mereka semakin sedikit. Tibalah mereka di daerah Rawa Klambu. Jaraknya sudah sangat dekat dengan garis Van Mook. Sebentar lagi mereka akan memasuki wilayah Belanda. Tinggal menyeberangi Sungai Lusi saja, maka sampailah mereka ke wilayah Belanda dan merdekalah mereka dari kejaran tentara Republik. Tapi sungguh malang, saat itu sungai Lusi sedang meluap dan banjir. Arusnya sangat deras. Tentara PKI yg berusaha menyeberangi sungai tsb akhirnya tenggelam. Terdapat sekitar 20 tentara PKI yg tenggelam di sungai ini. Akhirnya rombongan longmarch memutuskan utk menunda penyeberangan, menunggu aliran sungai Lusi bersahabat kembali. Terpaksa rombongan bertahan di Rawa Klambu yg terkenal angker. Berhari-hari di Rawa dg bekal minim membuat Amir Lemah dan terserang disentri. Di Rawa Kelambu yg sunyi senyap ini, ingatan Amir melayang di masa kejayaannya menjadi perdana menteri. Dia teringat ketika menandatangani Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Sebuah perjanjian yg dikecam oleh pihak dan membuat kabinet Amir dalam krisis. Perjanjian Renville ini sangat merugikan Indonesia krn wilayahnnya semakin sempit. Jika dalam perjanjian Linggarjati mengakui kedaulatan de facto Indonesia di Jawa, Sumatra, dan Madura. Maka perjanjian Renville hanya mengakui wilayah Indonesia tinggal beberapa di Jateng, Jatim serta Aceh. Bisa dikatakan perjanjian Renville ini adalah sebuah gol bunuh diri. Menyerahkan hampir seluruh wilayah Indonesia kepada Belanda. Akhirnya kabinet Amir bubar. Soekarno menunjuk Hatta sebagai Perdana Menteri. Kabinet Hatta menerapkan kebijakan Re-Ra (Rekonstruksi-Rasionalisasi). Re-Ra menyebabkan banyak sekali pemangkasan di tubuh tentara. Pemberhentian dg paksa para tentara inilah yg menyebabkan banyak ketidakpuasan di kalangan militer. Mereka yg diberhentikan, mayoritas bergabung dg FDR (Front Demokrasi Rakyat) milik PKI. Dari cikal bakal inilah tentara PKI terbentuk. Dan saat itu tentara PKI terjebak di Rawa Klambu. Mereka sudah dikepung oleh batalion "Kala Hitam" dari Brigade Siliwangi I di daerah Purwodadi. Pertempuran tak bisa dielakkan. Tentara PKI, meskipun terdesak, mereka tidak mau menyerah. Pertempuran berlangsung selama dua hari sebelum akhirnya PKI kalah. Tanggal 28 Nov 1948, para petinggi PKI yaitu Djoko Soedjono, Maroeto Darusman, Sajogo dll tertangkap oleh satuan TNI di Desa Peringan dekat Klambu. Kemudian tgl 29 Nov 1948, Amir Sjarifudin tertangkap. Mantan perdana menteri itu ditawan oleh Kompi Pasopati pimpinan Kapten Ranoe. Semua tentara PKI menyerah. Berakhirlah pemberontakan PKI di tahun 1948 itu. Operasi penumpasannya memakan waktu 72 hari. Terhitung sejak direbutnya Madiun pada tgl 19 Sep 1948 sampai pasukannya menyerah di hutan Klambu tgl 29 Nov 1948. Pemerintah menjatuhkan hukuman mati kepada para pemimpin PKI. Hukuman mati itu dilaksanakan tgl 19 Des 1948. Tercatat ada 11 orang yg dihukum mati, termasuk Amir Sjarifuddin. Hukuman mati para pemimpin PKI ini dilaksanakan di Desa Ngalihan, Karanganyar Solo atas perintah Kolonel Gatot Subroto.

 Hukuman Mati Bagi Pemimpin PKI


Amir Sjarifuddin gamang. Perjalanan panjang tanpa keberadaan Musso di sisinya membuatnya banyak melamun. Terlebih lagi pertemuan terakhirnya dg Musso diisi dg pertengkaran, saling menyalahkan atas kegagalan pemberontakan PKI 1948 di Madiun.



Amir yg merupakan Mantan Perdana Menteri itu berada dalam rombongan besar long march pelarian PKI. Saat itu mereka sedang berhenti sejenak di suatu tanah datar yg kosong di suatu hutan. 


Perbekalan sudah habis sama sekali. Tanpa kenal jeri, mereka melahap dedaunan yg tumbuh di sekitar dan menyembelih kuda angkut. Mereka melakukannya secepat mungkin karena Pasukan Siliwangi sudah tak begitu jauh di belakang rombongan. Selesai dg urusan perut, semua diperintahkan berjalan dg cepat. Sedapat mungkin menempuh tujuh kilometer sejam.  


Rombongan long march PKI itu terlihat payah, hampir semuanya berwajah kusut nan letih. Mereka sudah menempuh jarak 500 km, longmarch dari Madiun selama dua bulan. 


Mereka memasuki daerah Grobogan, utara Purwodadi Jateng. Jumlah mereka semakin sedikit. Tibalah mereka di daerah Rawa Klambu. Jaraknya sudah sangat dekat dengan garis Van Mook. Sebentar lagi mereka akan memasuki wilayah Belanda. Tinggal menyeberangi Sungai Lusi saja, maka sampailah mereka ke wilayah Belanda dan merdekalah mereka dari kejaran tentara Republik.


Tapi sungguh malang, saat itu sungai Lusi sedang meluap dan banjir. Arusnya sangat deras. Tentara PKI yg berusaha menyeberangi sungai tsb akhirnya tenggelam. Terdapat sekitar 20 tentara PKI yg tenggelam di sungai ini.


Akhirnya rombongan longmarch memutuskan utk menunda penyeberangan, menunggu aliran sungai Lusi bersahabat kembali. Terpaksa rombongan bertahan di Rawa Klambu yg terkenal angker. Berhari-hari di Rawa dg bekal minim membuat Amir Lemah dan terserang disentri.


Di Rawa Kelambu yg sunyi senyap ini, ingatan Amir melayang di masa kejayaannya menjadi perdana menteri. Dia teringat ketika menandatangani Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Sebuah perjanjian yg dikecam oleh pihak dan membuat kabinet Amir dalam krisis.


Perjanjian Renville ini sangat merugikan Indonesia krn wilayahnnya semakin sempit. Jika dalam perjanjian Linggarjati mengakui kedaulatan de facto Indonesia di Jawa, Sumatra, dan Madura. Maka perjanjian Renville hanya mengakui wilayah Indonesia tinggal beberapa di Jateng, Jatim serta Aceh. Bisa dikatakan perjanjian Renville ini adalah sebuah gol bunuh diri. Menyerahkan hampir seluruh wilayah Indonesia kepada Belanda. Akhirnya kabinet Amir bubar. Soekarno menunjuk Hatta sebagai Perdana Menteri.


Kabinet Hatta menerapkan kebijakan Re-Ra (Rekonstruksi-Rasionalisasi). Re-Ra menyebabkan banyak sekali pemangkasan di tubuh tentara. Pemberhentian dg paksa para tentara inilah yg menyebabkan banyak ketidakpuasan di kalangan militer. Mereka yg diberhentikan, mayoritas bergabung dg FDR (Front Demokrasi Rakyat) milik PKI. Dari cikal bakal inilah tentara PKI terbentuk.


Dan saat itu tentara PKI terjebak di Rawa Klambu. Mereka sudah dikepung oleh batalion "Kala Hitam" dari Brigade Siliwangi I di daerah Purwodadi. Pertempuran tak bisa dielakkan. Tentara PKI, meskipun terdesak, mereka tidak mau menyerah. Pertempuran berlangsung selama dua hari sebelum akhirnya PKI kalah.


Tanggal 28 Nov 1948, para petinggi PKI yaitu Djoko Soedjono, Maroeto Darusman, Sajogo dll tertangkap oleh satuan TNI di Desa Peringan dekat Klambu.


Kemudian tgl 29 Nov 1948, Amir Sjarifudin tertangkap. Mantan perdana menteri itu ditawan oleh Kompi Pasopati pimpinan Kapten Ranoe. Semua tentara PKI menyerah.


Berakhirlah pemberontakan PKI di tahun 1948 itu.  Operasi penumpasannya memakan waktu 72 hari. Terhitung sejak direbutnya Madiun pada tgl 19 Sep 1948 sampai pasukannya menyerah di hutan Klambu tgl 29 Nov 1948.


Pemerintah menjatuhkan hukuman mati kepada para pemimpin PKI. Hukuman mati itu dilaksanakan tgl 19 Des 1948. Tercatat ada 11 orang yg dihukum mati, termasuk Amir Sjarifuddin.


Hukuman mati para  pemimpin PKI ini dilaksanakan di Desa Ngalihan, Karanganyar Solo atas perintah Kolonel Gatot Subroto.

Rela mengorb4nkan adik kandung sendiri demi r3volusi. Adalah Ir. Sakirman (11 Oktober 1911-1966) salah satu petinggi Politbiro Central Committee Partai K0munis Indonesia. Dia dilahirkan pada tahun 1911, di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia juga adalah kakak kandung dari Letnan Jenderal TNI Siswondo Parman, salah satu korban yang dicul1k Resimen Tjakrabirawa dan m3ningg4l dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Ir. Sakirman tidak seperti kebanyakan pimpinan PKI yang lain berasal dari kalangan rakyat bawah. Ia seorang Insinyur lulusan lulusan THS (Technische Hoge School) atau ITB sekarang satu almamater dengan Ir Soekarno. Dan ia berasal dari keluarga darah biru Mangkunegaran. Sebagai petinggi partai tentunya ia tahu persis adiknya mayjen S Parman adalah salah satu target untuk dileny4pkan. Tapi karena idiologilah yang membuat ia tega menum4lkan adik kandungnya sendiri. Pasca G30S, Ir. Sakirman jadi buronan tentara. Pihak militer mengkonfirmasi bahwa dia ditangkap di Surakarta pada 1966, tetapi karena mencoba melarikan diri, Sakirman langsung dit3mbak di tempat. Sakirman t3was di Surakarta pada tahun 1966. Sejarah Indonesia.

 Rela mengorb4nkan adik kandung sendiri demi r3volusi.  Adalah Ir. Sakirman (11 Oktober 1911-1966) salah satu petinggi Politbiro Central Committee Partai K0munis Indonesia. Dia dilahirkan pada tahun 1911, di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia juga adalah kakak kandung dari Letnan Jenderal TNI Siswondo Parman, salah satu korban yang dicul1k Resimen Tjakrabirawa dan m3ningg4l dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Ir. Sakirman tidak seperti kebanyakan pimpinan PKI yang lain berasal dari kalangan rakyat bawah. Ia seorang Insinyur lulusan lulusan THS  (Technische Hoge School) atau ITB sekarang satu almamater dengan Ir Soekarno. Dan ia berasal dari keluarga darah biru Mangkunegaran.

Sebagai petinggi partai tentunya ia tahu persis adiknya mayjen S Parman adalah salah satu target untuk dileny4pkan. Tapi karena idiologilah yang membuat ia tega menum4lkan adik kandungnya sendiri. Pasca G30S, Ir. Sakirman jadi buronan tentara. Pihak militer mengkonfirmasi bahwa dia ditangkap di Surakarta pada 1966, tetapi karena mencoba melarikan diri, Sakirman langsung dit3mbak di tempat. Sakirman t3was di Surakarta pada tahun 1966. 



Sejarah Indonesia.

Keluarga jenderal D.I. Panjaitan. D.I. Panjaitan salah satu pahlawan revolusi yang gugur di tahun 1965

 Keluarga jenderal D.I. Panjaitan. D.I. Panjaitan salah satu pahlawan revolusi yang gugur di tahun 1965




Letkol Untung adalah lulusan terbaik sebuah akademi militer, jadi komandan Cakrabirawa, dan akhir hidupnya jadi pesakitan setelah gerakan yang dipimpinnya gagal total Letkol Untung adalah salah satu antagonis paling populer dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dia adalah sosok yang dianggap paling bertanggung jawab atas peristiwa yang menewaskan tujuh jenderal Pahlawan Revolusi itu. Di akhir hayatnya, Letkol Untung menjadi pesakitan. Padahal, pria kelahiran Kebumen 1926 itu adalah lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil). Nama lengkapnya Untung Syamsuri, sementara nama kecilnya adalah Kusman. Letnan Kolonel Untung merupakan Komandan Batalyon I Cakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965. Dia lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah, pada 3 Juli 1926. Untung meninggal di Cimahi, Jawa Barat pada 1966. Untung merupakan bekas anak buah Soeharto ketika berdinas di Komandan Resimen 15, di Solo. Untung merupakan Komandan Kompi Batalyon 454 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin. Semasa perang kemerdekaan, Untung bergabung dengan Batalyon Sudigdo yang berada di Wonogiri, dekat Solo. Selanjutnya, Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memerintahkan agar Batalyon Sudigdo dipindahkan ke Cepogo, di lereng Gunung Merbabu. Kemudian, Kusman pergi ke Madiun dan bergabung dengan teman-temannya. Setelah peristiwa Madiun, Kusman berganti nama menjadi Untung Sutopo dan masuk TNI melalui sebuah akedemi militer di Semarang Semarang. Letkol Untung, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 merupakan satu di antara lulusan terbaik Akademi Militer. Pada masa pendidikan, dia bersaing dengan Benny Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD. Mereka berdua sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat. Untung merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala. Untung dan Benny tidak lebih satu bulan berada di Irian Barat, karena gencatan senjata pada 1962. Sebelum ditarik ke Resimen Cakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang. Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II. Kelak, dalam peristiwa G30S yang dikait-kaitkan dengan PKI, Banteng Raiders akan berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo. Setelah G30S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya. Sebelum kemudian tertangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah. Ketika tertangkap, Untung tidak mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G30S. Setelah mengalami pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung. Setelah melalui sidang Mahmillub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada 1966, setahun setelah G 30S meletus. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033889125/lulusan-terbaik-akmil-sosok-komandan-cakrabirawa-ini-justru-jadi-pesakitan-di-akhir-hayatnya-gegara-peristiwa-g30s #letkoluntung #untung #gerakan30september #G30S #cakrabirawa

 Letkol Untung adalah lulusan terbaik sebuah akademi militer, jadi komandan Cakrabirawa, dan akhir hidupnya jadi pesakitan setelah gerakan yang dipimpinnya gagal total



Letkol Untung adalah salah satu antagonis paling populer dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dia adalah sosok yang dianggap paling bertanggung jawab atas peristiwa yang menewaskan tujuh jenderal Pahlawan Revolusi itu.


Di akhir hayatnya, Letkol Untung menjadi pesakitan. Padahal, pria kelahiran Kebumen 1926 itu adalah lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil).


Nama lengkapnya Untung Syamsuri, sementara nama kecilnya adalah Kusman. Letnan Kolonel Untung merupakan Komandan Batalyon I Cakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965.


Dia lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah, pada 3 Juli 1926. Untung meninggal di Cimahi, Jawa Barat pada 1966.


Untung merupakan bekas anak buah Soeharto ketika berdinas di Komandan Resimen 15, di Solo. Untung merupakan Komandan Kompi Batalyon 454 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin.


Semasa perang kemerdekaan, Untung bergabung dengan Batalyon Sudigdo yang berada di Wonogiri, dekat Solo. Selanjutnya, Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memerintahkan agar Batalyon Sudigdo dipindahkan ke Cepogo, di lereng Gunung Merbabu.


Kemudian, Kusman pergi ke Madiun dan bergabung dengan teman-temannya.


Setelah peristiwa Madiun, Kusman berganti nama menjadi Untung Sutopo dan masuk TNI melalui sebuah akedemi militer di Semarang Semarang. Letkol Untung, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 merupakan satu di antara lulusan terbaik Akademi Militer.


Pada masa pendidikan, dia bersaing dengan Benny Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD. Mereka berdua sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat.


Untung merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala. Untung dan Benny tidak lebih satu bulan berada di Irian Barat, karena gencatan senjata pada 1962.


Sebelum ditarik ke Resimen Cakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang. Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II.


Kelak, dalam peristiwa G30S yang dikait-kaitkan dengan PKI, Banteng Raiders akan berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo. Setelah G30S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya.


Sebelum kemudian tertangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah. Ketika tertangkap, Untung tidak mengaku bernama Untung.


Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G30S. Setelah mengalami pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung.


Setelah melalui sidang Mahmillub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada 1966, setahun setelah G 30S meletus.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033889125/lulusan-terbaik-akmil-sosok-komandan-cakrabirawa-ini-justru-jadi-pesakitan-di-akhir-hayatnya-gegara-peristiwa-g30s


#letkoluntung #untung #gerakan30september #G30S #cakrabirawa

12 September 2025

Potret Sultan aji Muhammad Sulaiman dari Kutai sekitar tahun 1880

 Potret Sultan aji Muhammad Sulaiman dari Kutai sekitar tahun 1880



Bung Hatta Mundur dari Jabatan Wakil Presiden Bung Karno pun Sendirian Pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tapi Dwitunggal tak berumur panjang, persis pada 1 Desember 1956, ia menjadi Dwitanggal. Ada perbedaan pandangan politik yang begitu mencolok antara dirinya dan Bung Karno sehingga Bung Hatta pun memutuskan mundur. Dalam buku Meutia Farida Hatta yang berjudul Bung Hatta, di Mata Tiga Putrinya (Penerbit Buku Kompas, 2015), ketika berlangsungnya pemerintahan RI hubungan keduanya semakin lama semakin renggang bahkan dirundung berseberangan. Misalnya, Bung Hatta menyesalkan putusan Bung Karno lantaran menandatangani pemecatan Sosrodanukusumo oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada 1955 tanpa berkonsultasi dengan dirinya. Apalagi prosedur pemecatannya tidak wajar. Selain itu yang membuat Bung Hatta kesal, yaitu sikap Bung Karno yang suka melakukan lawatan ke luar negeri tanpa diundang. Pada sisi lain, Bung Hatta menilai Bung Karno terlalu percaya pada PKI, dan selaku Wakil Presiden telah memperingatkan Bung Karno agar “tidak membesarkan anak ular”. Siapa yang dimaksud dengan istilah “anak ular” tentulah PKI. Berbagai kekecewaan Bung Hatta terhadap Bung Karno itu mau tak mau menyebabkan suasana kerja yang tidak nyaman sehingga menjadi salah satu alasan Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden RI. Namun penyebab utamanya adalah menyangkut suatu prinsip yang selalu dia pegang teguh. Hatta berpendapat, setelah DPR yang dipilih rakyat mulai bekerja dan Konstituante pilihan rakyat sudah tersusun, tiba saatnya bagi Hatta untuk mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI. Sejak awal Hatta sudah berpendirian, tidak perlu ada jabatan Wakil Presiden dalam sistem Kabinet Parlementer. Begitulah disebutkan dalam surat Bung Hatta tanggal 20 Juli 1956 kepada DPR. Bung Hatta masih sempat mengatakan bahwa, "...banyak soal-soal yang kalau konsepsi saya dijalankan tidak akan mengakibatkan keruwetan seperti ini ... dalam banyak hal saya tidak diajak berunding oleh Bung Karno dan dilampaui begitu saja...” Mundurnya Hatta sempat membuat Bung Karno kecewa dan sedih. Dalam usahanya meluluhkan hati karibnya agar mengurungkan niatnya, Bung Karno membujuk Rahmi Hatta dengan manis, "Yuke, bilang dong sama Bung Hatta supaya tidak mengundurkan diri." Namun Rahmi mengatakan, "Om, apa yang sudah menjadi keputusan Kak Hatta, itu sudah dianggapnya sebagai hal terbaik. Karena itu saya ikut saja dengan keputusan Kak Hatta." Selanjutnya melalui surat kabar atau forum-forum, Bung Hatta sering mengecam dan menggugat kebijakan-kebijakan Bung Karno dan menganggapnya sebagai seorang diktator. Namun Bung Karno tak pernah membantah kecaman-kecaman Bung Hatta. Dalam tanggapannya, paling Bung Karno hanya mengucapkan terima kasih atau menanyakan kapan mereka bisa bertemu untuk membahasnya. Sebaliknya, ketika Bung Hatta berkunjung ke Amerika Serikat dan mendapati Bung Karno diberondong cemooh dan hinaan, Bung Hatta tegas menukas, "Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya!" Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034186634/bung-hatta-mundur-dari-jabatan-wakil-presiden-bung-karno-pun-sendirian ##bungkarno #bunghatta

 Bung Hatta Mundur dari Jabatan Wakil Presiden Bung Karno pun Sendirian


Pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tapi Dwitunggal tak berumur panjang, persis pada 1 Desember 1956, ia menjadi Dwitanggal.



Ada perbedaan pandangan politik yang begitu mencolok antara dirinya dan Bung Karno sehingga Bung Hatta pun memutuskan mundur.


Dalam buku Meutia Farida Hatta yang berjudul Bung Hatta, di Mata Tiga Putrinya (Penerbit Buku Kompas, 2015), ketika berlangsungnya pemerintahan RI hubungan keduanya semakin lama semakin renggang bahkan dirundung berseberangan.


Misalnya, Bung Hatta menyesalkan putusan Bung Karno lantaran menandatangani pemecatan Sosrodanukusumo oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada 1955 tanpa berkonsultasi dengan dirinya. Apalagi prosedur pemecatannya tidak wajar.


Selain itu yang membuat Bung Hatta kesal, yaitu sikap Bung Karno yang suka melakukan lawatan ke luar negeri tanpa diundang.


Pada sisi lain, Bung Hatta menilai Bung Karno terlalu percaya pada PKI, dan selaku Wakil Presiden telah memperingatkan Bung Karno agar “tidak membesarkan anak ular”. Siapa yang dimaksud dengan istilah “anak ular” tentulah PKI.


Berbagai kekecewaan Bung Hatta terhadap Bung Karno itu mau tak mau menyebabkan suasana kerja yang tidak nyaman sehingga menjadi salah satu alasan Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden RI. Namun penyebab utamanya adalah menyangkut suatu prinsip yang selalu dia pegang teguh.


Hatta berpendapat, setelah DPR yang dipilih rakyat mulai bekerja dan Konstituante pilihan rakyat sudah tersusun, tiba saatnya bagi Hatta untuk mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI.


Sejak awal Hatta sudah berpendirian, tidak perlu ada jabatan Wakil Presiden dalam sistem Kabinet Parlementer. Begitulah disebutkan dalam surat Bung Hatta tanggal 20 Juli 1956 kepada DPR.


Bung Hatta masih sempat mengatakan bahwa, "...banyak soal-soal yang kalau konsepsi saya dijalankan tidak akan mengakibatkan keruwetan seperti ini ... dalam banyak hal saya tidak diajak berunding oleh Bung Karno dan dilampaui begitu saja...”


Mundurnya Hatta sempat membuat Bung Karno kecewa dan sedih. Dalam usahanya meluluhkan hati karibnya agar mengurungkan niatnya, Bung Karno membujuk Rahmi Hatta dengan manis, "Yuke, bilang dong sama Bung Hatta supaya tidak mengundurkan diri."


Namun Rahmi mengatakan, "Om, apa yang sudah menjadi keputusan Kak Hatta, itu sudah dianggapnya sebagai hal terbaik. Karena itu saya ikut saja dengan keputusan Kak Hatta."


Selanjutnya melalui surat kabar atau forum-forum, Bung Hatta sering mengecam dan menggugat kebijakan-kebijakan Bung Karno dan menganggapnya sebagai seorang diktator. Namun Bung Karno tak pernah membantah kecaman-kecaman Bung Hatta.


Dalam tanggapannya, paling Bung Karno hanya mengucapkan terima kasih atau menanyakan kapan mereka bisa bertemu untuk membahasnya. Sebaliknya, ketika Bung Hatta berkunjung ke Amerika Serikat dan mendapati Bung Karno diberondong cemooh dan hinaan, Bung Hatta tegas menukas, "Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya!"


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034186634/bung-hatta-mundur-dari-jabatan-wakil-presiden-bung-karno-pun-sendirian


##bungkarno  #bunghatta

Muhammad Darda alias Dodo, putra Karto suwiryo juga seorang tentara DI TII dengan pangkat Mayor TII. Dok Puspanad

 Muhammad Darda alias Dodo, putra Karto suwiryo juga seorang tentara DI TII dengan pangkat Mayor TII.



Sumber :

Dok Puspanad

Priyo Bitles Combat

Ini Pasukan Cakrabirawa yang tertangkap. Katanya beliaulah yang menembak Jendral Ahmad Yani dalam Peristiwa G 30 SPKI. Ahmad Yani dibunuh di rumahnya di Jalan Latuharhari, Jakarta, oleh Sersan Dua Giyadi, salah satu anggota pasukan Cakrabirawa. Giyadi adalah seorang prajurit berpangkat rendah yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. Ia lahir pada tahun 1928 dan bergabung dengan Cakrabirawa pada tahun 1963. Kematian Jendral Ahmad Yani berbeda dengan di filem. Begini ceritanya ; Menurut kesaksian Giyadi, ia mendapati Ahmad Yani sedang tidur di kamar bersama istrinya. Ia kemudian menodongkan senjata ke arahnya dan menyuruhnya untuk mengikuti perintah. Namun, Ahmad Yani tidak mau menyerah begitu saja. Ia berusaha meraih senjata yang ada di bawah bantalnya dan terjadi perkelahian antara Giyadi dan Ahmad Yani. Dalam pergumulan itu, Giyadi berhasil menembak Ahmad Yani sebanyak tiga kali di bagian dada dan perut. Ahmad Yani pun tergeletak tak berdaya di tempat tidurnya. Giyadi kemudian mengambil senjata milik Ahmad Yani dan meninggalkan kamar bersama rekan-rekannya. CC : Sejarah Cirebon

 Ini Pasukan Cakrabirawa yang tertangkap. Katanya beliaulah yang menembak Jendral Ahmad Yani dalam Peristiwa G 30 SPKI. 


Ahmad Yani dibunuh di rumahnya di Jalan Latuharhari, Jakarta, oleh Sersan Dua Giyadi, salah satu anggota pasukan Cakrabirawa.


Giyadi adalah seorang prajurit berpangkat rendah yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. Ia lahir pada tahun 1928 dan bergabung dengan Cakrabirawa pada tahun 1963.


Kematian Jendral Ahmad Yani berbeda dengan di filem.  Begini ceritanya ; 


Menurut kesaksian Giyadi, ia mendapati Ahmad Yani sedang tidur di kamar bersama istrinya. Ia kemudian menodongkan senjata ke arahnya dan menyuruhnya untuk mengikuti perintah.


Namun, Ahmad Yani tidak mau menyerah begitu saja. Ia berusaha meraih senjata yang ada di bawah bantalnya dan terjadi perkelahian antara Giyadi dan Ahmad Yani.


Dalam pergumulan itu, Giyadi berhasil menembak Ahmad Yani sebanyak tiga kali di bagian dada dan perut. Ahmad Yani pun tergeletak tak berdaya di tempat tidurnya. Giyadi kemudian mengambil senjata milik Ahmad Yani dan meninggalkan kamar bersama rekan-rekannya.



CC : Sejarah Cirebon

11 September 2025

Rakyat Yang Dijadikan Tameng & Tawanan Pemberontakan PKI di Madiun tidak berlangsung lama. Mereka menguasai Madiun tgl 19 Sep 1948. Dan mereka meninggalkan Madiun karena dikepung Tentara Indonesia tgl 30 Sep 1948. Meskipun hanya berkuasa selama 11 hari, tapi korban nyawa sangat banyak. Tak bisa dibayangkan andai mereka berkuasa lebih lama. Entah berapa nyawa yg akan terbantai. Pasukan pemerintah mengepung Madiun dari segala penjuru. Dari arah barat, Brigade Sadikin dari Solo menuju Tawangmangu di lereng Gunung Lawu. Sedangkan dari timur brigade bergerak dari Kediri-Trenggalek menuju Madiun. Penjepitan semakin ketat. Serangan dari arah barat dan timur tidak mendapatkan perlawanan berarti. Semua kota bisa direbut kembali. Tentara PKI tidak bisa mengimbangi kekuatan Tentara Republik. Meski demikian, PKI tidak mau menyerah. Mereka melarikan diri ke beberapa titik, berpencar ke berbagai arah. Tgl 30 Sep 1948, bendera merah putih sudah berkibar kembali di Madiun. Rakyat bersorak sorai melihat keadaan ini. Mereka berhamburan keluar dari rumah untuk merayakan kemenangan. Kengerian yg dijalani selama 11 hari sudah berlalu. Tak ada lagi kewajiban menyanyikan lagu kebangsaan komunis yaitu Internationale. Tak ada lagi Warok Pencabut nyawa. Tak ada lagi Gerwani yg menebar horor di kampung Kauman. Semua bergembira. Mensyukuri kembalinya Madiun ke pangkuan Republik. Pasukan merah PKI melarikan diri ke Dungus, letaknya di lereng Gunung Wilis. Dan tentara republik langsung mengejar pasukan PKI untuk kemudian menceraiberaikannya. Pasukan PKI mundur dalam keadaan tidak teratur ke arah selatan. Pasukan PKI bertempur dg fanatisme tinggi, tapi pergerakannya lambat. Meski dalam keadaan mundur, kekuatan pasukan PKI masih mampu menyerang kurang lebih lima batalion di Ponorogo. Tapi kemudian bisa dijepit oleh tentara republik. Akhirnya tentara PKI mundur ke arah utara. Kekuatan pasukan PKI hanya tiga batalion. Pasukan ini berusaha meindungi para pemimpinnya yaitu Musso, Amir Sjarifuddin, Wikana, Maruto Daroesman. Pasukan PKI berusaha mendekati wilayah yg dikuasai Belanda. Dengan harapan bisa mencari perlindungan disana. Saat itu baru saja selesai Perjanjian Renville. Wilayah Indonesia terpangkas habis. Yang tersisa hanyalah Sumatra, sebagian Jateng dan Jatim. Sisanya menjadi wilayah yg dikuasai Belanda. Pasukan PKI berusaha berlari menuju pegunungan utara. Mereka menghindari Ponorogo yg telah dikuasai Pasukan Siliwangi. Mereka melewati daerah-daerah sepi hingga mencapai Gunung Lawu. Rombongan ini membawa jutaan ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung-karung beras, mesin tulis, amunisi, kambing, dan ayam. Kendaraan mereka ada mobil, dokar, sepeda, dan kuda. Namun sebagian besar berjalan kaki. Bukan hanya tentara yg ikut dalam long march ini, penduduk sipil beserta wanita dan anak-anak juga ikut serta. Dari setiap desa yg mereka lewati, ada saja yg mereka paksa ikut. Sehingga rombongan semakin membengkak. Mereka bergerak sepanjang hari tanpa kenal letih. Jalan raya atau jalan besar dihindari. Mereka memilih jalan pedesaan. Manakala menempuh jalan setapak, barisan tampak mengular, memanjang berkelok-kelok. Di daerah perbukitan, barisan paling belakang akan melihat barisan paling depan yg sudah jauh di puncak bukit. Bila dilihat dari puncak bukit, ekor barisan masih belum keluar dari lindungan semak pepohonan di desa terakhir yg baru saja dilewati. Sengaja mereka bergerak di waktu malam. Naik gunung, turun gunjng, melintasi hutan belantara. Mereka berjalan dalam kebisuan. Tidak boleh saling bicara, tidak boleh merokok, tidak boleh menggunakan penerang atau senter. Kesenyapan melingkupi rombongan ini. Tak boleh anggota rombongan keluar dari barisan. Siapa saja yg berusaha melarikan diri, niscaya akan didera hukuman, atau malah langsung ditembak mati. Persediaan makanan yg mereka baaa tidak memadai, lambat laun menipis. Dalam beberapa hari perjalanan, tak terhitung berapa yg lemas kehabisan tenaga, luka-luka, arau sakit. Para pengawal barisan seringkali bertindak bengis. Tanpa segan membunuh setiap yg terjatuh karena kelelahan, sakit, atau yg berusaha melarikan diri. Tiap satu kilometer pasti ada yg tertinggal dan sudah menjadi mayat.

 Rakyat Yang Dijadikan Tameng & Tawanan



Pemberontakan PKI di Madiun tidak berlangsung lama. Mereka menguasai Madiun tgl 19 Sep 1948. Dan mereka meninggalkan Madiun karena dikepung Tentara Indonesia tgl 30 Sep 1948. Meskipun hanya berkuasa selama 11 hari, tapi korban nyawa sangat banyak. Tak bisa dibayangkan andai mereka berkuasa lebih lama. Entah berapa nyawa yg akan terbantai.


Pasukan pemerintah mengepung Madiun dari segala penjuru. Dari arah barat, Brigade Sadikin  dari Solo menuju Tawangmangu di lereng Gunung Lawu. Sedangkan dari timur brigade bergerak dari Kediri-Trenggalek menuju Madiun. Penjepitan semakin ketat. Serangan dari arah barat dan timur tidak mendapatkan perlawanan berarti. Semua kota bisa direbut kembali. Tentara PKI tidak bisa mengimbangi kekuatan Tentara Republik. Meski demikian, PKI tidak mau menyerah. Mereka melarikan diri ke beberapa titik, berpencar ke berbagai arah. 


Tgl 30 Sep 1948, bendera merah putih sudah berkibar kembali di Madiun. Rakyat bersorak sorai melihat keadaan ini. Mereka berhamburan keluar dari rumah untuk merayakan kemenangan. Kengerian yg dijalani selama 11 hari sudah berlalu. Tak ada lagi kewajiban menyanyikan lagu kebangsaan komunis yaitu Internationale. Tak ada lagi Warok Pencabut nyawa. Tak ada lagi Gerwani yg menebar horor di kampung Kauman. Semua bergembira. Mensyukuri kembalinya Madiun ke pangkuan Republik.


Pasukan merah PKI melarikan diri ke Dungus, letaknya di lereng Gunung Wilis. Dan tentara republik langsung mengejar pasukan PKI untuk kemudian menceraiberaikannya. Pasukan PKI mundur dalam keadaan tidak teratur ke arah selatan. Pasukan PKI bertempur dg fanatisme tinggi, tapi pergerakannya lambat.


Meski dalam keadaan mundur, kekuatan pasukan PKI masih mampu menyerang kurang lebih lima batalion di Ponorogo. Tapi kemudian bisa dijepit oleh tentara republik. Akhirnya tentara PKI mundur ke arah utara. 


Kekuatan pasukan PKI hanya tiga batalion. Pasukan ini berusaha meindungi para pemimpinnya yaitu Musso, Amir Sjarifuddin, Wikana, Maruto Daroesman. Pasukan PKI berusaha mendekati wilayah yg dikuasai Belanda. Dengan harapan bisa mencari perlindungan disana.


Saat itu baru saja selesai Perjanjian Renville. Wilayah Indonesia terpangkas habis. Yang tersisa hanyalah Sumatra, sebagian Jateng dan Jatim. Sisanya menjadi wilayah yg dikuasai Belanda. 


Pasukan PKI berusaha berlari menuju pegunungan utara. Mereka menghindari Ponorogo yg telah dikuasai Pasukan Siliwangi. Mereka melewati daerah-daerah sepi hingga mencapai Gunung Lawu. Rombongan ini membawa jutaan ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung-karung beras, mesin tulis, amunisi, kambing, dan ayam. 


Kendaraan mereka ada mobil, dokar, sepeda, dan kuda. Namun sebagian besar berjalan kaki. Bukan hanya tentara yg ikut dalam long march ini, penduduk sipil beserta wanita dan anak-anak juga ikut serta. Dari setiap desa yg mereka lewati, ada saja yg mereka paksa ikut. Sehingga rombongan semakin membengkak.


Mereka bergerak sepanjang hari tanpa kenal letih. Jalan raya atau jalan besar dihindari. Mereka memilih jalan pedesaan. Manakala menempuh jalan setapak, barisan tampak mengular, memanjang berkelok-kelok. Di daerah perbukitan, barisan paling belakang akan melihat barisan paling depan yg sudah jauh di puncak bukit. Bila dilihat dari puncak bukit, ekor barisan masih belum keluar dari lindungan semak pepohonan di desa terakhir yg baru saja dilewati. 


Sengaja mereka bergerak di waktu malam. Naik gunung, turun gunjng, melintasi hutan belantara. Mereka berjalan dalam kebisuan. Tidak boleh saling bicara, tidak boleh merokok, tidak boleh menggunakan penerang atau senter. Kesenyapan melingkupi rombongan ini.


Tak boleh anggota rombongan keluar dari barisan. Siapa saja yg berusaha melarikan diri, niscaya akan didera hukuman, atau malah langsung ditembak mati. Persediaan makanan yg mereka baaa tidak memadai, lambat laun menipis. 


Dalam beberapa hari perjalanan, tak terhitung berapa yg lemas kehabisan tenaga, luka-luka, arau sakit. Para pengawal barisan seringkali bertindak bengis. Tanpa segan membunuh setiap yg terjatuh karena kelelahan, sakit, atau yg berusaha melarikan diri. Tiap satu kilometer pasti ada yg tertinggal dan sudah menjadi mayat.

BERDIRINYA KRATON KARTASURA IBUKOTA KERAJAAN MATARAM ( 11 September 1680 ) Kraton Kartasura dibangun atas prakarsa Sunan Amangkurat Amral / Sunan Amangkurat II / Sunan Amangkurat Surabaya. Sunan Amangkurat II adalah putra sulung Sunan Amangkurat I makam di Tegalarum . Demi melihat sebagian bangunan Kraton Pleret telah porak poranda akibat serangan dari Trunajaya, kemudian Sunan Amangkurat II memerintahkan Senopati Urawan untuk mencari lahan baru untuk membangun Kraton baru karena kraton lama sudah kehilangan pamor wahyu kedaton. Kang cinatur sejarah Matawis, Wusnya Nata Agung Hamangkurat, Surut haneng Galwangine, Kuthagara Kedhatun, Pleret dinulu risak sami, Marma tan pantes dadya, Pusering praja gung, Sigra Sang Baginda arsa, Ngalih amrih lumastariya kang negri, Rinembak lan pra Patya. Tan tinulis panitiking siti, Kang pinangka hangalih nagara, Padene dhatulayane, Pindahnya wus tinamtu, Hawit dene hanguciwani. Titi sajumenengnya, Amral kang Sinuwun, Mapan wus wineceng jangka, Tamat babad Pleret bawa boyong wukir, Tilar tilas tan kocap. Yen sinungging pra bebedra sami, Sengkut bikut genya nambut karya, Datan ngungak reriwene, Hamangkurat jejuluk, Ping dwi wus purna hangyasani, Kadhaton wana karta, Tuhu sinengkuyung, Sing pra hangadhep Jeng Sunan, Kukuh bakuh tanggap cobaning Hyang Widi, Hagal halus dhumawah. ( Sekar Dhandanggula ) Awal mula ada tiga pilihan yaitu 1. Logender dekat Bledug Kuwu Grobogan, 2. Tingkir Salatiga 3. Hutan Wonokerto dekat bekas Kraton Pajang Setelah beberapa lama akhirnya ditemukanlah lahan di barat bekas kraton Pajang yaitu di hutan Wanakerta. Wilayah tersebut dipilih sebagai ibukota Mataram karena letaknya sangat strategis. Terhubung langsung dengan jalur penting kota di pesisir dan pedalaman. Tanah Wanakerta subur, bisa ditanami padi , Loh subur kang sarwa tinandur. Umbul Cakra dan Pengging mengalir ke Kartasura dan bertemu di Kali Larangan. Mata air Bengawan Solo dari Gunung Sewu Wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan memenuhi keperluan rakyat dan keluarga istana, selatan mengalir sampai selat Madura. Di sisi barat ada Gunung Merapi & Merbabu. Disisi timur ada Gunung Lawu. Disisi selatan ada Dlepih Kahyangan. Disisi utara menghadap makam para leluhur Mataram di Grobogan , Makam Raden Bondan Kejawan, Makam Ki Ageng Tarub, Makam Ki Ageng Getas Pandawa, Makam Ki Ageng Selo Disisi Timur ada Astana Laweyan Makam Leluhur Mataram , Makam Ki Ageng Henis, Makam Nyai Ageng Made Pandan, Makam Nyai Ageng Pathi, Makam Kyai Ageng Ngerang III dan Garwa, Makam Nyai Ageng Sobo. Wilayah Hutan Wanakerta dipandang bisa menjadi jalur utama yang menghubungkan kawasan penting di Pulau Jawa. Arah utara menuju kota Semarang. Arah barat menuju ke daerah Kotagede & Pajimatan Imogiri. Arah timur menuju kota Surabaya Kemudian Sunan Amangkurat II memerintahkan Pangeran Nrang Kusuma untuk membuka hutan dan dijadikan pemukiman. Pembangunan Kraton memakan waktu selama tujuh bulan, meski belum selesai Sunan Amangkurat II berkenan untuk pindah ke kraton yang baru pada hari Rabu Pon ,tanggal 27 Ruwah,tahun Alip 1603 tahun Jawa atau 11 September 1680.dengan candra sengkala Katon Sunya Hangrasa Wani Dan Kraton tersebut dinamakan Kraton Kartasura Hadiningrat. Karta, makmur ; Sura, berani. Diharapkan menjadi Kraton yang makmur & kuncoro Pemilihan tanggal dan hari kepindahan kraton, Sunan Amangkurat II terlebih dahulu memohon restu kepada Panembahan Natapraja ( keturunan grad V Sunan Kalijaga ) di Perdikan Kadilangu. Sang Aprabu prapteng Wanakarti, Gumarudug para wadya bala, Kawula sentana ne, Kadya sinebut sebut, Katon sunya hangrasa wani, Ya sinangkalaning candra, Ri Buda Pon nuju, Kaping pitulikur Ruwah, Alip sewu nenem hatus telu dadi, Kartasura Hadiningrat. Menurut Babad Tanah Jawa, Kraton Kartasura pada awalnya memakai atap rumbia,bilik bambu belum berdinding batu bata kemudian mulai dibangun megah pada tahun 1682. Studi kelayakan melibatkan pakar tata kota dari negeri Tamasek Singapura. Diundang pula arsitektur India yang pernah membangun Taj Mahal. Jadilah struktur perkotaan yang amat indah. Kraton Kartasura dibangun dilahan yang sejuk, Kraton dikelilingi oleh tanaman semak berduri , parit dalam dan tembok tinggi 5 meter dengan ketebalan 2,5 meter.Untuk pertahanan Kraton. tembok tersebut dibuat dari batu bata yang direkatkan memakai tetes tebu. Tembok tersebut dinamakan tembok baluwarti, yang mengelilingi lahan seluas 16 hektar. Pada intinya bangunan Kraton Kartasura dibuat persis dengan Kraton Plered Didalamnya ada Sitihinggil, Taman Balekambang, Keputren, Segara yasa, Gedung Obat, taman bukit tinggi yang disebut Gunung Kunci. Disisi selatan Kedaton dibangun Alun Alun Selatan, Di dalam tembok baluwarti ada tembok Sri Manganti yang melindungi kediaman Raja. Kedaton Kartasura luasnya sekitar 2 hektar. Di dalam kedaton ada bangunan bangunan utama, Masjid Panepen, Bangsal , Bangsal Witono, Peraduan Raja, Singgasana Raja, Sumur Madusuko untuk menjamasi pusaka pusaka kraton,dan bangunan khusus untuk meditasi Raja. Juga keputren. Sebagai Gambaran : 1. Alun Alun Utara 2. Gerbang Baluwarti 3. Masjid Gedhe 4. Bangsal Pangrawit & 5. Bangsal Witana 6. Bangsal Manguntur Tangkil 7. Kori Sri Manganti Lor 8. Kedaton ( Pendopo - Dalem Ageng - Tempat Istirahat Raja & Permaisuri - Ruang Pusaka Kraton - Keputren & Kasatriyan - Masjid Panepen ) 9. Kori Sri Manganti Kidul 10. Gedong Obat ( gudang mesiu ) 11. Gunung Kunci 10 Segarayasa ( danau buatan ) Raja Raja yang memerintah di Kraton Kartasura Hadiningrat sebagai berikut : 1.Sunan Amangkurat II ,tahun 1680 - 1703 2.Sunan Amangkurat III, tahun 1703 - 1704 3.Sunan Pakubuwana I, tahun 1704 - 1719 4.Sunan Amangkurat IV, tahun 1719 - 1727 5.Sunan Paku Buwana II, tahun 1727 - 1745. 6.Sunan Kuning tgl 1Juli 1742 - Nov 1742 Hampir bersamaan dengan dibangunnya Kraton Ibukota Mataram, dibangun pula sebuah daerah yang mendukung keberadaan Kuthanagara yaitu wilayah Sukoharjo. Wilayah Sukoharjo menjadi wilayah yang makmur yang menghasilkan hasil bumi yang besar karena didukung sistem irigasi yang baik. masyarakatnya juga banyak yg memperoleh pendapatan dari wira usaha antara lain usaha warung nasi liwet, garangasem , cabuk rambak, wedang ronde ,di daerah nguter terkenal dengan usaha pembuatan jamu tradisional, Serenan pembuatan aneka mebel, Bekonang menjadi sentra pembuatan gamelan. Setelah Ibukota Mataram dipindahkan ke Kraton Surakarta, Bangunan bangunan inti ikut dipindahkan ke Kraton Surakarta. Ditulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat Nderek Mangayubagya Kraton Kartasura ke 345 tahun . 11 September 1680 - 11 September 2025 Al-Fatihah kagem sedaya Para Nata Kraton Kartasura Hadiningrat

 BERDIRINYA KRATON KARTASURA 

IBUKOTA KERAJAAN MATARAM 

( 11 September 1680 )


Kraton Kartasura dibangun atas prakarsa Sunan Amangkurat Amral / Sunan Amangkurat II / Sunan Amangkurat Surabaya. Sunan Amangkurat II adalah putra  sulung Sunan Amangkurat I makam di Tegalarum .



Demi melihat sebagian bangunan Kraton Pleret telah porak poranda akibat serangan dari Trunajaya, kemudian Sunan Amangkurat II memerintahkan Senopati Urawan untuk mencari lahan baru untuk membangun Kraton baru karena kraton lama sudah kehilangan pamor wahyu kedaton.


Kang cinatur sejarah Matawis, 

Wusnya Nata Agung Hamangkurat, 

Surut haneng Galwangine, 

Kuthagara Kedhatun, 

Pleret dinulu risak sami, 

Marma tan pantes dadya, 

Pusering praja gung, 

Sigra Sang Baginda arsa, 

Ngalih amrih lumastariya kang negri, 

Rinembak lan pra Patya.


Tan tinulis panitiking siti, 

Kang pinangka hangalih nagara, 

Padene dhatulayane, 

Pindahnya wus tinamtu, 

Hawit dene hanguciwani. 

Titi sajumenengnya, 

Amral kang Sinuwun, 

Mapan wus wineceng jangka, 

Tamat babad Pleret bawa boyong wukir, 

Tilar tilas tan kocap.


Yen sinungging pra bebedra sami, 

Sengkut bikut genya nambut karya, 

Datan ngungak reriwene, 

Hamangkurat jejuluk, 

Ping dwi wus purna hangyasani, 

Kadhaton wana karta, 

Tuhu sinengkuyung, 

Sing pra hangadhep Jeng Sunan, 

Kukuh bakuh tanggap cobaning Hyang Widi, 

Hagal halus dhumawah.

( Sekar Dhandanggula )


Awal mula ada tiga pilihan yaitu

1. Logender dekat Bledug Kuwu Grobogan, 

2. Tingkir Salatiga

3. Hutan Wonokerto dekat bekas Kraton Pajang


Setelah beberapa lama akhirnya ditemukanlah lahan di barat bekas kraton Pajang yaitu di hutan Wanakerta.

Wilayah tersebut dipilih sebagai ibukota Mataram karena letaknya sangat strategis.

Terhubung langsung dengan jalur penting kota di pesisir dan pedalaman.

Tanah Wanakerta subur, bisa ditanami padi , Loh subur kang sarwa tinandur.

Umbul Cakra dan Pengging mengalir ke Kartasura dan bertemu di Kali Larangan. Mata air Bengawan Solo dari Gunung Sewu Wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan memenuhi keperluan rakyat dan keluarga istana,  selatan  mengalir sampai selat Madura. 

Di sisi barat ada Gunung Merapi & Merbabu. Disisi timur ada Gunung Lawu. 

Disisi selatan ada Dlepih Kahyangan. 

Disisi utara menghadap makam para leluhur  Mataram di Grobogan , Makam Raden Bondan Kejawan, Makam Ki Ageng Tarub, Makam Ki Ageng Getas Pandawa, Makam Ki Ageng Selo

Disisi Timur ada Astana Laweyan Makam Leluhur Mataram , Makam Ki Ageng Henis, Makam Nyai Ageng Made Pandan, Makam Nyai Ageng Pathi, Makam Kyai Ageng Ngerang III dan Garwa, Makam Nyai Ageng Sobo.

Wilayah Hutan Wanakerta dipandang bisa menjadi jalur utama yang menghubungkan kawasan penting di Pulau Jawa. Arah utara menuju kota Semarang.

Arah barat menuju ke daerah Kotagede & Pajimatan Imogiri. Arah timur menuju kota Surabaya

Kemudian Sunan Amangkurat II memerintahkan Pangeran Nrang Kusuma untuk membuka hutan dan dijadikan pemukiman. 


Pembangunan Kraton memakan waktu selama tujuh bulan, meski belum selesai Sunan Amangkurat II berkenan untuk pindah ke kraton yang baru pada hari Rabu Pon ,tanggal 27  Ruwah,tahun Alip 1603 tahun Jawa atau 11 September 1680.dengan candra sengkala Katon Sunya Hangrasa Wani

Dan Kraton tersebut dinamakan Kraton Kartasura Hadiningrat.

Karta, makmur ; Sura, berani. 

Diharapkan menjadi Kraton yang makmur & kuncoro

Pemilihan tanggal dan hari kepindahan kraton, Sunan Amangkurat II terlebih dahulu memohon restu kepada Panembahan Natapraja ( keturunan grad V Sunan Kalijaga )  di Perdikan Kadilangu.


Sang Aprabu prapteng Wanakarti, 

Gumarudug para wadya bala, 

Kawula sentana ne, 

Kadya sinebut sebut, 

Katon sunya hangrasa wani, 

Ya sinangkalaning candra, 

Ri Buda Pon nuju, 

Kaping pitulikur Ruwah, 

Alip sewu nenem hatus telu dadi, 

Kartasura Hadiningrat.


Menurut Babad Tanah Jawa, Kraton Kartasura pada awalnya memakai atap rumbia,bilik bambu belum berdinding batu bata kemudian mulai dibangun megah pada tahun 1682. Studi kelayakan melibatkan pakar tata kota dari negeri Tamasek Singapura. Diundang pula arsitektur India yang pernah membangun Taj Mahal. Jadilah struktur perkotaan yang amat indah. Kraton Kartasura   dibangun dilahan yang sejuk, Kraton dikelilingi  oleh tanaman semak berduri , parit dalam dan tembok tinggi 5 meter dengan ketebalan 2,5 meter.Untuk pertahanan Kraton. tembok tersebut dibuat dari batu bata yang direkatkan memakai tetes tebu. Tembok tersebut dinamakan tembok baluwarti, yang mengelilingi lahan seluas 16 hektar.

Pada intinya bangunan Kraton Kartasura dibuat persis dengan Kraton Plered  Didalamnya ada Sitihinggil, Taman Balekambang, Keputren, Segara yasa, Gedung Obat, taman bukit tinggi yang disebut Gunung Kunci. Disisi selatan Kedaton dibangun Alun Alun Selatan, 


Di dalam tembok baluwarti ada tembok Sri Manganti yang melindungi kediaman Raja. Kedaton Kartasura luasnya sekitar 2 hektar. Di dalam kedaton ada bangunan bangunan utama, Masjid Panepen,  Bangsal , Bangsal Witono, Peraduan Raja, Singgasana Raja, Sumur Madusuko untuk menjamasi pusaka pusaka kraton,dan bangunan khusus untuk meditasi Raja. Juga keputren.


Sebagai Gambaran :

1. Alun Alun Utara

2. Gerbang Baluwarti

3. Masjid Gedhe 

4. Bangsal Pangrawit & 

5. Bangsal Witana

6. Bangsal Manguntur Tangkil

7. Kori Sri Manganti Lor

8. Kedaton ( Pendopo - Dalem Ageng - Tempat Istirahat Raja & Permaisuri - Ruang Pusaka Kraton - Keputren & Kasatriyan  - Masjid Panepen )

9. Kori Sri Manganti Kidul 

10. Gedong Obat ( gudang mesiu )

11. Gunung Kunci 

10 Segarayasa ( danau buatan )


Raja Raja yang memerintah di Kraton Kartasura Hadiningrat sebagai berikut :

1.Sunan Amangkurat II ,tahun 1680 - 1703 

2.Sunan Amangkurat III, tahun 1703 - 1704

3.Sunan Pakubuwana I, tahun 1704 - 1719

4.Sunan Amangkurat IV, tahun 1719 - 1727

5.Sunan Paku Buwana II, tahun 1727 - 1745.

6.Sunan Kuning tgl 1Juli 1742 - Nov 1742


Hampir bersamaan dengan dibangunnya Kraton Ibukota Mataram, dibangun pula sebuah daerah yang mendukung keberadaan Kuthanagara  yaitu wilayah Sukoharjo. Wilayah Sukoharjo menjadi wilayah yang makmur yang menghasilkan hasil bumi yang besar karena didukung sistem irigasi yang baik.


 masyarakatnya juga banyak yg memperoleh pendapatan dari wira usaha antara lain usaha warung nasi liwet, garangasem , cabuk rambak, wedang ronde ,di daerah nguter terkenal dengan usaha pembuatan jamu tradisional, Serenan pembuatan aneka mebel, Bekonang menjadi sentra pembuatan gamelan.


Setelah Ibukota Mataram dipindahkan ke Kraton Surakarta, Bangunan bangunan inti ikut dipindahkan ke Kraton Surakarta.


Ditulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat


Nderek Mangayubagya Kraton Kartasura ke 345 tahun . 11 September 1680 - 11 September 2025


Al-Fatihah kagem sedaya Para Nata Kraton Kartasura Hadiningrat