06 September 2025

Kehancuran Kerajaan Nan Sarunai: Ketika Majapahit Menaklukkan Hutan Borneo Di tengah lebatnya hutan Borneo, di mana sungai-sungai mengalir dengan tenang dan pepohonan rimbun melindungi setiap sudutnya, berdirilah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan ini pernah menjadi pusat kekuatan dan kemakmuran bagi suku Dayak Maanyan yang tersebar di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Namun, kejayaan kerajaan yang didirikan pada tahun 1309 Masehi ini tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1389, badai kehancuran datang dari Tanah Jawa, tepatnya dari Kerajaan Majapahit yang menenggelamkan Nan Sarunai ke dalam sejarah sebagai kerajaan yang hilang, meninggalkan jejak puing-puing dan kisah tentang ketahanan yang legendaris. * Pendiri dan Kejayaan Kerajaan Nan Sarunai Kerajaan Nan Sarunai didirikan oleh Raden Japutra Layar pada tahun 1309 Masehi. Sebagai seorang raja yang cakap, Raden Japutra Layar berhasil menyatukan suku Dayak Maanyan yang tersebar di berbagai wilayah di Kalimantan. Di bawah kepemimpinannya, Nan Sarunai menjadi kerajaan yang disegani, tidak hanya karena kekuatan militernya tetapi juga karena kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Hutan yang lebat menyediakan hasil bumi yang melimpah, sementara sungai-sungai besar seperti Barito dan Kahayan menjadi jalur perdagangan penting yang menghubungkan kerajaan ini dengan dunia luar. Namun, kekayaan dan kemakmuran ini juga menjadi daya tarik bagi kekuatan lain yang mengincar kekayaan alam Kalimantan. Salah satunya adalah Kerajaan Majapahit yang pada masa itu tengah berada di puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Penaklukan Kerajaan Nan Sarunai oleh Majapahit tidak terjadi dalam semalam. Dibutuhkan tiga ekspedisi militer yang dilakukan dalam kurun waktu hampir 80 tahun untuk meruntuhkan benteng bambu Nan Sarunai yang kokoh. Ekspedisi pertama dilancarkan pada masa pemerintahan Raja Jayanegara (1309-1328 Masehi) dengan mengerahkan sekitar 40 ribu pasukan dari pusat kekuasaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur. Namun, perlawanan gigih dari prajurit Nan Sarunai dan warga Dayak Maanyan membuat ekspedisi ini gagal. Prajurit Majapahit, yang terbiasa bertempur di dataran rendah, kesulitan menghadapi medan berat di hutan Kalimantan. Kegagalan ini memaksa Majapahit untuk sementara waktu mengurungkan niatnya untuk menaklukkan Borneo. Namun, Majapahit tidak menyerah. Di bawah kepemimpinan Sri Tribhuwanottunggadewi dan Mahapatih Gajah Mada, yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya, serangan kedua diluncurkan antara tahun 1339-1341 Masehi. Kali ini, pasukan Majapahit lebih siap dan didukung oleh logistik yang lebih baik. Namun, benteng pertahanan Nan Sarunai yang sulit ditembus, ditambah dengan perlawanan sengit dari masyarakat Dayak Maanyan, membuat Majapahit kembali harus menelan kekalahan. Barulah pada ekspedisi ketiga yang terjadi di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Majapahit berhasil mencapai tujuannya. Dipimpin oleh Empu Jatmika, pasukan Majapahit kali ini lebih terorganisir dan cerdik. Mereka mendapatkan dukungan dari beberapa mantan prajurit Majapahit yang menetap di Kalimantan setelah gagal kembali ke Jawa pada ekspedisi sebelumnya. Prajurit-prajurit ini telah menikah dengan penduduk lokal dan menjadi bagian dari komunitas Dayak Maanyan, sehingga memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga untuk menaklukkan Nan Sarunai. Dengan kecerdikan dan strategi perang yang matang, Majapahit akhirnya berhasil meruntuhkan pertahanan Nan Sarunai. Salah satu strategi yang digunakan adalah meninggalkan koin emas di sekitar benteng setelah pura-pura mundur. Pasukan Nan Sarunai, yang awalnya curiga bahwa ini adalah jebakan, akhirnya tergoda untuk mengambil emas-emas tersebut. Pada saat mereka sibuk mengumpulkan koin emas, pasukan Majapahit melancarkan serangan mendadak yang berhasil menghancurkan pertahanan Nan Sarunai yang sudah hancur dan tidak siap tempur. * Tragedi Nan Sarunai dalam Sastra Lisan Dayak Maanyan Kekalahan tragis Kerajaan Nan Sarunai dari pasukan Majapahit diabadikan dalam Syair "Nansarunai Usak Jawa", sebuah karya sastra lisan yang dituturkan dalam bahasa Dayak Maanyan. Syair ini menceritakan bagaimana kerajaan Nan Sarunai dirusak oleh 'Jawa', yang dalam hal ini merujuk pada Majapahit. Dalam bait-bait syair yang penuh emosi, diceritakan bagaimana para prajurit Nan Sarunai bertempur dengan gagah berani, tetapi pada akhirnya harus menyerah di bawah kekuatan superior Majapahit. Syair "Nansarunai Usak Jawa" menjadi salah satu bukti penting bagi para sejarawan dalam menafsirkan peristiwa sejarah penyerangan Majapahit terhadap Kerajaan Nan Sarunai. Bagi masyarakat Dayak Maanyan, syair ini tidak hanya menjadi pengingat akan masa lalu yang pahit, tetapi juga menjadi lambang ketahanan dan keberanian dalam menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar. Penaklukan Nan Sarunai oleh Majapahit bukan hanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperluas wilayah. Lebih dari itu, Majapahit juga ingin menguasai sumber daya alam yang melimpah di Kalimantan, terutama hasil bumi dan mineral berharga yang dapat menopang kekuatan ekonomi dan militernya. Dalam penyerangan ini, Majapahit mendapatkan dukungan dari para pengawal dan panglima setianya seperti Aria Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa. Mereka memainkan peran penting dalam merencanakan dan melaksanakan strategi yang akhirnya berhasil menaklukkan Nan Sarunai. Bagi Majapahit, penaklukan ini menjadi salah satu tonggak penting dalam upayanya untuk menguasai seluruh Nusantara. Keruntuhan Nan Sarunai menandai berakhirnya sebuah era bagi suku Dayak Maanyan. Setelah kekalahan tersebut, banyak prajurit dan penduduk Nan Sarunai yang tersisa memilih untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mereka menyebar ke berbagai daerah di pedalaman Sungai Barito, termasuk di Buntok, Puruk Cahu, dan Tamiyang Layang di Kalimantan Tengah. Diaspora ini menjadi awal mula terbentuknya suku-suku Dayak yang kita kenal saat ini di Borneo. Meskipun kerajaan mereka telah runtuh, semangat dan budaya Dayak Maanyan tetap hidup. Mereka membangun kembali kehidupan mereka di tempat-tempat baru, mengembangkan komunitas-komunitas yang mandiri, dan mempertahankan tradisi-tradisi leluhur mereka. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana sebuah bangsa yang pernah hancur dapat bangkit kembali dan terus hidup dengan menjaga identitas budayanya. Hingga kini, jejak sejarah Kerajaan Nan Sarunai tetap hidup di kalangan masyarakat Dayak Maanyan. Kisah tentang kejayaan dan kehancuran kerajaan ini menjadi bagian penting dari identitas dan warisan budaya mereka. Syair "Nansarunai Usak Jawa" terus dituturkan dari generasi ke generasi, mengingatkan mereka akan keberanian nenek moyang mereka dalam menghadapi pasukan Majapahit yang tangguh. Bagi masyarakat Dayak Maanyan, cerita tentang Nan Sarunai bukan hanya sekadar sejarah masa lalu. Lebih dari itu, cerita ini menjadi simbol ketahanan dan semangat juang yang tak pernah padam. Di balik setiap kekalahan dan kehancuran, selalu ada cerita tentang keberanian, keteguhan hati, dan kemampuan untuk bangkit kembali dari puing-puing kehancuran. Warisan ini juga tercermin dalam berbagai upacara adat dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat Dayak Maanyan. Dari ritual penyambutan tamu hingga tarian-tarian tradisional, semuanya mencerminkan kekayaan budaya yang pernah dimiliki oleh Kerajaan Nan Sarunai. Meskipun kerajaan ini telah lama runtuh, semangatnya tetap hidup di hati setiap anggota suku Dayak Maanyan. Kisah Kerajaan Nan Sarunai bukan hanya tentang sebuah kerajaan yang pernah ada di pedalaman Borneo, tetapi juga tentang warisan yang tak pernah pudar. Meski kerajaan itu akhirnya runtuh, nilai-nilai persatuan, keberanian, dan ketahanan yang ditinggalkan terus hidup di hati masyarakat Dayak Maanyan. Dalam setiap cerita dan syair yang diwariskan dari generasi ke generasi, semangat Nan Sarunai tetap terjaga, mengingatkan kita bahwa meskipun fisik sebuah kerajaan bisa lenyap, jiwa dan warisannya akan selalu bertahan, menjadi sumber inspirasi bagi masa depan.

 Kehancuran Kerajaan Nan Sarunai: Ketika Majapahit Menaklukkan Hutan Borneo

Di tengah lebatnya hutan Borneo, di mana sungai-sungai mengalir dengan tenang dan pepohonan rimbun melindungi setiap sudutnya, berdirilah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan ini pernah menjadi pusat kekuatan dan kemakmuran bagi suku Dayak Maanyan yang tersebar di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. 



Namun, kejayaan kerajaan yang didirikan pada tahun 1309 Masehi ini tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1389, badai kehancuran datang dari Tanah Jawa, tepatnya dari Kerajaan Majapahit yang menenggelamkan Nan Sarunai ke dalam sejarah sebagai kerajaan yang hilang, meninggalkan jejak puing-puing dan kisah tentang ketahanan yang legendaris.


* Pendiri dan Kejayaan Kerajaan Nan Sarunai

Kerajaan Nan Sarunai didirikan oleh Raden Japutra Layar pada tahun 1309 Masehi. Sebagai seorang raja yang cakap, Raden Japutra Layar berhasil menyatukan suku Dayak Maanyan yang tersebar di berbagai wilayah di Kalimantan. Di bawah kepemimpinannya, Nan Sarunai menjadi kerajaan yang disegani, tidak hanya karena kekuatan militernya tetapi juga karena kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya.

Hutan yang lebat menyediakan hasil bumi yang melimpah, sementara sungai-sungai besar seperti Barito dan Kahayan menjadi jalur perdagangan penting yang menghubungkan kerajaan ini dengan dunia luar.


Namun, kekayaan dan kemakmuran ini juga menjadi daya tarik bagi kekuatan lain yang mengincar kekayaan alam Kalimantan. Salah satunya adalah Kerajaan Majapahit yang pada masa itu tengah berada di puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.


Penaklukan Kerajaan Nan Sarunai oleh Majapahit tidak terjadi dalam semalam. Dibutuhkan tiga ekspedisi militer yang dilakukan dalam kurun waktu hampir 80 tahun untuk meruntuhkan benteng bambu Nan Sarunai yang kokoh.


Ekspedisi pertama dilancarkan pada masa pemerintahan Raja Jayanegara (1309-1328 Masehi) dengan mengerahkan sekitar 40 ribu pasukan dari pusat kekuasaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur. Namun, perlawanan gigih dari prajurit Nan Sarunai dan warga Dayak Maanyan membuat ekspedisi ini gagal.

Prajurit Majapahit, yang terbiasa bertempur di dataran rendah, kesulitan menghadapi medan berat di hutan Kalimantan. Kegagalan ini memaksa Majapahit untuk sementara waktu mengurungkan niatnya untuk menaklukkan Borneo.


Namun, Majapahit tidak menyerah. Di bawah kepemimpinan Sri Tribhuwanottunggadewi dan Mahapatih Gajah Mada, yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya, serangan kedua diluncurkan antara tahun 1339-1341 Masehi. Kali ini, pasukan Majapahit lebih siap dan didukung oleh logistik yang lebih baik.

Namun, benteng pertahanan Nan Sarunai yang sulit ditembus, ditambah dengan perlawanan sengit dari masyarakat Dayak Maanyan, membuat Majapahit kembali harus menelan kekalahan. 


Barulah pada ekspedisi ketiga yang terjadi di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Majapahit berhasil mencapai tujuannya. Dipimpin oleh Empu Jatmika, pasukan Majapahit kali ini lebih terorganisir dan cerdik. Mereka mendapatkan dukungan dari beberapa mantan prajurit Majapahit yang menetap di Kalimantan setelah gagal kembali ke Jawa pada ekspedisi sebelumnya.

Prajurit-prajurit ini telah menikah dengan penduduk lokal dan menjadi bagian dari komunitas Dayak Maanyan, sehingga memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga untuk menaklukkan Nan Sarunai.


Dengan kecerdikan dan strategi perang yang matang, Majapahit akhirnya berhasil meruntuhkan pertahanan Nan Sarunai. Salah satu strategi yang digunakan adalah meninggalkan koin emas di sekitar benteng setelah pura-pura mundur. Pasukan Nan Sarunai, yang awalnya curiga bahwa ini adalah jebakan, akhirnya tergoda untuk mengambil emas-emas tersebut.

Pada saat mereka sibuk mengumpulkan koin emas, pasukan Majapahit melancarkan serangan mendadak yang berhasil menghancurkan pertahanan Nan Sarunai yang sudah hancur dan tidak siap tempur.


* Tragedi Nan Sarunai dalam Sastra Lisan Dayak Maanyan

Kekalahan tragis Kerajaan Nan Sarunai dari pasukan Majapahit diabadikan dalam Syair "Nansarunai Usak Jawa", sebuah karya sastra lisan yang dituturkan dalam bahasa Dayak Maanyan. Syair ini menceritakan bagaimana kerajaan Nan Sarunai dirusak oleh 'Jawa', yang dalam hal ini merujuk pada Majapahit. Dalam bait-bait syair yang penuh emosi, diceritakan bagaimana para prajurit Nan Sarunai bertempur dengan gagah berani, tetapi pada akhirnya harus menyerah di bawah kekuatan superior Majapahit.


Syair "Nansarunai Usak Jawa" menjadi salah satu bukti penting bagi para sejarawan dalam menafsirkan peristiwa sejarah penyerangan Majapahit terhadap Kerajaan Nan Sarunai. Bagi masyarakat Dayak Maanyan, syair ini tidak hanya menjadi pengingat akan masa lalu yang pahit, tetapi juga menjadi lambang ketahanan dan keberanian dalam menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar.


Penaklukan Nan Sarunai oleh Majapahit bukan hanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperluas wilayah. Lebih dari itu, Majapahit juga ingin menguasai sumber daya alam yang melimpah di Kalimantan, terutama hasil bumi dan mineral berharga yang dapat menopang kekuatan ekonomi dan militernya.


Dalam penyerangan ini, Majapahit mendapatkan dukungan dari para pengawal dan panglima setianya seperti Aria Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa. Mereka memainkan peran penting dalam merencanakan dan melaksanakan strategi yang akhirnya berhasil menaklukkan Nan Sarunai. Bagi Majapahit, penaklukan ini menjadi salah satu tonggak penting dalam upayanya untuk menguasai seluruh Nusantara.


Keruntuhan Nan Sarunai menandai berakhirnya sebuah era bagi suku Dayak Maanyan. Setelah kekalahan tersebut, banyak prajurit dan penduduk Nan Sarunai yang tersisa memilih untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mereka menyebar ke berbagai daerah di pedalaman Sungai Barito, termasuk di Buntok, Puruk Cahu, dan Tamiyang Layang di Kalimantan Tengah. Diaspora ini menjadi awal mula terbentuknya suku-suku Dayak yang kita kenal saat ini di Borneo.


Meskipun kerajaan mereka telah runtuh, semangat dan budaya Dayak Maanyan tetap hidup. Mereka membangun kembali kehidupan mereka di tempat-tempat baru, mengembangkan komunitas-komunitas yang mandiri, dan mempertahankan tradisi-tradisi leluhur mereka.

Dari sini, kita bisa melihat bagaimana sebuah bangsa yang pernah hancur dapat bangkit kembali dan terus hidup dengan menjaga identitas budayanya.


Hingga kini, jejak sejarah Kerajaan Nan Sarunai tetap hidup di kalangan masyarakat Dayak Maanyan. Kisah tentang kejayaan dan kehancuran kerajaan ini menjadi bagian penting dari identitas dan warisan budaya mereka. Syair "Nansarunai Usak Jawa" terus dituturkan dari generasi ke generasi, mengingatkan mereka akan keberanian nenek moyang mereka dalam menghadapi pasukan Majapahit yang tangguh.


Bagi masyarakat Dayak Maanyan, cerita tentang Nan Sarunai bukan hanya sekadar sejarah masa lalu. Lebih dari itu, cerita ini menjadi simbol ketahanan dan semangat juang yang tak pernah padam. Di balik setiap kekalahan dan kehancuran, selalu ada cerita tentang keberanian, keteguhan hati, dan kemampuan untuk bangkit kembali dari puing-puing kehancuran.


Warisan ini juga tercermin dalam berbagai upacara adat dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat Dayak Maanyan. Dari ritual penyambutan tamu hingga tarian-tarian tradisional, semuanya mencerminkan kekayaan budaya yang pernah dimiliki oleh Kerajaan Nan Sarunai. Meskipun kerajaan ini telah lama runtuh, semangatnya tetap hidup di hati setiap anggota suku Dayak Maanyan.


Kisah Kerajaan Nan Sarunai bukan hanya tentang sebuah kerajaan yang pernah ada di pedalaman Borneo, tetapi juga tentang warisan yang tak pernah pudar. Meski kerajaan itu akhirnya runtuh, nilai-nilai persatuan, keberanian, dan ketahanan yang ditinggalkan terus hidup di hati masyarakat Dayak Maanyan.

Dalam setiap cerita dan syair yang diwariskan dari generasi ke generasi, semangat Nan Sarunai tetap terjaga, mengingatkan kita bahwa meskipun fisik sebuah kerajaan bisa lenyap, jiwa dan warisannya akan selalu bertahan, menjadi sumber inspirasi bagi masa depan.

No comments:

Post a Comment