13 May 2024

SULTAN BAABULLAH DARI TERNATE MENGUSIR PORTUGIS BIOGRAFI SULTAN BAABULLAH Sultan Baabullah (10 Februari 1528 – Juli 1583) atau Babullah, juga dikenali sebagai Baab atau Babu dalam sumber Eropa, merupakan sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Maluku Utara yang memerintah antara tahun 1570 dan 1583. Beliau dianggap sebagai Sultan terbesar dalam sejarah Ternate dan Maluku karena keberhasilannya mengusir Portugis dari Ternate dan membawa kesultanan tersebut kepada puncak kejayaannya di akhir abad ke-16. Masa kecil Sultan Baabullah tidak begitu banyak diketahui, kecuali bahwa ayahnya Sultan Khairun Jamil (memerintah 1535–1570) memberikan pendidikan dalam hal-hal keagamaan; Kaicili (pangeran) Baab dan saudara-saudaranya kemungkinan juga mendapatkan pemahaman ilmu agama dari mubalig dan ilmu peperangan dari para ahli militer. Sejak kecil, ia menemani ayahnya kemana-mana, termasuk ketika sang sultan diasingkan untuk sementara ke Goa pada tahun 1545 hingga 1546. Beranjak dewasa, ia membantu ayahnya menjalankan pemerintahan kesultanan. Sumber-sumber Portugis semasa mengenali Baab sebagai calon pewaris takhta (herdeiro do reino) Ternate. HUBUNGAN TERNATE DAN PORTUGIS Ternate merupakan pusat utama perdagangan cengkeh, dimana Ternate memiliki ketergantungan erat pada Portugis sejak mereka mendirikan benteng di sana pada tahun 1522. Semula, elit Ternate menganggap bahwa Portugis yang memegang kuasa atas bandar persinggahan di Melaka serta memiliki persenjataan yang relatif lebih unggul dapat dijadikan sebagai sekutu yang berguna. Tapi seiring berjalannya waktu, Sultan Baab tidak begitu senang ayahnya terlalu ramah dengan orang-orang Eropa (Portugis). Hal ini disebabkan perilaku para serdadu Portugis yang tidak disukai masyarakat setempat, sehingga memicu penolakan dimana-mana. Pada tahun 1560-an, konflik antara Ternante dan Portugis semakin meruncing, ketika Muslim di Ambon meminta bantuan dari Sultan untuk mencegah orang-orang Eropa yang mencoba mengkristenkan daerah tersebut. Sultan Khairun pun mengirimkan sebuah armada di bawah pimpinan Kaicili Baab untuk mengepung desa Kristen Nusaniwi pada tahun 1563. Namun, pengepungan ini dibatalkan setelah tiga kapal Portugis datang. Portugis menyadari penyebaran agama Islam bisa mengganggu kedudukan mereka di Nusantara, karena itu mereka berusaha mendahului dengan melakukan pengkristenan penduduk Manado, Pulau Siau, Kaidipang, dan Toli-Toli. Terlepas dari segala perselisihan ini, hubungan Ternate-Portugis tidak sepenuhnya rusak. Saat Gonçalo Pereira mengirimkan sebuah ekspedisi ke Filipina pada tahun 1569, misalnya, penguasa Tidore, Bacan dan Ternate diminta untuk ikut mendampingi. PEMBUNUHAN SULTAN KHAIRUN Selepas perselisihan mengenai kepemilikan Pulau Ambon, Sultan Khairun semakin meningkatkan kekuatan Ternate hari demi hari. Perkembangan ini membuat pemimpin-pemimpin Portugis khawatir. Pada tahun 1570 Kapten Diogo Lopes de Mesquita (1566-1570) secara resmi melakukan rekonsiliasi dengan sang Sultan, tetapi hal ini tidak menurunkan ketegangan antar kedua pihak. pada tanggal 25 Februari 1570 Lopes de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke kediamannya di São João Baptista (Benteng Kastela) untuk sebuah jamuan, dengan dalih bahwa ia hendak mengajak sang sultan mendiskusikan masalah serius. Khairun menyanggupi undangan ini dan datang sendiri ke dalam benteng, sebab pengawal tidak diperbolehkan masuk. Martim Afonso Pimentel, keponakan sang kapten, diperintahkan untuk berjaga di sisi dalam gerbang. Begitu Sultan Khairun hendak beranjak keluar, Pimentel menikamnya dengan belati hingga sang sultan gugur. PENGUSIRAN PORTUGIS DARI TERNATE Kematian Sultan Khairun memicu kemarahan orang-orang Ternate serta raja-raja Maluku lainnya. Dewan diraja Ternate, yang didukung oleh para kaicili dan sangaji (penguasa daerah), mengadakan musyawarah di Pulau Hiri dan menetapkan Kaicili Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya, dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah. Tak lama setelah penobatannya, Sultan Baabullah bersumpah untuk berperang demi menegakkan kembali agama Islam di Maluku, membawa Kesultanan Ternate menjadi kekuatan utama, dan mengusir orang-orang Portugis dari negerinya. Untuk menguatkan posisinya, Baabullah menikahi saudari Sultan Gapi Baguna dari Tidore. Beberapa raja Maluku lainnya menyisihkan sejenak perselisihan mereka dan bergabung di bawah pasukan Baabullah dan bendera Ternate. Begitu pula sejumlah penguasa daerah di sekitar Maluku. Baabullah juga didukung oleh beberapa panglima yang cakap dalam peperangan, seperti Sultan Jailolo, penguasa Sula Kapita Kapalaya, dan juga panglima laut Ambon Kapita Rubohongi beserta anaknya Kapita Kalasinka. Sebagai balasan atas pembunuhan Khairun, Baabullah meminta agar Lopes de Mesquita dibawa ke hadapannya untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia, dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat, menyisakan São João Baptista (kediaman Mesquita) sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan Ternate mengepung São João Baptista dan memutuskan hubungan benteng tersebut dengan dunia luar; suplai makanan dari luar tidak diperbolehkan masuk kecuali sejumlah kecil sagu yang hampir-hampir tidak dapat membantu penduduk benteng bertahan hidup. Walaupun begitu, pasukan Ternate sesekali memperbolehkan pertemuan antara penduduk benteng yang dikepung dengan masyarakat pulau lainnya—sebab banyak penduduk asli Ternate kala itu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Portugis melalui pernikahan. Dalam kondisi tertekan seperti ini, orang-orang Portugis mengangkat Alvaro de Ataide sebagai kapten baru mereka menggantikan Lopes de Mesquita. Namun, pergantian kepemimpinan ini tidak menggoyahkan niat Baabullah untuk mengusir orang-orang Eropa. Akhirnya orang-orang Portugis pun menyerah dan pergi meninggalkan Ternate tak lama kemudian. Sultan Baabullah memegang janjinya dan tidak ada satu pun dari mereka yang dilukai. Ia menyatakan bahwa orang-orang Portugis tetap dapat berkunjung sebagai pedagang dan harga cengkeh untuk mereka tidak akan berubah. Sebuah kapal dari Melaka datang menjemput sisa-sisa orang Portugis di Ternate dan membawa mereka berlayar menuju Ambon.Sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan ke Melaka sementara yang lain pergi menuju Solor dan Timor untuk berpartisipasi dalam perdagangan kayu cendana. Baabullah menahan sejumlah kecil orang Portugis di dalam benteng dan baru membiarkan mereka pergi setelah mereka yang terlibat dalam pembunuhan Khairun dihukum. ERA KEEMASAN KESULTANAN TERNATE Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Kesultanan Ternate mencapai masa keemasan. Kombinasi dari pengaruh sosiopolitik agama Islam, imbas kerjasama dengan Portugis (yang sebelumnya menyuplai persenjataan serta mendorong penyeragaman pertanian cengkeh demi efisiensi), serta kenaikan harga cengkeh yang semakin melonjak, memperkokoh dan memperluas cengkeraman Ternate atas jalur perdagangan rempah. Pada awal masa pemerintahannya, Sultan mengirimkan armada untuk menaklukan Buru, Seram, dan sebagian wilayah Ambon. Pada ekspedisi tahun 1580 negeri-negeri di Sulawesi Utara juga ditaklukkan. Tradisi setempat menyebutkan bahwa Ternate menggabungkan strategi interferensi atas persaingan kekuasaan internal dan politik perkawinan untuk mendapatkan pengaruh. Daftar wilayah jajahan Ternate yang disusun oleh sumber Spanyol pada sekitar tahun 1590 juga menyebut Mindanao, Kepulauan Papua (Raja Ampat) serta Bima dan Kore di Sumbawa, walaupun sepertinya wilayah-wilayah ini tidak terlalu terikat dengan Ternate. Meski kawasan-kawasan yang jauh dari Ternate hanya merupakan negara pembayar upeti yang lumayan merdeka, banyak pula wilayah yang diperintah oleh wakil (bergelar sangaji) yang ditunjuk langsung oleh Sultan. Karena luas wilayah kekuasaannya, Baabullah juga dijuluki sebagai "Penguasa 72 Pulau", sebagaimana dicatat oleh sejarawan dan ahli geografi Belanda François Valentijn (1724). Pada masa ini, Ternate merupakan negara terkuat dan termakmur di kawasan timur Nusantara. Menurut sumber-sumber Spanyol, Sultan Baabullah bahkan memiliki kekuatan untuk memanggil 2.000 kora-kora dan 133.300 tentara dari Sulawesi hingga Papua di bawah panjinya. KEMATIAN SULTAN BAABULLAH Sultan Baabullah wafat pada bulan Juli tahun 1583. Terdapat versi yang berbeda-beda mengenai penyebab dan tempat kematiannya. Menurut sebuah riwayat meragukan yang muncul jauh di kemudian hari (catatan François Valentijn, 1724), ia diperangkap oleh Portugis dalam kapal mereka dan dibawa ke Goa, tetapi meninggal di perjalanan. Riwayat-riwayat lainnya menyatakan bahwa ia dibunuh ketika berada di kediamannya, entah melalui racun atau sihir. Penerus Baabullah sebagai Sultan adalah putranya Said Barakati (memerintah 1583-1606). Sultan Said melanjutkan upaya perlawanan terhadap Portugis dan Spanyol dan terus menjalin hubungan dengan negeri-negeri lainnya. Sumber : Wikipedia, kompas.com, detik.com dll

 SULTAN BAABULLAH DARI TERNATE

MENGUSIR PORTUGIS



BIOGRAFI SULTAN BAABULLAH

Sultan Baabullah (10 Februari 1528 – Juli 1583) atau Babullah, juga dikenali sebagai Baab atau Babu dalam sumber Eropa, merupakan sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Maluku Utara yang memerintah antara tahun 1570 dan 1583. Beliau dianggap sebagai Sultan terbesar dalam sejarah Ternate dan Maluku karena keberhasilannya mengusir Portugis dari Ternate dan membawa kesultanan tersebut kepada puncak kejayaannya di akhir abad ke-16. Masa kecil Sultan Baabullah tidak begitu banyak diketahui, kecuali bahwa ayahnya  Sultan Khairun Jamil (memerintah 1535–1570) memberikan pendidikan dalam hal-hal keagamaan; Kaicili (pangeran) Baab dan saudara-saudaranya kemungkinan juga mendapatkan pemahaman ilmu agama dari mubalig dan ilmu peperangan dari para ahli militer. Sejak kecil, ia menemani ayahnya kemana-mana, termasuk ketika sang sultan diasingkan untuk sementara ke Goa pada tahun 1545 hingga 1546. Beranjak dewasa, ia membantu ayahnya menjalankan pemerintahan kesultanan. Sumber-sumber Portugis semasa mengenali Baab sebagai calon pewaris takhta (herdeiro do reino) Ternate. 


HUBUNGAN TERNATE DAN PORTUGIS

Ternate merupakan pusat utama perdagangan cengkeh, dimana Ternate memiliki ketergantungan erat pada Portugis sejak mereka mendirikan benteng di sana pada tahun 1522. Semula, elit Ternate menganggap bahwa Portugis yang memegang kuasa atas bandar persinggahan di Melaka serta memiliki persenjataan yang relatif lebih unggul dapat dijadikan sebagai sekutu yang berguna. 


Tapi seiring berjalannya waktu, Sultan Baab tidak begitu senang ayahnya terlalu ramah dengan orang-orang Eropa (Portugis). Hal ini disebabkan perilaku para serdadu Portugis yang tidak disukai masyarakat setempat, sehingga memicu penolakan dimana-mana. Pada tahun 1560-an, konflik antara Ternante dan Portugis semakin meruncing, ketika Muslim di Ambon meminta bantuan dari Sultan untuk mencegah orang-orang Eropa yang mencoba mengkristenkan daerah tersebut. 


Sultan Khairun pun mengirimkan sebuah armada di bawah pimpinan Kaicili Baab untuk mengepung desa Kristen Nusaniwi pada tahun 1563. Namun, pengepungan ini dibatalkan setelah tiga kapal Portugis datang. Portugis menyadari penyebaran agama Islam bisa mengganggu kedudukan mereka di Nusantara, karena itu mereka berusaha mendahului dengan melakukan pengkristenan penduduk Manado, Pulau Siau, Kaidipang, dan Toli-Toli. 


Terlepas dari segala perselisihan ini, hubungan Ternate-Portugis tidak sepenuhnya rusak. Saat Gonçalo Pereira mengirimkan sebuah ekspedisi ke Filipina pada tahun 1569, misalnya, penguasa Tidore, Bacan dan Ternate diminta untuk ikut mendampingi. 


PEMBUNUHAN SULTAN KHAIRUN

Selepas perselisihan mengenai kepemilikan Pulau Ambon, Sultan Khairun semakin meningkatkan kekuatan Ternate hari demi hari. Perkembangan ini membuat pemimpin-pemimpin Portugis khawatir. Pada tahun 1570 Kapten Diogo Lopes de Mesquita (1566-1570) secara resmi melakukan rekonsiliasi dengan sang Sultan, tetapi hal ini tidak menurunkan ketegangan antar kedua pihak. 

pada tanggal 25 Februari 1570 Lopes de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke kediamannya di São João Baptista (Benteng Kastela) untuk sebuah jamuan, dengan dalih bahwa ia hendak mengajak sang sultan mendiskusikan masalah serius. Khairun menyanggupi undangan ini dan datang sendiri ke dalam benteng, sebab pengawal tidak diperbolehkan masuk. Martim Afonso Pimentel, keponakan sang kapten, diperintahkan untuk berjaga di sisi dalam gerbang. Begitu Sultan Khairun hendak beranjak keluar, Pimentel menikamnya dengan belati hingga sang sultan gugur.


PENGUSIRAN PORTUGIS DARI TERNATE

Kematian Sultan Khairun memicu kemarahan orang-orang Ternate serta raja-raja Maluku lainnya. Dewan diraja Ternate, yang didukung oleh para kaicili dan sangaji (penguasa daerah), mengadakan musyawarah di Pulau Hiri dan menetapkan Kaicili Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya, dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah. Tak lama setelah penobatannya, Sultan Baabullah bersumpah untuk berperang demi menegakkan kembali agama Islam di Maluku, membawa Kesultanan Ternate menjadi kekuatan utama, dan mengusir orang-orang Portugis dari negerinya. Untuk menguatkan posisinya, Baabullah menikahi saudari Sultan Gapi Baguna dari Tidore. Beberapa raja Maluku lainnya menyisihkan sejenak perselisihan mereka dan bergabung di bawah pasukan Baabullah dan bendera Ternate. Begitu pula sejumlah penguasa daerah di sekitar Maluku. Baabullah juga didukung oleh beberapa panglima yang cakap dalam peperangan, seperti Sultan Jailolo, penguasa Sula Kapita Kapalaya, dan juga panglima laut Ambon Kapita Rubohongi beserta anaknya Kapita Kalasinka.


Sebagai balasan atas pembunuhan Khairun, Baabullah meminta agar Lopes de Mesquita dibawa ke hadapannya untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia, dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat, menyisakan São João Baptista (kediaman Mesquita) sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan Ternate mengepung São João Baptista dan memutuskan hubungan benteng tersebut dengan dunia luar; suplai makanan dari luar tidak diperbolehkan masuk kecuali sejumlah kecil sagu yang hampir-hampir tidak dapat membantu penduduk benteng bertahan hidup. Walaupun begitu, pasukan Ternate sesekali memperbolehkan pertemuan antara penduduk benteng yang dikepung dengan masyarakat pulau lainnya—sebab banyak penduduk asli Ternate kala itu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Portugis melalui pernikahan. Dalam kondisi tertekan seperti ini, orang-orang Portugis mengangkat Alvaro de Ataide sebagai kapten baru mereka menggantikan Lopes de Mesquita. Namun, pergantian kepemimpinan ini tidak menggoyahkan niat Baabullah untuk mengusir orang-orang Eropa. 


Akhirnya orang-orang Portugis pun menyerah dan pergi meninggalkan Ternate tak lama kemudian. Sultan Baabullah memegang janjinya dan tidak ada satu pun dari mereka yang dilukai. Ia menyatakan bahwa orang-orang Portugis tetap dapat berkunjung sebagai pedagang dan harga cengkeh untuk mereka tidak akan berubah. Sebuah kapal dari Melaka datang menjemput sisa-sisa orang Portugis di Ternate dan membawa mereka berlayar menuju Ambon.Sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan ke Melaka sementara yang lain pergi menuju Solor dan Timor untuk berpartisipasi dalam perdagangan kayu cendana. Baabullah menahan sejumlah kecil orang Portugis di dalam benteng dan baru membiarkan mereka pergi setelah mereka yang terlibat dalam pembunuhan Khairun dihukum. 


ERA KEEMASAN KESULTANAN TERNATE

Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Kesultanan Ternate mencapai masa keemasan. Kombinasi dari pengaruh sosiopolitik agama Islam, imbas kerjasama dengan Portugis (yang sebelumnya menyuplai persenjataan serta mendorong penyeragaman pertanian cengkeh demi efisiensi), serta kenaikan harga cengkeh yang semakin melonjak, memperkokoh dan memperluas cengkeraman Ternate atas jalur perdagangan rempah. Pada awal masa pemerintahannya, Sultan mengirimkan armada untuk menaklukan Buru, Seram, dan sebagian wilayah Ambon. Pada ekspedisi tahun 1580 negeri-negeri di Sulawesi Utara juga ditaklukkan. Tradisi setempat menyebutkan bahwa Ternate menggabungkan strategi interferensi atas persaingan kekuasaan internal dan politik perkawinan untuk mendapatkan pengaruh. 

Daftar wilayah jajahan Ternate yang disusun oleh sumber Spanyol pada sekitar tahun 1590 juga menyebut Mindanao, Kepulauan Papua (Raja Ampat) serta Bima dan Kore di Sumbawa, walaupun sepertinya wilayah-wilayah ini tidak terlalu terikat dengan Ternate. Meski kawasan-kawasan yang jauh dari Ternate hanya merupakan negara pembayar upeti yang lumayan merdeka, banyak pula wilayah yang diperintah oleh wakil (bergelar sangaji) yang ditunjuk langsung oleh Sultan. Karena luas wilayah kekuasaannya, Baabullah juga dijuluki sebagai "Penguasa 72 Pulau", sebagaimana dicatat oleh sejarawan dan ahli geografi Belanda François Valentijn (1724). Pada masa ini, Ternate merupakan negara terkuat dan termakmur di kawasan timur Nusantara. Menurut sumber-sumber Spanyol, Sultan Baabullah bahkan memiliki kekuatan untuk memanggil 2.000 kora-kora dan 133.300 tentara dari Sulawesi hingga Papua di bawah panjinya.


KEMATIAN SULTAN BAABULLAH

Sultan Baabullah wafat pada bulan Juli tahun 1583. Terdapat versi yang berbeda-beda mengenai penyebab dan tempat kematiannya. Menurut sebuah riwayat meragukan yang muncul jauh di kemudian hari (catatan François Valentijn, 1724), ia diperangkap oleh Portugis dalam kapal mereka dan dibawa ke Goa, tetapi meninggal di perjalanan. Riwayat-riwayat lainnya menyatakan bahwa ia dibunuh ketika berada di kediamannya, entah melalui racun atau sihir. 

Penerus Baabullah sebagai Sultan adalah putranya Said Barakati (memerintah 1583-1606). Sultan Said melanjutkan upaya perlawanan terhadap Portugis dan Spanyol dan terus menjalin hubungan dengan negeri-negeri lainnya. 


Sumber : Wikipedia, kompas.com, detik.com dll

No comments:

Post a Comment