11 September 2025

Prasasti Balingawan adalah salah satu dokumen epigrafis penting dari Jawa Timur yang memperlihatkan wajah hukum, politik, dan kehidupan sosial masyarakat desa pada akhir abad ke-9 M. Inskripsi ini unik karena ditemukan dalam dua media berbeda: sebuah stele andesit dan bagian belakang arca Ganesha. Kedua artefak tersebut kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia, masing-masing dengan nomor inventaris D 54 dan D 109. Catatan awal tentang keberadaannya berasal dari H.J. Domis pada 1836, ketika ia menyebut delapan batu bertulisan huruf Jawa Kuna (disebut Kawische letters), meski kini hanya enam yang masih bertahan. Sejak saat itu, perjalanan prasasti ini cukup panjang: dari Singasari (Malang), dibawa ke Batavia oleh J.Th. Bik atas perintah Gubernur Jenderal van der Capellen, hingga akhirnya menjadi koleksi permanen museum. Secara arkeologis, bagian pertama prasasti dipahatkan pada batu andesit berbentuk stele setinggi 63,5–82 cm, lebar 47 cm, dan tebal 17 cm, dengan tonjolan persegi di bagian bawah yang tampaknya berfungsi sebagai alas penyangga. Tulisan memenuhi keempat sisi: 14 baris di depan, 18 baris di belakang, 4 baris di bagian atas, serta bagian tambahan 15 baris yang terbagi dua. Bagian kedua terdapat pada arca Ganesha, yang ditemukan di area pemakaman Tionghoa Malang pada 1901 oleh Leydie Melville. Arca ini bergaya Jawa Tengah, menunjukkan bahwa meski prasastinya bertarikh Jawa Timur, artefak keagamaan lama didaur ulang untuk kepentingan administratif. Arca tersebut menggambarkan Ganesha dengan empat tangan—dua memegang aksamala dan kapak, satu membawa gading patah, dan satu lagi mangkuk—duduk di atas padmasana, meskipun kepala dan ornamen telinganya sudah rusak. Keberadaan inskripsi pada arca ini menegaskan adanya praktik “pemanfaatan ulang” ikon keagamaan untuk fungsi hukum. Prasasti itu sendiri berangka tahun Saka 813, atau 13 April 891 M. Menariknya, nama raja tidak tercantum. Hal ini berbeda dari kebiasaan umum prasasti Jawa Kuna yang biasanya menyebut penguasa sebagai legitimasi utama. Ketidakhadiran nama raja justru menonjolkan peran pejabat lokal, seperti rakryan kanuruhan pu Huntu, mapatih katrini, dan para nayaka, sebagai penentu keputusan administratif. Dari segi isi, prasasti ini mendokumentasikan permohonan rama Balingawan agar tanah desa mereka ditetapkan sebagai sima (perdikan bebas pajak). Permohonan ini berangkat dari penderitaan nyata: penduduk desa selalu terbebani oleh hukum kolektif yang mewajibkan mereka membayar denda bila terjadi kejahatan seperti pembunuhan atau penemuan mayat tanpa pelaku. Hukum ini, yang dikenal sebagai rah kasawur (darah tertumpah) dan waṅkay kabunan (mayat yang ditemukan), menjadikan seluruh desa bertanggung jawab atas peristiwa kriminal yang bahkan tidak mereka lakukan.

 Prasasti Balingawan adalah salah satu dokumen epigrafis penting dari Jawa Timur yang memperlihatkan wajah hukum, politik, dan kehidupan sosial masyarakat desa pada akhir abad ke-9 M. Inskripsi ini unik karena ditemukan dalam dua media berbeda: sebuah stele andesit dan bagian belakang arca Ganesha. Kedua artefak tersebut kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia, masing-masing dengan nomor inventaris D 54 dan D 109. Catatan awal tentang keberadaannya berasal dari H.J. Domis pada 1836, ketika ia menyebut delapan batu bertulisan huruf Jawa Kuna (disebut Kawische letters), meski kini hanya enam yang masih bertahan. Sejak saat itu, perjalanan prasasti ini cukup panjang: dari Singasari (Malang), dibawa ke Batavia oleh J.Th. Bik atas perintah Gubernur Jenderal van der Capellen, hingga akhirnya menjadi koleksi permanen museum.



Secara arkeologis, bagian pertama prasasti dipahatkan pada batu andesit berbentuk stele setinggi 63,5–82 cm, lebar 47 cm, dan tebal 17 cm, dengan tonjolan persegi di bagian bawah yang tampaknya berfungsi sebagai alas penyangga. Tulisan memenuhi keempat sisi: 14 baris di depan, 18 baris di belakang, 4 baris di bagian atas, serta bagian tambahan 15 baris yang terbagi dua. Bagian kedua terdapat pada arca Ganesha, yang ditemukan di area pemakaman Tionghoa Malang pada 1901 oleh Leydie Melville. Arca ini bergaya Jawa Tengah, menunjukkan bahwa meski prasastinya bertarikh Jawa Timur, artefak keagamaan lama didaur ulang untuk kepentingan administratif. Arca tersebut menggambarkan Ganesha dengan empat tangan—dua memegang aksamala dan kapak, satu membawa gading patah, dan satu lagi mangkuk—duduk di atas padmasana, meskipun kepala dan ornamen telinganya sudah rusak. Keberadaan inskripsi pada arca ini menegaskan adanya praktik “pemanfaatan ulang” ikon keagamaan untuk fungsi hukum.


Prasasti itu sendiri berangka tahun Saka 813, atau 13 April 891 M. Menariknya, nama raja tidak tercantum. Hal ini berbeda dari kebiasaan umum prasasti Jawa Kuna yang biasanya menyebut penguasa sebagai legitimasi utama. Ketidakhadiran nama raja justru menonjolkan peran pejabat lokal, seperti rakryan kanuruhan pu Huntu, mapatih katrini, dan para nayaka, sebagai penentu keputusan administratif. Dari segi isi, prasasti ini mendokumentasikan permohonan rama Balingawan agar tanah desa mereka ditetapkan sebagai sima (perdikan bebas pajak). Permohonan ini berangkat dari penderitaan nyata: penduduk desa selalu terbebani oleh hukum kolektif yang mewajibkan mereka membayar denda bila terjadi kejahatan seperti pembunuhan atau penemuan mayat tanpa pelaku. Hukum ini, yang dikenal sebagai rah kasawur (darah tertumpah) dan waṅkay kabunan (mayat yang ditemukan), menjadikan seluruh desa bertanggung jawab atas peristiwa kriminal yang bahkan tidak mereka lakukan.

No comments:

Post a Comment