29 May 2025

KNIL Masuk APRIS Hari ini dalam sejarah, 27 Mei 1950, upacara satu batalion KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan isi Konferensi Meja Bundar, setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, anggota tentara KNIL diberikan pilihan: masuk APRIS, ikut ke Belanda, atau keluar dengan uang pesangon. APRIS merupakan angkatan perang saat Indonesia terdiri dari negara-negara federal. Tak hanya KNIL, anggota tentara federal binaan KNIL, Veileigheids Batalyon (VB) alias batalion keamanan federal, juga mendapat pilihan masuk APRIS. Hal ini berlaku pula di Jawa Barat. Di Jawa Barat dengan pusat militer Belanda di Bandung, terdapat banyak pasukan yang semasa revolusi kemerdekaan (1945–1949) berseberangan dengan Republik Indonesia. VB adalah unsur penting KNIL di Jawa Barat. Banyak anggota VB yang bergabung dengan APRIS. Di luar batalion federal itu, banyak pula anggota KNIL reguler yang bergabung dengan APRIS, meski sempat terjadi insiden anggota KNIL menyerang dan membunuh anggota TNI di Bandung dalam peristiwa APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Umumnya persenjataan pasukan bekas KNIL sangat lengkap dibandingkan APRIS. Segala instalasi militer KNIL, seperti bengkel, gudang, pusat pelatihan perwira atau kecabangan kavaleri dan artileri juga diserahterimakan kepada APRIS. Setelah negara-negara federal bubar dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan, APRIS berubah menjadi TNI.* Baca juga: Bekas KNIL Masuk APRIS di Jawa Barat https://historia.id/militer/articles/bekas-knil-masuk-apris-di-jawa-barat-DOZkj Bekas KNIL Masuk APRIS di Jawa Tengah https://historia.id/militer/articles/bekas-knil-masuk-apris-di-jawa-tengah-P4qAV Bekas KNIL Masuk APRI di Sumatra Selatan http://historia.id/militer/articles/bekas-knil-masuk-apris-di-sumatra-selatan-vVWKk 📷IPPHOS/ANRI #sejarah #sejarahindonesia #historia #historiaid #tni

 KNIL Masuk APRIS


Hari ini dalam sejarah, 27 Mei 1950, upacara satu batalion KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Bogor, Jawa Barat.



Berdasarkan isi Konferensi Meja Bundar, setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, anggota tentara KNIL diberikan pilihan: masuk APRIS, ikut ke Belanda, atau keluar dengan uang pesangon. APRIS merupakan angkatan perang saat Indonesia terdiri dari negara-negara federal. 


Tak hanya KNIL, anggota tentara federal binaan KNIL, Veileigheids Batalyon (VB) alias batalion keamanan federal, juga mendapat pilihan masuk APRIS. Hal ini berlaku pula di Jawa Barat. Di Jawa Barat dengan pusat militer Belanda di Bandung, terdapat banyak pasukan yang semasa revolusi kemerdekaan (1945–1949) berseberangan dengan Republik Indonesia. VB adalah unsur penting KNIL di Jawa Barat. 


Banyak anggota VB yang bergabung dengan APRIS. Di luar batalion federal itu, banyak pula anggota KNIL reguler yang bergabung dengan APRIS, meski sempat terjadi insiden anggota KNIL menyerang dan membunuh anggota TNI di Bandung dalam peristiwa APRA (Angkatan Perang Ratu Adil).


Umumnya persenjataan pasukan bekas KNIL sangat lengkap dibandingkan APRIS. Segala instalasi militer KNIL, seperti bengkel, gudang, pusat pelatihan perwira atau kecabangan kavaleri dan artileri juga diserahterimakan kepada APRIS. Setelah negara-negara federal bubar dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan, APRIS berubah menjadi TNI.*


Baca juga:

Bekas KNIL Masuk APRIS di Jawa Barat https://historia.id/militer/articles/bekas-knil-masuk-apris-di-jawa-barat-DOZkj

Bekas KNIL Masuk APRIS di Jawa Tengah https://historia.id/militer/articles/bekas-knil-masuk-apris-di-jawa-tengah-P4qAV

Bekas KNIL Masuk APRI di Sumatra Selatan http://historia.id/militer/articles/bekas-knil-masuk-apris-di-sumatra-selatan-vVWKk 


📷IPPHOS/ANRI


#sejarah #sejarahindonesia #historia #historiaid #tni

KISAH "PENCURIAN" PESAWAT PEMBOM TKR OEDARA KE JOGJA. 4 Agustus 1946 Hari menjelang sore, pak Hanandjoedin dan anak buahnya masih sibuk memperbaiki beberapa pesawat di hanggar Pangkalan Boegis Malang. Orang ke Tiga di TKR Oedara yakni Komodor Muda Adi Soetjipto masih menunggu situasi aman untuk melakukan rencananya, ya pak Adi Soetjipto akan membawa pesawat bekas Pembom Jepang berjenis Recojunana yang berhasil di perbaiki anak anak tekhnik Pangkalan udara Bugis Malang itu dan di beri nama Pangeran Diponegoro 2. Kemarin saat baru sampai di Malang, sang Komodor Muda Adi Soetjipto menghadap Panglima Devisi Untung Suropati membahas alih Pangkalan udara dari TKR ke TKR OEDARA namun pembicaraan masih buntu, Panglima Devisi Untung Suropati masih kekeh mempertahankan bahwa Pangkalan Udara Bugis adalah wilayah kekuasan Devisi mereka, Sudah bolak balik pak Adi Soetjipto ke Malang membicarakan ini tapi masih nihil. Lalu oleh Bung Anan, pak Tjip di minta menerbangkan pesawat Pangeran Diponegoro 2 ini, padahal beliau belum pernah terbang dengan pesawat jenis itu namun karena beliau pilot handal berhasil lah pak Tjip menerbangkan pesawat itu. Lalu Komodor Udara Adi Soetjipto memikirkan ide bagaimana jika pesawat eks Pembom Jepang itu dibawa ke Jogja agar bisa digunakan optimal dari pada hanya di taruh di hanggar saja. Setelah dilihat suasana agak lengang, pak Tjip menedekati letnan Hanandjoedin. "Bung Anan, bisakah saya bicara empat mata dengan Tuan?", bisik pak Tjip pada Letnan Hanandjoedin. "Baik Pak, kita bicara di ruang saya saja"... jawab Bung Anan sembari mengajak Pak Cip masuk ke ruang Kantor Teknik Pangkalan Bugis. Pak Tjip lantas mengutarakan rencananya membawa Pesawat Pangeran Diponegoro II ke Jogjakarta. "Ketimbang cuma nongkrong di sini, akan lebih banyak manfaatnya untuk perjuangan bangsa bila pesawat ini berada di Jogiakarta. Bagaimana pendapat Tuan?" ungkap Pak Tjip seraya bertanya Bung Anan. Bung Anan terdiam sejenak. Dia berpikir lama. Ditimbang- timbangnya, pendapat Pak Tjip memang ada benarnya. Sejauh itu, Malang kesulitan penerbang. Selama ini dalam menguji coba saja hanya mengandalkan Atmo, lalu bila Atmo pulang ke negaranya otomatis tak ada penerbang lagi. Jadi percuma ada pesawat tanpa penerbang. Namun demikian, bila sampai pesawat ini dibawe ke Jogja tanpa persetujuan pihak Divisi VII akan menimbulkan masalah baginya, bisa bisa ia di pecat. Panglima Devisi Untung Suropati akan marah tentu jika pesawat itu di Bawa tanpa ijinnya, tapi Hanandjoedin berpikir apa yg di ucap Komodor Udara Adi Soetjipto benar, toh pesawat ini dulu pesanan soerang Anggota KNIP Jogja namun sang pemesan tak ada kabar lagi. "Baik pak, kalau Lebih besar untuk kepentingan negara, Saya akan ikut mengantar pesawat ini ke Jogja!", mantap suara pak Hanandjoedin pada Pak Adi Soetjipto. Lega lah oreng no 3 di TKR Oedara ini mendengar bersedianya pak Hanandjoedin membantu rencana membawa pesawat itu diam diam ke Jogja. Rencana di susun bahwa besok pagi pagi mereka akan berangkat ke Jogja dengan beberapa tehnisi anak buah pak Hanandjoedin akan dibawa ke Jogja. 7 Agustus 1946 Di lapangan Udara Maguwo Jogjakarta. Hari masih siang, saat tiba tiba pak Tjip atau Komodor Muda Udara Adi Soetjipto menghampiri Letnan Hanandjoedin. Rupanya pak Tjip membawa berita ada radiogram dari Devisi VII Untung Suropati yang berisi agar kepala Tehnik Pangkalan udara Bugis Malang kembali untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya membawa kabur pesawat tanpa seijin Panglima Devisi. Ya, rupanya berangkat nya pesawat Pangeran Diponegoro 2 tanggal 5 Agustus 1946 dari Malang ke Jogja membuat Devisi VII marah dan meminta Hanandjoedin sebagai kepala Tehnik lapangan udara Bugis Malang harus bertanggung jawab. Hanandjoedin sudah siap dengan resiko itu. Pak Tjip manatap pada Letnan Hanandjoedin dan berucap... "Tuan berada dipihak kita, sebeb kita berani berbuat ini demi untuk Negara!". Maka Bung Anan kembali ke Malang di antar pesawat Curen dan saat turun dari pesawat langsung ditangkap polisi tentara lalu selama beberapa hari Letnan Hanandjoedin ditahan di sel atas pelanggaran disiplin. Saat di intrograsi siapa yang punya ide melarikan pesawat itu, sang letnan mantap menjawab bahwa itu semua atas inisiatif diri nya! Berkali di tanya tetap ia jawab itu. Dikepala letnan Hanandjoedin ia tak mau membuat keruh suasana dengan menyebut bahwa ide membawa kabur pesawat itu adalah Komodor Muda Udara Adi Soetjipto. Namun Letnan Hanandjoedin bangga bahwa pesawat yang ia bawa "kabur" dari Malang ke Jogja sangat berguna bagi perjuangan. Ia mendapat kabar bahwa pesawat itu digunakan oleh para kadet yang sedang belajar terbang di lapangan terbang Maguwo. Bahkan digunakan oleh para pejabat untuk perjuangan Indonesia Merdeka. Sumber Buku Sang Elang H. AS. HANANDJOEDIN Di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI Karya Bang Haril Andersen Beny Rusmawan

 KISAH "PENCURIAN" PESAWAT PEMBOM TKR OEDARA KE JOGJA.



4 Agustus 1946


Hari menjelang sore, pak Hanandjoedin dan anak buahnya masih sibuk memperbaiki beberapa pesawat di hanggar Pangkalan Boegis Malang.


Orang ke Tiga di TKR Oedara yakni Komodor Muda Adi Soetjipto masih menunggu situasi aman untuk melakukan rencananya, ya pak Adi Soetjipto akan membawa pesawat bekas Pembom Jepang berjenis Recojunana yang berhasil di perbaiki anak anak tekhnik Pangkalan udara Bugis Malang itu dan di beri nama Pangeran Diponegoro 2.


Kemarin saat baru sampai di Malang, sang Komodor Muda Adi Soetjipto menghadap Panglima Devisi Untung Suropati membahas alih Pangkalan udara dari TKR ke TKR OEDARA namun pembicaraan masih buntu, Panglima Devisi Untung Suropati masih kekeh mempertahankan bahwa Pangkalan Udara Bugis adalah wilayah kekuasan Devisi mereka, Sudah bolak balik pak Adi Soetjipto ke Malang membicarakan ini tapi masih nihil.


Lalu oleh Bung Anan, pak Tjip di minta menerbangkan pesawat Pangeran Diponegoro 2 ini, padahal beliau belum pernah terbang dengan pesawat jenis itu namun karena beliau pilot handal berhasil lah pak Tjip menerbangkan pesawat itu.


Lalu Komodor Udara Adi Soetjipto memikirkan ide bagaimana jika pesawat eks Pembom Jepang itu dibawa ke Jogja agar bisa digunakan optimal dari pada hanya di taruh di hanggar saja.


Setelah dilihat suasana agak lengang, pak Tjip menedekati letnan Hanandjoedin.


"Bung Anan, bisakah saya bicara empat mata dengan Tuan?", bisik pak Tjip pada Letnan Hanandjoedin. 


"Baik Pak, kita bicara di ruang saya saja"... jawab Bung Anan sembari mengajak Pak Cip masuk ke ruang Kantor Teknik Pangkalan Bugis. 


Pak Tjip lantas mengutarakan rencananya membawa Pesawat Pangeran Diponegoro II ke Jogjakarta. "Ketimbang cuma nongkrong di sini, akan lebih banyak manfaatnya untuk perjuangan bangsa bila pesawat ini berada di Jogiakarta. Bagaimana pendapat Tuan?" ungkap Pak Tjip seraya bertanya Bung Anan. 


Bung Anan terdiam sejenak. Dia berpikir lama. Ditimbang- timbangnya, pendapat Pak Tjip memang ada benarnya. Sejauh itu, Malang kesulitan penerbang. Selama ini dalam menguji coba saja hanya mengandalkan Atmo, lalu bila Atmo pulang ke negaranya otomatis tak ada penerbang lagi. Jadi percuma ada pesawat tanpa penerbang.


Namun demikian, bila sampai pesawat ini dibawe ke Jogja tanpa persetujuan pihak Divisi VII akan menimbulkan masalah baginya, bisa bisa ia di pecat. 


Panglima Devisi Untung Suropati akan marah tentu jika pesawat itu di Bawa tanpa ijinnya, tapi Hanandjoedin berpikir apa yg di ucap Komodor Udara Adi Soetjipto benar, toh pesawat ini dulu pesanan soerang Anggota KNIP Jogja namun sang pemesan tak ada kabar lagi.


"Baik pak, kalau Lebih besar untuk kepentingan negara, Saya akan ikut mengantar pesawat ini ke Jogja!", mantap suara pak Hanandjoedin pada Pak Adi Soetjipto. 


Lega lah oreng no 3 di TKR Oedara ini mendengar bersedianya pak Hanandjoedin membantu rencana membawa pesawat itu diam diam ke Jogja. 


Rencana di susun bahwa besok pagi pagi mereka akan berangkat ke Jogja dengan beberapa tehnisi anak buah pak Hanandjoedin akan dibawa ke Jogja. 


7 Agustus 1946


Di lapangan Udara Maguwo Jogjakarta.


Hari masih siang, saat tiba tiba pak Tjip atau Komodor Muda Udara Adi Soetjipto menghampiri Letnan Hanandjoedin.


Rupanya pak Tjip membawa berita ada radiogram dari Devisi VII Untung Suropati yang berisi agar kepala Tehnik Pangkalan udara Bugis Malang kembali untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya membawa kabur pesawat tanpa seijin Panglima Devisi. 


Ya, rupanya berangkat nya pesawat Pangeran Diponegoro 2 tanggal 5 Agustus 1946 dari Malang ke Jogja membuat Devisi VII marah dan meminta Hanandjoedin sebagai kepala Tehnik lapangan udara Bugis Malang harus bertanggung jawab. Hanandjoedin sudah siap dengan resiko itu. Pak Tjip manatap pada Letnan Hanandjoedin dan berucap... 


"Tuan berada dipihak kita, sebeb kita berani berbuat ini demi untuk Negara!".


Maka Bung Anan kembali ke Malang di antar pesawat Curen dan saat turun dari pesawat langsung ditangkap polisi tentara lalu selama beberapa hari Letnan Hanandjoedin ditahan di sel atas pelanggaran disiplin. 


Saat di intrograsi siapa yang punya ide melarikan pesawat itu, sang letnan mantap menjawab bahwa itu semua atas inisiatif diri nya! Berkali di tanya tetap ia jawab itu. 


Dikepala letnan Hanandjoedin ia tak mau membuat keruh suasana dengan menyebut bahwa ide membawa kabur pesawat itu adalah Komodor Muda Udara Adi Soetjipto. 


Namun Letnan Hanandjoedin bangga bahwa pesawat yang ia bawa "kabur" dari Malang ke Jogja sangat berguna bagi perjuangan. 


Ia mendapat kabar bahwa pesawat itu digunakan oleh para kadet yang sedang belajar terbang di lapangan terbang Maguwo. Bahkan digunakan oleh para pejabat untuk perjuangan Indonesia Merdeka. 


Sumber

Buku Sang Elang H. AS. HANANDJOEDIN

Di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI

Karya Bang Haril Andersen 


Beny Rusmawan

Surat Supersemar, antara perintah atau rekayasa?? Banyak ahli sejarah belum ada yg menemukan dimana Supersemar , kalau memang ada. Banyak pendapat dan perbedaan dikalangan ahli sejarah dan akademisi. Lalu bagaimana pendapatmu? Berikut ini adalah tampilan/format surat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang menjadi salah satu dokumen penting dalam sejarah politik Indonesia. Ini adalah versi representatif berdasarkan pengetahuan sejarah, karena naskah aslinya memiliki beberapa versi dan sempat menjadi kontroversi karena keberadaannya yang misterius. --- REPUBLIK INDONESIA SURAT PERINTAH 11 MARET 1966 --- Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS Jenderal Besar Soekarno Dengan memperhatikan situasi politik dan keamanan pada saat ini serta demi terjaminnya keutuhan, keselamatan negara dan stabilitas pemerintahan dan jalannya revolusi, maka: MEMERINTAHKAN: Kepada: Letnan Jenderal Soeharto Menteri/Panglima Angkatan Darat 1. Untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketenangan serta stabilitas jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. 2. Untuk mengambil tindakan terhadap segala bentuk gangguan dan ancaman terhadap kepemimpinan Presiden/Negara, baik langsung maupun tidak langsung. 3. Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan perintah ini dan melaporkannya kepada Presiden. Surat Perintah ini dikeluarkan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. --- Dikeluarkan di: Bogor Tanggal: 11 Maret 1966 Tertanda, Soekarno Presiden Republik Indonesia --- > ⚠️ Catatan: Naskah di atas adalah hasil rekonstruksi dari berbagai sumber sejarah karena naskah asli Supersemar belum pernah dipublikasikan secara resmi. Ada tiga versi yang beredar, dan sampai sekarang keasliannya masih diperdebatkan.

 Surat Supersemar, antara perintah atau rekayasa?? 

Banyak ahli sejarah belum ada yg menemukan dimana Supersemar , kalau memang ada. Banyak pendapat dan perbedaan dikalangan ahli sejarah dan akademisi. Lalu bagaimana pendapatmu?


Berikut ini adalah tampilan/format surat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang menjadi salah satu dokumen penting dalam sejarah politik Indonesia. Ini adalah versi representatif berdasarkan pengetahuan sejarah, karena naskah aslinya memiliki beberapa versi dan sempat menjadi kontroversi karena keberadaannya yang misterius.


---



REPUBLIK INDONESIA


SURAT PERINTAH

11 MARET 1966


---


Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS

Jenderal Besar Soekarno


Dengan memperhatikan situasi politik dan keamanan pada saat ini serta demi terjaminnya keutuhan, keselamatan negara dan stabilitas pemerintahan dan jalannya revolusi, maka:


MEMERINTAHKAN:


Kepada: Letnan Jenderal Soeharto

Menteri/Panglima Angkatan Darat


1. Untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketenangan serta stabilitas jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.


2. Untuk mengambil tindakan terhadap segala bentuk gangguan dan ancaman terhadap kepemimpinan Presiden/Negara, baik langsung maupun tidak langsung.


3. Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan perintah ini dan melaporkannya kepada Presiden.


Surat Perintah ini dikeluarkan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.


---


Dikeluarkan di: Bogor

Tanggal: 11 Maret 1966


Tertanda,


Soekarno

Presiden Republik Indonesia


---


> ⚠️ Catatan: Naskah di atas adalah hasil rekonstruksi dari berbagai sumber sejarah karena naskah asli Supersemar belum pernah dipublikasikan secara resmi. Ada tiga versi yang beredar, dan sampai sekarang keasliannya masih diperdebatkan.

28 May 2025

WALI ALLOH SIMBAH KYAI HAJI CHUDLORI. Beliau adalah pendiri Pondok pesantren API TEGALREJO MAGELANG JAWATENGAH. Selama hidupnya jiwa raga dan hartanya beliau curahkan untuk agama islam, yaitu yg paling utama dalam bidang belajar dan mengajar atau TA'LIM WA TA'ALUM (thoriqoh yg paling utama) . Sejak pesantren ini di dirikan hingga kini ( thn 2016) sudah 73 tahun tetap menggunakan metode Pesantren salaf ( clasik) bahkan oleh generasi penerusnya. sampai hari Qiamat API tegalrejo ini. metode salaf nya tdk akan dirubah, berbagai bidang ilmu agama dipelajari dgn kitab kitab kuning selama 8 tahun , dan ada 8 tingkatan(kelas) yg dipelajari 1:ibtida' 2:al ajurumiyah .3:as shorof .4:al fiyah . 5:fathul wahhab. 6: al mahally. 7: al buchori . 8:ikhya' ulummiddin. Dan di thn 2016 ini santri nya ( putra) berjumlah 4800 ( dari berbagai daerah dan suku di indonesia ). Beliau Simbah KYAI CHUDLORI adalah sosok figur yang sangat di cintai oleh seluruh lapisan golongan masyarakat baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafatnya terbukti jutaan jamaah dari berbagai penjuru, dalam setiap tahunya berkunjung atau ZIAROH bertawasul di hadapan Maqom beliau. Menurut Mbah kyai muhyidin seorang Mursyid thoriqoh asal temanggung mengatakan " Beliau Simbah KYAI CHUDLORI adalah TOKOH ULAMA' yg telah memper satukan berbagai aliran Thoriqoh se Jawa atau se nusantara dalam satu jalinan Silaturrohim,KARENA dulu pertama kali diadakan pertemuan silaturrohim dari berbagai aliran thoriqoh yg bertempat di Pon Pes API TEGALREJO dg tujuan diantaranya yaitu mencegah saling adu atau bentrok nya antara aliran aliran Thoriqoh. Berkat Jasa Kebaikan Simbah KYAI CHUDLORI sampai kini tidak pernah terjadi perselisihan antar aliran aliran Thoriqoh, mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. DAN Semoga segala permohonan Doa kita semua kepada ALLOH SWT di ijabahi di Qobulkan oleh ALLOH SWT berkat TAWASSUL kpda WALI ALLOH SIMBAH KYAI CHUDLORI ..... Amin ya robbal alamiiin, hadihi niah AL FATIHAH....!!!!!!! #foto #viral #fyp

 WALI ALLOH SIMBAH KYAI HAJI CHUDLORI.

Beliau adalah pendiri Pondok pesantren API TEGALREJO MAGELANG JAWATENGAH.




Selama hidupnya jiwa raga dan hartanya beliau curahkan untuk agama islam, yaitu yg paling utama dalam bidang belajar dan mengajar atau TA'LIM WA TA'ALUM  (thoriqoh yg paling utama) . Sejak  pesantren ini di dirikan hingga kini ( thn 2016) sudah 73 tahun tetap menggunakan metode Pesantren salaf ( clasik) bahkan oleh generasi penerusnya. sampai hari Qiamat API tegalrejo ini. metode salaf nya tdk akan dirubah, berbagai bidang ilmu agama dipelajari dgn kitab kitab kuning selama 8 tahun , dan ada 8 tingkatan(kelas) yg dipelajari 1:ibtida' 2:al ajurumiyah .3:as shorof  .4:al fiyah 

. 5:fathul wahhab. 6: al mahally. 7: al buchori . 8:ikhya' ulummiddin. Dan di thn 2016 ini santri nya ( putra) berjumlah 4800 ( dari berbagai daerah dan suku di indonesia ). 

Beliau Simbah KYAI CHUDLORI adalah sosok figur yang sangat di cintai oleh seluruh lapisan golongan masyarakat baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafatnya terbukti jutaan jamaah dari berbagai penjuru, dalam setiap tahunya berkunjung atau ZIAROH bertawasul di hadapan Maqom beliau. 

Menurut Mbah kyai muhyidin seorang Mursyid thoriqoh asal temanggung mengatakan " Beliau Simbah KYAI CHUDLORI adalah TOKOH ULAMA' yg telah memper satukan berbagai aliran Thoriqoh  se Jawa atau se nusantara dalam satu jalinan Silaturrohim,KARENA dulu pertama kali diadakan pertemuan silaturrohim dari berbagai aliran thoriqoh yg bertempat di Pon Pes API TEGALREJO dg tujuan diantaranya yaitu mencegah saling adu atau bentrok nya antara aliran aliran Thoriqoh.   

Berkat Jasa Kebaikan Simbah KYAI CHUDLORI sampai kini tidak pernah terjadi perselisihan antar aliran aliran Thoriqoh, mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

DAN Semoga segala permohonan Doa kita semua kepada ALLOH SWT di ijabahi di Qobulkan oleh ALLOH SWT berkat TAWASSUL kpda WALI ALLOH SIMBAH KYAI CHUDLORI ..... Amin ya robbal alamiiin,

hadihi niah AL FATIHAH....!!!!!!!


#foto

#viral

#fyp

Al-Maghfurlah Simbah K.H. Achmad Abdul Haq Dalhar , Watucongol Bersama Al-Maghfurlah Simbah K.H. Mahrus Ali LirboyoAl-Maghfurlah Simbah KHR Chamid Kajoran MGL, Al-Maghfurlah Simbah KHR Sulaiman Zuhdi Sindurjan,Al-Maghfurlah Simbah KH Maksum Jauhari ..Saat menghadiri acara resepsi Pernikahan K.H. Achmad Chalwani Nawawi dan Ibu Nyai Hj. Siti Sa'adah Achmad (adahachmad ) Tahun 1982 ..Semoga kita semua mendapatkan berkah dari beliau beliau dan diakui menjadi muridnya . Aamiin. 🙏 #foto #viral #fyp

 Al-Maghfurlah Simbah K.H. Achmad Abdul Haq Dalhar , Watucongol Bersama Al-Maghfurlah Simbah K.H. Mahrus Ali LirboyoAl-Maghfurlah Simbah KHR Chamid Kajoran MGL, Al-Maghfurlah Simbah KHR Sulaiman Zuhdi Sindurjan,Al-Maghfurlah Simbah KH Maksum Jauhari ..Saat menghadiri acara resepsi Pernikahan K.H. Achmad Chalwani Nawawi dan Ibu Nyai Hj. Siti Sa'adah Achmad (adahachmad ) Tahun 1982 ..Semoga kita semua mendapatkan berkah dari beliau beliau dan diakui menjadi muridnya 


Meriam kuno yang kemudian dijuluki "si Jagur" tampak tergeletak tak terurus di sebuah taman. Kemungkinan besar pemujaan si Jagur dan takhayul atas benda ini baru muncul kemudian.Batavia 1909 Sumber : Het Nationaal Archief

 Meriam kuno yang kemudian dijuluki "si Jagur" tampak tergeletak tak terurus di sebuah taman. Kemungkinan besar pemujaan si Jagur dan takhayul atas benda ini baru muncul kemudian.Batavia 1909



Sumber : Het Nationaal Archief

Dahulu pada tahun 1940-1960, terdapat dua alur sungai yaitu Kali Putih dan Kali Druju yang melintasi Jalan Raya Magelang-Yogyakarta di Km 23 saat itu. Alur itu diperkuat dengan dam buatan kolonial Belanda. Namun, pada masa Orde Baru, Kali Putih sengaja diubah. Kali Putih dan Kali Druju disatukan alirannya(garis hijau) dan aliran kali druju garis warna biru . Rupanya ada kepentingan ekonomi, menyusul berdirinya pasar tradisional Jumoyo. Keberadaan Kali Druju di sisi barat barat kali putih melintasi Dusun Prebutan, Dusun Gatakan dan Dusun Ngresap di Desa Gulon, Kecamatan Salam seolah-olah kali putih di kesampingkan Dam Kali Putih pun saat itu langsung disulap pemerintah menjadi sebuah areal persawahan dengan panjang alur sungai 2-3 kilometer(garis warna merah) . Sawah mendadak itu tiba-tiba menjadi hak milik warga yang tidak jelas keberadaanya dan kedatangannya. #foto #cerita #fakta #narasi #literasi #fbpro #sejarah #kaliputih #banjirlahardingin #infosejarah

 Dahulu pada tahun 1940-1960, terdapat dua alur sungai yaitu Kali Putih dan Kali Druju yang melintasi Jalan Raya Magelang-Yogyakarta di Km 23 saat itu. Alur itu diperkuat dengan dam buatan kolonial Belanda.



Namun, pada masa Orde Baru, Kali Putih sengaja diubah. Kali Putih dan Kali Druju disatukan alirannya(garis hijau) dan aliran kali druju garis warna biru . Rupanya ada kepentingan ekonomi, menyusul berdirinya pasar tradisional Jumoyo. Keberadaan Kali Druju di sisi barat barat kali putih melintasi Dusun Prebutan, Dusun Gatakan dan Dusun Ngresap di Desa Gulon, Kecamatan Salam seolah-olah kali putih di kesampingkan 


Dam Kali Putih pun saat itu langsung disulap pemerintah menjadi sebuah areal persawahan dengan panjang alur sungai 2-3 kilometer(garis warna merah) . Sawah mendadak itu tiba-tiba menjadi hak milik warga yang tidak jelas keberadaanya dan kedatangannya.


#foto #cerita #fakta #narasi #literasi #fbpro #sejarah #kaliputih #banjirlahardingin #infosejarah

26 May 2025

Silsilah Raja Jawa Nusantara PADUKA SINUHUN PRABU BRAWIJAYA V PAMUNGKAS di Majapahit tahun 1334. Hingkang Sinuhun Prabu BRAWIJAYA V, memperistri : Gusti Kanjeng Ratu Handarawati, putri Campa. Dalam riwayat Sang Prabu memegang Kekuasaan selama 50(lima puluh) tahun, karena ayahnda menjadi raja hanya 4(empat) tahun. Memperoleh banyak keturunannya sebanyak 100(seratus) putera-puteri. Dan penulis disini hanya menyajikan 91 (sembilan puluh satu) putera-puteri, sedangkan yang meninggal tidak. Nama putera puteri Sang Prabu BRAWIJAYA, adalah sebagai berikut : 1. Raden Jaka Dilah, menjabat Adipati di Palembang; 2. Raden Jayapanulih, menjabat Adipati di Sumenep; 3. Putri Ratna Pambayun, menikah dengan Prabu Srimakurung Handayaningrat, di Pengging yang terakhir. 4. Dewi Manik, menikah dengan Hario Gumangsang; 5. Hario Lembu Peteng, menjabat Adipati di Madura; 6. Hario Dewa Ketul, menjabar Adipati di Bali; 7. Raden Jaka Prabangkara; 8. Raden Jaka Krewet, menjabat Adipati di Borneo (Kalimantan); 9. Raden Jaka Kretek, menjabat Adipati di Makasar (Sulawesi); 10. Raden Surenggana; 11. Raden Sujana, menjabat Adipati di Palembang; 12. Putri Ratna Bintara, menikah dengan Adipati Nusabrong; 13. Raden Fatah (Syam Alam Akbar) Sultan Demak I (pertama); 14. Raden Bundan Kajawan Kiyai Ageng Tarup III; 15. Ratu Ayu, menikah dengan Hajar Windusana; 16. Raden Gajah Pramana; 17. Putri Ratna Marsandi, menikah dengan Juru Paniti; 18. Putri Ratna Marlangen, menikah dengan Adipati Marlangen; 19. Putri Ratna Sataman, menikah dengan Hario Jaranpanulih; 20. Putri Ratna Satamin, menikah dengan Hario Bangah, di Pengging; 21. Batara Katong, menjabat Adipati Katong, di Ponorogo; 22. Raden Gugur, Sunan Lawu; 23. Putri Kanistren, menikah dengan Hario Baribin, di Madura; 24. Putri Kaniraras, menikah dengan Hario Pekik, di Pengging; 25. Dewi Ambar, menikah dengan Hario Partaka; 26. Raden Hario Surongsong, meninggal di Kedu. 27. Raden Hario Wangsa, nama gelar Kyai Ageng Pilang; 28. Raden Jaka Dandun, nama gelar Syeh Belabelu; 29 Raden Jaka Dander, nama gelar Nawangsaka; 30. Raden Jaka Balot, nama gelar Kidangsana; 31. Raden Jaka Barak, nama gelar Carang Gana; 32. Raden Jaka Paturih, nama gelar Pacangkringan; 33. Putri Dewi Sampur; 34. Raden Jaka Laweh, nama gelar Duruan; 35. Raden Jaka Jaduk, nama gelar Malang Sumirang; 36. Raden Jaka Balut, nama gelar Megatsari; 37. Raden Jaka Suwung; 38. Putri Dewi Sukati; 39. Raden Jaka Tarwa, nama gelar Banyakwulan; 40. Raden Jaka Maluwa, nama gelar Banyak Modang; 41. Raden Jaka Lanang, nama gelar Banyak Bakung; 42. Raden Jaka Langsing, nama gelar Banyakputra; 43. Putri Dewi Rantang; 44. Raden Jaka Semprung, nama gelar Kiyahi Ageng Brandet; 45. Raden Kunijang, nama gelar Hario Tepos; 46. Raden Jaka Lemboso, nama gelar Hario Pacetlondo; 47. Raden Jaka Lirih; 48. Raden Jaka Lawu; 49. Putri Dewi Paniwet; 50. Raden Jaka Barong; 51. Raden Jaka Bindho, nama gelar Baratketigo; 52. Raden Jaka Blabur, nama gelar Saputarup; 53. Raden Jaka Budu, nama gelar Tawangbalun; 54. Raden Jaka Tarikbolong; 55. raden Jaka Lengis, nama gelar Jejeran; 56. Raden Guntur; 57. Raden Jaka Malot; 58. Raden Jaka Sinorang, nama gelar Sulangjiwa. 59. Raden Jaka Jatang, nama gelar Singapadu; 60. Raden Jaka Karawu, nama gelar Macanpuro; 61. Raden Jaka Krendo, nama gelar Panulahar; 62. Raden Jaka Jinggring, nama gelar Norowito; 63. Raden Jaka Salembar, nama gelar Panangkilan; 64. Raden Jaka Tangkeban, nama gelar Wanengwulan; 65. Raden Jaka Buras, nama gelar Palingsingan; 66. Raden Jaka Kaburu, nama gelar Pasingsingan; 67. Raden Jaka Lambang, nama gelar Hasticepi; 68. Raden Jaka Lumuru, nama gelar Katawangan; 69. Raden Jaka Doblang, nama gelar Yudasara; 70. Raden Jaka Golok, nama gelar Jatinom; 71. Raden Jaka Bluwa, nama gelar Syeh Sekardali; 72. Raden Jaka Wayah, nama gelar Syeh Bubukjanur; 73. Raden Jaka Pandak, nama gelar Syeh Kaliatu; 74. Raden Jaka Bodho, nama gelar Kiyai Ageng Majastra; 75. Raden Jaka Gapyuk, nama gelar Kiyai Ageng Palesung; 76. Raden Jaka Sengara, nama gelar Pangayat; 77. Raden Jaka Supeno, nama gelar Kiyai Ageng Tembayat; 78. Raden Jaka Pangawe, nama gelar Raden Singunkara; 79. Raden Jaka Turas, nama gelar Raden Hadangkoro; 80. Raden Jaka Suwanda, nama gelar Raden Jaka Lelana; 81. Raden Jaka Suwarno, nama gelar Raden Jaka Tanengkung; 82. Raden Jaka Ketul, nama gelar Raden Lembaksiu; 83. Raden Jaka Dalun, nama gelar Gagakpranolo, dimakamkan di pasarean Astana Laweyan Solo; 84. Raden Jaka Wirun, nama gelar Raden Sarasidho; 85. Raden Jaka Sumeno, nama gelar Raden Kenitan; 86. Raden Jaka Besur, nama gelar Raden Saragading; 87. Raden Jaka Gatot, nama gelar Raden Balaruci; 88. Raden Jaka Raras, nama gelar Raden Notosanto; 89. Raden Jaka Paniti, nama gelar Raden Panurta; 90. Raden Jaka Paniti, nama gelar Raden Lawangsari, dan 91. Raden Jaka Sawunggaling. Diantara keturunan Prabu BRAWIJAYA V Pamungkas, sebanyak 8(delapan) putera-puteri pindah dan berkedudukan di pulau Bali, beserta banyak punggawa (abdi dalem) dan rakyat pengikutnya (kawulo). Mereka mendirikan kerajaan dan menurunkan para Stede houwer, Raja-raja. Menurut asalnya masyarakat di Bali terdapat dua turunan adalah: 1). Keturunan Bali asli; 2). Keturunan Majapahit. RUNTUH KERAJAAN MAJAPAHIT Para Wali menobatkan putra Prabu BRAWIJAYA V yang ke 13 (tigabelas) di Majapahit, bernama Raden Fatah, satriya dari Glagahwangi, nama gelar Adipati Notopraja. Kerajaan pindah ke Jawa Tengah, dengan ibukotanya Demak. Kemudian nama gelar beliau Sultan Bintara I(pertama), atau diebut juga dengan gelar nama Syah Alam Akbar, memegang kekuasaan kerajaan selama 5(lima) tahun. Setelah wafat kedudukan beliau digantikan oleh putranya Raden Prawata, nama gelar Sultan Bintara II(kedua), memegang kekuasaan kerajaan selama 2(dua) tahun. Setelah wafat digantikan saudaranya Raden Trenggono, nama gelar Sultan Bintara III(ketiga), memegang kekuasaan kerajaan selama 33(tiga puluh tiga) tahun. Mereka dimakamkan dibelakang masjid Demak. Dalam riwayat putra Sultan Bintara II(kedua) bernama Hario Penangsang, satriya di Jipang tidak menyetujui penobatan Sultan Trenggono, sehingga terjadi perang antara Hariao Penangsang dengan Jaka Tingkir Sultan Pajang adalah sebagai putra mantu Sultan Demak III di Demak. Karena kerajaan Demak tahun 1458 pindah ke Pajang. Perang dimulai oleh pihak Raden Danang Sutawijaya, yang dipimpin oleh Kiyai Ageng Jurumartani, beliau adalah kakek pamannya, disertai pula oleh Kiyai Ageng Pati, serta ayahanda Kiyai Ageng Pemanahan. Dan dalam riwayat Raden Hario Penangsang gugur dalam medan perang, riwayat yg mashur. Raden Danang Sutawijaya, diberikan hadiah tanah wilayah Mantaok, sedangkan Kiyai Ageng Penjawi mendapat hadiah tanah wilayah Pati. PUTRA PUTRI DALEM KANJENG SULTAN BINTARA III (RADEN TREANGGONO) Keturunan Sultan Bintara III, sebanyak 10(sepuluh) putera puteri, adalah : 1. Panembahan Mangkurat; 2. Ratu Mas Pambayun, menikah dengan Kiyai Ageng Lang; 3. Panembahan Prawata I(pertama); 4. Ratu Mas Mantingan, menikah dengan Pangeran Made Pandan; 5. Ratu Mas Kalinyamat; 6. Ratu Mas Hario di Surabaya; 7. Ratu Mas Katambang; 8. Ratu Mas Cepaka, menikah dengan Sultan Pajang Hadiwijaya; 9. Panembahan Mas di Madiun, dan 10. Ratu Sekarkedaton. Kanjeng Sultan Bintara III, mempunyai isteri / garwa, adalah : * Garwa/isteri yang pertama (no:1) adalah putera Kiyai Ageng Malaka; * Garwa/isteri yang kedua (no:2) adalah putera Sunan Kalijaga. Nyi Mas Ratu Kalinyamat, bertapa tanpa busana hanya terselimutkan oleh rambut beliau di wukir Bonoraja, hal ini dilakukan karena suaminya dibunuh oleh Raden Hario Panangsang. Beliau berikrar "Ora pati bubar singku tapa yen ora keset rambute Hario Panangsang" / "Jika karena mati bertapa ini tidak disudahi kalau tidak keset rambutnya Hario Penangsang". Panembahan Prawata I, menurunkan 4(empat) putera puteri adalah : 1. Raden Ayu Juru. 2. Panembahan Prawata II. 3. Raden Ayu Surajaya, dan 4. Panembahan Pruwita di Ngreden Delanggu. Cucu dari Kanjeng Sultan Bintara III. Panembahan Mas di Madiun, menurunkan 13(tiga belas) putera puteri adalah: 1. Raden Ayu Semi, di Kalinyamat; 2. Raden Ayu Pengulu; 3. Pangeran Kanoman; 4. Raden Ayu Pasangi; 5. Raden Mas Lontang Hirawan, di Japan; 6. Raden Ayu Dumilah, menikah dengan Sinuhun Panembahan Senapati di Mataram, isteri ke 2(dua); 7. Raden Mas Tangsang Hirawan, di Madiun; 8. Raden Mangkurat Wiryawan, di Madiun; 9. Raden Hario Sememi; 10. Raden Hario Sumantri; 11. Raden Ayu Pamegatan; 12. Panembahan Hawuryan, dan 13. Raden Hario Kanoman. Raden Mas Lontang Hirawan, menurukan 3(tiga) putera puteri, adalah : 1. Panembahan Juminah II(kedua), di Madiun; 2. Raden Mas Julik, dan 3. Raden Hario Partoloyo, di Madiun. Panembahan Juminah II(kedua), menurunkan putera puteri, adalah: *) Raden Balitar, menurunkan Raden Tumenggung Balitar, menurunkan Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana, Prameswari Pakubuwana I(pertama), menurunkan Sinuhun Prabu Mangkurat Jawa. RATNA PAMBAYUN PUTRIDALEM HINGKANG SINUHUN PRABU BRAWIJAYA V, PAMUNGKAS DI MAJAPAHIT. Menikah dengan Srimakurung Prabu Handayaningrat yang terakhir, berkedudukan di Pengging. Runtuhnya keadaan Kerajaan Pengging senasib dengan Kerajaan Majapahit yaitu kemerosotan moral para bangsawan dan lemahnya pertahanan negara. Ratna Pambayun menurunkan 3(tiga) putera puteri, adalah : 1. Kiyai Ageng Kebo Kanigara, tidak mempunyai keturunan; 2. Kiyai Ageng Kebo Kenanga, menurunkan Mas Karebet, dan 3. Raden Kebo Amiluhur, dewasa wafat. Mas Karebet pada waktu masih balita telah ditinggal wafat ayah, dan tak lama kemudian ibunya wafat. Sepeninggalan orang tuanya diasuh oleh Kiyai Ageng Tingkir, beliau adalah seperguruan dengan ayah Mas Karebet. Oleh karenya tempat tinggal berpindah dari Pengging ke Tingkir (letaknya dekat kota Slatiga), dan kebetulan Kiayi Ageng Tingkir tidak mempunyai keturunan. Dalam riwayat Mas Karebet setelah dewasa mengabdi ke Demak menjadi prajurit Tamtama, karena berparas tampan dan cerdik diambil menantu oleh Sang Prabu, dinikahkan dengan Ratu Mas Cepaka. Menurunkan 7(tujuh) putera puteri, adalah: 1. Ratu Mas Pambayun, di Ngarisbaya; 2. Ratu Mas Kumelut, di Tuban; 3. Ratu Mas Adipati, di Surabaya; 4. Ratu Mas Banten, dinikahi Adipati Mondoroko, sebagai Patih dari Sinuhun Panembahan Senopati. 5. Ratu Mas Japara; 6. Adipati Benawa, nama gelar Sultan Hawijaya, di Pajang, dan 7. Pangeran Sindusena. Tahun 1458 Sultan Hadiwajaya, dinobatkan raja di Pajang, dan berkuasa selama 32(tiga puluh dua) tahun. Sultan Ngawantipura, dinobatkan sebagai raja dan berkuasa selama 3(tiga) tahun. Adipati Benawa Sultan Hawijaya, dinobatkan sebagai raja dan berkuasan selama 1(satu) tahun. Setelah wafat Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan puteranya Adipati Benawa, dimakamkan di pasareyan Butuh, terletak di wilayah Kabupaten Sragen. Kanjeng Adipati Benawa menurunkan 3(tiga) putera puteri yaitu : 1. Pangeran Mas, menjabat sebagai Adipati di Pajang. 2. Pangeran Kaputrah, di Pajang. 3. Kanjeng Ratu Mas Hadi, sebagai prameswari Hingkang Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, di Mataram, menurunkan putra Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Mataram. Ratu Mas Banten, menikah dengan Adipati Mondoroko Ki Jurumartani, menjabat Patih Paduka Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga, di Mataram, menurunkan putera puteri : 1. Adipati Jagabaya Banten, menurunkan putra : a. Adipati Senabaya Banten, menurunkan putra : b. Kanjeng Panembahan Bagus Banten, menurunkan putra : c. Raden Ayu Tirtokusumo ing Pancuran, menurunkan putra : d. Raden Ajeng Temu, menikah dengan Adipati Sindurejo, menjabat Patih dari Hingkang Sinuhun Paku Buwana III di Surakarta, menurunkan putra : e. Kanjeng Bandara Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II di Surakarta, menurunkan putra : f. Raden Ayu Notokusumo (Raden Ajeng Sayati) menurunkan putra : g. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro III. Ini adalah Trah Keturunan dari Adipati Mondoroko Ki Jurumartani. Adipati Mondoroko menurunkan putra : Pangeran Hupasanta hing Batang, menikah dengan putri Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putra : 1. Kanjeng Ratu Batang, sebagai Prameswari Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, di Mataram. 2. Panembahan Mas, menjabat Adipati di Pajang putra dari Adipati Benawa, peputra Panembahan Radin, Panembahan Ramawijaya, dan Raden Ayu Purbaya III. 3. Kanjeng Ratu Kulon, sebagai prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung ing Mataram. 4. Pangeran Pujamenggala. 5. Pangeran Adipati Wiramenggala. Ini adalah putra dari Pangeran Mas Adipati hing Pajang. Pergantian Dinasti ke Putra Majapait No.14 RADEN BUNDAN KAJAWAN / BONDAN KEJAWEN Asal keturunan Raja di Mataram sampai dengan Raja Surakarta. Kiyai Ageng Tarup II,memperisteri widadari bernama Dewi Nawangwulan, menurunkan putra : Dewi Nawangsih, kagarwa Raden Bundan Kajawan, putra Sinuhun Prabu Brawijaya V di Majapait. Kemudian memakai nama gelar Kiyai AGENG TARUP III, menurunkan 3(tiga) putra putri adalah : 1). Raden Dukuh Kiyai Ageng Wonosobo, menjadi putra menanatu Sunan Maja Agung. 2). Raden Depok, Syeh Abduliah, demikian pula menjadi putra menantu Sunan Maja Agung 3). Rara Kasihan, menikah dengan Kiyai Ageng Ngerang I. 2). Raden Depok, kemudian memaki nama gelar Kiyai Ageng Getaspandawa. menurunkan putera : (1). Bagus Sogam, setelah dewasa bernama: Abdulrachman. Tempat kediaman di desa Selo, memakai nama gelar Kiyai Ageng Selo. Kiyai Ageng Selo menikah dengan : 1. putrinya Kiyai Ageng Wonosobo, masih keponakan dari saudara. 2. putrinya Kiyai Ageng Ngerang, masih keponakan dari saudara. Putra dari isteri no.2, bernama: Bagus Anis, wafat dimakamkan di Astana Lawiyan Sala. Garwanipun Kiyai Ageng Anis adalah putra dari Kiyai Ageng Wonosobo, menurunkan putra : Bagus Kacung, nama gelar Kiyai Ageng Pemanahan, karena semula bertempat tinggal di desa Manahan Sala. Dan setelah putranya dinobatkan sebgai Raja Mataram, berganti nama gelar yaitu: Kiyai Ageng Mataram. Beliau wafat dimakamkan di Astana Kota Cede, Yogyakarta. Isteri dari putranya Pangeran Made Pandan menurunkan putra : 1. Adipati Manduranegara. 2. Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati di Ngalaga. 3. Pangeran Ronggo. 4. Nyai Ageng Tumenggung Mayang. 5. Pangeran Hario Tanduran. 6. Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana. 7. Pangeran Teposono. 8. Pangeran Mangkubumi. 9. Pangeran Singasari. 10. Raden Ayu Kajoran. 11. Pangeran Gagak Baning, wafat dimakamkan berdampingan dengan Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati di makam Astana Kota Gede. 12. Pangeran Pronggoloyo. 13. Nyai Ageng Haji Panusa, di Tanduran. 14. Nyai Ageng Panjangjiwa. 15. Nyai Ageng Banyak Potro, di Waning. 16. Nyai Ageng Kusumoyudo Marisi. 17. Nyai Ageng Wirobodro, di Pujang. 18. Nyai Ageng Suwakul, wafat dimakamkan di Astana Lawiyan. 19. Nyai Ageng Mohamat Pekik di Sumawana. 20. Nyai Ageng Wiraprana di Ngasem. 21. Nyai Ageng Hadiguno di Pelem. 22. Nyai Ageng Suroyuda Kajama. 23. Nyai Ageng Mursodo Silarong. 24. Nyai Ageng Ronggo Kranggan. 25. Nyai Ageng Kawangsih Kawangsen. 26. Nyai Ageng Sitabaya Gambiro. Jenjang urutan dari Prabu Brawijaya V. Prabu Brawijaya V di Majapait, menurunkan putera puteri adalah : Raden Bundan Kajawan, peputra : Raden Getas Pendawa, peputra : Kiyai Ageng Selo, peputra : Kiyai Ageng Anis, peputra : Kiyai Ageng Pemanahan, peputra : Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga. HINGKANG SINUHUN PANEMBAHAN SENAPATI ING NGALAGA Dinobatkan sebagai Raja Mataram pada tahun 1586. Belia wafat pada tahun 1601. Pernikahan 1(pertama) dengan putri dari Kiyai. Ageng Pati (Panjawi). Pernikahan 2(kedua) dengan putra dari Adipati Mas hing Madiun. Putra putri beliau adalah : 1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun Garwa Kiayi Ageng Mangir. Setelah berstatus janda menikah dengan Kiyai Ageng Karanglo. 2. Pangeran Ronggo, Raden Ronggo diriwayatkan bertarung dengan Uling Laut Selatan. Bibi dari Kalinyamat. 3. Pangeran Puger, menjabat sebagai Adipati di Demak. 4. Pangeran Teposono. 5. Pangeran Purbaya, diberikan sebutan Purbaya terbang. Bibi dari Giring. 6. Pangeran Rio Manggala. 7. Adipati Jayaraga di Ponorogo. 8. Hingkang Sinuhun Hadi Prabu Hanyakrawati. 9. Gusti Raden Ayu Demang tanpa Nangkail. 10. Gusti Raden Ayu Wiramantri, di Ponorogo. 11. Pangeran Pringgalaya. 12. Panembahan Juminah, putra dari isteri No.2. 13. Adipati Martalaya, di Madiun. 14. Pangeran Tanpa Nangkil Paduka Sinuhun Panembahan Senapati, raja Mataram wafat dimakamkan di Astana Kota Gede, demikan juga Pangeran Ronggo. KERAJAAN PINDAH DUMATENG MATARAM. IBU KOTA, PLERET. Pergantian Dinasti adalah Bondan Kejawan, putra Majapahit nomor: 14. Paduka Sinuhun Panembahan Senapati, dinobatkan menjadi Raja pertama kali. Sekar Sinom "Nulata laku utama, tumraping wong Tanah Jawi. Priyagung hing Ngeksigondo, Panembahan Senapati. Kapati amarsudi, sudaning hawa lan napsu. Pinesu tapa brata, tanapi hing siyang ratri. Amemangun karyanak tyasing sasama." ASAL SILSILAH PADUKA SINUHUN PRABU HADI HANYAKRAWATI di Mataram. Menurut Pancer dari garis Ibu Dinobatkan menjadi Raja tahun 1601, dan wafat pada tahun 1613 . Silsliah : a. Sunan Maulana Mahribi, menurunkan putera : b. Kiyai Ageng Ngerang I, menurunkan putera : c. Kiyai Ageng Ngerang II, menurunkan putera : d. Kiyai Ageng Ngerang III, menikah dengan Ratu Panengah, putra dari Sunan Kalijaga, menurunkan putera : e. Kiyai Ageng Penjawi (Pati), menurunkan putera : f. Kanjeng Ratu Mas, menikah dengan Paduka Sinuhun Penembahan Senapati Ing Ngalaga, menurunkan putera : g. Paduka Sinuhun Prabu HANYAKRAWATI di Mataram. Wafat dimakamkan di Astana Kota Gede, disebelah bawah makam ayahnda. Paduka Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, menikah yang pertama dengan Gusti Kanjeng Ratu MASHADI putri dari Adipati Benawa di Pajang. Menikah yang kedua dengan Ratu Lungayu di Ponorogo. Menurunkan putra putri sebanyak 13 yaitu : 1. Paduka Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. 2. Pangeran Hario Mangkubumi. 3. Pangeran Bumidirja. 4. Pangeran Martapura. 5. Ratu Mas Sekar, garwa Pangeran Pekik Surabaya. 6. Ratu Mas Sekar, garwa Pangeran Ronggo hing Pati. 7. Pangeran Buminata. 8. Panger.an Notopuro. 9. Pangeran Pamenang. 10. Pangeran Sularong. 11. Gusti Kanjeng Ratu Wirakusuma hing Jipang. 12. Pangeran Pringgoloyo. 13. Pangeran Kusumadiningrat Paduka Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, mendapat gelar nama yaitu: Sinuhun sedho Krapyak. berkenaan dengan peristiwa saat Paduka Sinuhun wafat pada saat berburu di hutan Krapyak. ASAL SILSILAHIPUN PADUKA SINUHUN KANJENG SULTAN AGUNG PRABU HANYAKRAKUSUMA Dari garis pancer Ibu Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1613. Beliau wafat pada tahun 1645. Wafat dimakamkan di Pesarean Astana Pajimatan Imogiri, Ngayugyakarta; yang pertama-kali. Isteri beliau masih saudara keponakan putri dari Pangeran Hupasanta di Batang, bernama Kanjeng Ratu Kulon utawi Kanjeng Ratu Batang. a. Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hadiwijaya Jaka Tingkir di Butuh Sragen, menurunkan putera : b. Pangeran Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putera : c. Gusti Kanjeng Ratu Mas Hadi, sebagai prameswari Paduka Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, menurunkan putera : d. Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma hing Mataram. menurunkan putera putri sebanyak 8(delapan) adalah : 1). Pangeran Demang Tanpa Nangkil. 2). Pangeran Ronggo Kajiwan. 3). Gusti Ratu Ayu Winongan. 4). Pangeran Ngabehi Loring Pasar. 5). Pangeran Purubaya. 6). Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, di Mataram. 7). Gusti Raden Ayu Wiromantri. 😎. Pangeran Danupaya. Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indoneisa, pada tahun 1980, dengan Piagam yang ditandatangani Presiden Soeharto. Yen Sinuhun ing Mataram Sultan Agung tan kena tiniru yekti. Sebab iku Wali Ratu. Mujijate wus dadiyo pratanda. Wali miwah jumeneng Ratu. Pindha Kang Maha Suci, hangejawantah dadi Sang Prabu. Lir Njeng Rasullolah nguni, wus kaliyang nunggal. Mula mintaha Barkah kemawon. HINGKANG SINUHUN PRABU HAMANGKURAT AGUNG, HING MATARAM, SAKING HINGKANG IBU Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1645. Wafat pada tahun 1677. Prameswari Paduka Hamangkurat Agung yang Pertama, adalah putri dari Pangeran Pekik, di Surabaya. Prameswari Paduka Hamangkurat Agung yang Kedua, adalah putri dari Panembahan Radin. a. Kiyai Ageng Dukuh di Wonosobo, menurunkan putra : b. Pangeran Made Pandan, menurunkan putra : c. Adipati Mondoroko, nama gelar Ki Jurumartani, menurunkan putra : d. Pangeran Huposonto di Batang, menurunkan putra : e. Kanjeng Ratu Kulon, menikah dengan Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Dsebut juga dengan nama gelar: Kanjeng Ratu Batang, menurunkan putra : f. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Harnangkurat Agung, di Mataram, Putra putri beliau seluruhnya adalah : 1. Paduka Sinuhun Hamangkurat Mas (Amral), dilahirkan dari Isteri Pertama: Kanjeng Ratu Kulon, adalah putri dari Pangeran Pekik, di Surabaya. 2. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I(pertama) atau Pangeran Puger, dilahirkan dari isteri kedua : Kanjeng Ratu Wetan, adalah putri dari Panembahan Radin, 3. Gusti Raden Ayu Pamot. 4. Pangeran Martosana. 5. Pangeran Singasari. 6. Pangeran Silarong. 7. Pangeran Notoprojo. 8. Pangeran Ronggo Satoto. 9. Pangeran Hario Panular. 10. Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo, menikah dengan Patih Sindurejo di Kartasura. 11. Gusti Raden Ayu Kletingkuning, garwanipun Raden Trunajaya, Hingkang ngraman. 1674 - 1680 12. Gusti Raden Ayu Mangkuyudo. 13. Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja. 14. Pangeran Hario Mataram. 15. Bandara Raden Ayu Danureja. 16. Gusti Raden Ayu Wiromenggolo. Paduka Sinuhun Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, wafat dimakamkan di Tegal Arum. Dusun Jelak Kota Tegal. ASALSILAHIPUN PADUKA SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN PAKU BUWANA I DI KARTASURA Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu. Dinobatkan menjadi Raja pada thaun 1704. Wafat pada tahaun 1719. Paduka yang dinobatkan sebagai Raja yang pertama kali di Kartasura, Paduka sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Amral. Kemudian tapuk kerajaan digantikan oleh putranya Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Kencet. Kemudian digantikan oleh paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I (Puger). Adik Paduka Sinuhun Hamangkurat Amral, mempersunting Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana, putrinipun Tumenggung Balitar. a. Kanjeng Gusti Adipati Benawa di Pajang, menurunkan putra : b. Panembahan Radin, menurunkan putra : c. Kanjeng Ratu Wetan, Prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung, menurunkan putra : d. Paduka Sinuhun Paku Buwana I, di Kartasura; menurunkan putra putri : 1). Gusti Raden Ayu Lembah. 2). Pangeran Ngabehi. 3). Paduka Sinuhun Hamangkurat Jawa, 4). Gusti Raden Ayu Mangkubumi. 5). Pangeran Herucakra Hing Madiun. 6). Pangeran Hario Prangwadono. 7). Pangeran Ngalaga. 😎. Pangeran Pamot. 9). Adipati Sindurejo. 10). Pangeran Purubaya, di Lamongan, saking garwa. 11). Pangeran Balitar. 12). Kanjeng Ratu Ajunan, menikah dengan Pangeran Tjakraningrat di Madura PAMBRONTAKAN RADEN TRUNAJAYA Semasa kekuasaan pemerintahan Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung di Kerajaan Mataram, terjadi peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Trunajaya. Dalam peristiwa ini Paduka Sinuhun terdesak namun dapat meloloskan diri dari Karaton, dan mengungsi sampai di Tegal. Setelah beberapa waktu lamanya di Tegal, memerintahkan kepada putranya Pangeran Puger, agar menyirnakan Raden Trunajaya. Kehendak Sinuhun dapat terwujut dengan terbunuhnya Raden Trunojoyo di Ardi Ngantang Jawa Timur. Setelah Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung wafat dimakamkan di Tegal Arum, sebuah desa dekat dengan kota Tegal. Sedangkan keadaan Karaton Mataram rusak, kemudian Gusti Pangeran Puger mendirikan bangunan keraton di Kartasura, yang kemudian diberikan kepada kakak Hamangkurat Mas (Amral). KRATON PINDAH DATENG KARTASURA. Yang dinobatkan Raja pertama kali adalah, Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Mas (Amral). Kemudian Raja kedua adalah, Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Kencet . Selanjutnya Paduka Sinuhun Paku Buwana I (Puger). Terhitunh masih saudara muda dengan Hamangkurat Mas. PADUKA SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN PRABU HAMANGKURAT MAS (AMRAL) Dinobatkan Raja di Karaton Kartasura Menurunkan putra putri adalah : 1. Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Kencet. 2. Pangeran Lembah. 3. Pangeran Teposono. 4. Raden Mas Garandi, Sunan Kuning, dilarkan dari isteri selir keturunan Cina. 5. Gusti Raden Ayu Dandun Matengsari. Paduka Sinuhun tidak menurunakan Raja. Wafat dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri. ASALSILAHIPUN PADUKA SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN HAMANGKURAT JAWA, HING KARTASURA Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu. Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1719. Wafat pada tahun 1727. Menikah dengan Kanjeng Ratu Kencana, putrinipun Ki Tumenggung Tirtakusuma. a. Kanjeng Sultan Demak Bintara III, menurunkan putra : b. Kanjeng Panembahan Mas, di Madiun, menurunkan putra : c. Gusti Kanjeng Ratu Retnodumilah, menikah dengan Paduka Sinuhun Panembahan Senapati di Ngalaga, menurunkan putra : d. Panembahan Juminah Hing Madiun, menurunkan putra : e. Pangeran Adipati Balitar, menurunkan putra : f. Ki Tumenggung Balitar, menurunkan putra : g. Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana I, di Kartasura menurunkan putra : h. Paduka Sinuhun Hamangkurat Jawa di Kartasura. Putra Putri dalem : 1. Kanjeng Pangeran Hario Mangkunegoro, di Kartasura. 2. Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes. 3. Gusti Raden Ayu Wiradigda. 4. Gusti Pangeran Hario Hangabehi. 5. Gusti Pangeran Hario Pamot. 6. Gusti Pangeran Hario Diponegoro. 7. Gusti Pangeran Hario Danupaya. 8. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II 9. Gusti Pangeran Hario Hadinagoro. 10. Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, garwa Pangeran Hindranata. 11. Gusti Raden Ajeng Kacihing, dewasa sedho. 12. Gusti Pangeran Hario Hadiwijaya, sedho Kali Abu. 13. Gusti Raden Mas Subronto, wafat dalam usia dewasa. 14. Gusti Pangeran Hario Buminoto. 15. Gusti Pangeran Hario Mangkubumi, Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana I. 16. Sultan Dandunmatengsari, melakukan pemberontakan dan tidak berhasil. 17. Gusti Raden Ayu Megatsari. 18. Gusti Raden Ayu Purubaya. 19. Gusti Raden Ayu Pakuningrat. di Sampang 20. Gusti pangeran Hario Cokronegoro. 21. Gusti Pangeran Hario Silarong. 22. Gusti Pangeran Hario Prangwadono. 23. Gusti Raden Ayu Suryawinata. di Demak. 24. Gusti Pangeran Hario Panular. 25. Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo. 26. Gusti Raden Mas Jaka, wafat usia muda 27. Gusti Raden Ayu Sujonopuro. 28. Gusti Pangeran Hario Dipawinoto. 29. Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I. Urutan putera pertama (1) Kanjeng Pangeran Hario Mangkunegoro Kartasura, menurukan putra : Raden Mas Sahit, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunegara I Surakarta. Urutan putera kedelapan (8), Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buawan II. Urutan putera keduabelas(12) Gusti Pangeran Hario Hadiwijaya, wafat Kali Abu, menurunkan putra : Pangeran Kusumodiningrat, menurunkan putra : Pangeran Hadiwijaya, mantudalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunegoro II, angsal B.R.AJ. Sakeli, peputra : Pangeran Hadiwajaya, menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Adalah putra dari Paduka Sinuhun Paku Buwana VIII. Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana IX, peputra : Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. X. Urutan putera kelimabelas (15) Gusti Pangeran Hario Mangkubumi, Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana No.1, di Yogyakarta. ASALSILAHIPUN HINGKANG SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN PAKU BUWANA II, HING KARTASURA Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu. Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1727. Wafat pada tahun 1749. Pindah dan mendiami Keraton Surakarta, hari Rebo Paing, Februari Th. 1745 Menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Mas. a. Kalifah Husen, putranipun Syeh Madi, kamantu Hario Baribin hing Madura, peputra : b. Sunan Nguduipg Wall Prajurit agul-agul nlgari Dernak,peputra: c. Panembahan Kali hing Poncowati Demak, asma Panembahan Kudus,. peputra : ... d. Pangeran Demang, peputra : e. Pangeran Rajungan, peputra : f. Pangeran Kudus, peputra : ^ g. Adipati Sumodipuro hing Pati, peputra : h. Raden Adipati Tirtokusumo, peputra : i. Gusti Kanjeng Ratu Kencana, Prameswaridalem Hingkang Sinuhun Hamangkurat Jawa hing Kartasura, peputra : j. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II. Putra putri dalem : 1. Gusti Kanjeng Ratu Timur, garwanipun Pangeran Pakuningrat., 2. Gusti Pangeran Hario Priyombodo, dewasa sedho. 3. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. III. 4. Gusti Raden Ayu Puspokusumo. 5. Gusti Raden Ayu Puspodiningrat. 6. Gusti Raden Ayu Kaliwungu. 7. Gusti Raden Ayu Mangkupraja hing Demak. 8. Gusti Raden Ayu Pringgodiningrat. 9. Gusti Pangeran Hario Puruboyo. 10. Gusti Pangern Hario Balitar. 11. Gusti Pangern Hario Danupaya. 12. Gusti Raden Ayu Jungut. Pada waktu Pemerintahan Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II, terjadi pembrontakan Cina, yang dipimpin Sunan Kuning (Raden Mas Garandi) adalah putradalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Mas, dari isteri selir/garwa ampil keturunan Cina. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II, melarikan diri mengungsi sampi di Ponorogo. Dan stelah Sunan Kuning dapat taklukan, Paduka Sinuhun kemudian memerintahakan meneliti keadaan Kraton, karena bangunan banguna di Kartosura kondisinya sudah hancur. Banyak tempat / Bangunan yang diberi tiang penyanggah, dengan maksud agar bangunan tersebut (pagar, tembok rumah, pendapa tidak mengalami keruntuhan. Kemudian mememrintahkan punggawa Karaton Kartosuro yaitu Ki Tumenggung Harung Binang I memeriksa keadaan Kraton. Dalam riwayat pemilihan lokasi Karaton baru adalah di Dusun Sala, sebelah timur Kartasura untuk dilaksanakan Pembangunan baru Kedaton/Karaton. Setelah jadi bangunan Kararton Sala, Paduka Sinuhun melaksanakan boyongnan pindah dengan arak-arakan secara besar besaran, Paduka Sinuhun naik Kreta Kencana Kiyai Garuda. Rebo Paing Februari tahun 1745. Ki Tumenggung Harung Binang I, diwisuda menjadi Bupati Kebumen, nama gelar Adipati Honggowongso. Pindah ke Surakarta tahun 1745. Putradalem Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Jawa, Gusti Pangeran Mangkubumi nama saat usia muda Bandoro Raden Mas Sujono. Putra dari isteri selir / garwa ampeyan bernama Mas Ayu Tejawati. Setelah Raka(kakak) Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II wafat, terjadi pemberontakan (mbalelo) Gusti Pangeran Mangkubumi. Dalam kisah terjadi hukuman pemenggalan kepala terhadap Pahlawan Surakarta adalah Ki Ngabehi Djoyokartiko Delu Penewu Keparak Gedong Tengen. PERJANJIAN GIYANTI WONTEN TAHUN 1735. Dalam pemerintahan Paduka Nata hing Surakarta Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III. Kanjeng Pangeran Mangkubumi dinobatkan di Karaton Yogyakarta, dengan nama gelar Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana I, Ngayogyakarta Hadiningrat. #Copas Tulisan dari kusrahadi

 Silsilah Raja Jawa Nusantara



PADUKA SINUHUN PRABU 

BRAWIJAYA V PAMUNGKAS

di Majapahit  tahun 1334.


Hingkang Sinuhun Prabu BRAWIJAYA V, memperistri :

Gusti Kanjeng Ratu Handarawati, putri Campa.

Dalam riwayat Sang Prabu memegang Kekuasaan selama 50(lima puluh) tahun, karena ayahnda menjadi raja hanya  4(empat) tahun. Memperoleh banyak keturunannya  sebanyak 100(seratus) putera-puteri. Dan penulis disini hanya menyajikan 91 (sembilan puluh satu) putera-puteri, sedangkan yang meninggal tidak.


Nama putera puteri Sang Prabu BRAWIJAYA, adalah sebagai berikut :

 1. Raden Jaka Dilah, menjabat Adipati di Palembang;

 2. Raden Jayapanulih, menjabat Adipati di Sumenep;

 3. Putri Ratna Pambayun, menikah dengan Prabu Srimakurung Handayaningrat, di Pengging yang terakhir.

 4. Dewi Manik, menikah dengan Hario Gumangsang;

 5. Hario Lembu Peteng, menjabat Adipati di Madura;

 6. Hario Dewa Ketul, menjabar Adipati di Bali;

 7. Raden Jaka Prabangkara;

 8. Raden Jaka Krewet, menjabat Adipati di Borneo (Kalimantan);

 9. Raden Jaka Kretek, menjabat Adipati di Makasar (Sulawesi);

10. Raden Surenggana;

11. Raden Sujana, menjabat Adipati di Palembang;

12. Putri Ratna Bintara, menikah dengan Adipati Nusabrong;

13. Raden Fatah (Syam Alam Akbar) Sultan Demak I (pertama);

14. Raden Bundan Kajawan Kiyai Ageng Tarup III;

15. Ratu Ayu, menikah dengan Hajar Windusana;

16. Raden Gajah Pramana;

17. Putri Ratna Marsandi, menikah dengan Juru Paniti;

18. Putri Ratna Marlangen, menikah dengan Adipati Marlangen;

19. Putri Ratna Sataman, menikah dengan Hario Jaranpanulih;

20. Putri Ratna Satamin, menikah dengan Hario Bangah, di Pengging;

21. Batara Katong, menjabat Adipati Katong, di Ponorogo;

22. Raden Gugur, Sunan Lawu;

23. Putri Kanistren, menikah dengan Hario Baribin, di Madura;

24. Putri Kaniraras, menikah dengan Hario Pekik, di Pengging;

25. Dewi Ambar, menikah dengan Hario Partaka;

26. Raden Hario Surongsong, meninggal di Kedu.

27. Raden Hario Wangsa, nama gelar Kyai Ageng Pilang;

28. Raden Jaka Dandun, nama gelar Syeh Belabelu;

29 Raden Jaka Dander,  nama gelar Nawangsaka;

30. Raden Jaka Balot, nama gelar Kidangsana;

31. Raden Jaka Barak, nama gelar Carang Gana;

32. Raden Jaka Paturih, nama gelar Pacangkringan;

33. Putri Dewi Sampur;

34. Raden Jaka Laweh, nama gelar Duruan;

35. Raden Jaka Jaduk, nama gelar Malang Sumirang;

36. Raden Jaka Balut,  nama gelar Megatsari;

37. Raden Jaka Suwung;

38. Putri Dewi Sukati;

39. Raden Jaka Tarwa, nama gelar Banyakwulan;

40. Raden Jaka Maluwa, nama gelar Banyak Modang;

41. Raden Jaka Lanang, nama gelar Banyak Bakung;

42. Raden Jaka Langsing, nama gelar Banyakputra;

43. Putri Dewi Rantang;

44. Raden Jaka Semprung, nama gelar Kiyahi Ageng Brandet;

45. Raden Kunijang, nama gelar Hario Tepos;

46. Raden Jaka Lemboso, nama gelar Hario Pacetlondo;

47. Raden Jaka Lirih;

48. Raden Jaka Lawu;

49. Putri Dewi Paniwet;

50. Raden Jaka Barong;

51. Raden Jaka Bindho, nama gelar Baratketigo;

52. Raden Jaka Blabur, nama gelar Saputarup;

53. Raden Jaka Budu, nama gelar Tawangbalun;

54. Raden Jaka Tarikbolong;

55. raden Jaka Lengis, nama gelar Jejeran;

56. Raden Guntur;

57. Raden Jaka Malot;

58. Raden Jaka Sinorang, nama gelar Sulangjiwa.

59. Raden Jaka Jatang, nama gelar Singapadu;

60. Raden Jaka Karawu, nama gelar Macanpuro;

61. Raden Jaka Krendo, nama gelar Panulahar;

62. Raden Jaka Jinggring, nama gelar Norowito;

63. Raden Jaka Salembar, nama gelar Panangkilan;

64. Raden Jaka Tangkeban, nama gelar Wanengwulan;

65. Raden Jaka Buras, nama gelar Palingsingan;

66. Raden Jaka Kaburu, nama gelar Pasingsingan;

67. Raden Jaka Lambang, nama gelar Hasticepi;

68. Raden Jaka Lumuru, nama gelar Katawangan;

69. Raden Jaka Doblang, nama gelar Yudasara;

70. Raden Jaka Golok, nama gelar Jatinom;

71. Raden Jaka Bluwa, nama gelar Syeh Sekardali;

72. Raden Jaka Wayah, nama gelar Syeh Bubukjanur;

73. Raden Jaka Pandak, nama gelar Syeh Kaliatu;

74. Raden Jaka Bodho, nama gelar Kiyai Ageng Majastra;

75. Raden Jaka Gapyuk, nama gelar Kiyai Ageng Palesung;

76. Raden Jaka Sengara, nama gelar Pangayat;

77. Raden Jaka Supeno, nama gelar Kiyai Ageng Tembayat;

78. Raden Jaka Pangawe, nama gelar Raden Singunkara;

79. Raden Jaka Turas, nama gelar Raden Hadangkoro;

80. Raden Jaka Suwanda, nama gelar Raden Jaka Lelana;

81. Raden Jaka Suwarno, nama gelar Raden Jaka Tanengkung;

82. Raden Jaka Ketul, nama gelar Raden Lembaksiu;

83. Raden Jaka Dalun, nama gelar Gagakpranolo, dimakamkan di pasarean Astana Laweyan Solo;

84. Raden Jaka Wirun, nama gelar Raden Sarasidho;

85. Raden Jaka Sumeno, nama gelar Raden Kenitan;

86. Raden Jaka Besur, nama gelar Raden Saragading;

87. Raden Jaka Gatot, nama gelar Raden Balaruci;

88. Raden Jaka Raras, nama gelar Raden Notosanto;

89. Raden Jaka Paniti, nama gelar Raden Panurta;

90. Raden Jaka Paniti, nama gelar Raden Lawangsari, dan

91. Raden Jaka Sawunggaling.


Diantara keturunan Prabu BRAWIJAYA V Pamungkas, sebanyak 8(delapan) putera-puteri pindah dan berkedudukan di pulau Bali, beserta banyak punggawa (abdi dalem) dan rakyat pengikutnya (kawulo). Mereka mendirikan kerajaan dan menurunkan para Stede houwer, Raja-raja. Menurut asalnya masyarakat di Bali terdapat dua turunan adalah: 1). Keturunan Bali asli; 2). Keturunan Majapahit.


RUNTUH KERAJAAN MAJAPAHIT

Para Wali menobatkan putra Prabu BRAWIJAYA V yang ke 13 (tigabelas) di Majapahit, bernama Raden Fatah, satriya dari Glagahwangi, nama gelar Adipati Notopraja. Kerajaan pindah ke Jawa Tengah, dengan ibukotanya Demak. Kemudian nama gelar beliau Sultan Bintara I(pertama), atau diebut juga dengan gelar nama Syah Alam Akbar, memegang kekuasaan kerajaan selama 5(lima) tahun.

Setelah wafat kedudukan beliau digantikan oleh putranya Raden Prawata, nama gelar Sultan Bintara II(kedua), memegang kekuasaan kerajaan selama 2(dua) tahun. Setelah wafat digantikan saudaranya Raden Trenggono, nama gelar Sultan Bintara III(ketiga), memegang kekuasaan kerajaan selama 33(tiga puluh tiga) tahun. Mereka dimakamkan dibelakang masjid Demak.

Dalam riwayat putra Sultan Bintara II(kedua) bernama Hario Penangsang, satriya di Jipang tidak menyetujui penobatan Sultan Trenggono, sehingga terjadi perang antara Hariao Penangsang dengan Jaka Tingkir  Sultan Pajang adalah sebagai putra mantu Sultan Demak III di Demak. Karena kerajaan Demak tahun 1458 pindah ke Pajang.

Perang dimulai oleh pihak Raden Danang Sutawijaya, yang dipimpin oleh Kiyai Ageng Jurumartani, beliau adalah kakek pamannya, disertai pula oleh Kiyai Ageng Pati, serta ayahanda Kiyai Ageng Pemanahan. Dan dalam riwayat Raden Hario Penangsang gugur dalam medan perang, riwayat yg mashur. 

Raden Danang Sutawijaya, diberikan hadiah tanah wilayah Mantaok, sedangkan Kiyai Ageng Penjawi mendapat hadiah tanah wilayah Pati.


PUTRA PUTRI DALEM KANJENG SULTAN BINTARA III

(RADEN TREANGGONO)


Keturunan Sultan Bintara III, sebanyak 10(sepuluh) putera puteri, adalah :

  1. Panembahan Mangkurat;

  2. Ratu Mas Pambayun, menikah dengan Kiyai Ageng Lang;

  3. Panembahan Prawata I(pertama);

  4. Ratu Mas Mantingan, menikah dengan Pangeran Made Pandan;

  5. Ratu Mas Kalinyamat;

  6. Ratu Mas Hario di Surabaya;

  7. Ratu Mas Katambang;

  8. Ratu Mas Cepaka, menikah dengan Sultan Pajang Hadiwijaya;

  9. Panembahan Mas di Madiun, dan

10. Ratu Sekarkedaton.


Kanjeng Sultan Bintara III, mempunyai isteri / garwa, adalah :

 * Garwa/isteri yang pertama (no:1) adalah putera Kiyai Ageng Malaka;

 * Garwa/isteri yang kedua (no:2) adalah putera Sunan Kalijaga.


Nyi Mas Ratu Kalinyamat, bertapa tanpa busana hanya terselimutkan oleh rambut beliau di wukir Bonoraja, hal ini dilakukan karena suaminya dibunuh oleh Raden Hario Panangsang. Beliau berikrar "Ora pati bubar singku tapa yen ora keset rambute Hario Panangsang" / "Jika karena mati bertapa ini tidak disudahi kalau tidak keset rambutnya Hario Penangsang".


Panembahan Prawata I, menurunkan 4(empat) putera puteri adalah :

 1. Raden Ayu Juru.

 2. Panembahan Prawata II.

 3. Raden Ayu Surajaya, dan

 4. Panembahan Pruwita di Ngreden Delanggu. Cucu dari Kanjeng Sultan Bintara III.


Panembahan Mas di Madiun, menurunkan 13(tiga belas) putera puteri adalah:

 1. Raden Ayu Semi, di Kalinyamat;

 2. Raden Ayu Pengulu;

 3. Pangeran Kanoman;

 4. Raden Ayu Pasangi;

 5. Raden Mas Lontang Hirawan, di Japan;

 6. Raden Ayu Dumilah, menikah dengan Sinuhun Panembahan Senapati di Mataram, isteri ke 2(dua);

 7. Raden Mas Tangsang Hirawan, di Madiun;

 8. Raden Mangkurat Wiryawan, di Madiun;

 9. Raden Hario Sememi;

10. Raden Hario Sumantri;

11. Raden Ayu Pamegatan;

12. Panembahan Hawuryan, dan

13. Raden Hario Kanoman.


Raden Mas Lontang Hirawan, menurukan 3(tiga) putera puteri, adalah :

 1. Panembahan Juminah II(kedua), di Madiun;

 2. Raden Mas Julik, dan

 3. Raden Hario Partoloyo, di Madiun.


Panembahan Juminah II(kedua), menurunkan putera puteri, adalah:

 *) Raden Balitar, menurunkan Raden Tumenggung Balitar, menurunkan Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana, Prameswari Pakubuwana I(pertama), menurunkan Sinuhun Prabu Mangkurat Jawa.


RATNA PAMBAYUN PUTRIDALEM HINGKANG

SINUHUN PRABU BRAWIJAYA V, PAMUNGKAS DI MAJAPAHIT.


Menikah dengan Srimakurung Prabu Handayaningrat yang terakhir, berkedudukan di Pengging. Runtuhnya keadaan Kerajaan Pengging senasib dengan Kerajaan Majapahit yaitu kemerosotan moral para bangsawan dan lemahnya pertahanan negara.


Ratna Pambayun menurunkan 3(tiga) putera puteri, adalah :

 1. Kiyai Ageng Kebo Kanigara, tidak mempunyai keturunan;

 2. Kiyai Ageng Kebo Kenanga, menurunkan Mas Karebet, dan

 3. Raden Kebo Amiluhur, dewasa wafat.


Mas Karebet pada waktu masih balita telah ditinggal wafat ayah, dan tak lama kemudian ibunya wafat. Sepeninggalan orang tuanya diasuh oleh Kiyai Ageng Tingkir, beliau adalah seperguruan dengan ayah Mas Karebet. Oleh karenya tempat tinggal berpindah dari Pengging ke Tingkir (letaknya dekat kota Slatiga), dan kebetulan Kiayi Ageng Tingkir tidak mempunyai keturunan.

Dalam riwayat Mas Karebet setelah dewasa mengabdi ke Demak menjadi prajurit Tamtama, karena berparas tampan dan cerdik diambil menantu oleh Sang Prabu, dinikahkan dengan Ratu Mas Cepaka.


Menurunkan 7(tujuh) putera puteri, adalah:

 1. Ratu Mas Pambayun, di Ngarisbaya;

 2. Ratu Mas Kumelut, di Tuban;

 3. Ratu Mas Adipati, di Surabaya;

 4. Ratu Mas Banten, dinikahi Adipati Mondoroko, sebagai Patih dari Sinuhun Panembahan Senopati.

 5. Ratu Mas Japara;

 6. Adipati Benawa, nama gelar Sultan Hawijaya, di Pajang, dan

 7. Pangeran Sindusena.


Tahun 1458 Sultan Hadiwajaya, dinobatkan raja di Pajang, dan berkuasa selama 32(tiga puluh dua) tahun.

Sultan Ngawantipura, dinobatkan sebagai raja dan berkuasa selama 3(tiga) tahun.

Adipati Benawa Sultan Hawijaya, dinobatkan sebagai raja dan berkuasan selama 1(satu) tahun.


Setelah wafat Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan puteranya Adipati Benawa, dimakamkan di pasareyan Butuh, terletak di wilayah Kabupaten Sragen.


Kanjeng Adipati Benawa menurunkan 3(tiga) putera puteri

yaitu  :

1. Pangeran Mas, menjabat sebagai Adipati di Pajang.

2. Pangeran Kaputrah, di Pajang.

3. Kanjeng Ratu Mas Hadi, sebagai prameswari Hingkang Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, di Mataram, menurunkan putra Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Mataram.


Ratu Mas Banten, menikah dengan Adipati Mondoroko Ki Jurumartani, menjabat Patih Paduka Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga, di Mataram, menurunkan putera puteri :

1. Adipati Jagabaya Banten, menurunkan putra :

    a. Adipati Senabaya Banten, menurunkan putra :

    b. Kanjeng Panembahan Bagus Banten, menurunkan putra :

    c. Raden Ayu Tirtokusumo ing Pancuran, menurunkan putra :

    d. Raden Ajeng Temu, menikah dengan Adipati Sindurejo, menjabat Patih dari Hingkang Sinuhun

        Paku Buwana III di Surakarta, menurunkan putra :

    e. Kanjeng Bandara Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II di Surakarta, menurunkan putra :

    f. Raden Ayu Notokusumo (Raden Ajeng Sayati) menurunkan putra :

    g. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro III.


Ini adalah Trah Keturunan dari Adipati Mondoroko Ki Jurumartani.

Adipati Mondoroko menurunkan putra :

Pangeran Hupasanta hing Batang, menikah dengan putri Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putra :

1. Kanjeng Ratu Batang, sebagai Prameswari Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu 

    Hanyokrokusumo, di Mataram.

2. Panembahan Mas, menjabat Adipati di Pajang putra dari Adipati Benawa, peputra Panembahan

    Radin, Panembahan Ramawijaya, dan Raden Ayu Purbaya III.

3. Kanjeng Ratu Kulon, sebagai prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung ing

    Mataram.

4. Pangeran Pujamenggala.

5. Pangeran Adipati Wiramenggala.


Ini adalah putra dari Pangeran Mas Adipati hing Pajang.


Pergantian Dinasti ke Putra Majapait No.14

RADEN BUNDAN KAJAWAN / BONDAN KEJAWEN


Asal keturunan Raja di Mataram sampai dengan Raja Surakarta.

Kiyai Ageng Tarup II,memperisteri widadari bernama Dewi Nawangwulan, menurunkan putra :

Dewi Nawangsih, kagarwa Raden Bundan Kajawan, putra Sinuhun Prabu Brawijaya V di Majapait. Kemudian memakai nama gelar Kiyai AGENG TARUP III, menurunkan 3(tiga) putra putri adalah :

1). Raden Dukuh Kiyai Ageng Wonosobo, menjadi putra menanatu Sunan Maja Agung.

2). Raden Depok, Syeh Abduliah, demikian pula menjadi putra menantu Sunan Maja Agung

3). Rara Kasihan, menikah dengan Kiyai Ageng Ngerang I.


2). Raden Depok, kemudian memaki nama gelar Kiyai Ageng Getaspandawa. menurunkan putera :

     (1). Bagus Sogam, setelah dewasa bernama: Abdulrachman.

            Tempat kediaman di desa Selo, memakai nama gelar Kiyai Ageng Selo.

            Kiyai Ageng Selo menikah dengan :

            1. putrinya Kiyai Ageng Wonosobo, masih keponakan dari saudara.

            2. putrinya Kiyai Ageng Ngerang, masih keponakan dari saudara.


Putra dari isteri no.2, bernama: Bagus Anis, wafat dimakamkan di Astana Lawiyan Sala. Garwanipun Kiyai Ageng Anis adalah putra dari Kiyai Ageng Wonosobo, menurunkan putra :


Bagus Kacung, nama gelar Kiyai Ageng Pemanahan, karena semula bertempat tinggal di desa Manahan Sala. Dan setelah putranya dinobatkan sebgai Raja Mataram, berganti nama gelar yaitu: Kiyai Ageng Mataram.

Beliau wafat dimakamkan di Astana Kota Cede, Yogyakarta.

Isteri dari putranya Pangeran Made Pandan menurunkan putra :

1. Adipati Manduranegara.

2. Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati di Ngalaga.

3. Pangeran Ronggo.

4. Nyai Ageng Tumenggung Mayang.

5. Pangeran Hario Tanduran.

6. Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana.

7. Pangeran Teposono.

8. Pangeran Mangkubumi.

9. Pangeran Singasari.

10. Raden Ayu Kajoran.

11. Pangeran Gagak Baning, wafat dimakamkan berdampingan dengan Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati di makam Astana Kota Gede.

12. Pangeran Pronggoloyo.

13. Nyai Ageng Haji Panusa, di Tanduran.

14. Nyai Ageng Panjangjiwa.

15. Nyai Ageng Banyak Potro, di Waning.

16. Nyai Ageng Kusumoyudo Marisi.

17. Nyai Ageng Wirobodro, di Pujang.

18. Nyai Ageng Suwakul, wafat dimakamkan di  Astana Lawiyan.

19. Nyai Ageng Mohamat Pekik di Sumawana.

20. Nyai Ageng Wiraprana di Ngasem.

21. Nyai Ageng Hadiguno di Pelem.

22. Nyai Ageng Suroyuda Kajama.

23. Nyai Ageng Mursodo Silarong.

24. Nyai Ageng Ronggo Kranggan.

25. Nyai Ageng Kawangsih Kawangsen.

26. Nyai Ageng Sitabaya Gambiro.


Jenjang urutan dari Prabu Brawijaya V.

Prabu Brawijaya V di Majapait, menurunkan putera puteri adalah :

Raden Bundan Kajawan, peputra :

Raden Getas Pendawa, peputra :

Kiyai Ageng Selo, peputra :

Kiyai Ageng Anis, peputra :

Kiyai Ageng Pemanahan, peputra :

Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga.


HINGKANG SINUHUN PANEMBAHAN SENAPATI ING NGALAGA


Dinobatkan sebagai Raja Mataram pada tahun 1586.

Belia wafat  pada tahun 1601.

Pernikahan 1(pertama) dengan putri dari Kiyai. Ageng Pati (Panjawi).

Pernikahan 2(kedua) dengan putra dari Adipati Mas hing Madiun.

Putra putri beliau adalah :


  1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun Garwa Kiayi Ageng Mangir. Setelah berstatus janda menikah

      dengan Kiyai Ageng Karanglo.

  2. Pangeran Ronggo, Raden Ronggo diriwayatkan bertarung dengan Uling Laut Selatan. Bibi dari

      Kalinyamat.

  3. Pangeran Puger, menjabat sebagai Adipati di Demak.

  4. Pangeran Teposono.

  5. Pangeran Purbaya, diberikan sebutan Purbaya terbang. Bibi dari Giring.

  6. Pangeran Rio Manggala.

  7. Adipati Jayaraga di Ponorogo.

  8. Hingkang Sinuhun Hadi Prabu Hanyakrawati.

  9. Gusti Raden Ayu Demang tanpa Nangkail.

10. Gusti Raden Ayu Wiramantri,  di Ponorogo.

11. Pangeran Pringgalaya.

12. Panembahan Juminah, putra dari isteri No.2.

13. Adipati Martalaya, di Madiun.

14. Pangeran Tanpa Nangkil


Paduka Sinuhun Panembahan Senapati, raja Mataram wafat dimakamkan di Astana Kota Gede, demikan juga Pangeran Ronggo.


KERAJAAN PINDAH DUMATENG MATARAM. IBU KOTA, PLERET.


Pergantian Dinasti adalah Bondan Kejawan, putra Majapahit nomor: 14.

Paduka Sinuhun Panembahan Senapati, dinobatkan menjadi Raja pertama kali.


Sekar Sinom

"Nulata laku utama, tumraping wong Tanah Jawi.

Priyagung hing Ngeksigondo, Panembahan Senapati.

Kapati amarsudi, sudaning hawa lan napsu.

Pinesu tapa brata, tanapi hing siyang ratri.

Amemangun karyanak tyasing sasama."


ASAL SILSILAH PADUKA SINUHUN PRABU HADI HANYAKRAWATI

di Mataram. Menurut Pancer dari garis Ibu


Dinobatkan menjadi Raja tahun 1601, dan wafat pada tahun 1613 .

Silsliah :

a. Sunan Maulana Mahribi, menurunkan putera :

b. Kiyai Ageng Ngerang I, menurunkan putera :

c. Kiyai Ageng Ngerang II, menurunkan putera :

d. Kiyai Ageng Ngerang III, menikah dengan Ratu Panengah, putra dari Sunan Kalijaga, menurunkan

    putera :

e. Kiyai Ageng Penjawi (Pati), menurunkan putera :

f. Kanjeng Ratu Mas, menikah dengan Paduka Sinuhun Penembahan Senapati Ing Ngalaga, menurunkan putera :

g. Paduka Sinuhun Prabu HANYAKRAWATI di Mataram.


Wafat dimakamkan di Astana Kota Gede, disebelah bawah makam ayahnda.

Paduka Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, menikah yang pertama dengan Gusti Kanjeng Ratu MASHADI putri dari Adipati Benawa di Pajang. Menikah yang kedua dengan Ratu Lungayu di Ponorogo.

Menurunkan putra putri sebanyak 13 yaitu :


  1. Paduka Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.

  2. Pangeran Hario Mangkubumi.

  3. Pangeran Bumidirja.

  4. Pangeran Martapura.

  5. Ratu Mas Sekar, garwa Pangeran Pekik Surabaya.

  6. Ratu Mas Sekar, garwa Pangeran Ronggo hing Pati.

  7. Pangeran Buminata.

  8. Panger.an Notopuro.

  9. Pangeran Pamenang.

10. Pangeran Sularong.

11. Gusti Kanjeng Ratu  Wirakusuma hing Jipang.

12. Pangeran Pringgoloyo.

13. Pangeran Kusumadiningrat


Paduka Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, mendapat gelar nama yaitu: Sinuhun sedho Krapyak.

berkenaan dengan peristiwa saat Paduka Sinuhun wafat pada saat berburu di hutan Krapyak.


ASAL SILSILAHIPUN 

PADUKA SINUHUN KANJENG SULTAN AGUNG PRABU HANYAKRAKUSUMA Dari garis pancer Ibu


Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1613.

Beliau wafat pada tahun 1645.

Wafat dimakamkan di Pesarean Astana Pajimatan Imogiri, Ngayugyakarta; yang pertama-kali.

Isteri beliau masih saudara keponakan putri dari Pangeran Hupasanta di Batang, bernama Kanjeng Ratu Kulon utawi Kanjeng Ratu Batang.


a. Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hadiwijaya Jaka Tingkir di Butuh Sragen, menurunkan putera :

b. Pangeran Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putera :

c. Gusti Kanjeng Ratu Mas Hadi, sebagai prameswari Paduka Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati,

    menurunkan putera :

d. Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma hing Mataram.

    menurunkan putera putri sebanyak 8(delapan) adalah :

   1). Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

   2). Pangeran Ronggo Kajiwan.

   3). Gusti Ratu Ayu Winongan.

   4). Pangeran Ngabehi Loring Pasar.

   5). Pangeran Purubaya.

   6). Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, di Mataram.

   7). Gusti Raden Ayu Wiromantri.

   😎. Pangeran Danupaya.


Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indoneisa, pada tahun 1980, dengan Piagam yang ditandatangani Presiden Soeharto.


Yen Sinuhun ing Mataram Sultan Agung tan kena tiniru yekti. Sebab iku Wali Ratu.

Mujijate wus dadiyo pratanda. Wali miwah jumeneng Ratu. Pindha Kang Maha Suci, hangejawantah dadi Sang Prabu. Lir Njeng Rasullolah nguni, wus kaliyang nunggal.

Mula mintaha Barkah kemawon.


HINGKANG SINUHUN

PRABU HAMANGKURAT AGUNG, HING MATARAM, SAKING HINGKANG IBU


Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1645. Wafat pada tahun 1677.


Prameswari Paduka Hamangkurat Agung yang Pertama, adalah putri dari Pangeran Pekik, di Surabaya.

Prameswari Paduka Hamangkurat Agung yang Kedua, adalah putri dari Panembahan Radin.

a. Kiyai Ageng Dukuh di Wonosobo, menurunkan putra :

b. Pangeran Made Pandan, menurunkan putra :

c. Adipati Mondoroko, nama gelar Ki Jurumartani, menurunkan putra :

d. Pangeran Huposonto di Batang, menurunkan putra :

e. Kanjeng Ratu Kulon, menikah dengan Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.

    Dsebut juga dengan nama gelar: Kanjeng Ratu Batang, menurunkan putra :

f. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Harnangkurat Agung, di Mataram,


Putra putri beliau seluruhnya adalah :


  1. Paduka Sinuhun Hamangkurat Mas (Amral), dilahirkan dari Isteri Pertama: Kanjeng Ratu Kulon,

      adalah putri dari Pangeran Pekik, di Surabaya.

  2. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I(pertama) atau Pangeran Puger, dilahirkan dari

      isteri kedua :  Kanjeng Ratu Wetan, adalah putri  dari Panembahan Radin,

  3. Gusti Raden Ayu Pamot.

  4. Pangeran Martosana.

  5. Pangeran Singasari.

  6. Pangeran Silarong.

  7. Pangeran Notoprojo.

  8. Pangeran Ronggo Satoto.

  9. Pangeran Hario Panular.

10. Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo, menikah dengan Patih Sindurejo di Kartasura.

11. Gusti Raden Ayu Kletingkuning, garwanipun Raden Trunajaya, Hingkang ngraman. 1674 - 1680

12. Gusti Raden Ayu Mangkuyudo.

13. Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja.

14. Pangeran Hario Mataram.

15. Bandara Raden Ayu Danureja.

16. Gusti Raden Ayu Wiromenggolo.


Paduka Sinuhun Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, wafat dimakamkan di Tegal Arum. Dusun Jelak Kota Tegal.


ASALSILAHIPUN 

PADUKA SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN PAKU BUWANA I

DI KARTASURA


Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu.

Dinobatkan menjadi Raja pada thaun 1704. Wafat pada tahaun 1719.

Paduka yang dinobatkan sebagai Raja yang pertama kali di Kartasura, Paduka sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Amral. Kemudian tapuk kerajaan digantikan oleh putranya Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Kencet.

Kemudian digantikan oleh paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I (Puger).

Adik Paduka Sinuhun Hamangkurat Amral, mempersunting Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana, putrinipun Tumenggung Balitar.

a. Kanjeng Gusti Adipati Benawa di Pajang, menurunkan putra :

b. Panembahan Radin, menurunkan putra :

c. Kanjeng Ratu Wetan, Prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung, menurunkan putra :

d. Paduka Sinuhun Paku Buwana I, di Kartasura; menurunkan putra putri :

    1). Gusti Raden Ayu Lembah.

    2). Pangeran Ngabehi.

    3). Paduka Sinuhun Hamangkurat Jawa,

    4). Gusti Raden Ayu Mangkubumi.

    5). Pangeran Herucakra Hing Madiun.

    6). Pangeran Hario Prangwadono.

    7). Pangeran Ngalaga.

    😎. Pangeran Pamot.

    9). Adipati Sindurejo.

  10). Pangeran Purubaya, di Lamongan, saking garwa.

  11). Pangeran Balitar.

  12). Kanjeng Ratu Ajunan, menikah dengan Pangeran Tjakraningrat di Madura


PAMBRONTAKAN RADEN TRUNAJAYA


Semasa kekuasaan pemerintahan Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung di Kerajaan Mataram, terjadi peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Trunajaya.

Dalam peristiwa ini Paduka Sinuhun terdesak namun dapat meloloskan diri dari Karaton, dan mengungsi sampai di Tegal. Setelah beberapa waktu lamanya di Tegal, memerintahkan kepada putranya Pangeran Puger, agar menyirnakan Raden Trunajaya.

Kehendak Sinuhun dapat terwujut dengan terbunuhnya Raden Trunojoyo di Ardi Ngantang Jawa Timur.


Setelah Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung wafat dimakamkan di Tegal Arum, sebuah desa dekat dengan kota Tegal. Sedangkan keadaan Karaton Mataram rusak, kemudian Gusti Pangeran Puger mendirikan bangunan keraton di Kartasura, yang kemudian diberikan kepada kakak Hamangkurat Mas (Amral).


KRATON PINDAH DATENG KARTASURA.


Yang dinobatkan Raja pertama kali adalah, Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Mas (Amral).

Kemudian Raja kedua adalah, Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Kencet .

Selanjutnya Paduka Sinuhun Paku Buwana I (Puger). Terhitunh masih saudara muda dengan Hamangkurat Mas.


PADUKA SINUHUN

KANJENG SUSUHUNAN PRABU HAMANGKURAT MAS (AMRAL)


Dinobatkan Raja di Karaton Kartasura

Menurunkan putra putri adalah :

1. Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Kencet.

2. Pangeran Lembah.

3. Pangeran Teposono.

4. Raden Mas Garandi, Sunan Kuning, dilarkan dari isteri selir keturunan Cina.

5. Gusti Raden Ayu Dandun Matengsari.

Paduka Sinuhun tidak menurunakan Raja. Wafat dimakamkan di  Astana Pajimatan Imogiri.


ASALSILAHIPUN PADUKA SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN HAMANGKURAT JAWA, HING KARTASURA


Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu.

Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1719. Wafat pada tahun 1727.

Menikah dengan Kanjeng Ratu Kencana, putrinipun Ki Tumenggung Tirtakusuma.


a. Kanjeng Sultan Demak Bintara III, menurunkan putra :

b. Kanjeng Panembahan Mas, di Madiun, menurunkan putra :

c. Gusti Kanjeng Ratu Retnodumilah, menikah dengan Paduka Sinuhun Panembahan Senapati di Ngalaga,

    menurunkan putra :

d. Panembahan Juminah Hing Madiun, menurunkan putra :

e. Pangeran Adipati Balitar, menurunkan putra :

f.  Ki Tumenggung Balitar, menurunkan putra :

g. Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana I, di  Kartasura menurunkan putra :

h. Paduka Sinuhun Hamangkurat Jawa di Kartasura.


Putra Putri dalem :

  1. Kanjeng Pangeran Hario Mangkunegoro, di Kartasura.

  2. Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes.

  3. Gusti Raden Ayu Wiradigda.

  4. Gusti Pangeran Hario Hangabehi.

  5. Gusti Pangeran Hario Pamot.

  6. Gusti Pangeran Hario Diponegoro.

  7. Gusti Pangeran Hario Danupaya.

  8. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II

  9. Gusti Pangeran Hario Hadinagoro.

10. Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, garwa Pangeran Hindranata.

11. Gusti Raden Ajeng Kacihing, dewasa sedho.

12. Gusti Pangeran Hario Hadiwijaya, sedho Kali Abu.

13. Gusti Raden Mas Subronto, wafat dalam usia dewasa.

14. Gusti Pangeran Hario Buminoto.

15. Gusti Pangeran Hario Mangkubumi, Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana I.

16. Sultan Dandunmatengsari, melakukan pemberontakan dan tidak berhasil.

17. Gusti Raden Ayu Megatsari.

18. Gusti Raden Ayu Purubaya.

19. Gusti Raden Ayu Pakuningrat. di Sampang

20. Gusti pangeran Hario Cokronegoro.

21. Gusti Pangeran Hario Silarong.

22. Gusti Pangeran Hario Prangwadono.

23. Gusti Raden Ayu Suryawinata. di Demak.

24. Gusti Pangeran Hario Panular.

25. Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo.

26. Gusti Raden Mas Jaka, wafat usia muda

27. Gusti Raden Ayu Sujonopuro.

28. Gusti Pangeran Hario Dipawinoto.

29. Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I.


Urutan putera pertama (1) Kanjeng Pangeran Hario Mangkunegoro Kartasura, menurukan putra :

Raden Mas Sahit, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunegara I Surakarta.


Urutan putera kedelapan (8), Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buawan II.

Urutan putera keduabelas(12) Gusti Pangeran Hario Hadiwijaya, wafat Kali Abu, menurunkan putra : Pangeran Kusumodiningrat, menurunkan putra :


Pangeran Hadiwijaya, mantudalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunegoro II, angsal B.R.AJ. Sakeli, peputra :


Pangeran Hadiwajaya, menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Adalah putra dari Paduka Sinuhun Paku Buwana VIII.

Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana IX, peputra : Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. X.


Urutan putera kelimabelas (15) Gusti Pangeran Hario Mangkubumi,  Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana No.1, di Yogyakarta.


ASALSILAHIPUN HINGKANG SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN

PAKU BUWANA II, HING KARTASURA


Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu.


Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1727. Wafat pada tahun 1749.

Pindah dan mendiami Keraton Surakarta, hari Rebo Paing,  Februari Th. 1745

Menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Mas.


a. Kalifah Husen, putranipun Syeh Madi, kamantu Hario Baribin hing Madura, peputra :

b. Sunan Nguduipg Wall Prajurit agul-agul nlgari Dernak,peputra: c. Panembahan Kali hing Poncowati Demak, asma Panembahan Kudus,. peputra : ...

d. Pangeran Demang, peputra :

e. Pangeran Rajungan, peputra :

f. Pangeran Kudus, peputra : ^

g. Adipati Sumodipuro hing Pati, peputra :

h. Raden Adipati Tirtokusumo, peputra :

i. Gusti Kanjeng Ratu Kencana, Prameswaridalem Hingkang Sinuhun Hamangkurat Jawa hing Kartasura, peputra :

j. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II.


Putra putri dalem :

  1. Gusti Kanjeng Ratu Timur, garwanipun Pangeran Pakuningrat.,

  2. Gusti Pangeran Hario Priyombodo, dewasa sedho.

  3. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. III.

  4. Gusti Raden Ayu Puspokusumo.

  5. Gusti Raden Ayu Puspodiningrat.

  6. Gusti Raden Ayu Kaliwungu.

  7. Gusti Raden Ayu Mangkupraja hing Demak.

  8. Gusti Raden Ayu Pringgodiningrat.

  9. Gusti Pangeran Hario Puruboyo.

10. Gusti Pangern Hario Balitar.

11. Gusti Pangern Hario Danupaya.

12. Gusti Raden Ayu Jungut.


Pada waktu Pemerintahan Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II, terjadi pembrontakan Cina, yang dipimpin Sunan Kuning (Raden Mas Garandi) adalah putradalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Mas, dari isteri selir/garwa ampil keturunan Cina.


Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II, melarikan diri mengungsi sampi di Ponorogo. Dan stelah Sunan Kuning dapat taklukan, Paduka Sinuhun kemudian memerintahakan meneliti keadaan Kraton, karena bangunan banguna di Kartosura kondisinya sudah hancur.


Banyak tempat / Bangunan yang diberi tiang penyanggah, dengan maksud agar bangunan tersebut (pagar, tembok rumah, pendapa tidak mengalami keruntuhan. Kemudian mememrintahkan punggawa Karaton Kartosuro yaitu Ki Tumenggung Harung Binang I memeriksa keadaan Kraton.


Dalam riwayat pemilihan lokasi Karaton baru adalah di Dusun Sala, sebelah timur Kartasura untuk dilaksanakan Pembangunan baru Kedaton/Karaton. Setelah jadi bangunan Kararton Sala, Paduka Sinuhun melaksanakan boyongnan pindah dengan arak-arakan secara besar besaran, Paduka Sinuhun naik Kreta Kencana Kiyai Garuda.


Rebo Paing Februari tahun 1745. Ki Tumenggung Harung Binang I, diwisuda menjadi Bupati Kebumen, nama gelar Adipati Honggowongso. Pindah ke Surakarta tahun 1745.


Putradalem Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Jawa, Gusti Pangeran Mangkubumi nama saat usia muda Bandoro Raden Mas Sujono. Putra dari isteri selir / garwa ampeyan bernama Mas Ayu Tejawati. Setelah Raka(kakak) Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II wafat, terjadi pemberontakan (mbalelo) Gusti Pangeran Mangkubumi.


Dalam kisah terjadi hukuman pemenggalan kepala terhadap Pahlawan Surakarta adalah Ki Ngabehi Djoyokartiko Delu Penewu Keparak Gedong Tengen.


PERJANJIAN GIYANTI WONTEN TAHUN 1735.


Dalam pemerintahan Paduka Nata hing Surakarta Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III.

Kanjeng Pangeran Mangkubumi dinobatkan di Karaton Yogyakarta, dengan nama gelar Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana I,  Ngayogyakarta Hadiningrat.


#Copas

Tulisan dari kusrahadi

👉 ASAL USUL SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA🇮🇩 Konsep Bhinneka Tunggal Ika berasal dari Kitab Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14. Kitab Sutasoma disusun oleh Mpu Tantular pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, yang membawa Majapahit pada puncak kejayaannya. Mpu Tantular adalah penyair terkemuka dalam sastra Jawa klasik abad ke-14. Ia mengarang ‘Kakawin Sutasoma’ yang menjadi salah satu ekspresi kebudayaan Indonesia. Satu bait di antara ratusan pupuh di dalam kitab itu merupakan sumber kalimat ‘Bineka Tunggal Ika’. Kalimat yang akhirnya menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bait yang mengandung semboyan ini terdapat dalam Kakawin Sutasoma bagian 139, yang dinyanyikan oleh Patih Gajah Mada. Bait ini menyatakan semangat persatuan dalam keberagaman, menekankan bahwa walaupun berbeda, semua tetap satu. Berikut bunyi kutipan bait Kitab Sutasoma yang memuat frasa Bhinneka Tunggal Ika. “Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” Terjemahannya adalah… "Konon dikatakan Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang.” “Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua.(Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa). Dalam Kakawin Sutasoma, pengertian “bhineka tunggal ika” lebih ditekankan pada perbedaan dalam bidang agama, tetapi dalam lambang negara Garuda Pancasila pengertiannya diperluas, tidak terbatas pada perbedaan agama, melainkan juga suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan perbedaan kepulauan” Sumber literasi : Profesor Robson, dalam buku terjemahan ‘Kakawin Sutasoma’ karya Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo. Pemikiran yg luar biasa udah pada zaman dulu 🇮🇩🔥🔥 #bhinekatunggalika #kakawinsotasoma #sotasoma #negarakertagama #pararaton #garudapancasila #sejarahnusantara #artibhinekatunggalika

 👉 ASAL USUL SEMBOYAN

BHINNEKA TUNGGAL IKA🇮🇩


Konsep Bhinneka Tunggal Ika berasal dari Kitab Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14. Kitab Sutasoma disusun oleh Mpu Tantular pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, yang membawa Majapahit pada puncak kejayaannya.



Mpu Tantular adalah penyair terkemuka dalam sastra Jawa klasik abad ke-14. Ia mengarang ‘Kakawin Sutasoma’ yang menjadi salah satu ekspresi kebudayaan Indonesia. Satu bait di antara ratusan pupuh di dalam kitab itu merupakan sumber kalimat ‘Bineka Tunggal Ika’. Kalimat yang akhirnya menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bait yang mengandung semboyan ini terdapat dalam Kakawin Sutasoma bagian 139, yang dinyanyikan oleh Patih Gajah Mada. Bait ini menyatakan semangat persatuan dalam keberagaman, menekankan bahwa walaupun berbeda, semua tetap satu.


Berikut bunyi kutipan bait Kitab Sutasoma yang memuat frasa Bhinneka Tunggal Ika.


“Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” 


Terjemahannya adalah…

"Konon dikatakan Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang.”

“Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua.(Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa).


Dalam Kakawin Sutasoma, pengertian “bhineka tunggal ika” lebih ditekankan pada perbedaan dalam bidang agama, tetapi dalam lambang negara Garuda Pancasila pengertiannya diperluas, tidak terbatas pada perbedaan agama, melainkan juga suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan perbedaan kepulauan” 


Sumber literasi : Profesor Robson, dalam buku terjemahan ‘Kakawin Sutasoma’ karya Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo. 


Pemikiran yg luar biasa udah pada zaman dulu 🇮🇩🔥🔥


#bhinekatunggalika #kakawinsotasoma #sotasoma #negarakertagama #pararaton #garudapancasila #sejarahnusantara #artibhinekatunggalika

25 May 2025

Sketsa dari pertunjukan tari ronggeng (?) di bawah pohon beringin dengan disaksikan khalayak ramai di Bogor, sketsa ini diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1883

 Sketsa dari pertunjukan tari ronggeng (?) di bawah pohon beringin dengan disaksikan khalayak ramai di Bogor, sketsa ini diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1883



Pangeran Soekowati ? Soekowati meliputi wilayah yang luas, terpisah atas Soekowati Lor Bengawan & Kidul Bengawan. Sisi utara Bengawan meliputi sisi utara Sragen, Boyolali utara dan Grobogan selatan. Sedangkan Soekowati selatan Bengawan meliputi sebagian Sragen dan Karanganyar. Setelah Palihan Nagari, Sukowati menjadi bagian Negaragung. Memang sangat tumpang tindih. Misalnya saat itu Sukowati adalah basis pendukung Pangeran Sukowati selama perang. Tetapi daerah ini terletak di timur pusat Kasunanan. Sedangkan sang pangeran telah dirajakan di wilayah Mataram lama tetapi ada daerah Pajang Selatan (Gunung Kidul) di sebelahnya. Wilayah Kasunanan. Selain itu masih ada Pangeran Samber Nyawa yang menguasai Sukowati sisi selatan. Kelak diberi nama Karanganyar. Wilayah Kadipaten Mangkunegaran setelah Perjanjian Salatiga. Sukowati sisi utara Bengawan inj juga tersambung dengan wilayah pendukung Pangeran Sukowati di Brang Wetan Madiun (termasuk Ngawi, Maospati dan Magetan). Tak heran karena disinilah pusat keturunan Kyai Ageng Derpoyudo (di Majanjati, saat itu masuk Sukowati, kini Karanganyar) yg tersambung ke Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko, penguasa Brang Wetan. Mertua dan besan sang Pangeran. Awal cerita Pada 27 Mei 1746 ia keluar kraton Surakarta bersama pasukannya bergerak melewati Desa Cemara, Tingkir, Wonosari, Karangsari, Ngerang, Butuh, dan Guyang. Lalu ke Desa Pandak, mendirikan sebuah pemerintahan Praja Sukowati dan meresmikan gelarnya sebagai Pangeran Sukowati. Pusat praja ini berpindah-pindah karena terlalu dekat dengan jalur yang biasa dilalui Kompeni. Sragen ? Sebutan Sragen diperkirakan baru muncul belakangan. Kala itu, Tumenggung Alap-Alap menyerahkan hidangan makanan (pasrah) dan legen (fermentasi sari gula kelapa) dalam tempat makanan dan bumbung (tempat minum dari bambu), yang dibawa menggunakan tongkat kepada Pangeran Sukowati. Kata "pasrah dan legen" inilah yang kemudian menjadi kata Sragen. Setelah Giyanti (1755 - 1830) Antara 1755 - 1830 merupakan periode yg canggung. Karena letaknya yang tumpang tindih dan rawan pertikaian. Artinya Raden Tumenggung Rangga saat akan pulang ke manca wetan milik Kasultanan (Madiun) ia harus melalui Kasunanan barulah nanti masuk wilayah Kasultanan lagi di Sukowati. Sebaliknya Gunung Kidul [ saat itu biasa disebut Pajang Kidul ] merupakan negaragung Kasunanan berbentuk kademangan. Karena kontur dan medannya yang cukup susah dijangkau, maka kemungkinan saat itu akses keluar Gunungkidul lebih ke arah utara yang tidak terlalu tertutup pegunungan dan jurang. Setelah Perang Jawa 1830 Momen tertangkapnya Diponegoro menjadi kesempatan emas Belanda, menguasai seluruh mancanegara Brang Wetan maupun Kulon. Lalu di Klaten, pada 1830 dilakukan tukar guling. Kasunanan mendapatkan Pajang & Sukowati. Sebaliknya Kasultanan mendapatkan Mataram & Gunungkidul. Dari Kasunanan mewakili Susuhunan PB VII adalah : Patih Sasradiningrat II & Panembahan Buminoto Dari Kasultanan mewakili Sultan HB V adalah : Patih Danurejo III Panembahan Mangkurat Pejabat Hindia Belanda : I.I van Sevenhoven (Komisaris untuk Vorstenlandenl); H.G. Nahuys & Residen Surakarta : L.W.H Smissaert dan Residen Djokjakarta I.F.W van Nes Juga disepakati batas baru yaitu : "Sungai Opak sejauh mengalir sampai dekat Prambanan dijadikan dasar batas pemisah utama antara wilayah Mataram dan Pajang. Tetapi karena batas pemisah ini terutama aliran sungai tersebut akan mengalami perubahan terus menerus akibat banjir besar atau sebab lain" (batas lama yang diubah).. Untuk selanjutnya ditunjukkan sebuah jalan raya yang membentang dari Prambanan antara pohon beringin besar yang berdiri di pasar, menuju ke utara Merapi dan menuju selatan ke Gunungkidul. Pada jalan pemisah ini, sebuah tiang batu, tonggak dan pohon yang besar dan tua dibangun dan ditanam sebagai petunjuk abadi" (batas baru yang ditentukan).. Ditandatangani dua pepatih dalem dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogja, pada 27 September 1830 di Benteng Klaten. Perjanjian ini dimintakan persetujuan pada Raja Kasunanan Surakarta Sri- Susuhunan Paku Buwono VII pada 1 Oktober 1830. Kemudian pada 4 Oktober 1830 pada Raja Kasultanan Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono V. Plot twist : Meski telah menjadi wilayah Kasunanan, sejarah Sukowati Sragen dimulai dari Pangeran Sukowati saat keluar dari Kraton Surakarta (1746). Tak heran banyak situs peninggalannya disana. Mulai tahun (itu) peringatan Kabupaten Sragen dilakukan dengan sowan ke Sultan dan ziarah ke makam Pangeran Sukowati. Referensi: Tatiek Kartikasari, "Sistem Pemerintahan Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta" Logen Jabbar Ramadhan, "Peeranjian Klaten 1830 : Dampaknya pada Kasultanan Yogyakarta" #SejarahYogjakarta #PangeranSoekowati #bengawan #sejarah #palingujung_ebiiberkah #UjungRuangDigital #sorotan

 Pangeran Soekowati ?


Soekowati meliputi wilayah yang luas, terpisah atas Soekowati Lor Bengawan & Kidul Bengawan. 



Sisi utara Bengawan meliputi sisi utara Sragen, Boyolali utara dan Grobogan selatan. Sedangkan Soekowati selatan Bengawan meliputi sebagian Sragen dan Karanganyar.


Setelah Palihan Nagari, Sukowati menjadi bagian Negaragung. 

Memang sangat tumpang tindih. 


Misalnya saat itu Sukowati adalah basis pendukung Pangeran Sukowati selama perang. Tetapi daerah ini terletak di timur pusat Kasunanan.

 Sedangkan sang pangeran telah dirajakan di wilayah Mataram lama tetapi ada daerah Pajang Selatan (Gunung Kidul) di sebelahnya. Wilayah Kasunanan. 


Selain itu masih ada Pangeran Samber Nyawa yang menguasai Sukowati sisi selatan. 

Kelak diberi nama Karanganyar. 

Wilayah Kadipaten Mangkunegaran setelah Perjanjian Salatiga. 


Sukowati sisi utara Bengawan inj juga tersambung dengan wilayah pendukung Pangeran Sukowati di Brang Wetan Madiun (termasuk Ngawi, Maospati dan Magetan). 

Tak heran karena disinilah pusat keturunan Kyai Ageng Derpoyudo (di Majanjati, saat itu masuk Sukowati, kini Karanganyar) yg tersambung ke Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko, penguasa Brang Wetan. 

Mertua dan besan sang Pangeran. 


Awal cerita


Pada 27 Mei 1746 ia keluar kraton Surakarta bersama pasukannya bergerak melewati Desa Cemara, Tingkir, Wonosari, Karangsari, Ngerang, Butuh, dan Guyang.

 Lalu ke Desa Pandak, mendirikan sebuah pemerintahan  Praja Sukowati dan meresmikan gelarnya sebagai Pangeran Sukowati.

 Pusat praja ini berpindah-pindah karena terlalu dekat dengan jalur yang biasa dilalui Kompeni.    


Sragen ?


Sebutan Sragen diperkirakan baru muncul belakangan. 

Kala itu, Tumenggung Alap-Alap menyerahkan hidangan makanan (pasrah) dan legen (fermentasi sari gula kelapa) dalam tempat makanan dan bumbung (tempat minum dari bambu), yang dibawa menggunakan tongkat kepada Pangeran Sukowati.

 Kata "pasrah dan legen" inilah yang kemudian menjadi kata Sragen.


Setelah Giyanti (1755 - 1830)


Antara 1755 - 1830 merupakan periode yg canggung. 

Karena letaknya yang tumpang tindih dan rawan pertikaian.

 Artinya Raden Tumenggung Rangga saat akan pulang ke manca wetan milik Kasultanan (Madiun) ia harus melalui Kasunanan barulah nanti masuk wilayah Kasultanan lagi di Sukowati.


Sebaliknya Gunung Kidul [ saat itu biasa disebut Pajang Kidul ] merupakan negaragung Kasunanan berbentuk kademangan.

 Karena kontur dan medannya yang cukup susah dijangkau, maka kemungkinan saat itu akses keluar Gunungkidul lebih ke arah utara yang tidak terlalu tertutup pegunungan dan jurang. 


Setelah Perang Jawa 1830


Momen tertangkapnya Diponegoro menjadi kesempatan emas Belanda, menguasai seluruh mancanegara Brang Wetan maupun Kulon. 


Lalu di Klaten, pada 1830 dilakukan tukar guling. 

Kasunanan mendapatkan Pajang & Sukowati. Sebaliknya Kasultanan mendapatkan Mataram & Gunungkidul. 


Dari Kasunanan mewakili Susuhunan PB VII adalah :

Patih Sasradiningrat II  & Panembahan Buminoto


Dari Kasultanan mewakili Sultan HB V adalah :

Patih Danurejo III

Panembahan Mangkurat


Pejabat Hindia Belanda : 

I.I van Sevenhoven (Komisaris untuk Vorstenlandenl); H.G. Nahuys & 


Residen Surakarta : L.W.H Smissaert dan Residen Djokjakarta  I.F.W van Nes


Juga disepakati batas baru  yaitu :


"Sungai Opak sejauh mengalir sampai dekat Prambanan dijadikan dasar batas pemisah utama antara wilayah Mataram dan Pajang. Tetapi karena batas pemisah ini terutama aliran sungai tersebut akan mengalami perubahan terus menerus akibat banjir besar atau sebab lain" (batas lama yang diubah)..


Untuk selanjutnya ditunjukkan sebuah jalan raya yang membentang dari Prambanan antara pohon beringin besar yang berdiri di pasar, menuju ke utara Merapi dan menuju selatan ke Gunungkidul. 

Pada jalan pemisah ini, sebuah tiang batu, tonggak dan pohon yang besar dan tua dibangun dan ditanam sebagai petunjuk abadi" (batas baru yang ditentukan)..


Ditandatangani dua pepatih dalem dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogja, pada 27 September 1830 di Benteng Klaten.


Perjanjian ini dimintakan persetujuan pada Raja Kasunanan Surakarta Sri- Susuhunan Paku Buwono VII pada 1 Oktober 1830. Kemudian pada 4 Oktober 1830 pada Raja Kasultanan Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono V. 


Plot twist :

Meski telah menjadi wilayah Kasunanan, sejarah Sukowati Sragen dimulai dari Pangeran Sukowati saat keluar dari Kraton Surakarta (1746). 

Tak heran banyak situs peninggalannya disana.


Mulai tahun (itu) peringatan Kabupaten Sragen dilakukan dengan sowan ke Sultan dan ziarah ke makam Pangeran Sukowati. 


Referensi: 

Tatiek Kartikasari, "Sistem Pemerintahan Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta" 


Logen Jabbar Ramadhan, "Peeranjian Klaten 1830 : Dampaknya pada Kasultanan Yogyakarta"


#SejarahYogjakarta #PangeranSoekowati #bengawan #sejarah #palingujung_ebiiberkah #UjungRuangDigital #sorotan

Pelantikan Tentara Republik Indonesia Hari ini dalam sejarah, 25 Mei 1946, Presiden Sukarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman melantik perwira-perwira TRI (Tentara Republik Indonesia) di Gedung Agung, Yogyakarta. TRI awalnya adalah BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang dibentuk pada 22 Agustus 1945, tak lama setelah Proklamasi kemerdekaan. BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945, tanggal ini diperingati sebagai hari jadi tentara Indonesia. TKR kemudian berubah menjadi TRI pada 26 Januari 1946. TRI berubah lagi menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada 3 Juni 1947. Organisasi militer ini disebut juga APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Dalam perkembangannya, TNI bergabung dengan Kepolisian Negara sebagai satu angkatan perang yang dikenal dengan sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada masa Orde Baru, ABRI terlibat dalam politik sebagai penerapan konsep Dwi Fungsi ABRI. Setelah Orde Baru berakhir, ABRI direformasi. Polri dipisahkan dan berdiri sendiri, sedangkan ABRI kembali menjadi TNI. Hak politik TNI dan Dwi Fungsi ABRI dihilangkan. Namun, revisi UU TNI yang telah disahkan DPR RI pada 20 Maret 2025 berpotensi menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI karena memperluas jabatan di lembaga dan kementerian yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI.* Baca juga: Evolusi Angkatan Perang Indonesia https://historia.id/militer/articles/evolusi-angkatan-perang-indonesia-DwoVK Foto: IPPHOS. #sejarah #sejarahindonesia #historia #historiaid #tni

 Pelantikan Tentara Republik Indonesia


Hari ini dalam sejarah, 25 Mei 1946, Presiden Sukarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman melantik perwira-perwira TRI (Tentara Republik Indonesia) di Gedung Agung, Yogyakarta. TRI awalnya adalah BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang dibentuk pada 22 Agustus 1945, tak lama setelah Proklamasi kemerdekaan. 



BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945, tanggal ini diperingati sebagai hari jadi tentara Indonesia. TKR kemudian berubah menjadi TRI pada 26 Januari 1946. TRI berubah lagi menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada 3 Juni 1947. Organisasi militer ini disebut juga APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).


Dalam perkembangannya, TNI bergabung dengan Kepolisian Negara sebagai satu angkatan perang yang dikenal dengan sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada masa Orde Baru, ABRI terlibat dalam politik sebagai penerapan konsep Dwi Fungsi ABRI. 


Setelah Orde Baru berakhir, ABRI direformasi. Polri dipisahkan dan berdiri sendiri, sedangkan ABRI kembali menjadi TNI. Hak politik TNI dan Dwi Fungsi ABRI dihilangkan. Namun, revisi UU TNI yang telah disahkan DPR RI pada 20 Maret 2025 berpotensi menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI karena memperluas jabatan di lembaga dan kementerian yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI.*


Baca juga:

Evolusi Angkatan Perang Indonesia https://historia.id/militer/articles/evolusi-angkatan-perang-indonesia-DwoVK


Foto: IPPHOS.


#sejarah #sejarahindonesia #historia #historiaid #tni

Karisidenan Kedu (1832 - 1942) Keresidenan Kedu (ditulis pula Kedoe; atau juga dikenal sebagai Kedu Raya) adalah satuan administrasi yang berlaku di Jawa Tengah pada masa penjajahan Hindia Belanda dan beberapa tahun sesudahnya. Saat ini, Keresidenan Kedu telah dihapus namun masih digunakan untuk membantu administrasi pemerintahan provinsi, dengan sebutan Daerah Pembantu Gubernur Wilayah Kedu. Wilayah Karesidenan ini, saat ini mencakup Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Karanganyar (dilebur ke Kabupaten Kebumen). Pada awal pendirian Karesidenan Kedu yang pada abad ke-19 hanya meliputi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung. Pada 1901, tiga kabupaten bergabung ke Karesidenan ini yaitu Kabupaten Karanganyar (sekarang wilayahnya bagian dari Kabupaten Kebumen, Banyumas dan Cilacap), Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Purworejo atau Brengkelan. Pada tahun 1817, Bagelen dipilih sebagai ibukota Keresidenan Kedu.

 Karisidenan Kedu (1832  - 1942) 


Keresidenan Kedu (ditulis pula Kedoe; atau juga dikenal sebagai Kedu Raya) adalah satuan administrasi yang berlaku di Jawa Tengah pada masa penjajahan Hindia Belanda dan beberapa tahun sesudahnya. Saat ini, Keresidenan Kedu telah dihapus namun masih digunakan untuk membantu administrasi pemerintahan provinsi, dengan sebutan Daerah Pembantu Gubernur Wilayah Kedu.




Wilayah Karesidenan ini, saat ini mencakup Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Karanganyar (dilebur ke Kabupaten Kebumen).


Pada awal pendirian Karesidenan Kedu yang pada abad ke-19 hanya meliputi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung. Pada 1901, tiga kabupaten bergabung ke Karesidenan ini yaitu Kabupaten Karanganyar (sekarang wilayahnya bagian dari Kabupaten Kebumen, Banyumas dan Cilacap), Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Purworejo atau Brengkelan.


Pada tahun 1817, Bagelen dipilih sebagai ibukota Keresidenan Kedu.

Pemasangan scaffolding (Perancah) Candi Mendut selama restorasi [KITLV-161580]-Magelang-1902

 Pemasangan scaffolding (Perancah) Candi Mendut selama restorasi [KITLV-161580]-Magelang-1902



Pemasangan scaffolding (Perancah) Candi Mendut selama restorasi [KITLV-161580]-Magelang-1902

 Pemasangan scaffolding (Perancah) Candi Mendut selama restorasi [KITLV-161580]-Magelang-1902



Berada di lokasi kompleks Rindam IV Diponegoro Kota Magelang, tetenger monumen penanda bahwa dahulu berdiri bangunan yang digunakan sebagai markas Staff Pertempoeran Djawa Tengah (SPDTNG) dari Divisi III Pangeran Diponegoro/Goebernoer Militer III (GM III). Magelang adalah satu dari beberapa kota yang tidak mengalami Agresi Militer I pada 21 Juli 1947, sehingga di kota ini banyak bermarkas pasukan-pasukan TNI dari berbagai kota akibat semakin menyempitnya wilayah Republik. Pada Maret 1948 Magelang semakin penuh dengan kehadiran pasukan yang hijrah seusai perjanjian Renville untuk menuju kantong-kantong Republik. Markas SPDTNG mulai digunakan dari bulan November 1947 hingga Desember 1948 dan terpaksa di bumi hanguskan oleh pasukan TNI di Magelang sesuai Perintah Siasat no 1 Panglima Besar Sudirman agar markas ini tidak dapat dipergunakan oleh tentara Belanda yang berhasil menerobos masuk daerah Republik pada Agresi Militer II 19 Desember 1948. 📙 : Pokok-Pokok Gerilya

 Berada di lokasi kompleks Rindam IV Diponegoro Kota Magelang, tetenger monumen penanda bahwa dahulu berdiri bangunan yang digunakan sebagai markas Staff Pertempoeran Djawa Tengah (SPDTNG) dari Divisi III Pangeran Diponegoro/Goebernoer Militer III (GM III).


 

Magelang adalah satu dari beberapa kota yang tidak mengalami Agresi Militer I pada 21 Juli 1947, sehingga di kota ini banyak bermarkas pasukan-pasukan TNI dari berbagai kota akibat semakin menyempitnya wilayah Republik. 

Pada Maret 1948 Magelang semakin penuh dengan kehadiran pasukan yang hijrah seusai perjanjian Renville untuk menuju kantong-kantong Republik. 

Markas SPDTNG mulai digunakan dari bulan November 1947 hingga Desember 1948 dan terpaksa di bumi hanguskan oleh pasukan TNI di Magelang sesuai Perintah Siasat no 1 Panglima Besar Sudirman agar markas ini tidak dapat dipergunakan oleh tentara Belanda yang berhasil menerobos masuk daerah Republik pada Agresi Militer II 19 Desember 1948.

📙 : Pokok-Pokok Gerilya


Sumber : Rifkhie Sulaksmono

Jalur Magelang-Yogyakarta yang melintasi Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Magelang, sempat ditutup akibat banjir lahar dingin Gunung Merapi pada tahun 2011. Lahar dingin yang meluap dari Kali Putih menimbun jalan tersebut dengan material vulkanik, seperti pasir dan batu. Akibatnya, arus lalu lintas terpaksa dialihkan, dan di beberapa titik, pengendara motor bahkan nekat menerobos tumpukan material. Skema banjir lahar dingin yang menyebabkan sungai putih menjadi dangkal dan meluap melibatkan proses berikut: lahar dingin (campuran material vulkanik dan air) yang mengalir ke sungai. Material ini, seperti lumpur, pasir, dan batu, menyumbat aliran sungai, menyebabkan pendangkalan. Jika lahar dingin terus mengalir dan jumlahnya melebihi kapasitas sungai yang dangkal, maka sungai akan meluap, menyebabkan banjir lahar dingin. #erupsimerapi #bencana #banjirlahardingin #literasi #narasi #merapi #foto #fbpro

 Jalur Magelang-Yogyakarta yang melintasi Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Magelang, sempat ditutup akibat banjir lahar dingin Gunung Merapi pada tahun 2011. Lahar dingin yang meluap dari Kali Putih menimbun jalan tersebut dengan material vulkanik, seperti pasir dan batu. Akibatnya, arus lalu lintas terpaksa dialihkan, dan di beberapa titik, pengendara motor bahkan nekat menerobos tumpukan material. 



Skema banjir lahar dingin yang menyebabkan sungai putih menjadi dangkal dan meluap melibatkan proses berikut: lahar dingin (campuran material vulkanik dan air) yang mengalir ke sungai. Material ini, seperti lumpur, pasir, dan batu, menyumbat aliran sungai, menyebabkan pendangkalan. Jika lahar dingin terus mengalir dan jumlahnya melebihi kapasitas sungai yang dangkal, maka sungai akan meluap, menyebabkan banjir lahar dingin.


#erupsimerapi #bencana #banjirlahardingin #literasi #narasi #merapi #foto #fbpro

24 May 2025

TENTARA BAYARAN DALAM SEJARAH Jika kamu menyimak sejarah Jawa, maka kamu akan menemukan jika Orang-Orang Jawa biasa memelihara tentara bayaran. Tentara bayaran yang direkrut biasanya dari suku-suku Nusantara yang dikenal mempunyai keterampilan berperang, seperti Madura, Bali, Bugis dan Makassar. Dulu Majapahit banyak memelihara tentara bayaran dari Madura, Demak juga begitu. Dizaman Arya Panggiri (Pajang) mereka tercatat memelihara tentara bayaran dari Bali. Nah kemudian di zaman Mataram Islam mereka memelihara tentara bayaran dari Madura, Bugis dan Makassar. Biasanya Para Panglima dan Jagoan Jawa mereka santai dulu dibelakang ketika berperang, yang maju duluan tentara bayaran, barulah kalau tentara bayaran dirasa tidak sanggup para Jagoan Jawa turun tangan. Cara penguasa Jawa dalam merekrut tentara bayaran ini, sepertinya ditiru oleh VOC Belanda dikemudian hari. Dimana mereka merekrut tentara bayaran dari Jawa sebagai para Komandannya tentara bayaran dari suku-suku lain yang juga berasal dari Madura, Bugis, Makasar dan Bali. Di zaman VOC mereka merekrut tentara bayaran lebih bervariasi memang, sebab memasukan Tentara bayaran dari Ambon, Nusa Tenggara, Manado dan suku-suku lainnya.

 TENTARA BAYARAN DALAM SEJARAH 


Jika kamu menyimak sejarah Jawa, maka kamu akan menemukan jika Orang-Orang Jawa biasa memelihara tentara bayaran. Tentara bayaran yang direkrut biasanya dari suku-suku Nusantara  yang dikenal mempunyai keterampilan berperang, seperti Madura, Bali, Bugis dan Makassar. 



Dulu Majapahit banyak memelihara tentara bayaran dari Madura, Demak juga begitu. Dizaman Arya Panggiri (Pajang) mereka tercatat memelihara tentara bayaran dari Bali. Nah kemudian di zaman Mataram Islam mereka memelihara tentara bayaran dari Madura, Bugis dan Makassar. 


Biasanya Para Panglima dan Jagoan Jawa mereka santai dulu dibelakang ketika berperang, yang maju duluan tentara bayaran, barulah kalau tentara bayaran dirasa tidak sanggup para Jagoan Jawa turun tangan. 


Cara penguasa Jawa dalam merekrut tentara bayaran ini, sepertinya ditiru oleh VOC Belanda dikemudian hari. Dimana mereka merekrut tentara bayaran dari Jawa sebagai para Komandannya tentara bayaran dari suku-suku lain yang juga berasal dari Madura, Bugis, Makasar dan Bali. Di zaman VOC mereka merekrut tentara bayaran lebih bervariasi memang, sebab memasukan Tentara bayaran dari Ambon, Nusa Tenggara, Manado dan suku-suku lainnya.

23 May 2025

■ PERJUANGAN SULTAN MATANGAJI DIBANTU PARA SANTRI PERANG MELAWAN BELANDA ■ Pada masa kepemimpinan Sultan Matangaji bertahta dari 1773 - 1786, Taman sari gua sunyaragi mengalami banyak perbaikan dan disamping kegunaannya sebagai taman air, gua Sunyaragi juga dipergunakan sebagai markas besar prajurit, gudang dan tempat pembuatan senjata. Menurut P. S. Sulendraningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cirebon dikatakan bahwa Sultan Matangaji masih memiliki markas lainnya yang disebut sebagai markas garis belakang di desa Matangaji, kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon. Di dalam keraton, penjajah Belanda berusaha membujuk Sultan Matangaji untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, tetapi sultan menolaknya, karena mengalami berbagai tekanan, Sultan Matangaji akhirnya pergi meninggalkan keraton Kasepuhan. Dalam sejarah lisan yang diturunkan secara turun temurun di Cirebon, dikatakan dalam perjalanannya Sultan Matangaji berjalan ke arah blok Capar lalu meneruskan lagi ke arah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih aman. Di desa Sidawangi inilah, Sultan Matangaji membangun sebuah pesantren ditempat yang sekarang disebut Blok Pesantren atau Dusun Pesantren. yang kemudian banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu keagamaan. Dikarenakan letak Desa Sidawangi yang dirasa kurang aman, maka Sultan Matangaji kembali melakukan perjalanan menuju pedalaman Cirebon dan tiba di daerah yang sekarang disebut Desa Matangaji. Didesa inilah akhirnya Sultan Matangaji membuat sebuah tempat peristirahatan kecil yang oleh masyarakat hingga kini dikenal dengan nama Blok Pedaleman atau Dusun Pedaleman yang berarti tempatnya para pembesar keraton. Di Desa Matangaji, Sultan kembali membangun sebuah pesantren dan mengajarkan ilmu keislaman dan berpesan jika ingin mengaji harus sampai matang, oleh sebab itu wilayah tersebut dinamakan Matangaji. Sementara itu, aktivitas yang ada di Taman Sari Gua Sunyaragi akhirnya diketahui oleh Belanda karena takut angkatan perang Cirebon akan bertambah kuat dan menghalangi kepentingannya maka taman sari diserang dan dihancurkan hingga tinggal puing-puing. Kedekatan Sultan Matangaji dengan masyarakat juga para santri membuat banyak dari mereka yang turut serta dalam perjuangan Sultan Matangaji. Dukungan para kyai juga diperolehnya. Ali Mursyid, anggota Lakpesdam NU dan Fahmina Institute yang juga seorang alumnus pesantren Assalafie di Babakan Ciwaringin dalam catatannya yang berjudul Perjuangan Santri Cirebon untuk Kemerdekaan menyatakan bahwa dukungan dari para kyai kepada Sultan Matangaji diantaranya datang dari Kyai Abdullah dari Lontang Jaya, Kyai Jatira dari Babakan Ciwaringin dan Kyai Idris dari Kempek. Kyai Jatira misalnya, dia tidak menyukai sikap para penjajah, terlebih saat penjajah Belanda berencana merobohkan pesantren Babakan Ciwaringin untuk membangun jalan raya. Kyai Jatira kemudian memindahkan patok penanda pembangunan jalan ke sebelah utara pesantrennya. Di wilayah antara desa Gintung (sekarang sudah mekar menjadi desa Gintung ranjeng, desa Gintung Tengah, desa Gintung Kidul dan desa Gintung Lor) hingga desa Kedongdong inilah yang menjadi pusat dari pertempuran besar para santri dan masyarakat Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Sepuh V Syafiuddin, banyak dari para santri yang meninggal, di desa Gintung ada sebuah lapangan yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Blambangan di lapangan itulah para santri banyak yang terbunuh. Foto : Ilustrasi by Dido Gomes

 ■ PERJUANGAN SULTAN MATANGAJI DIBANTU PARA SANTRI  PERANG MELAWAN BELANDA ■


Pada masa kepemimpinan Sultan Matangaji bertahta dari 1773 - 1786, Taman sari gua sunyaragi mengalami banyak perbaikan dan disamping kegunaannya sebagai taman air, gua Sunyaragi juga dipergunakan sebagai markas besar prajurit, gudang dan tempat pembuatan senjata.



Menurut P. S. Sulendraningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cirebon dikatakan bahwa Sultan Matangaji masih memiliki markas lainnya yang disebut sebagai markas garis belakang di desa Matangaji, kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon.


Di dalam keraton, penjajah Belanda berusaha membujuk Sultan Matangaji untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, tetapi sultan menolaknya, karena mengalami berbagai tekanan,

Sultan Matangaji akhirnya pergi meninggalkan keraton Kasepuhan.


Dalam sejarah lisan yang diturunkan secara turun temurun di Cirebon, dikatakan dalam perjalanannya Sultan Matangaji berjalan ke arah blok Capar lalu meneruskan lagi ke arah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih aman. Di desa Sidawangi inilah, Sultan Matangaji membangun sebuah pesantren ditempat yang sekarang disebut Blok Pesantren atau Dusun Pesantren. yang kemudian banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu keagamaan. Dikarenakan letak Desa Sidawangi yang dirasa kurang aman, maka Sultan Matangaji kembali melakukan perjalanan menuju pedalaman Cirebon dan tiba di daerah yang sekarang disebut Desa Matangaji.


Didesa inilah akhirnya Sultan Matangaji membuat sebuah tempat peristirahatan kecil yang oleh masyarakat hingga kini dikenal dengan nama Blok Pedaleman atau Dusun Pedaleman yang berarti tempatnya para pembesar keraton.


Di Desa Matangaji,  Sultan kembali membangun sebuah pesantren dan mengajarkan ilmu keislaman dan berpesan jika ingin mengaji harus sampai matang, oleh sebab itu wilayah tersebut dinamakan Matangaji.


Sementara itu, aktivitas yang ada di Taman Sari Gua Sunyaragi akhirnya diketahui oleh Belanda karena takut angkatan perang Cirebon akan bertambah kuat dan menghalangi kepentingannya maka taman sari diserang dan dihancurkan hingga tinggal puing-puing.


Kedekatan Sultan Matangaji dengan masyarakat juga para santri membuat banyak dari mereka yang turut serta dalam perjuangan Sultan Matangaji. Dukungan para kyai juga diperolehnya. 


Ali Mursyid, anggota Lakpesdam NU dan Fahmina Institute yang juga seorang alumnus pesantren Assalafie di Babakan Ciwaringin dalam catatannya yang berjudul Perjuangan Santri Cirebon untuk Kemerdekaan menyatakan bahwa dukungan dari para kyai kepada Sultan Matangaji diantaranya datang dari Kyai Abdullah dari Lontang Jaya, Kyai Jatira dari Babakan Ciwaringin dan Kyai Idris dari Kempek.


Kyai Jatira misalnya, dia tidak menyukai sikap para penjajah, terlebih saat penjajah Belanda berencana merobohkan pesantren Babakan Ciwaringin untuk membangun jalan raya. Kyai Jatira kemudian memindahkan patok penanda pembangunan jalan ke sebelah utara pesantrennya.


Di wilayah antara desa Gintung (sekarang sudah mekar menjadi desa Gintung ranjeng, desa Gintung Tengah, desa Gintung Kidul dan desa Gintung Lor) hingga desa Kedongdong inilah yang menjadi pusat dari pertempuran besar para santri dan masyarakat Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Sepuh V Syafiuddin, banyak dari para santri yang meninggal, di desa Gintung ada sebuah lapangan yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Blambangan di lapangan itulah para santri banyak yang terbunuh.


Foto : 

Ilustrasi by Dido Gomes

21 May 2025

Mataram selepas Perjanjian Giyanti. Terpecah menjadi 4. 2 Kerajaan dan 2 Kadipaten. Perjanjian Giyanti adalah perjanjian penting dalam sejarah Indonesia, khususnya berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Mataram Islam dan lahirnya dua kerajaan baru: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755 antara VOC, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), dan Susuhunan Pakubuwana III. Latar Belakang Perjanjian Giyanti: Perjanjian Giyanti muncul sebagai hasil dari perebutan kekuasaan di Kerajaan Mataram Islam yang dipicu oleh konflik internal keluarga kerajaan dan campur tangan VOC. Konflik tersebut melibatkan Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), dan Susuhunan Pakubuwana II (Pangeran Prabusuyasa). VOC, dengan berbagai siasat, turut berperan dalam memicu dan membiarkan konflik ini berlangsung. Isi Perjanjian Giyanti: Perjanjian Giyanti berisi beberapa poin penting, di antaranya: Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dan memerintah wilayah barat Sungai Opak (Yogyakarta). Susuhunan Pakubuwana III (Raden Mas Soerjadi) memerintah wilayah timur Sungai Opak (Surakarta). VOC mengakui kedua kerajaan baru tersebut dan menjalin kerja sama dengan mereka. Perjanjian ini juga mengatur soal kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak, termasuk bantuan militer, penjualan bahan makanan, dan pengakuan terhadap perjanjian-perjanjian sebelumnya antara Mataram dengan VOC. Dampak Perjanjian Giyanti: Perjanjian Giyanti menandai akhir Kerajaan Mataram Islam dan lahirnya dua kerajaan baru: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian ini juga memiliki dampak lain, seperti: Perubahan peta politik di Jawa, Perubahan sistem pemerintahan, Perubahan ekonomi dan sosial, Pengaruh pada perkembangan budaya dan seni di Yogyakarta dan Surakarta. Monumen Perjanjian Giyanti: Sebagai bukti adanya perjanjian ini, dibangun Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah, yang berupa prasasti dan pohon beringin.

 Mataram selepas Perjanjian Giyanti. Terpecah menjadi 4. 2 Kerajaan dan 2 Kadipaten. 


Perjanjian Giyanti adalah perjanjian penting dalam sejarah Indonesia, khususnya berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Mataram Islam dan lahirnya dua kerajaan baru: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755 antara VOC, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), dan Susuhunan Pakubuwana III. 



Latar Belakang Perjanjian Giyanti:

Perjanjian Giyanti muncul sebagai hasil dari perebutan kekuasaan di Kerajaan Mataram Islam yang dipicu oleh konflik internal keluarga kerajaan dan campur tangan VOC. Konflik tersebut melibatkan Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), dan Susuhunan Pakubuwana II (Pangeran Prabusuyasa). VOC, dengan berbagai siasat, turut berperan dalam memicu dan membiarkan konflik ini berlangsung. 


Isi Perjanjian Giyanti:

Perjanjian Giyanti berisi beberapa poin penting, di antaranya:


Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dan memerintah wilayah barat Sungai Opak (Yogyakarta). 

Susuhunan Pakubuwana III (Raden Mas Soerjadi) memerintah wilayah timur Sungai Opak (Surakarta). 


VOC mengakui kedua kerajaan baru tersebut dan menjalin kerja sama dengan mereka. 

Perjanjian ini juga mengatur soal kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak, termasuk bantuan militer, penjualan bahan makanan, dan pengakuan terhadap perjanjian-perjanjian sebelumnya antara Mataram dengan VOC. 


Dampak Perjanjian Giyanti:

Perjanjian Giyanti menandai akhir Kerajaan Mataram Islam dan lahirnya dua kerajaan baru: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian ini juga memiliki dampak lain, seperti: Perubahan peta politik di Jawa, Perubahan sistem pemerintahan, Perubahan ekonomi dan sosial, Pengaruh pada perkembangan budaya dan seni di Yogyakarta dan Surakarta. 


Monumen Perjanjian Giyanti:

Sebagai bukti adanya perjanjian ini, dibangun Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah, yang berupa prasasti dan pohon beringin.

Pengadangan 20 Desember 1985 terhadap Satgas Pasopati. Pengadangan terjadi sangat dekat sekitar 5 meter dengan kekuatan Falintil sekitar 30 orang atau satu peleton bersenjata lengkap termasuk 3 pucuk Minimi. Pertempuran terjadi dengan Satgas Pasopati berkekuatan 13 orang ya itu 2 perwira, 9 tamtama, 1 milisi dan 1 TBO. Semua anggota gugur dengan kerugian 6 M16 dan 1 LE dirampas Falintil, serta senjata FNC rusak. Tidak diketahui korban di pihak pengadang. Scan : 60 Tahun Pengabdian Korps Marinir.

 Pengadangan 20 Desember 1985 terhadap Satgas Pasopati.

Pengadangan terjadi sangat dekat sekitar 5 meter dengan kekuatan Falintil sekitar 30 orang atau satu peleton bersenjata lengkap termasuk 3 pucuk Minimi. 

Pertempuran terjadi dengan Satgas Pasopati berkekuatan 13 orang ya itu 2 perwira, 9 tamtama, 1   milisi dan 1 TBO.

Semua anggota gugur dengan kerugian 6 M16 dan 1 LE dirampas Falintil, serta senjata FNC rusak.

Tidak diketahui korban di pihak pengadang.




Scan :  60 Tahun Pengabdian Korps Marinir.

19 May 2025

Seabad Hidup dalam Tiga Perang Ketika Teungku Fakinah kehilangan suami yang meregang nyawa di Pantai Cermin, usia Abdul Wahab hampir 11 tahun. Namun, seusia itu, ia sudah ikut merasakan suasana jihad. Beberapa keluarganya dengan gagah menghadapi Belanda yang memerangi Aceh sejak 1873. Lahir pada 1862 di Kampung Keumire, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Abdul Wahab atau Pang Wahab atau Pang Hab lebih muda sekitar 8 tahun dari Teuku Umar dan lebih tua sekitar 8 tahun dari Cut Meutia. Mengacu tanah kelahirannya, Pang Wahab kerap disebut Pang Wahab Keumire. Ia dianugerahi Satya Lencana Perintis Kemerdekaan Nasional pada 17 Agustus 1961. Hal ini unik, sebab tanda kehormatan itu diberikan sebelum ia meninggal dunia. Dalam usia sekitar 99 tahun, Pang Wahab tak mungkin ke Jakarta. Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia menyerahkannya kepada Kepala Daerah Aceh A. Hasjmy. Mungkin saja Pang Wahab tumbuh kebanggaan setelah A. Hasjmy menyematkan bintang tanda jasa itu di Aceh. Dua tahun setelah itu Pang Wahab menghembuskan napas terakhir di kampungnya dalam usia 101 tahun. Tidak terlalu banyak catatan mengisahkan Pang Wahab. Namanya tak setenar pahlawan Aceh yang tercatat dalam buku Pahlawan Nasional. Namun, putra Pang Ibrahim itu telah menyaksikan perang dalam tiga zaman. Mengutip A. Hasjmy, Prof. Dr. M. Dien Madjid merawat Pang Wahab dalam buku Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat (2013: 313-315). Diterangkan dalam buku itu, setelah Pang Ibrahim syahid dalam Perang Sabil mempertahankan kedaulatan Aceh, Pang Wahab diasuh oleh Panglima Polem Cut Banta atau Teuku Mahmud Arifin selaku Panglima Sagi/Mukim XXII. Pang Wahab ditempa sebagai prajurit setelah beranjak remaja. Dalam peperangan, daya juang dan ketangguhan Pang Wahab sebagai prajurit mengundang decak kagum. Ketika Panglima Sagi/Mukim XXII dijabat Teungku Raja Kuala, Pang Wahab diangkat sebagai salah seorang Komandan Bataliyon. Sebagaimana Khalid bin Walid, kerinduan Pang Wahab agar syahid di medan perang tak kunjung kesampaian. Ia masih bertempur mengusir Belanda menjelang kedatangan Jepang. Tak ada keterangan jelas soal jejak Pang Wahab saat masa pendudukan Jepang. Prof. Dr. M. Dien Madjid menulis, “Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pang Wahab meleburkan diri dalam Barisan Mujahidin Divisi Teungku Chik Di Tiro, yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureu’eh dan Cekmat Rahmany. Bersama pasukan Mujahidin Divisi Teungku Chik Di Tiro, Pang Hab ikut berperang di Medan Area.” Ada satu foto Pang Wahab yang bisa kita temukan di dunia digital. Foto itu menunjukkan Pang Wahab telah berwajah tua. Tentu, selagi muda, ia berbadan gagah. Pengalaman perang dalam tiga zaman merupakan anugerah Tuhan bagi hidupnya yang seabad lebih. Pang Wahab memang tak populer di benak kita. Dengan julukan “Panglima Tiga Zaman”, insya Allah Pang Wahab terhitung syahid sebagaimana Khalid bin Walid, kendati mati di tempat tidur. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro) #matapadi

 Seabad Hidup dalam Tiga Perang


Ketika Teungku Fakinah kehilangan suami yang meregang nyawa di Pantai Cermin, usia Abdul Wahab hampir 11 tahun. Namun, seusia itu, ia sudah ikut merasakan suasana jihad. Beberapa keluarganya dengan gagah menghadapi Belanda yang memerangi Aceh sejak 1873.



Lahir pada 1862 di Kampung Keumire, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Abdul Wahab atau Pang Wahab atau Pang Hab lebih muda sekitar 8 tahun dari Teuku Umar dan lebih tua sekitar 8 tahun dari Cut Meutia.


Mengacu tanah kelahirannya, Pang Wahab kerap disebut Pang Wahab Keumire. Ia dianugerahi Satya Lencana Perintis Kemerdekaan Nasional pada 17 Agustus 1961. Hal ini unik, sebab tanda kehormatan itu diberikan sebelum ia meninggal dunia.


Dalam usia sekitar 99 tahun, Pang Wahab tak mungkin ke Jakarta. Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia menyerahkannya kepada Kepala Daerah Aceh A. Hasjmy. Mungkin saja Pang Wahab tumbuh kebanggaan setelah A. Hasjmy menyematkan bintang tanda jasa itu di Aceh. Dua tahun setelah itu Pang Wahab menghembuskan napas terakhir di kampungnya dalam usia 101 tahun.


Tidak terlalu banyak catatan mengisahkan Pang Wahab. Namanya tak setenar pahlawan Aceh yang tercatat dalam buku Pahlawan Nasional. Namun, putra Pang Ibrahim itu telah menyaksikan perang dalam tiga zaman.


Mengutip A. Hasjmy, Prof. Dr. M. Dien Madjid merawat Pang Wahab dalam buku Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat (2013: 313-315).


Diterangkan dalam buku itu, setelah Pang Ibrahim syahid dalam Perang Sabil mempertahankan kedaulatan Aceh, Pang Wahab diasuh oleh Panglima Polem Cut Banta atau Teuku Mahmud Arifin selaku Panglima Sagi/Mukim XXII. Pang Wahab ditempa sebagai prajurit setelah beranjak remaja.


Dalam peperangan, daya juang dan ketangguhan Pang Wahab sebagai prajurit mengundang decak kagum. Ketika Panglima Sagi/Mukim XXII dijabat Teungku Raja Kuala, Pang Wahab diangkat sebagai salah seorang Komandan Bataliyon.


Sebagaimana Khalid bin Walid, kerinduan Pang Wahab agar syahid di medan perang tak kunjung kesampaian. Ia masih bertempur mengusir Belanda menjelang kedatangan Jepang. Tak ada keterangan jelas soal jejak Pang Wahab saat masa pendudukan Jepang.


Prof. Dr. M. Dien Madjid menulis, “Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pang Wahab meleburkan diri dalam Barisan Mujahidin Divisi Teungku Chik Di Tiro, yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureu’eh dan Cekmat Rahmany. Bersama pasukan Mujahidin Divisi Teungku Chik Di Tiro, Pang Hab ikut berperang di Medan Area.”


Ada satu foto Pang Wahab yang bisa kita temukan di dunia digital. Foto itu menunjukkan Pang Wahab telah berwajah tua. Tentu, selagi muda, ia berbadan gagah. Pengalaman perang dalam tiga zaman merupakan anugerah Tuhan bagi hidupnya yang seabad lebih.


Pang Wahab memang tak populer di benak kita. Dengan julukan “Panglima Tiga Zaman”, insya Allah Pang Wahab terhitung syahid sebagaimana Khalid bin Walid, kendati mati di tempat tidur. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro)


#matapadi

Pada tahun 1980-an, turis berbondong-bondong ke Patung Liberty, ingin mendaki ke mahkotanya dan mengalami pemandangan Pelabuhan New York yang menakjubkan dan pemandangan kota di sekitarnya. Tanjakan itu sendiri adalah petualangan, karena para pengunjung berjalan menaiki tangga spiral sempit yang mengarah ke salah satu titik pandang yang paling menakjubkan di kota. Bagi banyak orang, pendakian ini dipandang sebagai kesempatan sekali seumur hidup untuk terhubung dengan salah satu simbol kebebasan paling ikonik di dunia. Di puncak, para turis disambut dengan pemandangan panorama landmark seperti Jembatan Brooklyn, Pulau Ellis, dan cakrawala Manhattan yang luas. Tetapi pengalaman itu bukan hanya tentang pandangan; itu tentang rasa yang mendalam berada di dalam simbol cita-cita dan kebebasan Amerika. Berdiri di atas mahkota, para pengunjung dipenuhi dengan rasa bangga dan hormat atas apa yang diwakili patung, membuat pendakian menjadi momen yang tak terlupakan dan hampir spiritual bagi banyak orang. Sepanjang tahun 1980-an, akses ke mahkota tetap menjadi pengalaman langka dan pribadi, yang menjadi semakin dihargai seiring berjalannya waktu. Setelah peristiwa tragis 11 September 2001, akses ke mahkota terbatas, menjadikan tahun 1980-an periode unik dalam sejarah patung. Pemandangan para turis yang bersemangat bersiap naik ke puncak Lady Liberty tetap menjadi kenangan nostalgia bagi mereka yang mengalaminya selama era yang lebih mudah diakses itu.

 Pada tahun 1980-an, turis berbondong-bondong ke Patung Liberty, ingin mendaki ke mahkotanya dan mengalami pemandangan Pelabuhan New York yang menakjubkan dan pemandangan kota di sekitarnya. Tanjakan itu sendiri adalah petualangan, karena para pengunjung berjalan menaiki tangga spiral sempit yang mengarah ke salah satu titik pandang yang paling menakjubkan di kota. Bagi banyak orang, pendakian ini dipandang sebagai kesempatan sekali seumur hidup untuk terhubung dengan salah satu simbol kebebasan paling ikonik di dunia.



Di puncak, para turis disambut dengan pemandangan panorama landmark seperti Jembatan Brooklyn, Pulau Ellis, dan cakrawala Manhattan yang luas. Tetapi pengalaman itu bukan hanya tentang pandangan; itu tentang rasa yang mendalam berada di dalam simbol cita-cita dan kebebasan Amerika. Berdiri di atas mahkota, para pengunjung dipenuhi dengan rasa bangga dan hormat atas apa yang diwakili patung, membuat pendakian menjadi momen yang tak terlupakan dan hampir spiritual bagi banyak orang.


Sepanjang tahun 1980-an, akses ke mahkota tetap menjadi pengalaman langka dan pribadi, yang menjadi semakin dihargai seiring berjalannya waktu. Setelah peristiwa tragis 11 September 2001, akses ke mahkota terbatas, menjadikan tahun 1980-an periode unik dalam sejarah patung. Pemandangan para turis yang bersemangat bersiap naik ke puncak Lady Liberty tetap menjadi kenangan nostalgia bagi mereka yang mengalaminya selama era yang lebih mudah diakses itu.

Kisah Warung Siluman Di tengah Peristiwa Bandung Lautan Api, kedai-kedai makanan bermunculan di pinggiran kota tersebut. Logistik pun mengalir tak berbatas untuk para pejuang dan pengungsi. Oleh: Hendi Jo | Foto: Rakyat Bandung mengungsi ke luar kota. Foto:IPPHOS BANDUNG 1946. Di hari ke-24 bulan Maret, secara perlahan namun pasti api mulai melahap seluruh area kota tersebut. Namun pada beberapa titik, sekelompok pejuang masih sibuk membakar rumah-rumah dengan menggunakan dinamit lokal yang sumbunya harus disulut secara langsung. “Bayangkan di tengah hujan gerimis, kami harus melakukannya satu persatu: betapa melelahkannya…”kenang Aleh (93), eks pejuang Bandung. Dalam keadaan gelap dan hujan tiada henti, Aleh dan kawan-kawan merasakan waktu berjalan sangat lama. Tetiba pukul 20.00 terdengar ledakan yang sangat keras dari arah timur: tanda perintah untuk membakar Bandung lebih dipercepat lagi. “Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan granat dan Molotov saja supaya lekas selesai…” ujar Aleh kepada Historia. Ledakan dasyat pun terdengar di seantero Bandung. Keadaan kota marak oleh cahaya api, yang memanjang dari arah barat hingga timur. Gumpalan asap putih yang bersanding dengan kepulan debu-debu berwarna hitam membumbung ke angkasa. Jalan yang semula gelap menjadi terang. Dan nampaklah iringan-iringan pengungsi bergerak menuju selatan Bandung. “Sulit untuk dilukiskan perasaan kami saat itu, melihat tumpah darah kami menjadi lautan api. Rasanya pasti sedih…” ungkap Karman Somawidjaja dalam Hari Juang Siliwangi. Rasa lelah yang mendera, menjadikan perut mereka keroncongan. Namun sama sekali tak ada makanan yang mereka bawa. Sementara untuk meminta kepada para pengungsi mereka pun merasa tak tega. Beruntung rasa lapar itu tak berlangsung lama. Begitu para pejuang dan pengungsi memasuki pinggiran Bandung, mereka menemukan warung-warung yang ternyata menyediakan makanan selama 24 jam. “Warung-warung yang malam buta pun tetap beroperasi itu kami sebut sebagai “warung siluman”,” kenang Mohamad Rivai dalam biografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Munculnya “warung-warung siluman” itu adalah murni atas inisiatif rakyat di pinggiran kota Bandung. Awalnya mereka membangun dapur umum di setiap desa, tetapi karena dapur umum tersebut tidak mencukupi untuk menampung para pejuang dan pengungsi, maka rakyat pun membuat sejenis warung darurat secara mandiri. Penyediaan bahan mentahnya pun dilakukan secara swadaya: memanfaatkan hasil kebun dan peternakan pribadi. Petugas-petugas warung tersebut terdiri dari para lelaki dan perempuan. Merekalah yang menyelenggarakan kebutuhan logistik para tamunya dari Bandung. “Tak ada yang mau dibayar, semua mereka berikan secara gratis dan ikhlas…” kenang Aleh. Menurut Haji Rusdi, salah satu koordinator warung-warung siluman itu, jumlah pos-pos logitsik tersebut mendekati jumlah ribuan. Di kawasan Cibaduyut saja, kata Haji Rusdi, jumlah warung siluman mencapai angka seratus lebih. “Sepanjang jalan Ciparay-Majalaya, saat itu dipenuhi warung-warung siluman yang diperkuat oleh ratusan pengelolanya…” ujar Haji Rusdi kepada surat kabar Minggu Buana edisi 18 Juli 1983.

 Kisah Warung Siluman


Di tengah Peristiwa Bandung Lautan Api, kedai-kedai makanan bermunculan di pinggiran kota tersebut. Logistik pun mengalir tak berbatas untuk para pejuang dan pengungsi.

Oleh: Hendi Jo | 



    Foto:

Rakyat Bandung mengungsi ke luar kota. Foto:IPPHOS


BANDUNG 1946. Di hari ke-24 bulan Maret, secara perlahan namun pasti api mulai melahap seluruh area kota tersebut. Namun pada beberapa titik, sekelompok pejuang masih sibuk membakar rumah-rumah dengan menggunakan dinamit lokal yang sumbunya harus disulut secara langsung.


“Bayangkan di tengah hujan gerimis, kami harus melakukannya satu persatu: betapa melelahkannya…”kenang Aleh (93), eks pejuang Bandung.


Dalam keadaan gelap dan hujan tiada henti, Aleh dan kawan-kawan merasakan waktu berjalan sangat lama. Tetiba pukul 20.00 terdengar ledakan yang sangat keras dari arah timur: tanda perintah untuk membakar Bandung lebih dipercepat lagi.


“Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan granat dan Molotov saja supaya lekas selesai…” ujar Aleh kepada Historia.


Ledakan dasyat pun terdengar di seantero Bandung. Keadaan kota marak oleh cahaya api, yang memanjang dari arah barat hingga timur. Gumpalan asap putih yang bersanding dengan kepulan debu-debu berwarna hitam membumbung ke angkasa. Jalan yang semula gelap menjadi terang. Dan nampaklah iringan-iringan pengungsi bergerak menuju selatan Bandung.


“Sulit untuk dilukiskan perasaan kami saat itu, melihat tumpah darah kami menjadi lautan api. Rasanya pasti sedih…” ungkap Karman Somawidjaja dalam Hari Juang Siliwangi.


Rasa lelah yang mendera, menjadikan perut mereka keroncongan. Namun sama sekali tak ada makanan yang mereka bawa. Sementara untuk meminta kepada para pengungsi mereka pun merasa tak tega.


Beruntung rasa lapar itu tak berlangsung lama. Begitu para pejuang dan pengungsi memasuki pinggiran Bandung, mereka menemukan warung-warung yang ternyata menyediakan makanan selama 24 jam.


“Warung-warung yang malam buta pun tetap beroperasi itu kami sebut sebagai “warung siluman”,” kenang Mohamad Rivai dalam biografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.


Munculnya “warung-warung siluman” itu adalah murni atas inisiatif rakyat di pinggiran kota Bandung. Awalnya mereka membangun dapur umum di setiap desa, tetapi karena dapur umum tersebut tidak mencukupi untuk menampung para pejuang dan pengungsi, maka rakyat pun membuat sejenis warung darurat secara mandiri.


Penyediaan bahan mentahnya pun dilakukan secara swadaya: memanfaatkan hasil kebun dan peternakan pribadi. Petugas-petugas warung tersebut terdiri dari para lelaki dan perempuan. Merekalah yang menyelenggarakan kebutuhan logistik para tamunya dari Bandung. “Tak ada yang mau dibayar, semua mereka berikan secara gratis dan ikhlas…” kenang Aleh.


Menurut Haji Rusdi, salah satu koordinator warung-warung siluman itu, jumlah pos-pos logitsik tersebut mendekati jumlah ribuan. Di kawasan Cibaduyut saja, kata Haji Rusdi, jumlah warung siluman mencapai angka seratus lebih.


“Sepanjang jalan Ciparay-Majalaya, saat itu dipenuhi warung-warung siluman yang diperkuat oleh ratusan pengelolanya…” ujar Haji Rusdi kepada surat kabar Minggu Buana edisi 18 Juli 1983.

KUBILAI KHAN MATI DI JAWA Sebelum menulis Novel “Ranggalawe: Sang Penakluk Mongol” saya pernah menulis status berjudul “Kubilai Khan Tewas di Jawa”. Banyak yang tak sepakat dengan tulisan itu, namun tak banyak yang menanggapinya dengan data. Padahal saya berharap dengan tambahan data, novel “Ranggalawe” yang akan saya tulis bisa lebih kaya informasi. Sekarang saya menulis tema itu lagi agar kita tahu bahwa data sejarah itu tak tunggal, termasuk kisah tentang serangan Mongol ke Jawa pada dekade terakhir abad ke-13. Ada banyak sumber data, ada banyak perbedaan. Perang Jawa-Mongol yang terjadi pada tahun 1293 disebut dalam tiga sumber, yaitu: Tiongkok (Sejarah Negeri Yuan 1279-1368, catatan Shi Bi, Gao Xing, dan Ike Mese), Bali (Kidung Harsawijaya dan Kidung Ranggalawe), dan Jawa (Prasasti Gunung Butak, Prasasti Kertarajasa 1296, dan Prasasti Kertarajasa 1305). Namun, penulisan sejarah di Indonesia terkait perang abad ke-13 itu lebih banyak menggunakan sumber Tiongkok daripada sumber Bali dan Jawa, misalnya tentang siapa yang memimpin pasukan Mongol dan berapa jumlah kekuatan pasukannya. Sumber Tiongkok, terutama dari Sejarah Negeri Yuan, menyebut bahwa pada bulan kedua 1292 Kaisar Kubilai Khan memerintah Gubernur Fukien untuk mengirimkan Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing guna memimpin pasukan ke Jawa dengan armada 1.000 kapal. Mereka datang memimpin 20.000 prajurit, perbekalan 40.000 batang perak, 10 lencana harimau, 40 batang emas, 100 lencana perak, 100 gulung sutra, yang akan digunakan sebagai penghargaan kepada para prajurit yang berjasa dalam perang. Sebelum berangkat ke Jawa, mereka bertemu Kubilai Khan dan mendapat penjelasan bahwa mereka diperintah menyerbu Jawa karena utusan khususnya terdahulu, Meng Qi, dilukai wajahnya oleh Raja Singasari Kertanegara. Sejarah Negeri Yuan bercerita bahwa Wijaya (Pijaya) menyatakan takluk kepada Kaisar dan meminta perlindungan dari serangan Jayakatwang (Raja Katong). Pasukan Mongol dikirim dalam tiga gelombang untuk menekuk Daha, kotaraja Kediri. Istana Daha dipertahankan oleh 100.000 prajurit. Jayakatwang kalah dan melarikan diri, 5.000 prajuritnya tewas. Cerita ini berbeda dengan catatan para panglima perang yang memimpin pasukan Mongol tersebut. Misalnya, untuk pasukan Mongol Sejarah Negeri Yuan menyebut jumlahnya 20.000 prajurit, Shi Bi mencatat 5.000 prajurit, Gao Xing mencatat 1.000 prajurit, sedangkan Ike Mese tak menyebut jumlah pasukan. Tentang nasib Jayakatwang setelah perang, Sejarah Negeri Yuan dan Shi Bi menyebut bahwa raja Kediri tersebut ditawan, Gao Xing mencatat ia dibunuh, sedangkan Ike Mese tak mencatat apa pun. Dalam hal rampasan perang yang sempat dibawa pulang ke Tiongkok, Sejarah Negeri Yuan dan Ike Mese menyebut bahwa rampasan perangnya kecil, Shi Bi mencatat rampasan perangnya banyak, sedangkan Gao Xing tidak mencatat adanya rampasan perang. Namun, terkait Wijaya melawan balik pasukan Mongol dan mengusir mereka dari Jawa, baik Sejarah Negeri Yuan maupun para panglima perang mencatat hal yang sama. Sumber Tiongkok ini ada dalam buku karya W.P. Groeneveldt, “Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources”. Groeneveldt sendiri mengkritik Sejarah Negeri Yuan terkait penyerbuan Mongol ke Jawa dengan mengatakan bahwa terdapat banyak kesalahan dan ketidaktepatan informasi dalam catatan di sana, karena itu ia membandingkannya dengan catatan para perwira yang memimpin pasukan Mongol ke Jawa untuk menghukum Kertanegara. Dari sumber Tiongkok saja kita tahu bahwa data sejarah tentang peristiwa tersebut tidak tunggal, apalagi kalau dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya. Sekarang mari kita lihat sumber dari Bali. Kidung Harsawijaya menceritakan bahwa pasukan Mongol datang ke Jawa atas permintaan Adipati Sumenep Arya Wiraraja. Kidung Harsawijaya menyebut bahwa Raja Tatar tiba di Canggu. Tahu kalau ada pasukan asing, Jayakatwang melawan. Raja Kediri itu juga marah kepada Harsawijaya (Wijaya) yang bersekutu dengan Mongol; ia merasa dikhianati. Jayakatwang bertempur bersama para sentananya. Saat pertempuran berkecamuk, dia moksa di atas gajah tunggangannya. Rampasan perang dibawa ke Tarik (Majapahit), sehingga Raja Tatar marah dan terjadi perang antara dua pihak yang awalnya bersekutu tersebut. Pasukan Mongol akhirnya kalah dan terusir dari Jawa. Herman Pratikto dalam ulasannya terhadap Kidung Harsawijaya dan Pararaton seperti dikutip dalam buku “Sejarah Tuban” menyebut bahwa jenderal Mongol yang memimpin perang di Jawa hanya dua orang: Che Pi dan Ji’Komisu. Kidung Harsawijaya mengabadikan kemenangan itu dengan kalimat: “Sakwe ing satru wus enti dinon denira Sri Bhupati katekeng Nusantara akwe log lyan tungkul subhakya karuhun tang Bali Tatar Tumasik Sampi Koci lan Gurun, Wadan Tanjung-pura tan open tang Dampo Palembang Makasar prapta sama mawwat sesi ni pura. (Musuh telah dikalahkan oleh Sang Raja hingga Nusantara yang luas juga takluk dan berbakti, terutama Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, dan Gurun; Wandan, Tanjungpura, apalagi Dampo, Palembang, Makasar, datang bersembah seisi negeri).” Kidung Harsawijaya pada bagian VI. 117 itu menyebut Tatar salah satu negeri yang ditaklukkan Jawa. Kisah dalam Kidung Harsawijaya sedikit berbeda dengan Kidung Ranggalawe. Kidung Harsawijaya menyebut bahwa kedatangan pasukan Mongol ke Jawa adalah atas permintaan Adipati Sumenep Arya Wiraraja, sedangkan Kidung Ranggalawe menyebut kedatangan mereka atas ide Ranggalawe. Kidung Harsawijaya menyebut pasukan Pamalayu yang dipimpin Kebo Anabrang datang sebelum perang di Daha, sedangkan Kidung Ranggalawe menyebut pasukan dari Darmasraya itu datang setelah Jayakatwang kalah. Kidung Harsawijaya menyebut Jayakatwang moksa, Kidung Ranggalawe menyebut Jayakatwang ditahan pasukan Tatar. Kidung Harsawijaya menyebut Raja Mongol tewas di Jawa, sedangkan Kidung Ranggalawe mengatakan Raja Tatar pulang ke negerinya. Apakah betul Raja Tatar pulang ke negerinya? Mari kita menelisik sumber dari Jawa. Prasasti Kertarajasa 1296 menggambarkan hebatnya pertempuran antara pasukan Jawa dan Mongol ibarat perang antara Kresna dan Kangsa: “Bhuta nirawacesa tlas hilang pwa ng catru denira, Kangsarajantakawalakrsna-nirbhina, tanpa bheda ta sira lawan sang Krsnawalaputra, umilangaken Sang Prabu Kangsa. (Musuh disapu habis, tak tersisa lagi, hancur lebur jadi abu, sungguh tak berbeda perbuatannya dengan perbuatan Kresna yang membunuh Prabu Kangsa).” Dalam Bhagawata Purana dan Padmapurana, Kangsa digambarkan sebagai kesatria hebat, sedangkan Kresna adalah anak pasangan Dewaki-Basudewa yang diasuh oleh keluarga Nandagopa-Yasoda di Kampung Gokula. Dalam banyak hal Kresna kalah, tapi buktinya ia mampu mengalahkan Kangsa. Itulah sebabnya Prasasti Kertarajasa 1296 mengibaratkan keberhasilan pasukan Majapahit membunuh Kubilai Khan layaknya kemenangan Kresna melawan Prabu Kangsa. Apakah betul “Kangsa” yang dimaksud dalam Prasasti Kertarajasa 1296 adalah Kubilai Khan? Prasasti Kertarajasa 1305 mencatat bahwa “Singgasana Raja Jawa dihiasi kepala Raja Dwipantara”. Model pemenggalan kepala musuh oleh penguasa Jawa sebenarnya bukan hal yang aneh. Abu Zaid Hasan, seorang pengelana Arab, seperti dikutip oleh Groeneveldt, mencatat bahwa pada tahun 916 penguasa Jawa pernah memenggal kepala Raja Khmer karena tak patuh, kepala itu dibersihkan, diawetkan, ditaruh dalam jambangan, lalu dikirimkan kepada raja penggantinya dengan surat berbunyi: “Dirasa tak penting untuk menyimpannya di sini, kami memutuskan untuk mengirimkan kembali kepalanya kepadamu.” Kita masih bisa berdebat tentang kata “Dwipantara”; apakah betul kata itu merujuk pada Tiongkok? Kata Dwipantara digunakan dalam penulisan prasasti, kakawin, babad, dan kidung, di antaranya Prasasti Kertarajasa, Prasasti Gunung Butak, Prasasti Jayanegara II, Prasasti Prabu Tribuwana, Kakawin Negarakertagama, Kidung Harsawijaya, dan Babad Tanah Jawi. Selain menggunakan istilah Dwipantara, Negarakertagama juga menggunakan istilah Nusantara dan Desantara. Berdasarkan pemetaan terhadap kakawin itu, Irawan Djoko Nugroho (seorang filolog dan ahli naskah tua UGM) menyebut Nusantara meliputi wilayah barat dan timur Jawa, Desantara meliputi wilayah Indocina sekarang, sedangkan Dwipantara meliputi Jambudwipa (India), Tiongkok, Karnataka (India Selatan), dan Goa (India Selatan). Jika Dwipantara terdiri dari dua wilayah besar, India dan Tiongkok (sekarang), tak mungkin yang dimaksud Dwipantara dalam Prasasti Kertarajasa 1305 adalah India sekarang, sebab pada abad ke-13 tak ada pasukan dari wilayah itu yang menyerang Jawa, yang ada adalah pasukan dari Tiongkok, pasukan Mongol. Jadi, kepala Raja Dwipantara yang menghiasi singgasana Raja Jawa saat itu tak lain adalah kepala penguasa Mongol, Kubilai Khan. Apakah benar itu kepala raja, bukan kepala panglimanya atau kepala prajurit biasa? Masa orang Jawa tak bisa membedakan antara raja, panglima, dan prajurit biasa? Dua kidung di atas menyebut Raja Tatar, dua prasasti juga menyebut kata raja; bagaimana kita bisa meragukannya? Tak mungkin kepala panglima, sebab tiga panglima perang mereka tak mati di Jawa, mereka berhasil pulang ke Tiongkok dan menulis peristiwa perang Jawa-Mongol yang kemudian menjadi rujukan sejarah arus utama. John Man dalam “Kubilai Khan: Legenda Sang Penguasa Terbesar dalam Sejarah” mencatat bahwa merahasiakan kematian seorang kaisar dalam perang adalah bagian dari strategi untuk mengalahkan musuh, hal itu terjadi pada kematian Jenghis Khan dan Mongke Khan. Man juga mencatat bahwa Sang Khan mati pada tahun1294 karena masalah kesehatan yang memburuk. Tapi, mengapa Kubilai Khan tak dimakamkan secara layak? Mayat Khan Agung dibawa berjalan sejauh 1.000 km dan dimakamkan di lereng Burkhan Khaldun, di Pegunungan Khenti. Man beralasan Kubilai Khan dimakamkan secara sederhana karena telah menghabiskan kekayaan untuk operasi militer! Tak masuk akal kiranya seorang penguasa besar tak dimakamkan secara layak karena alasan kekayaan habis oleh operasi militer Irawan Djoko Nugroro dalam “Majapahit: Peradaban Maritim, Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia” menulis bahwa pada tahun 1294 kepala Kubilai Khan dikirim dari Jawa seperti kepala Raja Khmer. Tubuhnya sendiri tiba di istana Negeri Yuan pada 18 Februari 1294. Karena mayat Kubilai Khan yang tak utuh itu, maka pemakamannya dilakukan secara sederhana.

 KUBILAI KHAN MATI DI JAWA 


Sebelum menulis Novel “Ranggalawe: Sang Penakluk Mongol” saya pernah menulis status berjudul “Kubilai Khan Tewas di Jawa”. Banyak yang tak sepakat dengan tulisan itu, namun tak banyak yang menanggapinya dengan data. Padahal saya berharap dengan tambahan data, novel “Ranggalawe” yang akan saya tulis bisa lebih kaya informasi. Sekarang saya menulis tema itu lagi agar kita tahu bahwa data sejarah itu tak tunggal, termasuk kisah tentang serangan Mongol ke Jawa pada dekade terakhir abad ke-13. Ada banyak sumber data, ada banyak perbedaan.



Perang Jawa-Mongol yang terjadi pada tahun 1293 disebut dalam tiga sumber, yaitu: Tiongkok (Sejarah Negeri Yuan 1279-1368, catatan Shi Bi, Gao Xing, dan Ike Mese), Bali (Kidung Harsawijaya dan Kidung Ranggalawe), dan Jawa (Prasasti Gunung Butak, Prasasti Kertarajasa 1296, dan Prasasti Kertarajasa 1305). Namun, penulisan sejarah di Indonesia terkait perang abad ke-13 itu lebih banyak menggunakan sumber Tiongkok daripada sumber Bali dan Jawa, misalnya tentang siapa yang memimpin pasukan Mongol dan berapa jumlah kekuatan pasukannya.


Sumber Tiongkok, terutama dari Sejarah Negeri Yuan, menyebut bahwa pada bulan kedua 1292 Kaisar Kubilai Khan memerintah Gubernur Fukien untuk mengirimkan Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing guna memimpin pasukan ke Jawa dengan armada 1.000 kapal. Mereka datang memimpin 20.000 prajurit, perbekalan 40.000 batang perak, 10 lencana harimau, 40 batang emas, 100 lencana perak, 100 gulung sutra, yang akan digunakan sebagai penghargaan kepada para prajurit yang berjasa dalam perang. Sebelum berangkat ke Jawa, mereka bertemu Kubilai Khan dan mendapat penjelasan bahwa mereka diperintah menyerbu Jawa karena utusan khususnya terdahulu, Meng Qi, dilukai wajahnya oleh Raja Singasari Kertanegara.


Sejarah Negeri Yuan bercerita bahwa Wijaya (Pijaya) menyatakan takluk kepada Kaisar dan meminta perlindungan dari serangan Jayakatwang (Raja Katong). Pasukan Mongol dikirim dalam tiga gelombang untuk menekuk Daha, kotaraja Kediri. Istana Daha dipertahankan oleh 100.000 prajurit. Jayakatwang kalah dan melarikan diri, 5.000 prajuritnya tewas. Cerita ini berbeda dengan catatan para panglima perang yang memimpin pasukan Mongol tersebut. Misalnya, untuk pasukan Mongol Sejarah Negeri Yuan menyebut jumlahnya 20.000 prajurit, Shi Bi mencatat 5.000 prajurit, Gao Xing mencatat 1.000 prajurit, sedangkan Ike Mese tak menyebut jumlah pasukan. Tentang nasib Jayakatwang setelah perang, Sejarah Negeri Yuan dan Shi Bi menyebut bahwa raja Kediri tersebut ditawan, Gao Xing mencatat ia dibunuh, sedangkan Ike Mese tak mencatat apa pun. Dalam hal rampasan perang yang sempat dibawa pulang ke Tiongkok, Sejarah Negeri Yuan dan Ike Mese menyebut bahwa rampasan perangnya kecil, Shi Bi mencatat rampasan perangnya banyak, sedangkan Gao Xing tidak mencatat adanya rampasan perang. Namun, terkait Wijaya melawan balik pasukan Mongol dan mengusir mereka dari Jawa, baik Sejarah Negeri Yuan maupun para panglima perang mencatat hal yang sama.


Sumber Tiongkok ini ada dalam buku karya W.P. Groeneveldt, “Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources”. Groeneveldt sendiri mengkritik Sejarah Negeri Yuan terkait penyerbuan Mongol ke Jawa dengan mengatakan bahwa terdapat banyak kesalahan dan ketidaktepatan informasi dalam catatan di sana, karena itu ia membandingkannya dengan catatan para perwira yang memimpin pasukan Mongol ke Jawa untuk menghukum Kertanegara. Dari sumber Tiongkok saja kita tahu bahwa data sejarah tentang peristiwa tersebut tidak tunggal, apalagi kalau dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya. Sekarang mari kita lihat sumber dari Bali.


Kidung Harsawijaya menceritakan bahwa pasukan Mongol datang ke Jawa atas permintaan Adipati Sumenep Arya Wiraraja. Kidung Harsawijaya menyebut bahwa Raja Tatar tiba di Canggu. Tahu kalau ada pasukan asing, Jayakatwang melawan. Raja Kediri itu juga marah kepada Harsawijaya (Wijaya) yang bersekutu dengan Mongol; ia merasa dikhianati. Jayakatwang bertempur bersama para sentananya. Saat pertempuran berkecamuk, dia moksa di atas gajah tunggangannya. Rampasan perang dibawa ke Tarik (Majapahit), sehingga Raja Tatar marah dan terjadi perang antara dua pihak yang awalnya bersekutu tersebut. Pasukan Mongol akhirnya kalah dan terusir dari Jawa. Herman Pratikto dalam ulasannya terhadap Kidung Harsawijaya dan Pararaton seperti dikutip dalam buku “Sejarah Tuban” menyebut bahwa jenderal Mongol yang memimpin perang di Jawa hanya dua orang: Che Pi dan Ji’Komisu.


Kidung Harsawijaya mengabadikan kemenangan itu dengan kalimat: “Sakwe ing satru wus enti dinon denira Sri Bhupati katekeng Nusantara akwe log lyan tungkul subhakya karuhun tang Bali Tatar Tumasik Sampi Koci lan Gurun, Wadan Tanjung-pura tan open tang Dampo Palembang Makasar prapta sama mawwat sesi ni pura. (Musuh telah dikalahkan oleh Sang Raja hingga Nusantara yang luas juga takluk dan berbakti, terutama Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, dan Gurun; Wandan, Tanjungpura, apalagi Dampo, Palembang, Makasar, datang bersembah seisi negeri).” Kidung Harsawijaya pada bagian VI. 117 itu menyebut Tatar salah satu negeri yang ditaklukkan Jawa.


Kisah dalam Kidung Harsawijaya sedikit berbeda dengan Kidung Ranggalawe. Kidung Harsawijaya menyebut bahwa kedatangan pasukan Mongol ke Jawa adalah atas permintaan Adipati Sumenep Arya Wiraraja, sedangkan Kidung Ranggalawe menyebut kedatangan mereka atas ide Ranggalawe. Kidung Harsawijaya menyebut pasukan Pamalayu yang dipimpin Kebo Anabrang datang sebelum perang di Daha, sedangkan Kidung Ranggalawe menyebut pasukan dari Darmasraya itu datang setelah Jayakatwang kalah. Kidung Harsawijaya menyebut Jayakatwang moksa, Kidung Ranggalawe menyebut Jayakatwang ditahan pasukan Tatar. Kidung Harsawijaya menyebut Raja Mongol tewas di Jawa, sedangkan Kidung Ranggalawe mengatakan Raja Tatar pulang ke negerinya. Apakah betul Raja Tatar pulang ke negerinya? Mari kita menelisik sumber dari Jawa.


Prasasti Kertarajasa 1296 menggambarkan hebatnya pertempuran antara pasukan Jawa dan Mongol ibarat perang antara Kresna dan Kangsa: “Bhuta nirawacesa tlas hilang pwa ng catru denira, Kangsarajantakawalakrsna-nirbhina, tanpa bheda ta sira lawan sang Krsnawalaputra, umilangaken Sang Prabu Kangsa. (Musuh disapu habis, tak tersisa lagi, hancur lebur jadi abu, sungguh tak berbeda perbuatannya dengan perbuatan Kresna yang membunuh Prabu Kangsa).” Dalam Bhagawata Purana dan Padmapurana, Kangsa digambarkan sebagai kesatria hebat, sedangkan Kresna adalah anak pasangan Dewaki-Basudewa yang diasuh oleh keluarga Nandagopa-Yasoda di Kampung Gokula. Dalam banyak hal Kresna kalah, tapi buktinya ia mampu mengalahkan Kangsa. Itulah sebabnya Prasasti Kertarajasa 1296 mengibaratkan keberhasilan pasukan Majapahit membunuh Kubilai Khan layaknya kemenangan Kresna melawan Prabu Kangsa. Apakah betul “Kangsa” yang dimaksud dalam Prasasti Kertarajasa 1296 adalah Kubilai Khan?


Prasasti Kertarajasa 1305 mencatat bahwa “Singgasana Raja Jawa dihiasi kepala Raja Dwipantara”. Model pemenggalan kepala musuh oleh penguasa Jawa sebenarnya bukan hal yang aneh. Abu Zaid Hasan, seorang pengelana Arab, seperti dikutip oleh Groeneveldt, mencatat bahwa pada tahun 916 penguasa Jawa pernah memenggal kepala Raja Khmer karena tak patuh, kepala itu dibersihkan, diawetkan, ditaruh dalam jambangan, lalu dikirimkan kepada raja penggantinya dengan surat berbunyi: “Dirasa tak penting untuk menyimpannya di sini, kami memutuskan untuk mengirimkan kembali kepalanya kepadamu.”


Kita masih bisa berdebat tentang kata “Dwipantara”; apakah betul kata itu merujuk pada Tiongkok? Kata Dwipantara digunakan dalam penulisan prasasti, kakawin, babad, dan kidung, di antaranya Prasasti Kertarajasa, Prasasti Gunung Butak, Prasasti Jayanegara II, Prasasti Prabu Tribuwana, Kakawin Negarakertagama, Kidung Harsawijaya, dan Babad Tanah Jawi. Selain menggunakan istilah Dwipantara, Negarakertagama juga menggunakan istilah Nusantara dan Desantara. Berdasarkan pemetaan terhadap kakawin itu, Irawan Djoko Nugroho (seorang filolog dan ahli naskah tua UGM) menyebut Nusantara meliputi wilayah barat dan timur Jawa, Desantara meliputi wilayah Indocina sekarang, sedangkan Dwipantara meliputi Jambudwipa (India), Tiongkok, Karnataka (India Selatan), dan Goa (India Selatan). Jika Dwipantara terdiri dari dua wilayah besar, India dan Tiongkok (sekarang), tak mungkin yang dimaksud Dwipantara dalam Prasasti Kertarajasa 1305 adalah India sekarang, sebab pada abad ke-13 tak ada pasukan dari wilayah itu yang menyerang Jawa, yang ada adalah pasukan dari Tiongkok, pasukan Mongol. Jadi, kepala Raja Dwipantara yang menghiasi singgasana Raja Jawa saat itu tak lain adalah kepala penguasa Mongol, Kubilai Khan. Apakah benar itu kepala raja, bukan kepala panglimanya atau kepala prajurit biasa? Masa orang Jawa tak bisa membedakan antara raja, panglima, dan prajurit biasa? Dua kidung di atas menyebut Raja Tatar, dua prasasti juga menyebut kata raja; bagaimana kita bisa meragukannya? Tak mungkin kepala panglima, sebab tiga panglima perang mereka tak mati di Jawa, mereka berhasil pulang ke Tiongkok dan menulis peristiwa perang Jawa-Mongol yang kemudian menjadi rujukan sejarah arus utama.


John Man dalam “Kubilai Khan: Legenda Sang Penguasa Terbesar dalam Sejarah” mencatat bahwa merahasiakan kematian seorang kaisar dalam perang adalah bagian dari strategi untuk mengalahkan musuh, hal itu terjadi pada kematian Jenghis Khan dan Mongke Khan. Man juga mencatat bahwa Sang Khan mati pada tahun1294 karena masalah kesehatan yang memburuk. Tapi, mengapa Kubilai Khan tak dimakamkan secara layak? Mayat Khan Agung dibawa berjalan sejauh 1.000 km dan dimakamkan di lereng Burkhan Khaldun, di Pegunungan Khenti. Man beralasan Kubilai Khan dimakamkan secara sederhana karena telah menghabiskan kekayaan untuk operasi militer! Tak masuk akal kiranya seorang penguasa besar tak dimakamkan secara layak karena alasan kekayaan habis oleh operasi militer


Irawan Djoko Nugroro dalam “Majapahit: Peradaban Maritim, Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia” menulis bahwa pada tahun 1294 kepala Kubilai Khan dikirim dari Jawa seperti kepala Raja Khmer. Tubuhnya sendiri tiba di istana Negeri Yuan pada 18 Februari 1294. Karena mayat Kubilai Khan yang tak utuh itu, maka pemakamannya dilakukan secara sederhana.