20 May 2024

GUGON TUHON (PAMALI, PANTANGAN) MASYARAKAT JAWA Gugontuhon atau biasa disebut pamali merupakan suatu larangan yang diajarkan secara lisan di kalangan masyarakat Jawa. Ajaran lisan ini sudah turun temurun sejak zaman nenek moyang dulu. Jika kalian pernah mendengan istilah, “aja lungguh nek dhuwur bantal mundak udunen” (jangan duduk di atas bantal nanti bisulan) atau “aja mangan brutu (pantat) ayam enko marai pikun” (jangan makan pantat ayam nanti menyebabkan pikun. Seperti itulah gambaran kalimat Gugontuhon. Gugontuhon atau pantangan sendiri sebetulnya bukan hanya monopoli masyarakat Jawa, karena daerah lain seperti Sunda, Dayak, Batak bahkan negara maju seperti Jepang pun mempunyai gugontuhon dengan sebutan istilah atau larangan yang berbeda. Namun, dalam perkembangannya, sebagian masyarakat terutama generasi muda tidak mengerti makna sebenarnya dari Gugon Tuhon dan menganggapnya sebagai klenik. Selain itu, ada juga masyarakat yang menganggap Gugon Tuhon sebagai suatu tindakan syirik yang menyimpang dari ajaran agama. Pada dasarnya, Gugon Tuhon merupakan respons terhadap generasi muda supaya memiliki sikap yang baik dalam perilaku sehari-hari. (Seputar Cerita Sejarah Indonesia dan Dunia Senin, 20 Mei 2024 Upload jam 14.15 WIB) Istilah Gugon Tuhon terdiri dari dua kata, yakni gugon dan tuhon. Gugon berasal dari kata gugu, yang bermakna dipercaya dengan apa adanya tanpa ditelaah. Sedangkan tuhon berasal dari kata tuhu yang memiliki makna sesungguhnya. Jadi, Gugon Tuhon berisi ajaran serta petuah yang bertujuan menjadikan kehidupan yang lebih baik. Di dalam kata kerja, Gugon Tuhon bisa diartikan sebagai sikap yang mudah memercayai suatu perkataan yang disampaikan oleh orang lain dan dipercaya memiliki petuah. Macam – macam Gugontuhon yang banyak beredar di masyarakat • Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle 'jangan menyisakan makanan di piring, apa yang akan dikatakan nanti selalu berubah atau ragu-ragu'. • Aja mangan gedhang dhempet, mundhak ing tembe darbe anak kembar utawa dhampit 'jangan makan pisang yang tumbuh berdampinga, agar tidak mempunyai anak kembar siam di masa depan. • Aja ngidoni sumur, mundhak lambe suwing 'jangan buang air liur ke air mancur, itu bisa mengelupas bibir' dan menambah jumlah bibir untuk dijahit. Padahal, air liur yang jatuh ke dalam sumur menyebabkan kualitas air menjadi buruk. Ini terutama benar jika orang yang meludah memiliki penyakit menular yang dapat menginfeksi orang lain melalui air liur. • Aja lungguh ana ing bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk di atas bantal, menyebabkan bisulan’. Orang yang duduk di atas bantal tidak hanya terlihat vulgar, tetapi juga membuat bantal yang didudukinya menjadi kotor. • Aja sok mangan anak paturon, mundhak lara gudhigên. Jangan makan di ranjang, nanti sakit kudis. Harapannya supaya bisa menjaga kebersihan. Karena makan di ranjang jika makanannya tercecer menyebabkan kotor dan dikerubuti semut. Sebaiknya kalo makan di ruang makan atau tempat yang biasa digunakan makan. • Aja sok mangan nyangga ajang, pincuk, takir, godhong lan sêjene, mundhak kêmaga. Jangan makan dengan mengangkat piring, pincuk, takir, daun pisang atau sejenisnya, nanti kecewa. Sebenarnya maksud pitutur tersebut ialah : makan dengan mengangkat piring, selain kurang sopan, piring tersebut jika tersenggol sesuatu mudah jatuh, sehingga menyebabkan tumpah ruah, dan tidak jadi makan. • Yèn nêngah-nêngahi madhang aja sok ngombe, iku dibasakake anggêdhèkake kamuktèn. Di tengah-tengah makan jangan minum, ibaratnya membesarkan kesenangan. Siapapun yang tersendat di tengah-tengah makan, jelas harus minum. Tapi maksud para sesepuh tersebut jika makan sebisa mungkin jangan sampai tersendak. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang makannya tersendak biasanya makannya terburu-buru, sehingga makanan yang dikunyah kurang lembut. Orang yang makannya tersendak biasanya menyebabkan cegukan, akan tidak etis jika dilakukan di hadapan banyak orang. Beberapa contoh pantangan lain di beberapa daerah di Pulau Jawa • Putra wayahe Panembahan Senapati ‘anak cucu Panembahan senopati’ ketika berperang tidak dapat menunggang kuda batilan. • Orang di Banyumas tidak boleh berpergian ketika sabtu Pahing • Orang Kendal (yang termasuk suku bangsa Jawa) tidak dapat membuat rumah mewah. • Orang di Kudus yang tinggal di sebelah timur sungai tidak boleh menikahkan anak dengan orang yang tinggal di sebelah barat sungai. • Orang Bagelan tidak boleh memakai pakaian atau topi bertema melati. • Masyarakat adat Bagelan (orang kampung Bagelan yang asli), tidak boleh memelihara lembu. Sumber : Wikipedia, kompas.com, cahsastrajawa.wordpress.com Demikian informasi ini disampaikan semoga bermanfaat. (Seputar Cerita Sejarah Indonesia dan Dunia Senin, 20 Mei 2024 Upload jam 14.15 WIB)

 GUGON TUHON (PAMALI, PANTANGAN) MASYARAKAT JAWA


Gugontuhon atau biasa disebut pamali merupakan suatu larangan yang diajarkan secara lisan di kalangan masyarakat Jawa. Ajaran lisan ini sudah turun temurun sejak zaman nenek moyang dulu. Jika kalian pernah mendengan istilah, “aja lungguh nek dhuwur bantal mundak udunen” (jangan duduk di atas bantal nanti bisulan) atau “aja mangan brutu (pantat) ayam enko marai pikun” (jangan makan pantat ayam nanti menyebabkan pikun. Seperti itulah gambaran kalimat Gugontuhon. 


Gugontuhon atau pantangan sendiri sebetulnya bukan hanya monopoli masyarakat Jawa, karena daerah lain seperti Sunda, Dayak, Batak bahkan negara maju seperti Jepang pun mempunyai gugontuhon dengan sebutan istilah atau larangan yang berbeda. Namun, dalam perkembangannya, sebagian masyarakat terutama generasi muda tidak mengerti makna sebenarnya dari Gugon Tuhon dan menganggapnya sebagai klenik. Selain itu, ada juga masyarakat yang menganggap Gugon Tuhon sebagai suatu tindakan syirik yang menyimpang dari ajaran agama. Pada dasarnya, Gugon Tuhon merupakan respons terhadap generasi muda supaya memiliki sikap yang baik dalam perilaku sehari-hari. (Seputar Cerita Sejarah Indonesia dan Dunia Senin, 20 Mei 2024 Upload jam 14.15 WIB)



Istilah Gugon Tuhon terdiri dari dua kata, yakni gugon dan tuhon. Gugon berasal dari kata gugu, yang bermakna dipercaya dengan apa adanya tanpa ditelaah. Sedangkan tuhon berasal dari kata tuhu yang memiliki makna sesungguhnya. Jadi, Gugon Tuhon berisi ajaran serta petuah yang bertujuan menjadikan kehidupan yang lebih baik. Di dalam kata kerja, Gugon Tuhon bisa diartikan sebagai sikap yang mudah memercayai suatu perkataan yang disampaikan oleh orang lain dan dipercaya memiliki petuah. 


Macam – macam Gugontuhon yang banyak beredar di masyarakat

• Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle 'jangan menyisakan makanan di piring, apa yang akan dikatakan nanti selalu berubah atau ragu-ragu'.

• Aja mangan gedhang dhempet, mundhak ing tembe darbe anak kembar utawa dhampit 'jangan makan pisang yang tumbuh berdampinga, agar tidak mempunyai anak kembar siam di masa depan.

• Aja ngidoni sumur, mundhak lambe suwing 'jangan buang air liur ke air mancur, itu bisa mengelupas bibir' dan menambah jumlah bibir untuk dijahit. Padahal, air liur yang jatuh ke dalam sumur menyebabkan kualitas air menjadi buruk. Ini terutama benar jika orang yang meludah memiliki penyakit menular yang dapat menginfeksi orang lain melalui air liur.

• Aja lungguh ana ing bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk di atas bantal, menyebabkan bisulan’. Orang yang duduk di atas bantal tidak hanya terlihat vulgar, tetapi juga membuat bantal yang didudukinya menjadi kotor.

• Aja sok mangan anak paturon, mundhak lara gudhigên. Jangan makan di ranjang, nanti sakit kudis. Harapannya supaya bisa menjaga kebersihan. Karena makan di ranjang jika makanannya tercecer menyebabkan kotor dan dikerubuti semut. Sebaiknya kalo makan di ruang makan atau tempat yang biasa digunakan makan.

• Aja sok mangan nyangga ajang, pincuk, takir, godhong lan sêjene, mundhak kêmaga. Jangan makan dengan mengangkat piring, pincuk, takir, daun pisang atau sejenisnya, nanti kecewa. Sebenarnya maksud pitutur tersebut ialah : makan dengan mengangkat piring, selain kurang sopan, piring tersebut jika tersenggol sesuatu mudah jatuh, sehingga menyebabkan tumpah ruah, dan tidak jadi makan.

• Yèn nêngah-nêngahi madhang aja sok ngombe, iku dibasakake anggêdhèkake kamuktèn. Di tengah-tengah makan jangan minum, ibaratnya membesarkan kesenangan. Siapapun yang tersendat di tengah-tengah makan, jelas harus minum. Tapi maksud para sesepuh tersebut jika makan sebisa mungkin jangan sampai tersendak. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang makannya tersendak biasanya makannya terburu-buru, sehingga makanan yang dikunyah kurang lembut. Orang yang makannya tersendak biasanya menyebabkan cegukan, akan tidak etis jika dilakukan di hadapan banyak orang.


Beberapa contoh pantangan lain di beberapa daerah di Pulau Jawa

• Putra wayahe Panembahan Senapati ‘anak cucu Panembahan senopati’ ketika berperang tidak dapat menunggang kuda batilan.

• Orang di Banyumas tidak boleh berpergian ketika sabtu Pahing

• Orang Kendal (yang termasuk suku bangsa Jawa) tidak dapat membuat rumah mewah.

• Orang di Kudus yang tinggal di sebelah timur sungai tidak boleh menikahkan anak dengan orang yang tinggal di sebelah barat sungai.

• Orang Bagelan tidak boleh memakai pakaian atau topi bertema melati.

• Masyarakat adat Bagelan (orang kampung Bagelan yang asli), tidak boleh memelihara lembu.


Sumber : Wikipedia, kompas.com, cahsastrajawa.wordpress.com 

Demikian informasi ini disampaikan semoga bermanfaat.

(Seputar Cerita Sejarah Indonesia dan Dunia Senin, 20 Mei 2024 Upload jam 14.15 WIB)

No comments:

Post a Comment