Perang Paregreg – Retaknya Majapahit dari Dalam
Dalam lembaran sejarah Nusantara, ada sebuah kisah getir yang menjadi titik balik keruntuhan kerajaan besar Majapahit, "Perang Paregreg". Perang ini bukan sekadar pertarungan senjata, tetapi juga pertempuran ambisi, keserakahan, dan luka batin bangsa yang akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.
Majapahit pada abad ke-14 pernah berdiri sebagai imperium terbesar di Asia Tenggara. Dari semenanjung Malaka, laut Jawa, hingga kepulauan Maluku, semua tunduk pada panji Surya Majapahit. Namun, semakin tinggi sebuah pohon menjulang, semakin kencang pula angin yang mengguncangnya.
Awal mula perang ini berakar dari suksesi tahta setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389. Sang raja, yang dikenal sebagai pemimpin agung bersama patih Gajah Mada, meninggalkan kerajaan dalam kondisi kuat tetapi rapuh di dalam. Ia tidak memiliki putra laki-laki. Yang tersisa hanyalah seorang putri, Kusumawardhani, yang kemudian dinikahkan dengan Wikramawardhana. Melalui perkawinan politik ini, Wikramawardhana naik sebagai raja.
Namun di sisi lain, ada seorang tokoh kuat bernama Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir keturunan Tiongkok. Ia diberi kedudukan sebagai penguasa wilayah timur. Meski bukan pewaris resmi, darah yang mengalir di nadinya membuatnya merasa berhak atas tahta.
Di sinilah benih konflik tumbuh. Perselisihan keluarga kerajaan berubah menjadi perang saudara yang berdarah. Perang ini meletus sekitar tahun 1404, dikenal dengan nama Paregreg. Kata paregreg berarti perang yang berulang, perang yang terus berlarut.
Dari sisi timur Jawa, pasukan Bhre Wirabhumi bangkit dengan kekuatan besar. Dari sisi barat, Wikramawardhana memimpin armada dan tentara kerajaan pusat. Jawa seakan terbelah: saudara melawan saudara, prajurit yang dahulu bersatu di bawah satu panji kini saling menebas di medan laga.
Catatan sejarah menggambarkan perang ini berlangsung hingga tahun 1406. Tidak hanya memakan banyak korban jiwa, tetapi juga melemahkan sendi-sendi Majapahit. Perdagangan laut terganggu, wilayah taklukan mulai goyah, dan kekuatan maritim yang dulu ditakuti perlahan redup.
Puncak tragedi terjadi ketika pasukan Wikramawardhana berhasil menembus benteng timur dan menewaskan Bhre Wirabhumi. Ia ditangkap, dihukum mati, dan kisahnya berakhir tragis. Namun kemenangan itu sesungguhnya adalah kekalahan bersama. Majapahit mungkin tetap berdiri, tetapi ibarat pohon besar yang akarnya telah keropos.
Dari sinilah kita belajar, bahwa sebuah kerajaan besar tidak runtuh karena serangan luar semata, tetapi karena retaknya persatuan di dalam. Perang Paregreg menjadi simbol bagaimana ambisi pribadi bisa mengalahkan kepentingan bersama. Setelah perang ini, Majapahit tidak pernah lagi mencapai kejayaannya yang dulu. Perlahan, ia tenggelam, digantikan oleh kekuatan-kekuatan baru di Nusantara.
Refleksi dari Perang Paregreg bukan hanya untuk masa lalu. Ia adalah cermin untuk kita hari ini. Persatuan adalah kekuatan. Ketika perpecahan merajalela, bahkan kerajaan sebesar Majapahit pun bisa runtuh. Sejarah selalu berulang, hanya aktornya yang berbeda.
Maka, marilah kita belajar dari darah dan air mata yang tertumpah dalam perang saudara itu, bahwa ambisi, keserakahan, dan dendam hanya akan meninggalkan kehancuran. Tetapi persatuan, kebijaksanaan, dan rasa hormat pada sesama, itulah yang menjaga sebuah bangsa tetap berdiri.
No comments:
Post a Comment