30 September 2025

Detik-detik Nafas Putri Jenderal A.H. Nasution: "Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?" 1 Oktober 1965, pukul 04.00 dini hari. Rumah Jenderal Besar A.H. Nasution diguncang ketegangan ketika empat truk dan dua mobil militer pasukan Tjakrabirawa menyerbu untuk menculik dan menghabisinya. Sang jenderal berhasil meloloskan diri, tetapi peluru-peluru panas justru menghujani putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution, yang baru berusia lima tahun. Tubuh mungil Ade Irma terkena tiga peluru. Ia menjadi tameng hidup bagi ayahnya. Sang putri kecil segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto, menjalani operasi demi operasi untuk mengeluarkan sisa peluru senjata AK-47 dari tubuhnya. Hari demi hari, kondisi Ade Irma terus kritis. Dokter yang menanganinya, Brigjen dr. Arie Sadhewo, tak henti kagum dengan daya tahan bocah kecil itu. "Seorang dewasa saja sulit bertahan terkena peluru sebesar ini," gumam sang dokter. Namun Ade Irma, dengan tubuh mungilnya, sudah lima hari bertahan melawan maut. Di ruang paviliun anak RSPAD, suasana begitu hening meski tentara berjaga ketat. Jenderal Nasution dan istrinya bergantian mendampingi putri kecilnya, penuh doa dan harapan. Hendrianti Sahara Nasution, sang kakak berusia 13 tahun, menahan tangis di sisi ranjang. Sore itu, 6 Oktober 1965, setelah operasi keempat selesai, Ade Irma tampak lemah dan memejamkan mata. Ketika dokter memperbolehkan keluarga masuk, Hendrianti mendekat sambil berlinang air mata. Tiba-tiba, suara lirih memecah keheningan: > “Kakak jangan menangis, Adik sehat.” Ade Irma membuka mata, menatap lembut ke arah kakaknya, lalu beralih kepada sang ibu. Dengan kepolosan seorang anak, ia bertanya: > “Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?” Pertanyaan itu menusuk hati. Ibu Johanna Sunarti, tertegun, menahan air mata. Belum sempat menjawab, Ade Irma kembali memejamkan mata. Dengan lirih dan penuh kepasrahan, sang ibu membisikkan kata-kata terakhir: > “Mama ikhlas Ade pergi.” Malam itu, pukul 20.00 WIB, setelah lima hari berjuang menahan sakit, Ade Irma Suryani Nasution menghembuskan napas terakhirnya. Indonesia kehilangan seorang malaikat kecil yang gugur dalam sejarah kelam bangsa. Namun, kisah keberanian dan pengorbanannya tidak pernah padam. Ade Irma menjadi simbol kepolosan yang dikorbankan oleh kebrutalan, sekaligus cahaya abadi yang mengingatkan generasi penerus tentang harga mahal yang harus dibayar untuk menjaga bangsa. Sumber : mkaskus.co.id #AdeIrmaSuryani #PahlawanKecil #SejarahIndonesia #G30SPKI #JohannaSunarti #PengorbananTakTerlupakan #IndonesiaMengenang

 Detik-detik Nafas Putri Jenderal A.H. Nasution: "Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?"


1 Oktober 1965, pukul 04.00 dini hari.

Rumah Jenderal Besar A.H. Nasution diguncang ketegangan ketika empat truk dan dua mobil militer pasukan Tjakrabirawa menyerbu untuk menculik dan menghabisinya. Sang jenderal berhasil meloloskan diri, tetapi peluru-peluru panas justru menghujani putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution, yang baru berusia lima tahun.



Tubuh mungil Ade Irma terkena tiga peluru. Ia menjadi tameng hidup bagi ayahnya. Sang putri kecil segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto, menjalani operasi demi operasi untuk mengeluarkan sisa peluru senjata AK-47 dari tubuhnya.


Hari demi hari, kondisi Ade Irma terus kritis. Dokter yang menanganinya, Brigjen dr. Arie Sadhewo, tak henti kagum dengan daya tahan bocah kecil itu. "Seorang dewasa saja sulit bertahan terkena peluru sebesar ini," gumam sang dokter. Namun Ade Irma, dengan tubuh mungilnya, sudah lima hari bertahan melawan maut.


Di ruang paviliun anak RSPAD, suasana begitu hening meski tentara berjaga ketat. Jenderal Nasution dan istrinya bergantian mendampingi putri kecilnya, penuh doa dan harapan. Hendrianti Sahara Nasution, sang kakak berusia 13 tahun, menahan tangis di sisi ranjang.


Sore itu, 6 Oktober 1965, setelah operasi keempat selesai, Ade Irma tampak lemah dan memejamkan mata. Ketika dokter memperbolehkan keluarga masuk, Hendrianti mendekat sambil berlinang air mata. Tiba-tiba, suara lirih memecah keheningan:


> “Kakak jangan menangis, Adik sehat.”


Ade Irma membuka mata, menatap lembut ke arah kakaknya, lalu beralih kepada sang ibu. Dengan kepolosan seorang anak, ia bertanya:


> “Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?”


Pertanyaan itu menusuk hati. Ibu Johanna Sunarti, tertegun, menahan air mata. Belum sempat menjawab, Ade Irma kembali memejamkan mata.


Dengan lirih dan penuh kepasrahan, sang ibu membisikkan kata-kata terakhir:


> “Mama ikhlas Ade pergi.”


Malam itu, pukul 20.00 WIB, setelah lima hari berjuang menahan sakit, Ade Irma Suryani Nasution menghembuskan napas terakhirnya. Indonesia kehilangan seorang malaikat kecil yang gugur dalam sejarah kelam bangsa.


Namun, kisah keberanian dan pengorbanannya tidak pernah padam. Ade Irma menjadi simbol kepolosan yang dikorbankan oleh kebrutalan, sekaligus cahaya abadi yang mengingatkan generasi penerus tentang harga mahal yang harus dibayar untuk menjaga bangsa.

Sumber : mkaskus.co.id

Om Phol

#AdeIrmaSuryani

#PahlawanKecil

#SejarahIndonesia

#G30SPKI

#JohannaSunarti

#PengorbananTakTerlupakan

#IndonesiaMengenang

No comments:

Post a Comment