30 September 2025

Bagan pasukan G30 S PKI. Sumber : Tragedi Nasional Percobaan Kup G30 S PKI di Indonesian #g30s pki #sejarahindonesia

 Bagan pasukan G30 S PKI.

Sumber : Tragedi Nasional Percobaan Kup G30 S PKI di Indonesian




Sumber : Priyono Bitles Combat

#sejarahindonesia

Detik-detik Nafas Putri Jenderal A.H. Nasution: "Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?" 1 Oktober 1965, pukul 04.00 dini hari. Rumah Jenderal Besar A.H. Nasution diguncang ketegangan ketika empat truk dan dua mobil militer pasukan Tjakrabirawa menyerbu untuk menculik dan menghabisinya. Sang jenderal berhasil meloloskan diri, tetapi peluru-peluru panas justru menghujani putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution, yang baru berusia lima tahun. Tubuh mungil Ade Irma terkena tiga peluru. Ia menjadi tameng hidup bagi ayahnya. Sang putri kecil segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto, menjalani operasi demi operasi untuk mengeluarkan sisa peluru senjata AK-47 dari tubuhnya. Hari demi hari, kondisi Ade Irma terus kritis. Dokter yang menanganinya, Brigjen dr. Arie Sadhewo, tak henti kagum dengan daya tahan bocah kecil itu. "Seorang dewasa saja sulit bertahan terkena peluru sebesar ini," gumam sang dokter. Namun Ade Irma, dengan tubuh mungilnya, sudah lima hari bertahan melawan maut. Di ruang paviliun anak RSPAD, suasana begitu hening meski tentara berjaga ketat. Jenderal Nasution dan istrinya bergantian mendampingi putri kecilnya, penuh doa dan harapan. Hendrianti Sahara Nasution, sang kakak berusia 13 tahun, menahan tangis di sisi ranjang. Sore itu, 6 Oktober 1965, setelah operasi keempat selesai, Ade Irma tampak lemah dan memejamkan mata. Ketika dokter memperbolehkan keluarga masuk, Hendrianti mendekat sambil berlinang air mata. Tiba-tiba, suara lirih memecah keheningan: > “Kakak jangan menangis, Adik sehat.” Ade Irma membuka mata, menatap lembut ke arah kakaknya, lalu beralih kepada sang ibu. Dengan kepolosan seorang anak, ia bertanya: > “Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?” Pertanyaan itu menusuk hati. Ibu Johanna Sunarti, tertegun, menahan air mata. Belum sempat menjawab, Ade Irma kembali memejamkan mata. Dengan lirih dan penuh kepasrahan, sang ibu membisikkan kata-kata terakhir: > “Mama ikhlas Ade pergi.” Malam itu, pukul 20.00 WIB, setelah lima hari berjuang menahan sakit, Ade Irma Suryani Nasution menghembuskan napas terakhirnya. Indonesia kehilangan seorang malaikat kecil yang gugur dalam sejarah kelam bangsa. Namun, kisah keberanian dan pengorbanannya tidak pernah padam. Ade Irma menjadi simbol kepolosan yang dikorbankan oleh kebrutalan, sekaligus cahaya abadi yang mengingatkan generasi penerus tentang harga mahal yang harus dibayar untuk menjaga bangsa. Sumber : mkaskus.co.id #AdeIrmaSuryani #PahlawanKecil #SejarahIndonesia #G30SPKI #JohannaSunarti #PengorbananTakTerlupakan #IndonesiaMengenang

 Detik-detik Nafas Putri Jenderal A.H. Nasution: "Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?"


1 Oktober 1965, pukul 04.00 dini hari.

Rumah Jenderal Besar A.H. Nasution diguncang ketegangan ketika empat truk dan dua mobil militer pasukan Tjakrabirawa menyerbu untuk menculik dan menghabisinya. Sang jenderal berhasil meloloskan diri, tetapi peluru-peluru panas justru menghujani putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution, yang baru berusia lima tahun.



Tubuh mungil Ade Irma terkena tiga peluru. Ia menjadi tameng hidup bagi ayahnya. Sang putri kecil segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto, menjalani operasi demi operasi untuk mengeluarkan sisa peluru senjata AK-47 dari tubuhnya.


Hari demi hari, kondisi Ade Irma terus kritis. Dokter yang menanganinya, Brigjen dr. Arie Sadhewo, tak henti kagum dengan daya tahan bocah kecil itu. "Seorang dewasa saja sulit bertahan terkena peluru sebesar ini," gumam sang dokter. Namun Ade Irma, dengan tubuh mungilnya, sudah lima hari bertahan melawan maut.


Di ruang paviliun anak RSPAD, suasana begitu hening meski tentara berjaga ketat. Jenderal Nasution dan istrinya bergantian mendampingi putri kecilnya, penuh doa dan harapan. Hendrianti Sahara Nasution, sang kakak berusia 13 tahun, menahan tangis di sisi ranjang.


Sore itu, 6 Oktober 1965, setelah operasi keempat selesai, Ade Irma tampak lemah dan memejamkan mata. Ketika dokter memperbolehkan keluarga masuk, Hendrianti mendekat sambil berlinang air mata. Tiba-tiba, suara lirih memecah keheningan:


> “Kakak jangan menangis, Adik sehat.”


Ade Irma membuka mata, menatap lembut ke arah kakaknya, lalu beralih kepada sang ibu. Dengan kepolosan seorang anak, ia bertanya:


> “Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?”


Pertanyaan itu menusuk hati. Ibu Johanna Sunarti, tertegun, menahan air mata. Belum sempat menjawab, Ade Irma kembali memejamkan mata.


Dengan lirih dan penuh kepasrahan, sang ibu membisikkan kata-kata terakhir:


> “Mama ikhlas Ade pergi.”


Malam itu, pukul 20.00 WIB, setelah lima hari berjuang menahan sakit, Ade Irma Suryani Nasution menghembuskan napas terakhirnya. Indonesia kehilangan seorang malaikat kecil yang gugur dalam sejarah kelam bangsa.


Namun, kisah keberanian dan pengorbanannya tidak pernah padam. Ade Irma menjadi simbol kepolosan yang dikorbankan oleh kebrutalan, sekaligus cahaya abadi yang mengingatkan generasi penerus tentang harga mahal yang harus dibayar untuk menjaga bangsa.

Sumber : mkaskus.co.id

Om Phol

#AdeIrmaSuryani

#PahlawanKecil

#SejarahIndonesia

#G30SPKI

#JohannaSunarti

#PengorbananTakTerlupakan

#IndonesiaMengenang

Mayor Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen, S.I.P., M.Si. gelar Datuak Tanameh (lahir 24 Desember 1946) merupakan seorang purnawirawan TNI-AD dan tokoh militer Indonesia. Dia pernah memegang jabatan Kepala Staf Kostrad (Kas Kostrad) ABRI setelah mengemban lebih dari 20 jabatan yang berbeda, sebagian besar di posisi komando tempur. Pada tahun 2016 Kivlan Zen menjadi Negosiator penting yang berhasil membebaskan 18 Warga Negara Indonesia dari penyanderaan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf Filipina. Danton Akabri Darat Danton Ki B Yonif 753/Arga Vira Tama Dam XVII/Cenderawasih Danki Secata Dam XVII/Cenderawasih Dan Kiban Yonif 753/Arga Vira Tama Dam XVII/Cenderawasih Danki Secaba Dam XVII/Cenderawasih Danki A Yonif 753/Arga Vira Tama DamXVII/Cenderawasih Pasi UM Dodik XX Dam XVII/Cenderawasih Dan Latsus Dodik XX Karo Binpers Mayor Danden Banmin Brigif Linud 18/Trisula Kasi 2/Ops Brigif Linud 18/Trisula Wadanyonif Brigif Linud 18/Trisula Letnan Kolonel Danyonif 303/Setia Sampai Mati Brigif-13/ Galuh Kostrad (1986—1988) Pabadya Binkar Spers Kostrad Pamen Kostrad (Dik Seskoad) Pabandya 1/Renev Paban V/Srenad Kolonel Danbrigif 6/Trisakti Baladaya (1993—1995) Danmen Candradimuka Akmil (1995—) Brigadir Jenderal Kasdivif-1 Kostrad Dan Kontingen Garuda/Filipina Kasdam VII/Wirabuana (—1998) Mayor Jenderal Pangdivif 2/Kostrad (1997—1998) Kaskostrad (1998—2000) Pati Mabes TNI-AD (Karya) Koorsahli Kasad (—2001) #mayjenkivlanzen #pangdivif2 #kasdamVII #kaskostrad

 Mayor Je


nderal TNI (Purn.) Kivlan Zen, S.I.P., M.Si. gelar Datuak Tanameh (lahir 24 Desember 1946) merupakan seorang purnawirawan TNI-AD dan tokoh militer Indonesia. Dia pernah memegang jabatan Kepala Staf Kostrad (Kas Kostrad) ABRI setelah mengemban lebih dari 20 jabatan yang berbeda, sebagian besar di posisi komando tempur. Pada tahun 2016 Kivlan Zen menjadi Negosiator penting yang berhasil membebaskan 18 Warga Negara Indonesia dari penyanderaan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf Filipina.



Danton Akabri Darat

Danton Ki B Yonif 753/Arga Vira Tama Dam XVII/Cenderawasih

Danki Secata Dam XVII/Cenderawasih

Dan Kiban Yonif 753/Arga Vira Tama Dam XVII/Cenderawasih

Danki Secaba Dam XVII/Cenderawasih

Danki A Yonif 753/Arga Vira Tama DamXVII/Cenderawasih

Pasi UM Dodik XX Dam XVII/Cenderawasih

Dan Latsus Dodik XX

Karo Binpers

Mayor

Danden Banmin Brigif Linud 18/Trisula

Kasi 2/Ops Brigif Linud 18/Trisula

Wadanyonif Brigif Linud 18/Trisula

Letnan Kolonel

Danyonif 303/Setia Sampai Mati Brigif-13/ Galuh Kostrad (1986—1988)

Pabadya Binkar Spers Kostrad

Pamen Kostrad (Dik Seskoad)

Pabandya 1/Renev Paban V/Srenad

Kolonel

Danbrigif 6/Trisakti Baladaya (1993—1995)

Danmen Candradimuka Akmil (1995—)

Brigadir Jenderal

Kasdivif-1 Kostrad

Dan Kontingen Garuda/Filipina

Kasdam VII/Wirabuana (—1998)

Mayor Jenderal

Pangdivif 2/Kostrad (1997—1998)

Kaskostrad (1998—2000)

Pati Mabes TNI-AD (Karya)

Koorsahli Kasad (—2001)

#mayjenkivlanzen #pangdivif2 #kasdamVII #kaskostrad

29 September 2025

Kisah Perjalanan Terakhir Sri Sultan Hamengkubuwono IX Sri Sultan Hamengkubuwono IX, di usia yang ke 76, lahir tanggal 12 April 1912, terlihat sehat. Pada tanggal 14 September beliau bersama istri, Ibu Norma, berangkat menuju Jepang. Di Tokio Sri Sultan bergabung dengan rombongan kesenian dari Jogja dan Surakarta yang mengadakan pementasan di kota itu. Pada tanggal 22 September Sri Sultan pergi ke Kyoto. Di kota kuno ini masih terdapat kuil-kuil Zen. Istana Maharaja Jepang lama masih pula berdiri. Esoknya kembali ke Tokyo. Selama Sri Sultan berada di Jepang, beliau tampak dalam keadaan sehat. Tidak ada tanda-tanda sakit. Pangeran Mangkubumi, anak sulung beliau, juga melihat ayahandanya dalam keadaan sehat. Di Tokyo Sri Sultan memang sering pakai kursi roda karena kakinya keseleo. Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai kesehatan beliau. Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim, yang kebetulan ada tugas di Tokyo, sempat bertemu Sri Sultan di Hybia Hall. "Saya duduk di sebelah beliau", kenang Emil Salim. "Kami ngobrol pakai bahasa Belanda. Kesan saya beliau gambira. Beliau mengajak saya makan", kata Emil Salim. Sri Sultan juga mengajak Emil Salim ke Kyoto, tapi karena ada pertemuan tentang lingkungan hidup, Emil tidak bisa pergi. Pada tanggal 25 September Sri Sultan bersama ibu Norma berangkat menuju New York. Rencananya setelah pemeriksaan rutin kesehatan mata, pada tanggal 20 Oktober Sri Sultan akan kembali ke Indonesia. Pada tanggal 5 November akan diadakan upacara pernikahan besar di keraton Jogja. Empat pangeran akan serempak menikah. Tapi kehendak Tuhan lain. Pada hari pertama Oktober Sri Sultan merasa masuk angin. Lalu dikerok oleh seorang sekretaris atase pertahanan yang sudah 16 tahun tinggal di Amerika. Setelah dikerok, beliau pun merasa sembuh. Keesokan harinya, hari Minggu, Sri Sultan makan siang di sebuah restoran di Rockfield. Sebelum kembali ke hotel mereka mampir dulu di sebuah supermarket. Sorenya, di hotel, Sri Sultan muntah-muntah. Karena mengkhawatirkan, ibu Norma menelpon ke kedutaan. Mereka pun menelpon dokter dan ambulans. Ketika Ibu Norma minta menemani suaminya ke dalam ruangan, pihak dokter melarang. Ibu Norma sempat bertanya kepada Sri Sultan apakah beliau sadar, dan dijawab Sri Sultan saya sadar. Itulah percakapan terakhir Sri Sultan dengan Ibu Norma. Sekitar sejaman lebih dokter memberitahukan kepada Ibu Norma bahwa Sri Sultan sudah meninggal. Ibu Norma terjatuh sambil berterisk beberapa kali, "It's impossible." Jarum jam menunjuk pukul 19.59 hari Minggu tanggal 2 Oktober 1988 waktu Sri Sultan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pihak dokter menyarankan agar jenazah dibedah sehingga bisa diketahui penyebab kematian. Tapi, setelah menerima saran dari Duta Besar, Ibu Norma menolak saran tersebut. Berita mangkatnya Sri Sultan ini cepat menyebar ke berbagai tempat. Di Washington DC berita wafatnya Sri Sultan diterima oleh Presiden Reagan di Gedung Putih. Kemudian Presiden Reagan menelpon Presiden Suharto mengucapkan belasungkawa sekaligus mengatakan bahwa pihaknya telah memutuskan menyiapkan pesawat kepresidenan Air Force Two untuk menerbangkan jenazah sampai di Jakarta. Tapi Presiden Suharto meminta cukup sampai Honolulu, Hawai. Pesawat dari Indonesia yang membawa jenazah dari Honolulu ke Jakarta. Berita kematian Sri Sultan juga sampai di rumah Jalan Halimun tempat Sri Sultan dan Ibu Norma sehari-hari tinggal. Berita per telpon disampaikan Ibu Norma kepada kemenakannya yang tinggal bersama di rumah tersebut. Perwakilan Daerah Istimewa Jogjakarta juga mendapat kabar pagi itu, pukul 8.00 waktu Jakarta. Kabar kematian itu pun sampai di Jogja pagi itu juga. Berita kematian Sri Sultan paling lengkap dan paling awal diterima Presiden Suharto. Kemudian Kepala Negara memutuskan untuk menyelenggarakan pemakaman kenegaraan untuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX, tokoh yang tak pernah tertinggal dalam perkembangan Republik ini. Pesawat Air Force Two membawa jenazah ke Honolulu pada hari Selasa sore. Sebelumnya jenazah disholatkan di ruang khusus di kedutaan. Hadir Menlu Ali Alatas yang kebetulan ada pertemuan di kantor PBB di New York. Kemudian jenazah dibawa ke Andrews Air Force Base. Di sana sudah menunggu pesawat Boeing 707 berwarna putih biru muda dengan tulisan besar, "United States of America." Enam anggota angkatan udara AS berpakaian lengkap membawa jenazah dari mobil ke pesawat. Sebelum naik ke pesawat Ibu Norma menyalami sambil mengucapkan terima kasih kepada keenam tentara yang mengangkat peti jenazah dan kepada staf kedutaan. Pukul 17.50 pesawat pun meluncur di landasan. Setelah terbang selama 10 jam pesawat Air Force Two mendarat di landasan udara militer, Honolulu. Di sana sudah menunggu dua pimpinan tertinggi militer AS di Lautan Teduh. Rombongan dari Jakarta yang telah menunggu di Honolulu dipimpin oleh Sekretaris Militer Presiden, Mayjen Syaukat. Ikut dalam rombongan antara lain Pangeran Puger dan istrinya, pengeran Prabukusumo, Hadikusumo, Hadisurya, seorang anak perempuan Sri Sultan, dan anak ibu Norma dari suami sebelumnya. Upacara serah terima jenazah berlangsung singkat dan hening. Peti jenazah lalu dipindahkan ke pesawat dari Indonesia. Penerbangan sampai Jakarta selama 14 jam. Di Halim sudah menunggu Wakil Presiden Sudharmono, Mensesneg Murdiono, Panglima TNI Jenderal Tri Sutrisno dan Menhan Beny Murdani. Jenazah disemayamkan di kantor perwakilan Daerah Jogjakarta sebelum diberangkatkan ke Jogjakarta. Upacara pemakaman Sri Sultan berlangsung hikmat walaupun ribuan berbagai lapis masyarakat melepas dan mengiringi keberangkatan jenazah ke tempat pemakamannya. "Kami tidak menduga demikian hebatnya masyarakat memberi kehormatan kepada Sri Sultan," kata Pangeran Joyokusumo, salah seorang anak Sri Sultan. Pada hari itu pula dinikahkan empat orang Pangeran, yang rencananya menikah pada tanggal 5 November. Mereka menikah di depan peti jenazah. Jenazah dibawa menggunakan kereta jenazah yang ditarik kuda. Jarak dari Keraton ke pemakaman Imogiri kira-kira 17 km. Di pemakaman jenazah diserahkan oleh Menko Kesejahteraan Rakyat, Supardjo Rustam, mewakili pemerintah, kepada perwakilan keraton Jogjakarta, Pangeran Mangkubumi, untuk selanjutnya dimakamkan. Sumber: "Sri Sultan: Hari-Hari Hamengkubuwono IX."

 Kisah Perjalanan Terakhir Sri Sultan Hamengkubuwono IX


Sri Sultan Hamengkubuwono IX, di usia yang ke 76, lahir tanggal 12 April 1912, terlihat sehat. Pada tanggal 14 September beliau bersama istri, Ibu Norma, berangkat menuju Jepang. Di Tokio Sri Sultan bergabung dengan rombongan kesenian dari Jogja dan Surakarta yang mengadakan pementasan di kota itu. Pada tanggal 22 September Sri Sultan pergi ke Kyoto. Di kota kuno ini masih terdapat kuil-kuil Zen. Istana Maharaja Jepang lama masih pula berdiri. Esoknya kembali ke Tokyo. 



Selama Sri Sultan berada di Jepang, beliau tampak dalam keadaan sehat. Tidak ada tanda-tanda sakit. Pangeran Mangkubumi, anak sulung beliau, juga melihat ayahandanya dalam keadaan sehat. Di Tokyo Sri Sultan memang sering pakai kursi roda karena kakinya keseleo. Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai kesehatan beliau. 


Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim, yang kebetulan ada tugas di Tokyo, sempat bertemu Sri Sultan di Hybia Hall. "Saya duduk di sebelah beliau", kenang Emil Salim. "Kami ngobrol pakai bahasa Belanda. Kesan saya beliau gambira. Beliau mengajak saya makan", kata Emil Salim. Sri Sultan juga mengajak Emil Salim ke Kyoto, tapi karena ada pertemuan tentang lingkungan hidup, Emil tidak bisa pergi. 


Pada tanggal 25 September Sri Sultan bersama ibu Norma berangkat menuju New York. Rencananya setelah pemeriksaan rutin kesehatan mata, pada tanggal 20 Oktober Sri Sultan akan kembali ke Indonesia. Pada tanggal 5 November akan diadakan upacara pernikahan besar di keraton Jogja. Empat pangeran akan serempak menikah. Tapi kehendak Tuhan lain. 


Pada hari pertama Oktober Sri Sultan merasa masuk angin. Lalu dikerok oleh seorang sekretaris atase pertahanan yang sudah 16 tahun tinggal di Amerika. Setelah dikerok, beliau pun merasa sembuh. 


Keesokan harinya, hari Minggu, Sri Sultan makan siang di sebuah restoran di Rockfield.  Sebelum kembali ke hotel mereka mampir dulu di sebuah supermarket. Sorenya, di hotel, Sri Sultan muntah-muntah. Karena mengkhawatirkan, ibu Norma menelpon ke kedutaan. Mereka pun menelpon dokter dan ambulans. Ketika Ibu Norma minta menemani suaminya ke dalam ruangan, pihak dokter melarang. Ibu Norma sempat bertanya kepada Sri Sultan apakah beliau sadar, dan dijawab Sri Sultan saya sadar. Itulah percakapan terakhir Sri Sultan dengan Ibu Norma. 


Sekitar sejaman lebih dokter memberitahukan kepada Ibu Norma bahwa Sri Sultan sudah meninggal. Ibu Norma terjatuh sambil berterisk beberapa kali, "It's impossible."


Jarum jam menunjuk pukul 19.59 hari Minggu tanggal 2 Oktober 1988 waktu Sri Sultan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pihak dokter menyarankan agar jenazah dibedah sehingga bisa diketahui penyebab kematian. Tapi, setelah menerima saran dari Duta Besar,  Ibu Norma menolak saran tersebut. 


Berita mangkatnya Sri Sultan ini cepat menyebar ke berbagai tempat. Di Washington DC berita wafatnya Sri Sultan diterima oleh Presiden Reagan di Gedung Putih. Kemudian Presiden Reagan menelpon Presiden Suharto mengucapkan belasungkawa sekaligus mengatakan bahwa pihaknya telah memutuskan menyiapkan pesawat kepresidenan Air Force Two untuk menerbangkan jenazah sampai di Jakarta. Tapi Presiden Suharto meminta cukup sampai Honolulu, Hawai. Pesawat dari Indonesia yang membawa jenazah dari Honolulu ke Jakarta. 


Berita kematian Sri Sultan juga sampai di rumah Jalan Halimun tempat Sri Sultan dan Ibu Norma sehari-hari tinggal. Berita per telpon disampaikan Ibu Norma kepada kemenakannya yang tinggal bersama di rumah tersebut. Perwakilan Daerah Istimewa Jogjakarta juga mendapat kabar pagi itu, pukul 8.00 waktu Jakarta. Kabar kematian itu pun sampai di Jogja pagi itu juga. 


Berita kematian Sri Sultan paling lengkap dan paling awal diterima Presiden Suharto. Kemudian Kepala Negara memutuskan untuk menyelenggarakan pemakaman kenegaraan untuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX, tokoh yang tak pernah tertinggal dalam perkembangan Republik ini. 


Pesawat Air Force Two membawa jenazah ke Honolulu pada hari Selasa sore. Sebelumnya jenazah disholatkan di ruang khusus di kedutaan. Hadir Menlu Ali Alatas yang kebetulan ada pertemuan di kantor PBB di New York. Kemudian jenazah dibawa ke Andrews Air Force Base. Di sana sudah menunggu pesawat Boeing 707 berwarna putih biru muda dengan tulisan besar, "United States of America." Enam anggota angkatan udara AS berpakaian lengkap membawa jenazah dari mobil ke pesawat. Sebelum  naik ke pesawat Ibu Norma menyalami sambil mengucapkan terima kasih kepada keenam tentara yang mengangkat peti jenazah dan kepada staf kedutaan. Pukul 17.50 pesawat pun meluncur di landasan. 


Setelah terbang selama 10 jam pesawat Air Force Two mendarat di landasan udara militer, Honolulu. Di sana sudah menunggu dua pimpinan tertinggi militer AS di Lautan Teduh. Rombongan dari Jakarta yang telah menunggu di Honolulu dipimpin oleh Sekretaris Militer Presiden, Mayjen Syaukat. Ikut dalam rombongan antara lain Pangeran Puger dan istrinya, pengeran Prabukusumo, Hadikusumo, Hadisurya, seorang anak perempuan Sri Sultan, dan anak ibu Norma dari suami sebelumnya. 


Upacara serah terima jenazah berlangsung singkat dan hening. Peti jenazah lalu dipindahkan ke pesawat dari Indonesia. Penerbangan sampai Jakarta selama 14 jam. Di Halim sudah menunggu Wakil Presiden Sudharmono, Mensesneg Murdiono, Panglima TNI Jenderal Tri Sutrisno dan Menhan Beny Murdani. Jenazah disemayamkan di kantor perwakilan Daerah Jogjakarta sebelum diberangkatkan ke Jogjakarta. 


Upacara pemakaman Sri Sultan berlangsung hikmat walaupun ribuan berbagai lapis masyarakat melepas dan mengiringi keberangkatan jenazah ke tempat pemakamannya. "Kami tidak menduga demikian hebatnya masyarakat memberi kehormatan kepada Sri Sultan," kata Pangeran Joyokusumo, salah seorang anak Sri Sultan. 


Pada hari itu pula dinikahkan empat orang Pangeran, yang rencananya menikah pada tanggal 5 November.  Mereka menikah di depan peti jenazah. 


Jenazah dibawa menggunakan kereta jenazah yang ditarik kuda. Jarak dari Keraton ke pemakaman Imogiri kira-kira 17 km. Di pemakaman jenazah diserahkan oleh Menko Kesejahteraan Rakyat, Supardjo Rustam, mewakili pemerintah, kepada perwakilan keraton Jogjakarta, Pangeran Mangkubumi, untuk selanjutnya dimakamkan. 


Sumber: "Sri Sultan: Hari-Hari Hamengkubuwono IX."

LETNAN KOMARUDIN (KEBAL PELURU) Letnan Komarudin, yang memiliki nama asli Eli Yakim Taniwut, adalah tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama terkait dengan Serangan 1 umum Maret 1949. Ia dikenal sebagai komandan peleton yang memiliki keberanian tinggi dan kisah unik terkait dengan kekebalan terhadap peluru. (INFORMASI BELIAU) - Nama Asli: Eli Yakim Taniwut. - Asal: Desa O Hoider Tu Tu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara. - Peran: Komandan peleton di SWK 101, Brigade X, di bawah pimpinan Mayor Sardjono. (KETERLIBATAN DALAM SERANGAN) Letnan Komarudin dikenal karena kesalahan dalam mengingat tanggal serangan dan membuka tembakan pada tanggal 28 Februari 1949. Meskipun menyebabkan kekacauan jadwal, hal ini membuat pasukan Belanda lengah dan tertipu, mengira serangan besar telah terjadi. (KISAH KEBAL) Letnan Komarudin dikenal sebagai sosok yang kebal terhadap peluru, sehingga disegani oleh tentara Belanda. Banyak yang percaya bahwa ia memiliki jimat atau ilmu kebal peluru. Kemampuannya ini bahkan diabadikan dalam film berjudul "Janur Kuning". (KELUARGA DAN KETURUNAN) Letnan Komarudin memiliki hubungan darah dengan Kyai Abdur Rahman, yang dikenal sebagai Mbah Tanjung, seorang ulama terkemuka di Ploso Kuning Minomartani, Sleman. Ia juga diyakini sebagai keturunan langsung Banteng Wareng, seorang panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro. (SETELAH KEMERDEKAAN) Setelah Indonesia merdeka, nama Komarudin tetap dikenang. Bahkan, namanya diabadikan sebagai nama masjid di wilayah Sleman, yang dikenal sebagai Masjid Al-Komarudin. Selain itu, terdapat tokoh bernama Komarudin yang merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Korea, dengan nama asli Yang Chil-seong. Ia lahir pada tanggal 29 Mei 1919 dan dieksekusi oleh pasukan Belanda pada tanggal 10 Agustus 1949. Untuk menghormati jasanya, pemerintah Indonesia dan perwakilan Korea Selatan mengadakan upacara penggantian batu nisan pada bulan Juli 1995.

 LETNAN KOMARUDIN (KEBAL PELURU)


Letnan Komarudin, yang memiliki nama asli Eli Yakim Taniwut, adalah tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama terkait dengan Serangan 1 umum Maret 1949. Ia dikenal sebagai komandan peleton yang memiliki keberanian tinggi dan kisah unik terkait dengan kekebalan terhadap peluru.

 


(INFORMASI BELIAU)

 

- Nama Asli: Eli Yakim Taniwut.

- Asal: Desa O Hoider Tu Tu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara.

- Peran: Komandan peleton di SWK 101, Brigade X, di bawah pimpinan Mayor Sardjono.

 

(KETERLIBATAN DALAM SERANGAN)

 

Letnan Komarudin dikenal karena kesalahan dalam mengingat tanggal serangan dan membuka tembakan pada tanggal 28 Februari 1949. Meskipun menyebabkan kekacauan jadwal, hal ini membuat pasukan Belanda lengah dan tertipu, mengira serangan besar telah terjadi.

 

(KISAH KEBAL)

 

Letnan Komarudin dikenal sebagai sosok yang kebal terhadap peluru, sehingga disegani oleh tentara Belanda. Banyak yang percaya bahwa ia memiliki jimat atau ilmu kebal peluru. Kemampuannya ini bahkan diabadikan dalam film berjudul "Janur Kuning".

 

(KELUARGA DAN KETURUNAN)

 

Letnan Komarudin memiliki hubungan darah dengan Kyai Abdur Rahman, yang dikenal sebagai Mbah Tanjung, seorang ulama terkemuka di Ploso Kuning Minomartani, Sleman. Ia juga diyakini sebagai keturunan langsung Banteng Wareng, seorang panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro.

 

(SETELAH KEMERDEKAAN)

 

Setelah Indonesia merdeka, nama Komarudin tetap dikenang. Bahkan, namanya diabadikan sebagai nama masjid di wilayah Sleman, yang dikenal sebagai Masjid Al-Komarudin.

 

Selain itu, terdapat tokoh bernama Komarudin yang merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Korea, dengan nama asli Yang Chil-seong. Ia lahir pada tanggal 29 Mei 1919 dan dieksekusi oleh pasukan Belanda pada tanggal 10 Agustus 1949. Untuk menghormati jasanya, pemerintah Indonesia dan perwakilan Korea Selatan mengadakan upacara penggantian batu nisan pada bulan Juli 1995.

Letjen Witarmin: Panglima Kopassus dan Penumpas G30S di Blitar Selatan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Witarmin adalah sosok prajurit tangguh yang tercatat sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah militer Indonesia, khususnya dalam operasi penumpasan pemberontakan G30S/PKI di Blitar Selatan, Jawa Timur. Lahir di Kutorejo, Kertosono, Nganjuk pada 2 Februari 1925, Witarmin tumbuh sebagai anak tunggal dari pasangan Samin Sastra Miharjo dan Wiji. Meski berasal dari keluarga sederhana dan tidak sempat menempuh pendidikan menengah karena keterbatasan ekonomi, ia dikenal sebagai pemuda yang dinamis, penuh semangat, dan memiliki jiwa kepemimpinan sejak dini. Pada masa pendudukan Jepang, Witarmin menempuh pendidikan militer di Resentai Magelang dan Bogor, hingga lulus sebagai bagian dari angkatan pertama dengan pangkat shodancho (komandan peleton). Sejak 1943, ia ditugaskan sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Sukorame, Kediri. Dari sinilah karier militernya mulai menanjak. Pasca kemerdekaan, Witarmin terus berkiprah di dunia militer. Ia memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh penting, seperti Amir Murtono dan Imam Samudi, yang bersamanya berjuang di Kertosono. Puncak kiprah heroiknya terlihat pada tahun 1965, ketika pecah pemberontakan G30S/PKI. Witarmin memimpin pasukan dalam Operasi Trisula, yang bertujuan menumpas kekuatan PKI di Blitar Selatan. Keberhasilannya dalam operasi ini diabadikan lewat Patung Kolonel Infanteri Witarmin serta Monumen Trisula di Blitar. Selain sebagai tokoh militer, Witarmin juga pernah dipercaya memimpin pasukan elit. Ia menjabat sebagai Panglima Komando Pasukan Khusus (Kopassus, kala itu Kopassandha) ke-7 dari tahun 1970 hingga 1975. Di bawah kepemimpinannya, Kopassus semakin disegani dan diperkuat sebagai pasukan khusus Angkatan Darat yang memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas nasional. Dalam kehidupan pribadi, Witarmin menikah dengan Suratmi dan dikaruniai 4 orang anak. Sosoknya juga dikenal religius dan dekat dengan kalangan ulama, bahkan pernah diangkat anak oleh Kiai Haji Machrus Ali, Ketua Syuriah NU Jawa Timur sekaligus pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri. Witarmin wafat pada 9 Juli 1987 di RS Dr. Soetomo, Surabaya akibat penyakit lever dan diabetes. Ia dimakamkan dengan penuh penghormatan di Taman Makam Pahlawan, Jalan Bandung, Surabaya. Namanya kini abadi sebagai nama jalan, yaitu Jl. Letjen Witarmin di Blitar, menjadi pengingat atas jasa-jasanya yang besar bagi bangsa. #LetjenWitarmin #PanglimaKopassus #PenumpasG30S #OperasiTrisula #PahlawanBlitarSelatan #SejarahMiliterIndonesia #PejuangNKRI

 Letjen Witarmin: Panglima Kopassus dan Penumpas G30S di Blitar Selatan


Letnan Jenderal TNI (Purn.) Witarmin adalah sosok prajurit tangguh yang tercatat sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah militer Indonesia, khususnya dalam operasi penumpasan pemberontakan G30S/PKI di Blitar Selatan, Jawa Timur. Lahir di Kutorejo, Kertosono, Nganjuk pada 2 Februari 1925, Witarmin tumbuh sebagai anak tunggal dari pasangan Samin Sastra Miharjo dan Wiji. Meski berasal dari keluarga sederhana dan tidak sempat menempuh pendidikan menengah karena keterbatasan ekonomi, ia dikenal sebagai pemuda yang dinamis, penuh semangat, dan memiliki jiwa kepemimpinan sejak dini.



Pada masa pendudukan Jepang, Witarmin menempuh pendidikan militer di Resentai Magelang dan Bogor, hingga lulus sebagai bagian dari angkatan pertama dengan pangkat shodancho (komandan peleton). Sejak 1943, ia ditugaskan sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Sukorame, Kediri. Dari sinilah karier militernya mulai menanjak.


Pasca kemerdekaan, Witarmin terus berkiprah di dunia militer. Ia memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh penting, seperti Amir Murtono dan Imam Samudi, yang bersamanya berjuang di Kertosono. Puncak kiprah heroiknya terlihat pada tahun 1965, ketika pecah pemberontakan G30S/PKI. Witarmin memimpin pasukan dalam Operasi Trisula, yang bertujuan menumpas kekuatan PKI di Blitar Selatan. Keberhasilannya dalam operasi ini diabadikan lewat Patung Kolonel Infanteri Witarmin serta Monumen Trisula di Blitar.


Selain sebagai tokoh militer, Witarmin juga pernah dipercaya memimpin pasukan elit. Ia menjabat sebagai Panglima Komando Pasukan Khusus (Kopassus, kala itu Kopassandha) ke-7 dari tahun 1970 hingga 1975. Di bawah kepemimpinannya, Kopassus semakin disegani dan diperkuat sebagai pasukan khusus Angkatan Darat yang memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas nasional.


Dalam kehidupan pribadi, Witarmin menikah dengan Suratmi dan dikaruniai 4 orang anak. Sosoknya juga dikenal religius dan dekat dengan kalangan ulama, bahkan pernah diangkat anak oleh Kiai Haji Machrus Ali, Ketua Syuriah NU Jawa Timur sekaligus pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri.


Witarmin wafat pada 9 Juli 1987 di RS Dr. Soetomo, Surabaya akibat penyakit lever dan diabetes. Ia dimakamkan dengan penuh penghormatan di Taman Makam Pahlawan, Jalan Bandung, Surabaya. Namanya kini abadi sebagai nama jalan, yaitu Jl. Letjen Witarmin di Blitar, menjadi pengingat atas jasa-jasanya yang besar bagi bangsa.



Sumber : Om Phol

#LetjenWitarmin

#PanglimaKopassus

#PenumpasG30S

#OperasiTrisula

#PahlawanBlitarSelatan

#SejarahMiliterIndonesia

#PejuangNKRI

SALAH TIGA EMPAT LIMA DANUREJA Orang suka salah paham soal Patih Danureja, Patih Jogja, yang menjadi musuh Pangeran Diponegoro. Pertama, dikiranya Patih Jogja dengan nama Danureja itu hanya ada satu orang saja. Kedua, dianggap semua Patih Danureja adalah keturunan Patih Danureja I yang berasal dari Banyumas. Ketiga, tidak paham adanya beda urutan antara Danureja III dan Danureja IV. Saya jelaskan secara sederhana, biar tidak salah paham lagi. Ketika terjadi Perang Diponegoro, sudah ada 4 orang yang menjadi Patih Jogja dengan gelar Danureja. Patih Danureja I, nama aslinya Tumenggung Yudanegara. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana I. Patih Danureja II, nama aslinya Tumenggung Mertonegoro. Cucu Patih Danureja I. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana II. Patih Danureja III, nama aslinya Tumenggung Sindunegara. Anak Patih Danureja I. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana II. Patih Danureja IV, nama aslinya Tumenggung Sumodipuro. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana III. Sebelumnya menjadi Patih Japan, Mojokerto. Tidak ada hubungan apapun dengan Patih Danureja I. Jadi, ketika Perang Diponegoro, yang menjadi musuhnya adalah Patih Danureja IV. Namun, ketika Sultan Hamengku Buwana II mengangkat Tumenggung Sindunegara menjadi Patih Danureja III, Inggris tidak mau mengakui. Karena diangkat sendiri tanpa melibatkan Inggris. Akhirnya, sampe sekarang, Keraton Jogja tidak mencatat Tumenggung Sindunegara sebagai Patih Danureja III. Yang diakui sebagai Patih Danureja III adalah Tumenggung Sumodipuro. Sosok yang sangat pro Belanda. Dan menjadi salah satu penyebab meletusnya Perang Diponegoro. Sementara Sejarah Nasional Indonesia tetap menganggap Tumenggung Sindunegoro adalah Patih Danureja III. Maka yang disebut Patih Danureja IV adalah Tumenggung Sumodipuro. Semoga penjelasan singkat ini bisa dipahami. Karena banyak yang tidak paham juga, bahwa yang kemudian menjadi Patih Danureja V adalah salah satu panglima perang Diponegoro, yang bernama Tumenggung Gondokusumo. Anak dari Patih Danureja II. Hingga ketika membaca Patih Danureja, seolah awalnya memihak Belanda kemudian menjadi panglima Diponegoro. Padahal beda orang, beda masa. Danureja yang dalam foto adalah Patih Danureja V (versi Sejarah Nasional Indonesia) atau Patih Danureja IV (versi Keraton Jogja). Begitu. #books #diponegoro

 SALAH TIGA EMPAT LIMA DANUREJA


Orang suka salah paham soal Patih Danureja, Patih Jogja, yang menjadi musuh Pangeran Diponegoro.



Pertama, dikiranya Patih Jogja dengan nama Danureja itu hanya ada satu orang saja.


Kedua, dianggap semua Patih Danureja adalah keturunan Patih Danureja I yang berasal dari Banyumas.


Ketiga, tidak paham adanya beda urutan antara Danureja III dan Danureja IV.


Saya jelaskan secara sederhana, biar tidak salah paham lagi.


Ketika terjadi Perang Diponegoro, sudah ada 4 orang yang menjadi Patih Jogja dengan gelar Danureja.


Patih Danureja I, nama aslinya Tumenggung Yudanegara. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana I.


Patih Danureja II, nama aslinya Tumenggung Mertonegoro. Cucu  Patih Danureja I. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana II.


Patih Danureja III, nama aslinya Tumenggung Sindunegara. Anak  Patih Danureja I. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana II.


Patih Danureja IV, nama aslinya Tumenggung Sumodipuro. Menjadi Patih Jogja pada jaman Sultan Hamengku Buwana III.


Sebelumnya menjadi Patih Japan, Mojokerto. Tidak ada hubungan apapun dengan Patih Danureja I. 


Jadi, ketika Perang Diponegoro, yang menjadi musuhnya adalah Patih Danureja IV. 


Namun, ketika Sultan Hamengku Buwana II mengangkat Tumenggung Sindunegara menjadi Patih Danureja III, Inggris tidak mau mengakui. Karena diangkat sendiri tanpa melibatkan Inggris.


Akhirnya, sampe sekarang, Keraton Jogja tidak mencatat Tumenggung Sindunegara sebagai Patih Danureja III.


Yang diakui sebagai Patih Danureja III adalah Tumenggung Sumodipuro. Sosok yang sangat pro Belanda. Dan menjadi salah satu penyebab meletusnya Perang Diponegoro.


Sementara Sejarah Nasional Indonesia tetap menganggap Tumenggung Sindunegoro adalah Patih Danureja III. Maka yang disebut Patih Danureja IV adalah Tumenggung Sumodipuro.


Semoga penjelasan singkat ini bisa dipahami. 


Karena banyak yang tidak paham juga, bahwa yang kemudian menjadi Patih Danureja V adalah salah satu panglima perang Diponegoro, yang bernama Tumenggung Gondokusumo. Anak dari Patih Danureja II.


Hingga ketika membaca Patih Danureja, seolah awalnya memihak Belanda kemudian menjadi panglima Diponegoro. 


Padahal beda orang, beda masa.


Danureja yang dalam foto adalah Patih Danureja V (versi Sejarah Nasional Indonesia) atau Patih Danureja IV (versi Keraton Jogja).


Sumber : Nasirun Purwokartun

27 September 2025

Kisah Romantis Ahmad Yani: Menikahi Mantan Guru Ketik dan Hidup Sederhana Di balik sosoknya yang dikenal sebagai Jenderal tangguh dan salah satu pahlawan besar bangsa, Ahmad Yani ternyata menyimpan kisah cinta yang begitu romantis. Jarang diketahui publik, pria kelahiran Purworejo ini menikahi seorang perempuan yang pernah menjadi gurunya saat sekolah seorang guru mengetik bernama Bandiah Yayu Rulia. Pernikahan mereka berlangsung pada tahun 1944, di masa-masa sulit ketika Ahmad Yani masih berstatus tentara PETA dan bertugas sebagai juru bahasa. Dari ikatan suci itu, lahirlah delapan anak yang menjadi penerus cinta sekaligus saksi keteladanan hidup pasangan ini. Meski berasal dari keluarga berada, Ahmad Yani memilih untuk hidup sederhana bersama istri dan anak-anaknya di kompleks perumahan tentara di Magelang, Jawa Tengah. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan penuh kasih, namun juga dihiasi rasa cemas yang kerap menyelimuti hati sang istri. Setiap kali Yani bertugas keluar kota dan tak kunjung pulang, Bandiah dan anak-anaknya dilanda kekhawatiran mendalam. Maklum saja, di masa itu belum ada gawai atau sarana komunikasi yang mudah seperti sekarang. Rasa cemas yang berulang kali hadir bahkan pernah membuat Ahmad Yani merasa sedikit risih, namun ia tetap memahami perasaan keluarga yang sangat mencintainya. Meski begitu, Ahmad Yani tidak pernah lalai menjalankan perannya sebagai suami dan ayah. Ia tetap menjadi sosok penuh kasih, bertanggung jawab, dan setia mendampingi keluarganya hingga akhir hayat. Cintanya kepada Bandiah Yayu Rulia tidak pernah luntur, bahkan tetap terjaga utuh hingga ajal menjemputnya pada 30 September 1965 malam yang kelam dalam sejarah bangsa. Kisah cinta Ahmad Yani dan Bandiah Yayu Rulia bukan hanya romantis, tetapi juga mengajarkan bahwa di balik kegagahan seorang prajurit, tersimpan kelembutan hati seorang ayah dan suami yang mencintai keluarganya sepenuh jiwa. Sumber : Harapanrakyat.com

 Kisah Romantis Ahmad Yani: Menikahi Mantan Guru Ketik dan Hidup Sederhana


Di balik sosoknya yang dikenal sebagai Jenderal tangguh dan salah satu pahlawan besar bangsa, Ahmad Yani ternyata menyimpan kisah cinta yang begitu romantis. Jarang diketahui publik, pria kelahiran Purworejo ini menikahi seorang perempuan yang pernah menjadi gurunya saat sekolah  seorang guru mengetik bernama Bandiah Yayu Rulia.



Pernikahan mereka berlangsung pada tahun 1944, di masa-masa sulit ketika Ahmad Yani masih berstatus tentara PETA dan bertugas sebagai juru bahasa. Dari ikatan suci itu, lahirlah delapan anak yang menjadi penerus cinta sekaligus saksi keteladanan hidup pasangan ini.


Meski berasal dari keluarga berada, Ahmad Yani memilih untuk hidup sederhana bersama istri dan anak-anaknya di kompleks perumahan tentara di Magelang, Jawa Tengah. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan penuh kasih, namun juga dihiasi rasa cemas yang kerap menyelimuti hati sang istri. Setiap kali Yani bertugas keluar kota dan tak kunjung pulang, Bandiah dan anak-anaknya dilanda kekhawatiran mendalam.


Maklum saja, di masa itu belum ada gawai atau sarana komunikasi yang mudah seperti sekarang. Rasa cemas yang berulang kali hadir bahkan pernah membuat Ahmad Yani merasa sedikit risih, namun ia tetap memahami perasaan keluarga yang sangat mencintainya.


Meski begitu, Ahmad Yani tidak pernah lalai menjalankan perannya sebagai suami dan ayah. Ia tetap menjadi sosok penuh kasih, bertanggung jawab, dan setia mendampingi keluarganya hingga akhir hayat. Cintanya kepada Bandiah Yayu Rulia tidak pernah luntur, bahkan tetap terjaga utuh hingga ajal menjemputnya pada 30 September 1965 malam yang kelam dalam sejarah bangsa.


Kisah cinta Ahmad Yani dan Bandiah Yayu Rulia bukan hanya romantis, tetapi juga mengajarkan bahwa di balik kegagahan seorang prajurit, tersimpan kelembutan hati seorang ayah dan suami yang mencintai keluarganya sepenuh jiwa.


Sumber : Harapanrakyat.com 


26 September 2025

Perjuangan Mariatni Hidupi Keluarga, Istri Letjen MT Haryono Pernah Berjualan Anggrek Setelah sang Suami Gugur Peristiwa kelam G30S PKI tahun 1965 bukan hanya merenggut nyawa para jenderal pahlawan revolusi, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Di antara mereka, sosok Mariatni, istri Letjen MT Haryono, menjadi simbol ketegaran seorang perempuan yang kehilangan suami tercinta sekaligus harus berjuang membesarkan anak-anaknya sendirian. Tragedi itu masih membekas hingga kini. Malam ketika pasukan pemberontak mendatangi rumahnya, Mariatni sempat membuka pintu dan mendengar alasan bahwa suaminya dipanggil Presiden untuk rapat mendadak. Namun, Letjen MT Haryono yang sudah paham gelagat itu langsung berbisik pada istrinya dengan tenang namun tegas: > “Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depan beserta anak-anak.” Itulah kalimat terakhir yang keluar dari mulut seorang jenderal kepada istrinya, sebelum akhirnya ditembaki secara brutal oleh pasukan pemberontak. Sebuah pesan cinta, pengorbanan, dan keberanian yang membekas selamanya di hati Mariatni. Setelah ditinggalkan, Mariatni bukan hanya bersedih, tetapi juga harus memikirkan kelangsungan hidup keluarganya. Ia berjualan anggrek, bunga kesukaan sang suami yang selama ini mereka rawat bersama. Tak berhenti di situ, ia juga membuat dan menjual kue demi menambah penghasilan. Dengan kecerdikan dan tekadnya, uang hasil berjualan itu ia kelola untuk membangun paviliun yang kemudian disewakan. Usahanya perlahan berkembang, bahkan bertambah banyak paviliun baru yang bisa menopang hidup keluarga. Kisah Mariatni bukan hanya kisah kehilangan, tetapi juga kisah keteguhan seorang istri pahlawan revolusi yang bertransformasi dari seorang ibu rumah tangga menjadi tulang punggung keluarga. Dari air mata, ia melahirkan kekuatan. Dari duka, ia menumbuhkan harapan. Sumber : nusantara.id

 Perjuangan Mariatni Hidupi Keluarga, Istri Letjen MT Haryono Pernah Berjualan Anggrek Setelah sang Suami Gugur


Peristiwa kelam G30S PKI tahun 1965 bukan hanya merenggut nyawa para jenderal pahlawan revolusi, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Di antara mereka, sosok Mariatni, istri Letjen MT Haryono, menjadi simbol ketegaran seorang perempuan yang kehilangan suami tercinta sekaligus harus berjuang membesarkan anak-anaknya sendirian.



Tragedi itu masih membekas hingga kini. Malam ketika pasukan pemberontak mendatangi rumahnya, Mariatni sempat membuka pintu dan mendengar alasan bahwa suaminya dipanggil Presiden untuk rapat mendadak. Namun, Letjen MT Haryono yang sudah paham gelagat itu langsung berbisik pada istrinya dengan tenang namun tegas:


> “Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depan beserta anak-anak.”


Itulah kalimat terakhir yang keluar dari mulut seorang jenderal kepada istrinya, sebelum akhirnya ditembaki secara brutal oleh pasukan pemberontak. Sebuah pesan cinta, pengorbanan, dan keberanian yang membekas selamanya di hati Mariatni.


Setelah ditinggalkan, Mariatni bukan hanya bersedih, tetapi juga harus memikirkan kelangsungan hidup keluarganya. Ia berjualan anggrek, bunga kesukaan sang suami yang selama ini mereka rawat bersama. Tak berhenti di situ, ia juga membuat dan menjual kue demi menambah penghasilan. Dengan kecerdikan dan tekadnya, uang hasil berjualan itu ia kelola untuk membangun paviliun yang kemudian disewakan. Usahanya perlahan berkembang, bahkan bertambah banyak paviliun baru yang bisa menopang hidup keluarga.


Kisah Mariatni bukan hanya kisah kehilangan, tetapi juga kisah keteguhan seorang istri pahlawan revolusi yang bertransformasi dari seorang ibu rumah tangga menjadi tulang punggung keluarga. Dari air mata, ia melahirkan kekuatan. Dari duka, ia menumbuhkan harapan.


Sumber : nusantara.id 


Empat orang gubernur jenderal VOC Kompeni, awal orang2 Belanda menjajah kepulauan Nusantara yang kini menjadi Indonesia. Mereka bisa menjajah dengan menggunakan siasat devide et impera memcah belah dan menguasai. Sesama bangsawan Nusantara mereka adu domba. Mengapa bisa diadu domba, dipecah belah, karena banyak bangsawan Nusantara pada waktu itu mendahulukan kebutuhannya sendiri. Pengalaman jangan sampai terulang. Sumber buku Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah II #fbpro #persatuandankesatuan #devideetimpera

 Empat orang gubernur jenderal VOC Kompeni, awal orang2 Belanda menjajah kepulauan Nusantara yang kini menjadi Indonesia. Mereka bisa menjajah dengan menggunakan siasat devide et impera memcah belah dan menguasai. Sesama bangsawan Nusantara mereka adu domba. Mengapa bisa diadu domba, dipecah belah, karena banyak bangsawan Nusantara pada waktu itu mendahulukan kebutuhannya sendiri. Pengalaman jangan sampai terulang. Sumber buku  Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas



25 September 2025

Kolonel Alexander Evert Kawilarang (23 Februari 1920 – 6 Juni 2000) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, komandan militer, dan pendiri Kesko TT, yang kelak menjadi unit pasukan khusus Indonesia, Kopassus.pada tahun 1958, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai atase militer di Amerika Serikat untuk bergabung dengan gerakan Per mesta setelah Insiden Manado, di mana ia berhadapan dengan Kopassus. Keterlibatannya dalam Permesta sempat menghancvrkan karier militernya, tetapi ia tetap populer dan aktif di komunitas angkatan bersenjata. Keterlibatan militer di Maluku mendorong Kawilarang untuk mendirikan apa yang kemudian menjadi pasukan khusus Indonesia, Kopassus. Beberapa orang mengakui bahwa gagasan unit komando khusus adalah gagasan Kawilarang dan Riyadi.Pada tanggal 15 April 1952, Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Teritorial III (Kesko TT) ketika ia menjadi komandan teritorial Wilayah Militer III di Bandung. Ia meminta Moch. Idjon Djanbi, mantan komando KNIL, untuk melatih unit tersebut. Pada tahun 1999, setahun sebelum kemat1annya, Kawilarang menjadi anggota kehormatan Kopassus dan menerima baret merah selama upacara memperingati hari jadi ke-47 pembentukan Kopassus. #kopassus #komando #kolonelkawilarang #kolonelAlexkawilarang

 Kolonel Alexander Evert Kawilarang (23 Februari 1920 – 6 Juni 2000) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, komandan militer, dan pendiri Kesko TT, yang kelak menjadi unit pasukan khusus Indonesia, Kopassus.pada tahun 1958, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai atase militer di Amerika Serikat untuk bergabung dengan gerakan  Per mesta setelah Insiden Manado, di mana ia berhadapan dengan Kopassus. Keterlibatannya dalam Permesta sempat menghancvrkan karier militernya, tetapi ia tetap populer dan aktif di komunitas angkatan bersenjata.




Keterlibatan militer di Maluku mendorong Kawilarang untuk mendirikan apa yang kemudian menjadi pasukan khusus Indonesia, Kopassus. Beberapa orang mengakui bahwa gagasan unit komando khusus adalah gagasan Kawilarang dan Riyadi.Pada tanggal 15 April 1952, Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Teritorial III (Kesko TT) ketika ia menjadi komandan teritorial Wilayah Militer III di Bandung. Ia meminta Moch. Idjon Djanbi, mantan komando KNIL, untuk melatih unit tersebut. Pada tahun 1999, setahun sebelum kemat1annya, Kawilarang menjadi anggota kehormatan Kopassus dan menerima baret merah selama upacara memperingati hari jadi ke-47 pembentukan Kopassus.

#kopassus #komando #kolonelkawilarang #kolonelAlexkawilarang

Sultan Parikesit, Raja Terkaya yang Sengsara saat Orla dan Orba November adalah bulan yang sangat istimewa bagi Aji Muhammad Parikesit. Pada bulan inilah, sultan terakhir Kutai Kartanegara Ing Martadipura itu lahir, naik takhta, dan mangkat. Parikesit lahir pada 21 November 1895, tepat hari ini 123 tahun yang lalu. Nama lahirnya Aji Kaget. Ia putra mahkota Sultan Alimuddin atau cucu dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang tersohor. Parikesit berusia 15 tahun ketika sang ayah wafat. Namun, ia tak segera naik takhta karena belum cukup umur. Terdapat jeda 10 tahun yang harus dilewati Parikesit untuk menyelesaikan pendidikan di OSVIA, sekolah jurusan pemerintahan milik Belanda di Serang, Jawa Barat. Ketika berusia 25 tahun kurang sepekan, tepatnya 16 November 1920, barulah Parikesit diangkat. Ia menjadi sultan ke-19 Kutai, sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas di Kalimantan Timur. Di bawah pemerintahan Parikesit, Kesultanan Kutai masih melintasi zaman keemasan. Salah satu penyebabnya adalah perjanjian antara kakek Parikesit, Sultan Aji Muhammad Sulaiman, dengan Belanda. Dalam perjanjian berisi konsesi minyak dan batu bara yang telah diperbarui, gaji sultan adalah 7.000 gulden per bulan. Jika merujuk harga emas pada tahun yang sama, gaji Sultan Parikesit sekarang setara Rp 518 juta sebulan. Pendapatan kesultanan juga bertambah dari biaya tahunan yang dibayar Belanda sebesar 30.500 gulden atau sekitar Rp 2,2 miliar. Dari semua angka itu, pendapatan terbesar sultan tentu saja dari royalti 5 persen konsesi minyak, batu bara, dan hutan di Kutai. Royalti ini dibayar oleh Belanda termasuk 16.500 gulden setahun sebagai hak atas tanah di sepanjang Sungai Mahakam. Dari uang tahunan itu, Belanda menerima kekuasaan mengendalikan seluruh pajak di kawasan sungai. Burhan Djabier Magenda dalam bukunya bertajuk East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (1991) menulis, "Sultan Parikesit memiliki lebih dari 10.000 gulden (kira-kira Rp 770 juta) sebulan untuk dibelanjakan." (hlm 16-21) Kekayaan Sultan Memiliki kekayaan luar biasa, Sultan Parikesit gemar menyalurkan minat pribadi. Hobinya dikenal mahal. Sultan mengoleksi mobil, perahu motor, dan speedboat. Sepenggal kehidupan Parikesit direkam seorang sarjana Amerika bernama William Otterbein Krohn yang mengunjungi Kutai. Krohn melahirkan buku berjudul In Borneo Jungles Among the Dyak Headhunters (1927). Di situ ditulis, istana Parikesit di Tenggarong berisi perabotan yang diimpor dari Eropa. Mulai tirai, tempat tidur, kanopi, permadani, karpet, meja, kursi, jam, hingga lukisan. Krohn melukiskannya dengan kalimat, "Seperti yang terlihat di istana megah di Wina." Sultan Parikesit juga memiliki satu kapal pesiar serta tiga mobil. Dua mobil dari pabrikan Amerika, satu mobil lagi jenama Eropa. Yang menarik, tulis Krohn, Sultan disebut tinggal di negara yang tidak memiliki jalan untuk kendaraan. Ada beberapa jalan setapak di desa, namun tidak cocok untuk mobil. Hanya sebuah jalan sempit, sekitar 600 meter panjangnya. Sultan pernah memerintahkan bawahannya membawa ketiga mobil bersamaan. Namun, jalur yang dilalui terlampau sempit sehingga tidak ada tempat untuk berputar. Pada saat seluruh mobil sampai di ujung jalan, satu per satu mobil memasang perseneling mundur untuk kembali ke istana. Sultan Parikesit amat terkenal di antara para sultan yang berkuasa di Hindia Belanda. Sebagai perbandingan, anggota kabinet Sultan Parikesit menerima gaji 3.500 gulden atau sekarang setara Rp 259 juta sebulan. Pejabat yang lebih rendah bisa mendapatkan 1.000 gulden atau Rp 74 juta sebulan. Pendapatan sedemikian bahkan lebih tinggi dari gaji para bangsawan Hindia Belanda. Kesohornya kekayaan Sultan Parikesit makin melambung setelah kesultanan meminjamkan uang kepada pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia. Pinjaman serupa turut diberikan kepada sejumlah kesultanan yang sedang kesulitan keuangan (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 1991, hlm 18). Puncak kejayaan Parikesit ketika merombak istananya. Enam belas tahun berkuasa atau pada 1936, Sultan mengganti istana kayu ulin di Tenggarong dengan bangunan dari beton yang dirancang arsitek bernama Estourgie. Pembangunannya melibatkan perusahaan konstruksi Belanda bernama Hollande Beton Maatschappij. Rakyat Biasa dan Masa Orde Lama Pidato Parikesit yang luar biasa dalam sebuah rapat umum di Lapangan Kinibalu, Samarinda, pada 23 Januari 1950 menjadi permulaan. Secara terbuka di hadapan rakyat, Parikesit menyampaikan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menyetujui bentuk negara kesatuan untuk seluruh Indonesia (Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999, 2017). Saat itu, pengaruh Hindia Belanda di Tanah Air telah berakhir setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui dalam Konferensi Meja Bundar. Kondisi politik Indonesia berubah cepat dan dinamis. Pada 21 Januari 1960, Kesultanan Kutai Kartanegara resmi berakhir. Parikesit membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda serah terima kepada wali kota pertama Samarinda, Soedjono. Berakhirlah Permintahan Daerah Istimewa Kutai sekaligus keberadaan kesultanan yang telah berusia 659 tahun. Dari sultan yang berkuasa, bertakhta, dan kaya raya, Parikesit akhirnya menjadi rakyat biasa pada usia 65 tahun. Parikesit adalah rakyat Indonesia di bawah pemerintahan Orde Lama-nya Presiden Soekarno. Saat itu, Presiden tengah mencetuskan konsep nasakom --nasionalisme, agama, dan komunisme. Kehilangan takhta menjadi prahara bagi kehidupan Parikesit berikut anggota keluarganya. Pada pertengahan 1964 atau empat tahun setelah tak lagi berkuasa, Parikesit ditangkap angkatan bersenjata. Sultan bersama beberapa anggota kerajaan dimasukkan ke penjara. Bersamanya ada nama Gubernur Fomler dan Aji Pangeran Tumenggung Pranoto --gubernur pertama Kaltim. Perintah meringkus para pejabat datang dari Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman, Kolonel Suhario Padmodiwiryo. Suhario adalah perwira muda dari pejuang angkatan 45 yang disebut-sebut dekat dengan Presiden Soekarno. Suhario menuduh para bangsawan Kutai mencoba menghidupkan kembali pemerintahan feodal atau swapraja. Para petinggi kesultanan disebut bekerja sama dengan pemberontak asing. Kaum ningrat, tuding Suhario, kurang membantu gerakan revolusi Presiden Soekarno (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 62). Sultan Parikesit, Raja Terkaya yang Sengsara saat Orla dan Orba Orde Baru dan Wafatnya Parikesit Orde Lama tumbang setelah peristiwa 30 September 1965. Parikesit telah dibebaskan. Namun, selama setahun ditahan, Parikesit kehilangan semua usahanya. Akhirnya ia harus menjual sebagian harta karena impitan ekonomi pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pernah tersiar kabar, seorang Amerika mengangkut barang-barang antik dari Kutai dengan tiga helikopter. Majalah Tempo dalam laporan utamanya pada 1 Januari 1970 berjudul Parikesit, Sultan Terakhir sampai-sampai menulis, “Tapi (Parikesit) tak tahu dari mana mendapat makan. Karena itu, ketika ada orang mengerling pedang emasnya, tanpa tawar-menawar lagi dilego hanya dengan harga Rp 300 ribu.” Parikesit sebenarnya sempat mencoba memulai usaha di sektor kehutanan. Pada 1967, izin pengelolaan hutan yakni hak pengusahaan hutan atau HPH mulai diterbitkan rezim Presiden Soeharto. Seperti saudara-saudara kandungnya, Parikesit mengajukan permohonan HPH. Tidak besar, hanya 50 hektare. Masih dalam laporannya, Majalah Tempo menulis bahwa Gubernur Abdoel Wahab Sjahranie yang menerima permohonan itu. Parikesit meminta HPH di kawasan Bengalon, kini di Kutai Timur, yang sebelumnya memang hak kesultanan. Tunggu punya tunggu, tak ada hasilnya. Parikesit pun bertekad berangkat ke Jakarta. Begitulah, pada 1967, ia berhasil menemui Presiden Soeharto di Bina Graha. Kepadanya, Soeharto hanya berkata, "Wah, mengapa baru sekarang diajukan? Kenapa tidak dulu-dulu? Sekarang tidak ada lagi hutan yang baik untuk dikerjakan. Yah, sayang sekali, Pak Sultan ketika itu tidak bilang kalau sudah mengajukan sejak tahun 1967.” Sampai beberapa tahun sesudahnya, HPH tersebut tak pernah diterima Parikesit. Ia merasa masygul karena kabar HPH itu telah tersiar di telinga masyarakat. Namun Parikesit tak pernah mengeluhkannya. Dia hanya berkata, "Mudah-mudahan kita semua tetap diberi petunjuk oleh Tuhan." Tanpa mengejar HPH untuk pribadinya, Parikesit justru berusaha menyampaikan kesusahan rakyat Tenggarong yang dulu pernah dipimpinnya. Kepada Presiden Soeharto juga, Parikesit menyampaikan kritik. Sesuatu yang tidak biasa pada zaman Orde Baru. Kritik Parikesit waktu itu adalah masyarakat masih kurang mendapat perhatian. Listrik di Tenggarong, misalnya, baru dinikmati di rumah-rumah pejabat saja. Parit-parit kurang terurus, kebersihan lingkungan kurang terjaga. Akhir cerita, Parikesit hidup apa adanya. Memang, Presiden memberinya subsidi Rp 100 ribu sebulan. Merujuk nilai dolar Amerika saat itu, besarnya sekarang sekitar Rp 2,8 juta. Bantuan disampaikan melalui Gubernur Sjahranie setiap tahun, saban 8 Juni yang bertepatan dengan kelahiran Presiden Soeharto. Tidak begitu jelas apakah bantuan itu pengganti izin pengelolaan hutan yang hilang. Terakhir, Parikesit menerima uang pensiun sebesar Rp 18 ribu sebulan atau sekarang Rp 500 ribu. Parikesit wafat dalam kesederhanaan pada 22 November 1981. Ia mangkat ketika berusia 92 tahun, meninggalkan 14 anak dan sejumlah cucu. Namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Kutai Kartanegara. Nama yang serupa dengan salah satu tokoh pewayangan. Di Kalimantan Timur, Parikesit adalah raja terakhir kesultanan Kutai. Di dunia pewayangan, Parikesit juga raja terakhir pada zaman purwa menjelang 'masa baru' dari zaman madya. Bedanya, kisah hidup Sultan Parikesit nyata adanya, bukan lakon pewayangan belaka. (*)

 Sultan Parikesit, Raja Terkaya yang Sengsara saat Orla dan Orba


November adalah bulan yang sangat istimewa bagi Aji Muhammad Parikesit. Pada bulan inilah, sultan terakhir Kutai Kartanegara Ing Martadipura itu lahir, naik takhta, dan mangkat. Parikesit lahir pada 21 November 1895, tepat hari ini 123 tahun yang lalu. Nama lahirnya Aji Kaget. Ia putra mahkota Sultan Alimuddin atau cucu dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang tersohor. 



Parikesit berusia 15 tahun ketika sang ayah wafat. Namun, ia tak segera naik takhta karena belum cukup umur. Terdapat jeda 10 tahun yang harus dilewati Parikesit untuk menyelesaikan pendidikan di OSVIA, sekolah jurusan pemerintahan milik Belanda di Serang, Jawa Barat. 


Ketika berusia 25 tahun kurang sepekan, tepatnya 16 November 1920, barulah Parikesit diangkat. Ia menjadi sultan ke-19 Kutai, sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas di Kalimantan Timur. Di bawah pemerintahan Parikesit, Kesultanan Kutai masih melintasi zaman keemasan. Salah satu penyebabnya adalah perjanjian antara kakek Parikesit, Sultan Aji Muhammad Sulaiman, dengan Belanda. 


Dalam perjanjian berisi konsesi minyak dan batu bara yang telah diperbarui, gaji sultan adalah 7.000 gulden per bulan. Jika merujuk harga emas pada tahun yang sama, gaji Sultan Parikesit sekarang setara Rp 518 juta sebulan. Pendapatan kesultanan juga bertambah dari biaya tahunan yang dibayar Belanda sebesar 30.500 gulden atau sekitar Rp 2,2 miliar. 


Dari semua angka itu, pendapatan terbesar sultan tentu saja dari royalti 5 persen konsesi minyak, batu bara, dan hutan di Kutai. Royalti ini dibayar oleh Belanda termasuk 16.500 gulden setahun sebagai hak atas tanah di sepanjang Sungai Mahakam. Dari uang tahunan itu, Belanda menerima kekuasaan mengendalikan seluruh pajak di kawasan sungai. Burhan Djabier Magenda dalam bukunya bertajuk East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (1991) menulis, "Sultan Parikesit memiliki lebih dari 10.000 gulden (kira-kira Rp 770 juta) sebulan untuk dibelanjakan." (hlm 16-21)


Kekayaan Sultan


Memiliki kekayaan luar biasa, Sultan Parikesit gemar menyalurkan minat pribadi. Hobinya dikenal mahal. Sultan mengoleksi mobil, perahu motor, dan speedboat. 


Sepenggal kehidupan Parikesit direkam seorang sarjana Amerika bernama William Otterbein Krohn yang mengunjungi Kutai. Krohn melahirkan buku berjudul In Borneo Jungles Among the Dyak Headhunters (1927). Di situ ditulis, istana Parikesit di Tenggarong berisi perabotan yang diimpor dari Eropa. Mulai tirai, tempat tidur, kanopi, permadani, karpet, meja, kursi, jam, hingga lukisan. Krohn melukiskannya dengan kalimat, "Seperti yang terlihat di istana megah di Wina." 


Sultan Parikesit juga memiliki satu kapal pesiar serta tiga mobil. Dua mobil dari pabrikan Amerika, satu mobil lagi jenama Eropa. Yang menarik, tulis Krohn, Sultan disebut tinggal di negara yang tidak memiliki jalan untuk kendaraan. Ada beberapa jalan setapak di desa, namun tidak cocok untuk mobil. Hanya sebuah jalan sempit, sekitar 600 meter panjangnya. 


Sultan pernah memerintahkan bawahannya membawa ketiga mobil bersamaan. Namun, jalur yang dilalui terlampau sempit sehingga tidak ada tempat untuk berputar. Pada saat seluruh mobil sampai di ujung jalan, satu per satu mobil memasang perseneling mundur untuk kembali ke istana. 


Sultan Parikesit amat terkenal di antara para sultan yang berkuasa di Hindia Belanda. Sebagai perbandingan, anggota kabinet Sultan Parikesit menerima gaji 3.500 gulden atau sekarang setara Rp 259 juta sebulan. Pejabat yang lebih rendah bisa mendapatkan 1.000 gulden atau Rp 74 juta sebulan. Pendapatan sedemikian bahkan lebih tinggi dari gaji para bangsawan Hindia Belanda. 


Kesohornya kekayaan Sultan Parikesit makin melambung setelah kesultanan meminjamkan uang kepada pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia. Pinjaman serupa turut diberikan kepada sejumlah kesultanan yang sedang kesulitan keuangan (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 1991, hlm 18). 


Puncak kejayaan Parikesit ketika merombak istananya. Enam belas tahun berkuasa atau pada 1936, Sultan mengganti istana kayu ulin di Tenggarong dengan bangunan dari beton yang dirancang arsitek bernama Estourgie. Pembangunannya melibatkan perusahaan konstruksi Belanda bernama Hollande Beton Maatschappij. 


Rakyat Biasa dan Masa Orde Lama


Pidato Parikesit yang luar biasa dalam sebuah rapat umum di Lapangan Kinibalu, Samarinda, pada 23 Januari 1950 menjadi permulaan. Secara terbuka di hadapan rakyat, Parikesit menyampaikan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menyetujui bentuk negara kesatuan untuk seluruh Indonesia (Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999, 2017).


Saat itu, pengaruh Hindia Belanda di Tanah Air telah berakhir setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui dalam Konferensi Meja Bundar. Kondisi politik Indonesia berubah cepat dan dinamis. Pada 21 Januari 1960, Kesultanan Kutai Kartanegara resmi berakhir. Parikesit membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda serah terima kepada wali kota pertama Samarinda, Soedjono. Berakhirlah Permintahan Daerah Istimewa Kutai sekaligus keberadaan kesultanan yang telah berusia 659 tahun. 


Dari sultan yang berkuasa, bertakhta, dan kaya raya, Parikesit akhirnya menjadi rakyat biasa pada usia 65 tahun. Parikesit adalah rakyat Indonesia di bawah pemerintahan Orde Lama-nya Presiden Soekarno. Saat itu, Presiden tengah mencetuskan konsep nasakom --nasionalisme, agama, dan komunisme. 


Kehilangan takhta menjadi prahara bagi kehidupan Parikesit berikut anggota keluarganya. Pada pertengahan 1964 atau empat tahun setelah tak lagi berkuasa, Parikesit ditangkap angkatan bersenjata. Sultan bersama beberapa anggota kerajaan dimasukkan ke penjara. Bersamanya ada nama Gubernur Fomler dan Aji Pangeran Tumenggung Pranoto --gubernur pertama Kaltim.


Perintah meringkus para pejabat datang dari Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman, Kolonel Suhario Padmodiwiryo. Suhario adalah perwira muda dari pejuang angkatan 45 yang disebut-sebut dekat dengan Presiden Soekarno. Suhario menuduh para bangsawan Kutai mencoba menghidupkan kembali pemerintahan feodal atau swapraja. Para petinggi kesultanan disebut bekerja sama dengan pemberontak asing. Kaum ningrat, tuding Suhario, kurang membantu gerakan revolusi Presiden Soekarno (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 62). 

Sultan Parikesit, Raja Terkaya yang Sengsara saat Orla dan Orba


Orde Baru dan Wafatnya Parikesit


Orde Lama tumbang setelah peristiwa 30 September 1965. Parikesit telah dibebaskan. Namun, selama setahun ditahan, Parikesit kehilangan semua usahanya. Akhirnya ia harus menjual sebagian harta karena impitan ekonomi pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pernah tersiar kabar, seorang Amerika mengangkut barang-barang antik dari Kutai dengan tiga helikopter. Majalah Tempo dalam laporan utamanya pada 1 Januari 1970 berjudul Parikesit, Sultan Terakhir sampai-sampai menulis, “Tapi (Parikesit) tak tahu dari mana mendapat makan. Karena itu, ketika ada orang mengerling pedang emasnya, tanpa tawar-menawar lagi dilego hanya dengan harga Rp 300 ribu.”


Parikesit sebenarnya sempat mencoba memulai usaha di sektor kehutanan. Pada 1967, izin pengelolaan hutan yakni hak pengusahaan hutan atau HPH mulai diterbitkan rezim Presiden Soeharto. Seperti saudara-saudara kandungnya, Parikesit mengajukan permohonan HPH. Tidak besar, hanya 50 hektare.


Masih dalam laporannya, Majalah Tempo menulis bahwa Gubernur Abdoel Wahab Sjahranie yang menerima permohonan itu. Parikesit meminta HPH di kawasan Bengalon, kini di Kutai Timur, yang sebelumnya memang hak kesultanan. Tunggu punya tunggu, tak ada hasilnya. Parikesit pun bertekad berangkat ke Jakarta. 


Begitulah, pada 1967, ia berhasil menemui Presiden Soeharto di Bina Graha. Kepadanya, Soeharto hanya berkata, "Wah, mengapa baru sekarang diajukan? Kenapa tidak dulu-dulu? Sekarang tidak ada lagi hutan yang baik untuk dikerjakan. Yah, sayang sekali, Pak Sultan ketika itu tidak bilang kalau sudah mengajukan sejak tahun 1967.” Sampai beberapa tahun sesudahnya, HPH tersebut tak pernah diterima Parikesit. Ia merasa masygul karena kabar HPH itu telah tersiar di telinga masyarakat. Namun Parikesit tak pernah mengeluhkannya. Dia hanya berkata, "Mudah-mudahan kita semua tetap diberi petunjuk oleh Tuhan."


Tanpa mengejar HPH untuk pribadinya, Parikesit justru berusaha menyampaikan kesusahan rakyat Tenggarong yang dulu pernah dipimpinnya. Kepada Presiden Soeharto juga, Parikesit menyampaikan kritik. Sesuatu yang tidak biasa pada zaman Orde Baru. Kritik Parikesit waktu itu adalah masyarakat masih kurang mendapat perhatian. Listrik di Tenggarong, misalnya, baru dinikmati di rumah-rumah pejabat saja. Parit-parit kurang terurus, kebersihan lingkungan kurang terjaga. 


Akhir cerita, Parikesit hidup apa adanya. Memang, Presiden memberinya subsidi Rp 100 ribu  sebulan. Merujuk nilai dolar Amerika saat itu, besarnya sekarang sekitar Rp 2,8 juta. Bantuan disampaikan melalui Gubernur Sjahranie setiap tahun, saban 8 Juni yang bertepatan dengan kelahiran Presiden Soeharto. Tidak begitu jelas apakah bantuan itu pengganti izin pengelolaan hutan yang hilang. Terakhir, Parikesit menerima uang pensiun sebesar Rp 18 ribu sebulan atau sekarang Rp 500 ribu. 


Parikesit wafat dalam kesederhanaan pada 22 November 1981. Ia mangkat ketika berusia 92 tahun, meninggalkan 14 anak dan sejumlah cucu. Namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Kutai Kartanegara. Nama yang serupa dengan salah satu tokoh pewayangan. Di Kalimantan Timur, Parikesit adalah raja terakhir kesultanan Kutai. Di dunia pewayangan, Parikesit juga raja terakhir pada zaman purwa menjelang 'masa baru' dari zaman madya. Bedanya, kisah hidup Sultan Parikesit nyata adanya, bukan lakon pewayangan belaka. (*)

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Witarmin adalah tokoh penumpas pembrontakan Gerakan 30 September 1965 di Blitar Selatan, Jawa Timur. Witarmin adalah kapten Pembela Tanah Air (PETA) pada 1942. Komandan Peleton Sukorame, Kediri (1943) Komandan Kompi Yon IV di Nganjuk (1945) Wakil Komandan Batalyon 501 di Tuban (1955-1956) Komandan Batalyon 501 di Tuban (1956-1958) Komandan Batalyon 510 di Banyuwangi (1958) Kastaf Resimen 19 di Jember (1961-1962) Kastaf Brigade 2 Caduad di Malang (1962) Komandan Brigif Linud 18/Trisula (1966-1969) Wadan Puspassus/RPKAD (1969-1970) Komandan RPKAD/Kopassus ke 7 (1970-1975) Pangdam VIII/Brawijaya (1975-1981) #panglimakopassuske7 #pangkopassus #kopassus #komando #tniad

 Letnan Jenderal TNI (Purn.) Witarmin adalah tokoh penumpas pembrontakan Gerakan 30 September 1965 di Blitar Selatan, Jawa Timur. Witarmin adalah kapten Pembela Tanah Air (PETA) pada 1942.

Komandan Peleton Sukorame, Kediri (1943)

Komandan Kompi Yon IV di Nganjuk (1945)

Wakil Komandan Batalyon 501 di Tuban (1955-1956)

Komandan Batalyon 501 di Tuban (1956-1958)

Komandan Batalyon 510 di Banyuwangi (1958)

Kastaf Resimen 19 di Jember (1961-1962)

Kastaf Brigade 2 Caduad di Malang (1962)

Komandan Brigif Linud 18/Trisula (1966-1969)

Wadan Puspassus/RPKAD (1969-1970)

Komandan RPKAD/Kopassus ke 7 (1970-1975)

Pangdam VIII/Brawijaya (1975-1981)




#panglimakopassuske7 #pangkopassus #kopassus #komando #tniad

24 September 2025

Perjuangan Ibu Yayu Besarkan 8 Anak Sendirian Usai Jendral Ahmad Yani Gugur Kisah Ibu Yayu Rulia Sutowiryo, istri dari Jenderal Ahmad Yani, adalah potret nyata ketabahan seorang perempuan yang harus menghadapi tragedi kelam G30S/PKI. Malam 30 September 1965, suami tercinta sekaligus ayah dari delapan anaknya direnggut secara tragis. Sejak saat itu, beban hidup yang amat berat dipikul seorang diri oleh Ibu Yayu. Terpuruk, Namun Bangkit Pasca peristiwa, Ibu Yayu sempat terpuruk dalam kesedihan mendalam. Ia bahkan merasa bersalah karena pada malam kejadian sedang berada di luar rumah. Namun, keikhlasan akhirnya datang melalui mimpi, ketika sosok Ahmad Yani seolah menitipkan pesan agar ia menjaga anak-anak dengan sebaik-baiknya. Sejak saat itu, ia memilih untuk bangkit dan tegar. Sosok Inspiratif dan Penuh Pengorbanan Tanpa meninggalkan harga diri, Ibu Yayu menolak untuk bergantung pada belas kasihan orang lain. Ia memilih bekerja keras dengan berjualan beras dan minyak di daerah Kemang demi memastikan kedelapan anaknya tetap bisa bersekolah. “Yang penting ibu tidak mencuri. Biarlah ibu membanting tulang, yang penting kamu sekolah,” pesan Ibu Yayu yang diingat Amelia, putrinya. Kehidupan Penuh Keteladanan Sebagai istri seorang prajurit, Ibu Yayu memang sudah terbiasa hidup mandiri. Namun, perjuangannya setelah kepergian Ahmad Yani menunjukkan ketabahan luar biasa. Bahkan, ia masih menunjukkan sikap welas asih ketika melihat tahanan PKI yang digiring ke rumahnya. Alih-alih membenci, Ibu Yayu kerap membagikan nasi dan teh untuk para tahanan dan petugas CPM yang berjaga. Warisan Teladan bagi Generasi Dari Ibu Yayu, anak-anaknya belajar arti kejujuran, keberanian, kerja keras, dan kasih sayang. Meski kehilangan sosok ayah sejak dini, mereka tetap tumbuh dengan nilai-nilai mulia yang diwariskan sang ibu. Perjuangan Ibu Yayu adalah bukti nyata bahwa di balik seorang pahlawan bangsa, ada sosok perempuan hebat yang juga layak disebut pahlawan dalam keluarganya. Sumber : Merdeka.com #IbuYayu #AhmadYani #G30SPKI #PahlawanBangsa #KetabahanSeorangIbu #SejarahIndonesia #InspirasiPerempuan

 Perjuangan Ibu Yayu Besarkan 8 Anak Sendirian Usai Jendral Ahmad Yani Gugur



Kisah Ibu Yayu Rulia Sutowiryo, istri dari Jenderal Ahmad Yani, adalah potret nyata ketabahan seorang perempuan yang harus menghadapi tragedi kelam G30S/PKI. Malam 30 September 1965, suami tercinta sekaligus ayah dari delapan anaknya direnggut secara tragis. Sejak saat itu, beban hidup yang amat berat dipikul seorang diri oleh Ibu Yayu.


Terpuruk, Namun Bangkit


Pasca peristiwa, Ibu Yayu sempat terpuruk dalam kesedihan mendalam. Ia bahkan merasa bersalah karena pada malam kejadian sedang berada di luar rumah. Namun, keikhlasan akhirnya datang melalui mimpi, ketika sosok Ahmad Yani seolah menitipkan pesan agar ia menjaga anak-anak dengan sebaik-baiknya. Sejak saat itu, ia memilih untuk bangkit dan tegar.


Sosok Inspiratif dan Penuh Pengorbanan


Tanpa meninggalkan harga diri, Ibu Yayu menolak untuk bergantung pada belas kasihan orang lain. Ia memilih bekerja keras dengan berjualan beras dan minyak di daerah Kemang demi memastikan kedelapan anaknya tetap bisa bersekolah. “Yang penting ibu tidak mencuri. Biarlah ibu membanting tulang, yang penting kamu sekolah,” pesan Ibu Yayu yang diingat Amelia, putrinya.


Kehidupan Penuh Keteladanan


Sebagai istri seorang prajurit, Ibu Yayu memang sudah terbiasa hidup mandiri. Namun, perjuangannya setelah kepergian Ahmad Yani menunjukkan ketabahan luar biasa. Bahkan, ia masih menunjukkan sikap welas asih ketika melihat tahanan PKI yang digiring ke rumahnya. Alih-alih membenci, Ibu Yayu kerap membagikan nasi dan teh untuk para tahanan dan petugas CPM yang berjaga.


Warisan Teladan bagi Generasi


Dari Ibu Yayu, anak-anaknya belajar arti kejujuran, keberanian, kerja keras, dan kasih sayang. Meski kehilangan sosok ayah sejak dini, mereka tetap tumbuh dengan nilai-nilai mulia yang diwariskan sang ibu. Perjuangan Ibu Yayu adalah bukti nyata bahwa di balik seorang pahlawan bangsa, ada sosok perempuan hebat yang juga layak disebut pahlawan dalam keluarganya.

Sumber : Merdeka.com 


#IbuYayu #AhmadYani #G30SPKI #PahlawanBangsa #KetabahanSeorangIbu #SejarahIndonesia #InspirasiPerempuan

Ngarsa Dalem speaks English (berbahasa Inggris) atau Hollandsche spreaken (berbahasa Belanda) ? Atau mahir kedua-duanya ? . Foto swargi diantara para wartawan Amerika yang berkunjung ke ibukota Yogyakarta pada Juni 1949, beberapa bulan setelah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yg berhasil meyakinkan dunia atas eksistensi Republik. . Saat itu Belanda masih (kembali) terus ada di ibukota Yogya dan para pemimpin sedang diasingkan, sehingga praktis hanya Sultan yang ada di Yogya. . Rombongan wartawan ini merupakan usaha PBB agar keadaan riil di Indonesia dapat digali dan diwartakan. Tentu saja Belanda dengan berat hati - karena masih berkuasa - memberikan akses wartawan. Dan Sultan mewakili para pemimpin dalam wawancara tersebut. . Yang jelas, pada Desember disepakati adanya Konperensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda. Copyright : Atlas Van Stolk/Theo VP

 Ngarsa Dalem speaks English (berbahasa Inggris) atau Hollandsche spreaken (berbahasa Belanda) ? Atau mahir kedua-duanya ?

.


Foto swargi diantara para wartawan Amerika yang berkunjung ke ibukota Yogyakarta  pada Juni 1949, beberapa bulan setelah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yg berhasil meyakinkan dunia atas eksistensi Republik. 

.

Saat itu Belanda masih (kembali) terus ada di ibukota Yogya dan para pemimpin sedang diasingkan, sehingga praktis hanya Sultan yang ada di Yogya. 

.

Rombongan wartawan ini merupakan usaha PBB agar keadaan riil di Indonesia dapat digali dan diwartakan. Tentu saja Belanda dengan berat hati - karena masih berkuasa - memberikan akses wartawan. Dan Sultan mewakili para pemimpin dalam wawancara tersebut.

.

Yang jelas, pada Desember disepakati adanya Konperensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda.


Copyright : Atlas Van Stolk/Theo VP

23 September 2025

Jadi anggota PKI, eks Bupati Boyolali Suali Dwijosukanto akhir hidupnya tragis, diarak keliling dan dieksekusi mati di depan umum Suali adalah Bupati Boyolali periode 1958 hingga 1965. Setelah G30S meletus, dia dicopot. Dan lebih dari itu, Suali dieksekusi mati karena terkait dengan PKI. Dia bergabung dengan PKI dan kemudian terpilih menjadi Bupati Boyolali. Dia juga sempat menjadi anggota DPRD Boyolali mewaki partai berlambang palu dan arit itu. Keterangan soal Suali adalah bupati Boyolali dari PKI dikuatkan oleh pegiat sejarah Boyolali R Surojo. "Pak Suali (Dwidjo S) itu komunis. Pimpinan Komunis di Boyolali," katanya, sebagaimana dikutip dari Tribun Solo. Suali diangkat sebagai Bupati Boyolali di tahun 1958. Dia menggantikan Bupati sebelumnya, M Sastro Handjojo (1951-1958). "Tahun 1965 terjadi pemberontakan. Kebetulan Bupati Boyolali saat itu Suali yang merupakan pimpinan Komunis di Boyolali. Kemudian Pak Suali diberhentikan dan dieksekusi (mati)," jelas Surojo. Mengenai eksekusi Suali ada tiga versi yang menyebutkan lokasi eksekusi Suali. Versi pertama, Suali dibereskan di wilayah Kampung Randualas, Boyolali Kota. Lalu ada versi lain yang menyebut jika eksekusi Suali dilakukan di wilayah Kecamatan Musuk dan berakhir di sebuah tempat yang ada di sekitar Desa Karangnongko. "Mengenai lokasi ini masih perlu pendalaman lagi. Musti meneliti lagi referensi yang sudah ada," ujarnya. Meski begitu, lanjutnya eksekusi Suali ini banyak dilihat masyarakat umum pada saat itu. Tidak seperti pimpinan PKI Aidit yang di eksekusi ditempat khusus oleh prajurit. "Eksekusi Suali yang diseret pakai Mobil itu banyak dilihat oleh masyarakat umum," ujarnya. Selain orangnya yang dieksekusi mati, foto-fotonya juga sempat dihilangkan dari deretan foto-foto Bupati Boyolali. Meski begitu, foto Suali kini sudah terpasang kembali, begitu tambah Surojo, seperti di kantor arsip dan Perpustakaan Boyolali. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034299597/suali-dwijosukanto-bupati-boyolali-yang-akhir-hidupnya-tragis-diarak-keliling-kota-dan-dieksekusi-mati-di-depan-umum?page=all #boyolali #bupatiboyolali #sualidwijosukanto #pki #G30S

 Jadi anggota PKI, eks Bupati Boyolali Suali Dwijosukanto akhir hidupnya tragis, diarak keliling dan dieksekusi mati di depan umum



Suali adalah Bupati Boyolali periode 1958 hingga 1965. Setelah G30S meletus, dia dicopot. Dan lebih dari itu, Suali dieksekusi mati karena terkait dengan PKI.


Dia bergabung dengan PKI dan kemudian terpilih menjadi Bupati Boyolali. Dia juga sempat menjadi anggota DPRD Boyolali mewaki partai berlambang palu dan arit itu.


Keterangan soal Suali adalah bupati Boyolali dari PKI dikuatkan oleh pegiat sejarah Boyolali R Surojo. "Pak Suali (Dwidjo S) itu komunis. Pimpinan Komunis di Boyolali," katanya, sebagaimana dikutip dari Tribun Solo.


Suali diangkat sebagai Bupati Boyolali di tahun 1958. Dia menggantikan Bupati sebelumnya, M Sastro Handjojo (1951-1958). "Tahun 1965 terjadi pemberontakan. Kebetulan Bupati Boyolali saat itu Suali yang merupakan pimpinan Komunis di Boyolali. Kemudian Pak Suali diberhentikan dan dieksekusi (mati)," jelas Surojo.


Mengenai eksekusi Suali ada tiga versi yang menyebutkan lokasi eksekusi Suali. Versi pertama, Suali dibereskan di wilayah Kampung Randualas, Boyolali Kota. Lalu ada versi lain yang menyebut jika eksekusi Suali dilakukan di wilayah Kecamatan Musuk dan berakhir di sebuah tempat yang ada di sekitar Desa Karangnongko.


"Mengenai lokasi ini masih perlu pendalaman lagi. Musti meneliti lagi referensi yang sudah ada," ujarnya. Meski begitu, lanjutnya eksekusi Suali ini banyak dilihat masyarakat umum pada saat itu.


Tidak seperti pimpinan PKI Aidit yang di eksekusi ditempat khusus oleh prajurit. "Eksekusi Suali yang diseret pakai Mobil itu banyak dilihat oleh masyarakat umum," ujarnya.


Selain orangnya yang dieksekusi mati, foto-fotonya juga sempat dihilangkan dari deretan foto-foto Bupati Boyolali. Meski begitu, foto Suali kini sudah terpasang kembali, begitu tambah Surojo, seperti di kantor arsip dan Perpustakaan Boyolali.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034299597/suali-dwijosukanto-bupati-boyolali-yang-akhir-hidupnya-tragis-diarak-keliling-kota-dan-dieksekusi-mati-di-depan-umum?page=all


#boyolali #bupatiboyolali #sualidwijosukanto #pki #G30S

Ikada Pelajaran sejarah sejak SD yang melekat sampai sekarang adalah rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Sebulan setelah bangsa Indonesia merdeka, ribuan orang berkumpul di lapangan, yang baru SMA kuketahui kepanjangan dan artinya, Ikatan Atletik Djakarta, hanya untuk melihat dan mendengar perintah pemimpinnya. Rakyat taat. Semua patuh, bubar tanpa ada insiden seperti ditakutkan balatentara Jepang. Begitulah, tak ada keraguan apalagi ketakutan pada bangsa ini meski di depan mereka bayonet terhunus. Ada harga diri dan kebanggaan, kala itu. Kini kita melihat bagaimana relasi pemimpin dan rakyat. Entah siapa yang salah. Sementara di kota Surabaya, terjadi insiden Yamato. Rakyat merobek bendera Merah Putih Biru yang berkibar di atas Hotel Yamato, hingga menyisakan Merah Putih. Sampai sebegitu nasionalisme dipertontonkan, hal yang kini belepotan kita tunjukkan selain teriakan kering "NKRI Harga Mati"...

 Ikada


Pelajaran sejarah sejak SD yang melekat sampai sekarang adalah rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Sebulan setelah bangsa Indonesia merdeka, ribuan orang berkumpul di lapangan, yang baru SMA kuketahui kepanjangan dan artinya, Ikatan Atletik Djakarta, hanya untuk melihat dan mendengar perintah pemimpinnya. 



Rakyat taat. Semua patuh, bubar tanpa ada insiden seperti ditakutkan balatentara Jepang. Begitulah, tak ada keraguan apalagi ketakutan pada bangsa ini meski di depan mereka bayonet terhunus. Ada harga diri dan kebanggaan, kala itu.


Kini kita melihat bagaimana relasi pemimpin dan rakyat. Entah siapa yang salah. Sementara di kota Surabaya, terjadi insiden Yamato. Rakyat merobek bendera Merah Putih Biru yang berkibar di atas Hotel Yamato, hingga menyisakan Merah Putih. Sampai sebegitu nasionalisme dipertontonkan, hal yang kini belepotan kita tunjukkan selain teriakan kering "NKRI Harga Mati"...

SAYA DAPAT GELAR "GUBERNUR JUDI" "Ada" jawab pak Djumadjitin, saat saya tanyakan tentang aturan dan hukum mengenai judi di Jakarta. "Kekuasaan ada pada kepala daerah, sesuai dengan perundang-undangan" lanjut Sekda saya itu. Setelah mendengar penjelasan itu saya jadi mantap karena ada pegangan. "Saya akan menertibkan perjudian itu" kata saya didepan pak Djumadjitin. "Dari judi saya akan pungut pajak" lanjut saya. "Boleh. Bisa" Pak Djumadjitin meyakinkan."Undang-undang no.11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas perjudian. Hanya gubernur-gubernur lain tidak berani melakukan" jelasnya. "Untuk keperluan rakyat Jakarta saya berani" jawab saya. Bekas gubernur Sumarno berencana mengesahkan judi, tapi ragu karena harus menenggang bung Karno. Demikian juga rencana walikota Sudiro mengadakan casino di pulau Edam, tapi ditolak oleh partai-partai agama. "Undang-undang menetapkan, bahwa Kepala daerah bisa memberikan izin kepada seorang bandar Cina, yang menganggap judi adalah budaya Cina. Dan yang boleh berjudi itu hanya orang Cina" tambah pak Djumadjitin. Bagi saya tidak perlu menghubungi menteri sosial. Penjabat Presiden Soeharto pun hanya saya lapori, tidak meminta persetujuan. Pikir saya kalau nanti terjadi apa-apa dengan soal judi biar saya sebagai gubernur yang bertanggung jawab. DPRD yang secara politis dan moralpun tidak akan setuju, juga tidak saya minta persetujuannya. Setelah saya mengizinkan judi, menerbitkan perjudian dan memungut pajak dari sana, orang yang tidak suka kepada kebijaksanaan saya itu menyebut saya "Gubernur Judi" atau bahkan "Gubernur Maksiat". Apa boleh buat saya harus berani bertanggungjawab dengan apa yang saya lakukan. Tahun 73 Kopkamtib menyatakan pelarangan judi di Jawa tengah dan Jawa barat. Beberapa anak muda yang menyatakan sebagai "Generasi Muda" menyatakan dukungan itu dan mengucapkan terimakasih kepada Kopkamtib. Para wartawan lalu menemui saya. "Soal itu tergantung pada Kopkamtib" jawab saya. Tapi saya didesak terus, sehingga saya meluap. "Kalian seperti beo saja" kata saya jengkel "Pemerintah bicara judi, kalian ikut-ikutan bicara judi. Apa maunya?". Masih jengkel saya "Judi dan perjudian di Jakarta ini resmi berdasarkan undang-undang. Legal. Lebih baik perjudian itu resmi daripada sembunyi-sembunyi. Kalau secara gelap-gelapan, siapa yang mengambil untungnya? Ayo jawab!. Siapa yang untung kalau gelap-gelapan?" Saya katakan pula dengan keras dari hasil pajak judi itu pemerintah Daerah Jakarta bisa membangun gedung SD sekian, SLP sekian, SLA sekian, memperbaiki kampung, membuat jalan, dan lain-lain. "Coba, apakah itu anak-anak muda yang menamakan dirinya generasi muda sanggup kentut yang bisa menghasilkan uang bermiliar rupiah? Ayo coba!" Saya marah. Memang saya merasa dipancing dan marah. Saya jalan, hendak masuk ruang kerja. Tapi kemarahan saya masih belum reda. Saya membalikkan muka kepada para wartawan itu "Dua orang pernah bilang, daripada judi lebih baik pakai zakat fitrah saja guna mencari uang buat pembangunan. Tapi apa hasilnya? Cuma dapat berapa? Tidak lebih dari lima belas juta rupiah tahun lalu (1972). Setelah saya kerja keras, jumlahnya naik jadi 75 juta lebih. Cuma segitu" Dari buku ALI SADIKIN. Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi

 SAYA DAPAT GELAR "GUBERNUR JUDI"


"Ada" jawab pak Djumadjitin, saat saya tanyakan tentang aturan dan hukum mengenai  judi di Jakarta.




"Kekuasaan ada pada kepala daerah, sesuai dengan perundang-undangan" lanjut Sekda saya itu. Setelah mendengar penjelasan itu saya jadi mantap karena ada pegangan. "Saya akan menertibkan perjudian itu" kata saya didepan pak Djumadjitin. "Dari judi saya akan pungut pajak" lanjut saya.

"Boleh. Bisa" Pak Djumadjitin meyakinkan."Undang-undang no.11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas perjudian. Hanya gubernur-gubernur lain tidak berani melakukan" jelasnya.

"Untuk keperluan rakyat Jakarta saya berani" jawab saya.

Bekas gubernur Sumarno berencana mengesahkan judi, tapi ragu karena harus menenggang bung Karno. Demikian juga rencana walikota Sudiro mengadakan casino di pulau Edam, tapi ditolak oleh partai-partai agama. "Undang-undang menetapkan, bahwa Kepala daerah bisa memberikan izin kepada seorang bandar Cina, yang menganggap judi adalah budaya Cina. Dan yang boleh berjudi itu hanya orang Cina" tambah pak Djumadjitin.

Bagi saya tidak perlu menghubungi menteri sosial. Penjabat Presiden Soeharto pun hanya saya lapori, tidak meminta persetujuan. Pikir saya kalau nanti terjadi apa-apa dengan soal judi biar saya sebagai gubernur yang bertanggung jawab. DPRD yang secara politis dan moralpun tidak akan setuju, juga tidak saya minta persetujuannya.

Setelah saya mengizinkan judi, menerbitkan perjudian dan memungut pajak dari sana, orang yang tidak suka kepada kebijaksanaan saya itu menyebut saya "Gubernur Judi" atau bahkan "Gubernur Maksiat". Apa boleh buat saya harus berani bertanggungjawab dengan apa yang saya lakukan.

Tahun 73 Kopkamtib menyatakan pelarangan judi di Jawa tengah dan Jawa barat. Beberapa anak muda yang menyatakan sebagai "Generasi Muda" menyatakan dukungan itu dan mengucapkan terimakasih kepada Kopkamtib.

Para wartawan lalu menemui saya. "Soal itu tergantung pada Kopkamtib" jawab saya. Tapi saya didesak terus, sehingga saya meluap.

"Kalian seperti beo saja" kata saya jengkel "Pemerintah bicara judi, kalian ikut-ikutan bicara judi. Apa maunya?".

Masih jengkel saya "Judi dan perjudian di Jakarta ini resmi berdasarkan undang-undang. Legal. Lebih baik perjudian itu resmi daripada sembunyi-sembunyi. Kalau secara gelap-gelapan, siapa yang mengambil untungnya? Ayo jawab!. Siapa yang untung kalau gelap-gelapan?"

Saya katakan pula dengan keras dari hasil pajak judi itu pemerintah Daerah Jakarta bisa membangun gedung SD sekian, SLP sekian, SLA sekian, memperbaiki kampung, membuat jalan, dan lain-lain.

"Coba, apakah itu anak-anak muda yang menamakan dirinya generasi muda sanggup kentut yang bisa menghasilkan uang bermiliar rupiah? Ayo coba!" Saya marah. Memang saya merasa dipancing dan marah.

Saya jalan, hendak masuk ruang kerja. Tapi kemarahan saya masih belum reda. Saya membalikkan muka kepada para wartawan itu "Dua orang pernah bilang, daripada judi lebih baik pakai zakat fitrah saja guna mencari uang buat pembangunan. Tapi apa hasilnya? Cuma dapat berapa? Tidak lebih dari lima belas juta rupiah tahun lalu (1972). Setelah saya kerja keras, jumlahnya naik jadi 75 juta lebih. Cuma segitu"


Dari buku

ALI SADIKIN. Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi

Saat menjabat sebagai Presiden Indonesia, Soeharto sering blusukan ke daerah tanpa protokoler dengan menyamar sebagai orang biasa. Beliau menyebutnya sebagai misi incognito. Kedatangannya tak pernah diketahui oleh bupati setempat. Hal ini membuat para pejabat yang suka membuat laporan tidak jujur tentang daerahnya langsung keringat dingin. Tak jarang juga ia tidur dimasjid, rumah warga hingga warung. Soeharto ingin menjadi mata dan telinga yang langsung melihat kondisi rakyat. . #poto #fyp #viral #trending #Dedgaming #Soeharto #mantanpresidenRI

 Saat menjabat sebagai Presiden Indonesia, Soeharto sering blusukan ke daerah tanpa protokoler dengan menyamar sebagai orang biasa. Beliau menyebutnya sebagai misi incognito.



Kedatangannya tak pernah diketahui oleh bupati setempat. Hal ini membuat para pejabat yang suka membuat laporan tidak jujur tentang daerahnya langsung keringat dingin.


Tak jarang juga ia tidur dimasjid, rumah warga hingga warung. Soeharto ingin menjadi mata dan telinga yang langsung melihat kondisi rakyat.

#poto #fyp #viral #trending

#Dedgaming #Soeharto #mantanpresidenRI

Kolonel Latief lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 27 Juli 1926 dan wafat di Tangerang, Banten pada 6 April 2005. Kolonel Abdoel Latief adalah Komandan Brigade Infanteri (Brigif) I Kodam V Jakarta Raya (Jaya). Dalam setruktur komando Gerakan 30 September ia menjadi salah satu wakil komandan. Ada 60 personil anak buahnya yang ikut oprasi pengambilan jendral Ahmad yani termasuk komandanya peltu Mukijan. Ia menjanjikan bantuan pasukan dari brigif Jaya sebanyak 700 personil.Tapi ternyata pada pelksanan oprasinya hanya 60 personil. Beberapa jam sebelum pelaksaanan gerakan ia mengaku bertemu Mayjen Soeharto di RSPAD yang sedang menunggu putranya Tommy yang sedang di rawat. Disana kabarnya ia melaporkang rencana pengambilannpara jendral AD untuk dihadapkan kepada presiden Sukarno. Tapi pak Harto tak bereaksi. Pernyataan Latief ini kemudian di bantah dalam otobiografi pak Harto malah beliau bilang jika kedatangan Latief ke RSPAD untuk memata-matainya. Begitu juga dengan Jendral Nasution yang jadi salah satu target. Kata pak Nas Sorenya Latief datang ke rumahnya untuk menginpeksi anak buahnya dari Jayasakti regu pasukan yang bertugas menjaga rumah jendral Nasution. Nenurut pak Nas mungkin Latief sedang memata-matainya. Setelah gerakanya gagal tanggal 2 Oktober ia ditangkap pasukan Kujang Siliwangi dari rumah kerabatnya. dijebloskan ke dalam penjara sejak 11 Oktober 1965. Baru tahun 1975 ia diajukan ke mahmilub dan dijatuhi hukuman metong. Tapi kemudian presiden Soeharto memberkan grasi hingaa hukumanya diturunkan jadi seumur hidup. Pada masa pemerintahan prediden BJ Habibie ia dibebaskan. Wikipedia.

 Kolonel Latief lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 27 Juli 1926 dan wafat di Tangerang, Banten pada 6 April 2005. 

Kolonel Abdoel Latief adalah Komandan Brigade Infanteri (Brigif) I Kodam V Jakarta Raya (Jaya). Dalam setruktur komando Gerakan 30 September ia menjadi salah satu wakil komandan. Ada 60 personil anak buahnya yang ikut oprasi pengambilan jendral Ahmad yani termasuk komandanya peltu Mukijan.

Ia menjanjikan bantuan pasukan dari brigif Jaya sebanyak 700 personil.Tapi ternyata pada pelksanan oprasinya hanya 60 personil.

Beberapa jam sebelum pelaksaanan gerakan ia mengaku bertemu Mayjen Soeharto di RSPAD yang sedang menunggu putranya Tommy yang sedang di rawat. Disana kabarnya ia melaporkang rencana pengambilannpara jendral AD untuk dihadapkan kepada presiden Sukarno. Tapi pak Harto tak bereaksi. 




Pernyataan Latief ini kemudian di bantah dalam otobiografi pak Harto malah beliau bilang jika kedatangan Latief ke RSPAD untuk memata-matainya.

Begitu juga dengan Jendral Nasution yang jadi salah satu target. Kata pak Nas Sorenya Latief datang ke rumahnya untuk menginpeksi anak buahnya dari Jayasakti regu pasukan yang bertugas menjaga rumah jendral Nasution. Nenurut pak Nas mungkin Latief sedang memata-matainya.

Setelah gerakanya gagal tanggal 2 Oktober ia ditangkap pasukan Kujang Siliwangi dari rumah kerabatnya.

dijebloskan ke dalam penjara sejak 11 Oktober 1965. Baru tahun 1975 ia diajukan ke mahmilub dan dijatuhi hukuman metong. Tapi kemudian presiden Soeharto memberkan grasi hingaa hukumanya diturunkan jadi seumur hidup. Pada masa pemerintahan prediden BJ Habibie ia dibebaskan.


Wikipedia.

22 September 2025

Sebuah surat perintah yang tetap jadi misteri. Sampai saat ini dimana dan seperti apa aslinya masih jadi tanda tanya besar dalam serpihan sejarah Republik ini. Tapi faktanya surat ini telah membuat sejarah mengakhiri sebuah episode dan menciptakan episode baru. Segala sesuatu tentang Surat perintah ini tetap menjadi misteri terk*bur bersama para saksi kuncinya yang satu persatu menghadap Ilahi.

 Sebuah surat perintah yang tetap jadi misteri. Sampai saat ini dimana dan seperti apa aslinya masih jadi tanda tanya besar dalam serpihan sejarah Republik ini. Tapi faktanya surat ini telah membuat sejarah mengakhiri sebuah episode dan menciptakan episode baru. Segala sesuatu tentang Surat perintah ini tetap menjadi misteri terk*bur bersama para saksi kuncinya yang satu persatu menghadap Ilahi.



21 September 2025

Presiden ke 2 Republik Indonesia, adalah orang Minang, bukan pak Harto. Seorang putra dusun Pincuran landai, Kubang Putiah, kabupaten Agam , yang bernama MR Assaat, Beliau pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia 2, periode (27 Des 1949-15 agust 1950. MR Assaat lahir 18 September 1908- 16 Juni 1976, Beliau wafat di jakarta. Selama jadi presiden, beliau berhasil Menganti panggilan Paduka yang mulia, menjadi bapak / ibu, jadi sebutan peninggalan zaman feodal bisa beliau robah, Mr. Assaat pernah bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) pada masa mahasiswa. Beliau adalah seorang politikus dan pejuang kemerdekaan yang juga aktif di organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond dan menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia, yang kemudian menjadi Indonesia Muda. Dan beliau juga pernah di angkat presiden Soekarno, jadi Mentri dalam negeri, 1950-1951. Beliau memang seorang politikus sejati. Tapi beliau sering di lupakan sejarah dan anak bangsa nya sendiri, bahwa beliau pernah jadi presiden ke 2 Republik Indonesia.

 Presiden ke 2 Republik Indonesia, adalah orang Minang, bukan pak Harto. 


Seorang putra dusun Pincuran landai, Kubang Putiah, kabupaten Agam , yang bernama MR  Assaat, Beliau pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia 2, periode (27 Des 1949-15 agust 1950.



MR Assaat lahir 18 September 1908- 16 Juni 1976, Beliau wafat di jakarta.

Selama jadi presiden, beliau berhasil Menganti panggilan Paduka yang mulia, menjadi bapak / ibu, jadi sebutan peninggalan zaman feodal bisa beliau robah,


Mr. Assaat pernah bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) pada masa mahasiswa. Beliau adalah seorang politikus dan pejuang kemerdekaan yang juga aktif di organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond dan menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia, yang kemudian menjadi Indonesia Muda. 


Dan beliau juga pernah di angkat presiden Soekarno, jadi Mentri dalam negeri, 1950-1951. Beliau memang seorang politikus sejati.


Tapi beliau sering di lupakan sejarah dan anak bangsa nya sendiri, bahwa beliau pernah jadi presiden ke 2 Republik Indonesia.

Pemikiran Bung Karno yaitu Manipol Usdek dan Nasakom ternyata menguntungkan Partai Komunis Indonesia yang terbukti Tokoh Tokoh PKI Sudisman, Nyoto, DN Aidit menjadi Penasehat Presiden dan Wakil Ketua MPRS Jauh sebelum Nasakom pada tahun 1955 DN Aidit dkk diterima di Istana Negara Kegamangan Perwira TNI dan kegalauan rakyat indonesia dg semakin membesarnya PKI, bungkarno yg sibuk menawarkan Retorika - Retorika saat rakyat mkn tiwul nasi jagung blm ada yg tampil men skak bungkarno yg namanya harum gegap gempita Lalu Putra Minang asal Kota Padang Letkol Ahmad Husein tampil berani mengkritik dan menprotes Bungkarno mewakili semangat sikap egaliter Masyarakat Minangkabau " mangan ora mangan asal kumpul " kata orang jawa yg suka nrimo dg apa yg terjadi . berbeda dg Fikiran orang minang yg egaliter yg memiliki sikap raja zalim disanggah raja alim disambah, setelah melihat keadaan Republik serta Pemimpin yg mulai hedonisme, Korup, tidak memikirkan kesejahteran dan keadilan, pemimpin berdansa dansa di Istana dan pemimpin yg gonta ganti pasangan . Sama sama merdeka namun berlainan nikmat ucap Letkol Ahmad Husein

 Pemikiran Bung Karno yaitu Manipol Usdek dan Nasakom ternyata menguntungkan Partai Komunis Indonesia yang terbukti Tokoh Tokoh PKI Sudisman, Nyoto, DN Aidit menjadi Penasehat Presiden dan Wakil Ketua  MPRS 



Jauh sebelum Nasakom pada tahun 1955 DN Aidit dkk diterima di Istana Negara 


Kegamangan Perwira TNI dan kegalauan rakyat indonesia dg semakin membesarnya PKI, bungkarno yg sibuk menawarkan Retorika - Retorika saat rakyat mkn tiwul nasi jagung blm ada yg tampil men skak bungkarno yg namanya harum gegap gempita


 Lalu Putra Minang asal Kota Padang Letkol Ahmad Husein tampil berani mengkritik dan menprotes Bungkarno mewakili semangat sikap egaliter Masyarakat Minangkabau 


 " mangan ora mangan asal kumpul " kata orang jawa yg suka nrimo dg apa yg terjadi . berbeda dg Fikiran orang minang yg egaliter yg memiliki sikap raja zalim disanggah raja alim disambah, setelah melihat keadaan Republik serta Pemimpin yg mulai hedonisme, Korup, tidak memikirkan kesejahteran dan keadilan, pemimpin berdansa dansa di Istana dan pemimpin yg gonta ganti pasangan . 


Sama sama merdeka namun berlainan nikmat ucap Letkol Ahmad Husein

19 September 2025

Fakta 3 rumah yang digunakan sebagai basis oprasi G30S di desa Lubang buaya Cipayung Jakarta timur. Rumah pertama, digunakan untuk tempat p3nyiks4an perwira-perwira Angkatan Darat yang diambil dari rumahnya. Rumah ini milik seorang guru bernama Bambang Harjono, dia adalah seorang kepala sekolah SR dan sebagai seorang simpatisan. Rumah kedua, milik H Sueb seorang pedagang rumah ini dijadikan sebagai pos komando, Dimana diselenggarakan rapat terakhir. H Sueb tidak tersangkut dengan gerakan ini. Rumah ketiga, yang sebagian besar bagiannya berupa gedek difungsikan sebagai dapur umum. Pemilik rumah itu adalah Amrah, seorang janda yang disebut tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa G30S. Sehari-hari, Amrah bekerja sebagai tukang jahit. Sekarang ke tiga rumah itu menjadi area lokasi monumen Pancasila sakti.

 Fakta  3 rumah yang digunakan sebagai basis oprasi G30S di desa Lubang buaya Cipayung Jakarta timur.



Rumah pertama,  digunakan untuk tempat p3nyiks4an perwira-perwira Angkatan Darat yang diambil dari rumahnya. 

Rumah ini milik seorang guru bernama Bambang Harjono, dia adalah seorang kepala sekolah SR dan sebagai seorang simpatisan.


Rumah kedua, milik H Sueb seorang pedagang rumah ini dijadikan  sebagai pos komando, Dimana diselenggarakan rapat terakhir. H Sueb tidak tersangkut dengan gerakan ini.


Rumah ketiga, yang sebagian besar bagiannya berupa gedek difungsikan sebagai dapur umum.

Pemilik rumah itu adalah Amrah, seorang janda yang disebut tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa G30S.

Sehari-hari, Amrah bekerja sebagai tukang jahit.

Sekarang ke tiga rumah itu menjadi area lokasi monumen Pancasila sakti.

Kolonel Sarwo edhi wibowo dan Mayor CI Santoso. Chalimi Imam Santosa atau C.I.Santoso (lahir 9 September 1931). Saat terjadi prahara G30S1965 ia menjabat sebagai komandan Bataliyon 1 RPKAD. Tanggal 1 Oktober1965 sore, atas perintah komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi bataliyonnya berhasil merebut Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dari pasukan G30S. Tanggal 2 Oktober, Pasukanya bergerak ke Halim dan terjadi kontak t3mbak dengan satuan bataliyon 454 Banteng riders dibawah pimpinan kapten Kuncoro, satu personil RPKAD gugur sehingga nyaris saja terjadi pert3mpuran terbuka, untung segera berhasil ditengahi oleh komondor udara Dewanto. Bataliyon 454 mundur ke Pondok gede dan Halim Perdana Kusuma berhasil diamankan oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, dan pasukan para Kujang 328 Siliwangi yang didukung satuan kaveleri lada pukul 12.00 siang. Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, Mayor C.I Santoso dan pasukanya berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah melakukan oprasi pencarian, atas petunjuk saksi kunci Agen polisi Sukitman berhasil menemukan sumur m4ut lub4ng buaya tempat menimbun jen4zah para jendral yang hilang. Besoknya 4 Oktober 1965 diadakan oprasi pengangkatan jen4zah dari dalam sumur m4ut yang melibatkan pasukan katak KKO TNI AL. Setelah pristiwa itu CI Santoso meneruskan karier militernya hingga jabatan tertinggi sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih (1977-1980) Irian jaya dengan pangkat Mayor Jendral. Sumber : Wikipedia

 Kolonel Sarwo edhi wibowo dan Mayor CI Santoso.

Chalimi Imam Santosa atau C.I.Santoso (lahir 9 September 1931). Saat terjadi prahara G30S1965 ia menjabat sebagai komandan Bataliyon 1 RPKAD. Tanggal 1 Oktober1965 sore, atas perintah komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi bataliyonnya berhasil merebut Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dari pasukan G30S.






Tanggal 2 Oktober, Pasukanya bergerak ke Halim dan terjadi kontak t3mbak dengan satuan bataliyon 454 Banteng riders dibawah pimpinan kapten Kuncoro, satu personil RPKAD gugur sehingga nyaris saja terjadi pert3mpuran terbuka, untung segera berhasil ditengahi oleh komondor udara Dewanto. Bataliyon 454 mundur ke Pondok gede dan Halim Perdana Kusuma berhasil  diamankan oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, dan pasukan para Kujang 328 Siliwangi yang didukung satuan kaveleri lada pukul 12.00 siang.

Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, Mayor C.I Santoso dan pasukanya berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah melakukan oprasi pencarian, atas petunjuk saksi kunci Agen polisi Sukitman berhasil menemukan sumur m4ut lub4ng buaya tempat menimbun jen4zah para jendral yang hilang. Besoknya 4 Oktober 1965 diadakan oprasi pengangkatan jen4zah dari dalam sumur m4ut yang melibatkan pasukan katak KKO TNI AL.

Setelah pristiwa itu CI Santoso meneruskan karier militernya hingga jabatan tertinggi sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih (1977-1980)  Irian jaya dengan pangkat Mayor Jendral.


Sumber : Wikipedia

Yurike Sanger, istri ketujuh Presiden pertama RI Soekarno, meninggal dunia, Rabu, 17 September 2025, sekitar pukul 20.00 waktu setempat di sebuah rumah sakit di San Bernardino, Los Angeles, Amerika Serikat. Kabar duka ini disampaikan oleh anaknya, Yudhi Sanger, melalui unggahan di Instagram. Yurike Sanger wafat pada usia 80 tahun setelah sebelumnya didiagnosis mengidap kanker payudara. "Kami sangat kehilangan sosok yang penuh kasih dan perhatian," ungkap Yudhi Sanger dalam unggahannya. Jenazah Yurike rencananya akan dibawa ke Rumah Duka RS Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk dimakamkan. Kehilangan ini menjadi momen yang sangat menyedihkan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya. Yurike Sanger lahir di Poso sekitar tahun 1945, memiliki darah campuran Jerman dan Manado. Sebelum menikah dengan Soekarno, ia dikenal sebagai seorang penyanyi. Meskipun hidup dalam sorotan publik, Yurike lebih memilih untuk berada di balik layar dan aktif dalam kegiatan sosial. #yurikesangar #mdkan

 Yurike Sanger, istri ketujuh Presiden pertama RI Soekarno, meninggal dunia, Rabu, 17 September 2025, sekitar pukul 20.00 waktu setempat di sebuah rumah sakit di San Bernardino, Los Angeles, Amerika Serikat. Kabar duka ini disampaikan oleh anaknya, Yudhi Sanger, melalui unggahan di Instagram.



Yurike Sanger wafat pada usia 80 tahun setelah sebelumnya didiagnosis mengidap kanker payudara.


"Kami sangat kehilangan sosok yang penuh kasih dan perhatian," ungkap Yudhi Sanger dalam unggahannya.


Jenazah Yurike rencananya akan dibawa ke Rumah Duka RS Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk dimakamkan. Kehilangan ini menjadi momen yang sangat menyedihkan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.


Yurike Sanger lahir di Poso sekitar tahun 1945, memiliki darah campuran Jerman dan Manado. Sebelum menikah dengan Soekarno, ia dikenal sebagai seorang penyanyi. Meskipun hidup dalam sorotan publik, Yurike lebih memilih untuk berada di balik layar dan aktif dalam kegiatan sosial.

#yurikesangar #mdkan

Mereka yang terlibat dalam tragedi September '65. Gijadi Wignjo sukardjo kelahiran Solo 1928 dari Kompi B Resimen Cakra bhirawa adalah eksekutor Jendral Ahmad Yani. Surono Hadiwijono 36 th kelahiran Pucang sawit Solo adalah komandan peleton 3 kompi C yang terlibat dalam penculikan Jendral Sutoyo Siswomihardjo. #solotempodoeloe.

 Mereka yang terlibat dalam tragedi September '65.

    Gijadi Wignjo sukardjo kelahiran Solo 1928 dari Kompi B Resimen Cakra bhirawa adalah eksekutor Jendral Ahmad Yani. 

    Surono Hadiwijono 36 th kelahiran Pucang sawit Solo adalah komandan peleton 3 kompi C yang terlibat dalam penculikan Jendral Sutoyo Siswomihardjo.



Sumber : Rully Novianto

#solotempodoeloe.

18 September 2025

Panglima besar jenderal Sudirman bersama letnan kolonel Suharto di tahun 1949. Setahun setelah itu jenderal Sudirman wafat karena sakit dalam usia 34 tahun. Sumber : Amicu Radari

 Panglima besar jenderal Sudirman bersama letnan kolonel Suharto di tahun 1949. Setahun setelah itu jenderal Sudirman wafat karena sakit dalam usia 34 tahun.



Sumber : Amicu Radari

Jon Jongejans saat menjadi pejabat kontroler berfoto bersama warga Dayak di Tana Tidung Kalimantan sekitar tahun 1917/1919. Source : wereldmuseum.nl

 Jon Jongejans saat menjadi pejabat kontroler berfoto bersama warga Dayak di Tana Tidung Kalimantan sekitar tahun 1917/1919.



Source : wereldmuseum.nl

17 September 2025

Foto lama Kereta Api jurusan Magelang-Bedono yang digunakan sebagai sarana angkut para pejuang dalam Palagan Ambarawa. Foto AMARI #fblifestyle

 Foto lama Kereta Api jurusan Magelang-Bedono yang digunakan sebagai sarana angkut para pejuang dalam Palagan Ambarawa.



Sumber :

Foto AMARI

Priyono Bitles Combat


ANAK SULTAN JOGJA Menurut "Serat Babad Ambal", K.R.A.A. Purbonegoro, Bupati Ambal, adalah putra Raja Jogjakarta, Sultan Hamengku Buwana III. Lahir dari istri selir bernama Mas Ajeng Tingkir. Nama kecilnya adalah Raden Mas Semedi. Ketika Raden Mas Semedi masih dalam kandungan 8 bulan, sang ibu diberikan pada pembantu ayahnya yang bernama Mangundipura untuk dinikahi. Hubungannya dengan Pangeran Diponegoro, masih satu ayah, beda ibu. Karena ayah angkatnya bernama Mangundipura, maka setelah dewasa, Raden Semedi bernama Raden Mangunprawiro. #books

 ANAK SULTAN JOGJA 


Menurut "Serat Babad Ambal", K.R.A.A. Purbonegoro, Bupati Ambal, adalah putra Raja Jogjakarta, Sultan Hamengku Buwana III.



Lahir dari istri selir bernama Mas Ajeng Tingkir. Nama kecilnya adalah Raden Mas Semedi.


Ketika Raden Mas Semedi masih dalam kandungan 8 bulan, sang ibu diberikan pada pembantu ayahnya yang bernama Mangundipura untuk dinikahi.


Hubungannya dengan Pangeran Diponegoro, masih satu ayah, beda ibu.


Karena ayah angkatnya bernama Mangundipura, maka setelah dewasa, Raden Semedi bernama Raden Mangunprawiro. 


#books

16 September 2025

TOKOH BESAR MILITER INDONESIA Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution (AH Nasution) adalah salah satu tokoh militer dan politikus Indonesia yang berperan penting dalam sejarah bangsa. Ia Lahir pada 3 Desember 1918 di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Nasution dikenal sebagai salah satu dari tiga jenderal bintang lima di Indonesia. Yaitu Soedirman Soeharto Nasution. (MASA MUDA DAN KARIR MILITER) AH Nasution lahir dari keluarga petani dan merupakan anak kedua serta putra tertua. Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil, karet, dan kopi, serta anggota Sarekat Islam yang sangat religius dan menginginkan putranya belajar di sekolah agama. Namun, ibunya ingin ia belajar kedokteran di Batavia. Setelah lulus sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukittinggi. Pada tahun 1935, Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi. Minatnya menjadi guru berangsur-angsur memudar seiring dengan tumbuhnya minat pada politik. Ia secara diam-diam membeli buku-buku yang ditulis oleh Sukarno dan membacanya bersama teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu, di dekat rumah Sukarno yang sedang diasingkan. Setahun kemudian, ia pindah ke Tanjung Praja, dekat Palembang, di mana ia terus mengajar tetapi beliau semakin tertarik pada politik dan militer. Pada tahun 1940, setelah Nazi Jerman menduduki Belanda, otoritas kolonial Belanda membentuk korps cadangan perwira yang menerima orang Indonesia. Nasution mendaftar untuk bergabung karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Ia dikirim ke akademi militer Bandung untuk pelatihan, dan pada September 1940, ia dipromosikan menjadi kopral, lalu tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dan dia kemudian menjadi perwira di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). (REVOLUSI NASIONAL) Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Mei 1946, ia diangkat sebagai komandan regional Divisi Siliwangi, yang menjaga keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang kemudian menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia yaitu (TNI). Pada Januari 1948, setelah Perjanjian Renville, Nasution terpaksa memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah karena wilayah Jawa Barat diduduki Belanda. Pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi Wakil Komandan TKR, menjadikannya orang paling berkuasa kedua di TKR setelah Jenderal Sudirman. Nasution berperan dalam reorganisasi pasukan dan menyarankan taktik perang gerilya melawan Belanda. Ia juga terlibat dalam penumpasan Pemberontakan Madiun pada September 1948, meskipun jendral Soedirman awalnya menginginkan negosiasi dengan Belanda. (ERA DEMOKRASI) Pada tahun 1950, Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Bersama TB Simatupang, ia mencoba merestrukturisasi dan mereorganisasi ABRI menjadi lebih kecil, modern, dan profesional. Namun, kebijakan ini menimbulkan konflik dengan faksi-faksi dalam militer, terutama antara alumni KNIL dan PETA. Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan untuk mengepung Istana Kepresidenan, menuntut pembubaran DPR karena dianggap mencampuri urusan militer. Peristiwa ini dikenal sebagai "Peristiwa 17 Oktober." Meskipun ia berhasil mengumpulkan dukungan sipil, Soekarno berhasil membujuk pasukan dan warga sipil untuk pulang. Akibatnya, Nasution dan Simatupang kehilangan jabatan mereka dan diberhentikan dari dinas militer pada Desember 1952. Selama masa "pengasingan" ini, Nasution menulis buku "Fundamentals of Guerrilla Warfare" (Pokok-Pokok Gerilya), yang menjadi salah satu buku paling banyak dipelajari tentang perang gerilya bersama karya Mao Zedong. Pada 27 Oktober 1955, Nasution diangkat kembali sebagai KSAD. (ERA DEMOKRASI DAN PEMBERONTAK PKI) Nasution memainkan peran penting dalam mengusulkan konsep "Dwi Fungsi ABRI" pada tahun 1958, yang memungkinkan tentara tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga dalam politik dan ekonomi. Ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta merangkap KSAD. Namun, perannya mulai melemah pada tahun 1962 ketika ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB), sementara komando Angkatan Darat diberikan kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang lebih dekat dengan Soekarno. Pada 1 Oktober 1965, Nasution menjadi salah satu target utama dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Ia berhasil melarikan diri dari sergapan pasukan Cakrabirawa di kediamannya dengan melompati tembok belakang rumahnya, setelah sempat berdiskusi dengan istrinya. Namun, putrinya, Ade Irma Suryani, dan ajudannya, Letnan Pierre Tendean, menjadi korban dalam peristiwa kejam tersebut. (TRANSISI ORDER BARU DAN AKHIR HAYAT) Setelah G30S/PKI, Nasution menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia menolak pidato pertanggung jawaban Soekarno (Nawaksara) dan mencabut mandat Soekarno sebagai presiden. Nasution juga berperan dalam mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967 dan Presiden definitif pada 27 Maret 1968. Namun, hubungan Nasution dengan Soeharto memburuk. Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan membatasi perannya. Dan pada tahun 1971, Nasution dipensiunkan dari militer pada usia 53 tahun, lebih cepat dari jadwal resmi 55 tahun. Meskipun demikian, hubungan mereka mulai membaik pada tahun 1990-an, dan pada 5 Oktober 1997, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Besar oleh TNI. AH Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada usia 81 tahun. Ia dikenang sebagai salah satu tokoh militer paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Sumber : ITD

 TOKOH BESAR MILITER INDONESIA


Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution (AH Nasution) adalah salah satu tokoh militer dan politikus Indonesia yang berperan penting dalam sejarah bangsa. Ia Lahir pada 3 Desember 1918 di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Nasution dikenal sebagai salah satu dari tiga jenderal bintang lima di Indonesia. Yaitu Soedirman Soeharto Nasution.

 


(MASA MUDA DAN KARIR MILITER)

 

AH Nasution lahir dari keluarga petani dan merupakan anak kedua serta putra tertua. Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil, karet, dan kopi, serta anggota Sarekat Islam yang sangat religius dan menginginkan putranya belajar di sekolah agama. Namun, ibunya ingin ia belajar kedokteran di Batavia. Setelah lulus sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukittinggi.

 

Pada tahun 1935, Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi. Minatnya menjadi guru berangsur-angsur memudar seiring dengan tumbuhnya minat pada politik. Ia secara diam-diam membeli buku-buku yang ditulis oleh Sukarno dan membacanya bersama teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu, di dekat rumah Sukarno yang sedang diasingkan. Setahun kemudian, ia pindah ke Tanjung Praja, dekat Palembang, di mana ia terus mengajar tetapi beliau semakin tertarik pada politik dan militer.

 

Pada tahun 1940, setelah Nazi Jerman menduduki Belanda, otoritas kolonial Belanda membentuk korps cadangan perwira yang menerima orang Indonesia. Nasution mendaftar untuk bergabung karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Ia dikirim ke akademi militer Bandung untuk pelatihan, dan pada September 1940, ia dipromosikan menjadi kopral, lalu tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dan dia kemudian menjadi perwira di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).

 

(REVOLUSI NASIONAL)

 

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Mei 1946, ia diangkat sebagai komandan regional Divisi Siliwangi, yang menjaga keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang kemudian menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia yaitu (TNI).

 

Pada Januari 1948, setelah Perjanjian Renville, Nasution terpaksa memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah karena wilayah Jawa Barat diduduki Belanda. Pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi Wakil Komandan TKR, menjadikannya orang paling berkuasa kedua di TKR setelah Jenderal Sudirman. Nasution berperan dalam reorganisasi pasukan dan menyarankan taktik perang gerilya melawan Belanda. Ia juga terlibat dalam penumpasan Pemberontakan Madiun pada September 1948, meskipun jendral Soedirman awalnya menginginkan negosiasi dengan Belanda.

 

(ERA DEMOKRASI)

 

Pada tahun 1950, Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Bersama TB Simatupang, ia mencoba merestrukturisasi dan mereorganisasi ABRI menjadi lebih kecil, modern, dan profesional. Namun, kebijakan ini menimbulkan konflik dengan faksi-faksi dalam militer, terutama antara alumni KNIL dan PETA.

 

Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan untuk mengepung Istana Kepresidenan, menuntut pembubaran DPR karena dianggap mencampuri urusan militer. Peristiwa ini dikenal sebagai "Peristiwa 17 Oktober." Meskipun ia berhasil mengumpulkan dukungan sipil, Soekarno berhasil membujuk pasukan dan warga sipil untuk pulang. Akibatnya, Nasution dan Simatupang kehilangan jabatan mereka dan diberhentikan dari dinas militer pada Desember 1952.

 

Selama masa "pengasingan" ini, Nasution menulis buku "Fundamentals of Guerrilla Warfare" (Pokok-Pokok Gerilya), yang menjadi salah satu buku paling banyak dipelajari tentang perang gerilya bersama karya Mao Zedong. Pada 27 Oktober 1955, Nasution diangkat kembali sebagai KSAD.

 

(ERA DEMOKRASI DAN PEMBERONTAK PKI)

 

Nasution memainkan peran penting dalam mengusulkan konsep "Dwi Fungsi ABRI" pada tahun 1958, yang memungkinkan tentara tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga dalam politik dan ekonomi. Ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta merangkap KSAD. Namun, perannya mulai melemah pada tahun 1962 ketika ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB), sementara komando Angkatan Darat diberikan kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang lebih dekat dengan Soekarno.

 

Pada 1 Oktober 1965, Nasution menjadi salah satu target utama dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Ia berhasil melarikan diri dari sergapan pasukan Cakrabirawa di kediamannya dengan melompati tembok belakang rumahnya, setelah sempat berdiskusi dengan istrinya. Namun, putrinya, Ade Irma Suryani, dan ajudannya, Letnan Pierre Tendean, menjadi korban dalam peristiwa kejam tersebut.

 

(TRANSISI ORDER BARU DAN AKHIR HAYAT)

 

Setelah G30S/PKI, Nasution menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia menolak pidato pertanggung jawaban Soekarno (Nawaksara) dan mencabut mandat Soekarno sebagai presiden. Nasution juga berperan dalam mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967 dan Presiden definitif pada 27 Maret 1968.

 

Namun, hubungan Nasution dengan Soeharto memburuk. Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan membatasi perannya. Dan pada tahun 1971, Nasution dipensiunkan dari militer pada usia 53 tahun, lebih cepat dari jadwal resmi 55 tahun. Meskipun demikian, hubungan mereka mulai membaik pada tahun 1990-an, dan pada 5 Oktober 1997, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Besar oleh TNI.

 

AH Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada usia 81 tahun. Ia dikenang sebagai salah satu tokoh militer paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.


Sumber : Indonesia Tempo Doeloe

Potret Sultan aji Muhammad alimuddin ( Sultan Kutai 1899-1910 )

 Potret Sultan aji Muhammad alimuddin 

( Sultan Kutai 1899-1910 )



Jl Boton, Magelang, tahun 1960an Djl Boton, Magelang, 1960.s

 Jl Boton, Magelang, tahun 1960an


Djl Boton, Magelang, 1960.s



Sumber : Bintoro Hoepoedio

Apa ini akulturasi budaya bangsa arya, bangsa dravida dan bangsa austronesia yang pada waktu itu pusatnya di pulau jawa?, kalau iya pantes, leluhur nya ajh 3 bangsa yang besar dan unggul sehingga membawa pengaruh budaya yang kuat. Bangsa Arya dengan agamanya/tauhid Bangsa dravida dengan arsitekturnya Bangsa Austronesia dengan fisik kuatnya Tapi maaf yang saya bahas adalah penampilannya dulu 🙏 Dilihat dari panel relief mengenai penataan rambut pria maupun wanita sepertinya rambut harus di buat gimbal dulu dengan ukuran 3mm atau dengan variasi ukuran lainnya lalu rambut di tata dengan bagian bawah yang bundar dan semakin mengecil ke atas, sering dihiasi untaian manik-manik atau bunga, serta dikenal sebagai model mahkota emas dalam tata rias kuno Asia Tenggara Bagian yang menonjol lainnya adalah telinga, pria dan wanita bagian telinga mayoritas sama pasti bagian bawah berlubang dan memanjang seperti Telingaan Aruu, yaitu tradisi memanjangkan telinga oleh orang-orang dari Suku Dayak. Tradisi memanjangkan telinga di kalangan Suku Dayak ini telah lama dilakukan secara turun temurun. Pemanjangan daun telinga ini biasanya menggunakan pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang dari tembaga yang bahasa kenyah di sebut "Belaong" . Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter. #foto #bangsaarya #bangsadravida #bangsaaustronesia #akulturasi #infomenarik #sejarah

 Apa ini akulturasi budaya bangsa arya, bangsa dravida dan bangsa austronesia yang pada waktu itu pusatnya di pulau jawa?, kalau iya pantes, leluhur nya ajh 3 bangsa yang besar dan unggul sehingga membawa pengaruh budaya yang kuat.

Bangsa Arya dengan agamanya/tauhid

Bangsa dravida dengan arsitekturnya

Bangsa Austronesia dengan fisik kuatnya

Tapi maaf yang saya bahas adalah penampilannya dulu 🙏



Dilihat dari panel relief mengenai penataan rambut  pria maupun wanita sepertinya rambut harus di buat gimbal dulu dengan  ukuran 3mm atau dengan variasi ukuran lainnya lalu rambut di tata dengan bagian bawah yang bundar dan semakin mengecil ke atas, sering dihiasi untaian manik-manik atau bunga, serta dikenal sebagai model mahkota emas dalam tata rias kuno Asia Tenggara


Bagian yang menonjol lainnya adalah telinga, pria dan wanita bagian telinga mayoritas sama pasti bagian bawah berlubang dan memanjang seperti  Telingaan Aruu, yaitu  tradisi memanjangkan telinga oleh orang-orang dari Suku Dayak. Tradisi memanjangkan telinga di kalangan Suku Dayak ini telah lama dilakukan secara turun temurun. Pemanjangan daun telinga ini biasanya menggunakan pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang dari tembaga yang bahasa kenyah di sebut "Belaong" . Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Sumber : Wukir Mahendra

#foto #bangsaarya #bangsadravida #bangsaaustronesia #akulturasi #infomenarik #sejarah

15 September 2025

Prajurit Pasukan Elit Benteng Raiders terluka saat bertempur dengan Tentara PRRI tahun 1958 Sumber ; Koleksi_sejarah_indo #prri #nasakom #ordelama #dewanbanteng #letkolahmadhusein #kolonelahmadyani #soekarno #rebellion1958

 Prajurit Pasukan Elit Benteng Raiders terluka saat bertempur dengan Tentara PRRI tahun 1958



Sumber ; Koleksi_sejarah_indo

#prri

#nasakom

#ordelama

#dewanbanteng

#letkolahmadhusein

#kolonelahmadyani

#soekarno 

#rebellion1958

Van Kleef Desersi KL yang menggabung ke DI TII sebagai anggota Majelis Angkatan Perang N.I.I. Nama samaran : budiman, abdul haq, salman parsy, Sobar. #sejarahindonesia

 Van Kleef

Desersi KL yang menggabung ke DI TII sebagai anggota Majelis Angkatan Perang N.I.I.

Nama samaran : budiman, abdul haq, salman parsy, Sobar.



#sejarahindonesia

Eks Mayor Udara Suyono, tokoh dalam aksi G30 S PKI . Dok kempen RI

 Eks Mayor Udara Suyono, tokoh dalam aksi G30 S PKI .



Dok kempen RI

Pak Sudomo & Pak Harto Orde Baru adalah salah satu masa paling terkenang di Indonesia. Di era yang dipimpin Presiden Soeharto ini, terdapat satu nama yang dikenal dengan julukan si Raja Tega. Ialah Laksamana Sudomo, pria kelahiran 20 September 1926 silam. Siapa sangka, ternyata tokoh satu ini adalah seorang asli Malang. (📷 Arsip Nasional RI) Editor By 📲 FOTO ZAMAN DULU

 Pak Sudomo & Pak Harto


Orde Baru adalah salah satu masa paling terkenang di Indonesia. Di era yang dipimpin Presiden Soeharto ini, terdapat satu nama yang dikenal dengan julukan si Raja Tega. Ialah Laksamana Sudomo, pria kelahiran 20 September 1926 silam. Siapa sangka, ternyata tokoh satu ini adalah seorang asli Malang.




(📷 Arsip Nasional RI)


Editor By 

📲 FOTO ZAMAN DULU

Keluarga kraton Yogyakarta ketika berkomunikasi jarak jauh menggunakan telepon kabel pada tahun 1920. Source : KITLV

 Keluarga kraton Yogyakarta ketika berkomunikasi jarak jauh menggunakan telepon kabel pada tahun 1920.



Source : KITLV

Awalnya ya alun2 ini cukup sakral. Ada aturan2 khusus. Misal tidak bisa lewat dengan memakai songsong/payung. Tidak bisa kuda dan kereta lewat. Pada masa Sultan HB VIII sebagaimana foto2 yang sudah mulai diambil. Alun2 dibelah akses umum. Bahkan dipakai untuk acara Pameran Pembangunan saat Sekatenan (Grebeg Mulud). Cikal bakal Pasar Malam. Tetapi pada zaman Sultan HB VIII sepanjang pekapalan (bangunan2 sekeliling alun2 utara) bukan merupakan jalan umum. Itu hanya setapak dengan pohon2 beringin berjumlah 62 (yuswa kanjeng nabi). Alun2 justru menjadi akses kalau mau ke barat, misal ke Rotowijayan/Ngasem maupun ke Keben. Juga akses ke timur, misal Yudonegaran & Wijilan. Dari Gapura Pangurakan jalan raya hanya satu : lurus hingga tengah2 alun2 lalu bercabang ke timur dan serong ke kidul kulon. [ gambar 1 diambil Belanda saat Agresi Militer 1948 pakai pesawat bukan drone ] Setelah kemerdekaan, jalan di sekitar pekapalan dibuka seperti sekarang. Jalan di tengah alun2 tidak menyerong tetapi pentog hingga arah pagelaran. Lalu belok ke barat. [ gambar 2 sd 6] Kondisi alun2 menjadi tidak terawat, banyak sampah dan bahkan menjadi tempat parkir bus wisata. Revitalisasi dilakukan sejak 2023, diberi pagar dan dikembalikan seperti awal dimana tidak rumput tetapi pasir (perlambang niskala Tuhan). Dapat kiriman foto2 tahun 70an dari mas @pradikagery dan database belanda (saat Agresi Militer 1948)

 Awalnya ya alun2 ini cukup sakral. Ada aturan2 khusus. Misal tidak bisa lewat dengan memakai songsong/payung. Tidak bisa kuda dan kereta lewat. 



Pada masa Sultan HB VIII sebagaimana foto2 yang sudah mulai diambil. Alun2 dibelah akses umum. Bahkan dipakai untuk acara Pameran Pembangunan saat Sekatenan (Grebeg Mulud). Cikal bakal Pasar Malam.


Tetapi pada zaman Sultan HB VIII sepanjang pekapalan (bangunan2 sekeliling alun2 utara) bukan merupakan jalan umum. Itu hanya setapak dengan pohon2 beringin berjumlah 62 (yuswa kanjeng nabi). 


Alun2 justru menjadi akses kalau mau ke barat, misal ke Rotowijayan/Ngasem maupun ke Keben. Juga akses ke timur, misal Yudonegaran & Wijilan. Dari Gapura Pangurakan jalan raya hanya satu : lurus hingga tengah2 alun2 lalu bercabang ke timur dan serong ke kidul kulon. [ gambar 1 diambil Belanda saat Agresi Militer 1948 pakai pesawat bukan drone ]


Setelah kemerdekaan, jalan di sekitar pekapalan dibuka seperti sekarang. Jalan di tengah alun2 tidak menyerong tetapi pentog hingga arah pagelaran. Lalu belok ke barat.

[ gambar 2 sd 6]


Kondisi alun2 menjadi tidak terawat, banyak sampah dan bahkan menjadi tempat parkir bus wisata.


Revitalisasi dilakukan sejak 2023, diberi pagar dan dikembalikan seperti awal dimana tidak rumput tetapi pasir (perlambang niskala Tuhan). 


Dapat kiriman foto2 tahun 70an dari mas @pradikagery  dan database belanda (saat Agresi Militer 1948)