Mengenal Ranggawarsita, Pujangga Terakhir Tanah Jawa dan Karya-karyanya
KOMPAS.com - Masyarakat Jawa di masa lalu mengenal sejumlah nama pujangga besar yang melestarikan dan mengembangkan kesusastraan Jawa. Salah satu nama yang terkenal adalah Ranggawarsita. Ranggawarsita atau Raden Ngabehi Ranggawarsita dikenal sebagai seorang pujangga besar dari Kasunanan Surakarta Hadingrat. Dia lahir pada tahun 1802 dan wafat pada tahun 1873.
Ranggawarsita dianggap sebagai pujangga terakhir tanah Jawa. Pasalnya, sepeninggal Ranggawarsita belum ada sastrawan lain yang bisa menyamai atau mengunggulinya. Silsilah Ranggawarsita Raden Ngabehi Ranggawarsita memiliki nama asli Bagus Burhan. Dia lahir pada Senin Legi, 10 Zulkaidah 1728 Saka, atau 25 Maret 1802 Masehi di Kampung Yasadipura, Surakarta.
Bagus Burhan lahir pada masa kejayaan pemerintahan Pakubuwono IV dari Kasunanan Surakarta. Dia lahir di keluarga yang memiliki darah bangsawan, sastrawan, sekaligus kepujanggaan. Ayah Bagus Burhan bernama Raden Mas Pajangswara. Kakek dari ayahnya adalah Yasadipura II, seorang pujangga utama Kasunanan Surakarta di masanya. Bagus Burhan alias Ranggawarsita mewariskan darah priyayi dari pihak ayahnya. Garis keturunannya sampai kepada Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Jika ditarik lebih jauh, silsilah Bagus Burhan dari ayahnya ini akan sampai kepada Prabu Brawijaya, penguasa terakhir Kerajaan Majapahit.
Sementara ibu Bagus Burhan bernama Nyai Ageng Pajangswara. Jiwa kepujanggaan juga diwarisi Bagus Burhan dari silsilah ibunya. Sang ibu, Nyai Ageng Pajangswara adalah putri dari Suradirja Gantang yang merupakan putra dari Kiai Ageng Nayataruna. Garis keturunan dari ibu ini akan sampai kepada Kiai Ageng Wanabaya hingga Tumenggung Sujanapura, seorang pujangga Kesultanan Pajang.
Mengembara Mencari Ilmu Sejak kecil Bagus Burhan sudah mendapat didikan langsung dari Raden Tumenggung Sastranegara alias Yasadipura II. Bahkan saat itu, kakek buyutnya yang bernama Yasadipura I juga masih hidup. Konon, sang kekek buyut yaitu Yasadipura I lah yang meramalkan bahwa Bagus Burhan kelak akan menjadi pujangga Jawa terakhir. Pada usia 4 tahun, Bagus Burhan diserahkan untuk didik oleh Ki Tanujaya. Dia adalah seorang abdi kepercayaan Yasadipura II. Bagus Burhan dalam asuhan Tanujaya hingga usia 12 tahun. Besar dari kalangan yang mementingkan pendidikan membuat Bagus Burhan menjelma menjadi seorang remaja yang haus akan ilmu pengetahuan. �� Bagus Burhan lantas melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Dia berpindah dari satu pondok pesantren ke pesantren lain. Di antara pondok yang didatanginya yaitu Pondok Gebang Tinatar di Ponorogo yang dipimpin Kiai Imam Besari. Kiai Imam Besari adalah cucu Pakubuwono IV. Mendapat Nama Ranggawarsita
Memasuki akhir tahun 1818, Bagus Burhan memutuskan pulang ke kampung halamannya. Dia lantas diangkat menjadi carik (juru tulis) Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom.
Sejak itu, karirnya sebagai juru tulis terus berkembang. Hingga akhirnya Bagus Burhan diangkat menjadi Mantri Carik Kadipaten Anom, dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka. Pada usia 30 tahun, Bagus Burhan diangkat menjadi Panewu Carik Kadipaten Anom. Posisi ini membuatnya mendapat gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita. Karya-karya Ranggawarsita Sebagai seorang pujangga besar, Ranggawarsita berhasil melahirkan karya-karya monumental di bidang kesusastraan Jawa. Berbagai macam karya Ranggawarsita antara lain dongeng, lakon wayang, babad salasilah, sastra, kesusilaan, kebatinan, ilmu kasampurnan, filsafat Jawa, primbon, hingga ramalan. Ada 9 karya besar Ranggawarsita, yaitu Serat Hidayat Jati, Serat Ajidarma Tuwin, Serat Ajinirmala, Serat Suluk Sukmalelana, Serat Jaka Lodhang, Serat Jayengbaya, Serat Pawarsakan, Serat Kalatidha, dan Serat Witaradya. Ranggawarsita sebagai seorang filsuf Jawa dapat dilihat dari karyanya yaitu Serat Hidayat Jati. Dalam serat ini, dia memadukan antara pemahaman Islam dengan kebudayaan Jawa. Banyak pakar menyebutkan, Serat Hidayat Jati berisi ajaran tasawuf berdasarkan pemikiran Ranggawarsita. Dalam serat itu konsep ketuhanan, konsep penciptaan manusia, hingga hakikat kesempurnaan hidup. Raden Ngabehi Ranggawarsita meninggal dunia pada tanggal 5 Zulkaidah 1802 Saka, atau 24 Desember 1873, dalam usia 71 tahun. Dia dimakamkan di Palar, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah.
Ranggawarsita meninggalkan tiga orang putri dan dua orang putra. Selain itu, dia meninggalkan karya-karya besar yang monumental terkait kesusastraan Jawa. Sumber: Jantra.kemdikbud.go.id Jurnal.ikhac.ac.id Tribunnews.com
No comments:
Post a Comment