11 September 2025

Sejarah peranan perempuan dalam bertempur ini konon sudah dimulai pada tahun 1613-1646 saat Sultan Agung bertahta di Mataram Kerta. Sultan Agung memiliki prajurit-prajurit perempuan dalam korps keprajuritannya. Carey (2014:90) mengatakan bahwa “empat puluh perempuan duduk berbaris di tahta sultan dan benar-benar bersenjata lengkap berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di tali pinggang, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit perempuan yang mengagumkan" Di Yogyakarta, cikal bakal telah dimulai pada zaman Sultan HB I, dimana diangkat seorang prajurit perempuan sebagai penasihat sejajar dengan Pangeran Joyokusumo dalam siasat perang” (Kumar, 2008 : 102). Sultan kemudian membentuk Prajurit perempuan berani mati yang dinamakan pasukan "Sesabet" dengan teknik "Krudung Dhong Lumbu" atau dari kejauhan tampak seperti tanaman keladi (kamuflase), namun bila musuh mendekat, maka pasukannya, akan menyerang habis-habisan” (Winda, 2009 : 51). Salah satu veteran prajurit Estri pada periode awal adalah kelak menjadi garwa padmi Sultan HB I bergelar Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten, ibu Sultan HB II dan mengasuh Pangeran Diponegoro (cicitnya) setelah pindah ke Ndalem Tegalrejo. Prajurit perempuan kemudian ditugaskan untuk mengawal putra mahkota dan diresmikan sebagai korps pengawal raja pada masa Sultan HB II. GKR Kadipaten adalah komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755. Sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung atau Prajurit Keparak éstri. Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo. Mereka mengenakan keris dengan cara Bali yang dihiasi bordiran berdaun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas, pakaian mereka nampak berkilauan. Seragam Langen Kusuma ini diambil dari foto pameran Sumakala di Kraton. Memang berbeda dengan yang kemarin kirab di Grebeg Mulud ya..

 Sejarah peranan perempuan dalam bertempur ini konon sudah dimulai pada tahun 1613-1646 saat Sultan Agung bertahta di Mataram Kerta.

Sultan Agung memiliki prajurit-prajurit 

perempuan dalam korps keprajuritannya. Carey (2014:90) mengatakan bahwa “empat puluh perempuan duduk berbaris di tahta sultan dan benar-benar bersenjata lengkap berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di tali pinggang, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit perempuan yang mengagumkan"



Di Yogyakarta, cikal bakal telah dimulai pada zaman Sultan HB I, dimana diangkat seorang prajurit perempuan sebagai penasihat sejajar dengan Pangeran Joyokusumo dalam siasat 

perang” (Kumar, 2008 : 102). 


Sultan kemudian membentuk Prajurit perempuan berani mati yang dinamakan pasukan "Sesabet" dengan teknik "Krudung Dhong Lumbu" atau dari kejauhan tampak seperti tanaman keladi (kamuflase), namun bila musuh mendekat, maka pasukannya, akan menyerang habis-habisan” (Winda, 2009 : 51). Salah satu veteran prajurit Estri pada periode awal adalah kelak menjadi garwa padmi Sultan HB I bergelar Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten, ibu Sultan HB II dan mengasuh Pangeran Diponegoro (cicitnya) setelah pindah ke Ndalem Tegalrejo. Prajurit perempuan kemudian ditugaskan untuk mengawal putra mahkota dan diresmikan sebagai korps pengawal raja pada masa Sultan HB II. 


GKR Kadipaten adalah komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755. Sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung 

atau Prajurit Keparak éstri. Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo. Mereka mengenakan keris dengan cara Bali yang dihiasi bordiran berdaun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas, pakaian mereka nampak berkilauan. 


Seragam Langen Kusuma ini diambil dari foto pameran Sumakala di Kraton. Memang berbeda dengan yang kemarin kirab di Grebeg Mulud ya..

No comments:

Post a Comment