09 July 2025

Tangisan Terakhir Ade Irma: Malam Berd4r4h di Rumah Sang Jenderal Jakarta, 30 September 1965. Malam itu, angin berhembus pelan di ibu kota yang masih remang-remang diterangi lampu minyak dan lentera jalan. Di balik suasana tenang, di sudut sebuah rumah di Jalan Teuku Umar No. 40, keluarga Jenderal A.H. Nasution tertidur lelap. Tak ada yang menyangka, malam itu akan menjadi malam paling kelam dan berd*r*h dalam hidup mereka. Di dalam kamar, Ade Irma Suryani Nasution, gadis kecil berusia 5 tahun, tengah tertidur di samping ibunya, Johanna Sunarti Nasution. Sosok kecil itu masih polos, tak pernah tahu apa itu dendam politik, kudeta, atau makar. Baginya, malam itu hanyalah satu malam biasa sebelum esok bermain dengan bonekanya. Tapi takdir berkata lain. --- * Derap Sepatu dan Denting Senjata Pukul 04.00 dini hari, sekelompok pasukan Cakrabirawa bersenjata lengkap mengepung rumah. Wajah mereka tegang, tanpa belas kasihan. Nama-nama jenderal yang harus “dihabisi” telah dikantongi. Salah satu yang paling dicari: Jenderal Abdul Haris Nasution, pejuang veteran, otak gerilya Indonesia, sekaligus musuh utama kelompok ini. Mereka mendobrak pagar, menyusup ke halaman, lalu menendang pintu rumah dengan kasar. Tembakan dilepaskan ke udara. Letnan Pierre Tendean, ajudan muda Nasution, segera keluar kamar dalam kondisi setengah sadar. Peluru meletup. Kaca jendela pecah. Sunarti terbangun. Ade Irma yang masih terlelap terkejut mendengar letusan senjata. Ia menangis ketakutan. “Mama... mama... ada apa Ma?” Jeritannya lirih, penuh ketakutan. Sunarti memeluk erat putri bungsunya itu. Derap sepatu menghantam lantai kayu. Tentara bersenjata mendobrak masuk ke dalam kamar. Tanpa aba-aba, rentetan peluru dilepaskan ke arah ranjang. --- * Tubuh Kecil Itu Roboh Ade Irma Suryani tak sempat lari. Tiga butir peluru bersarang di tubuh kecilnya. Darah muncrat membasahi seprai putih. Sunarti menjerit histeris. Ade Irma tergeletak dengan tubuh bersimbah darah, masih dalam pelukan ibunya. Napasnya tersengal. “Mama... Ade sakit, Ma...” Suaranya kecil, pelan, nyaris tak terdengar. Sunarti berteriak memanggil nama suaminya. Nasution, yang sejak awal mendengar keributan itu, bergegas melompati pagar rumah ke kediaman tetangga. Dalam kepanikan, peluru sempat mengenai kakinya. Tapi nyawanya selamat. Ia tak tahu anaknya telah tertembak. Di halaman, Letnan Pierre Tendean berhasil ditangkap. Dalam gelapnya malam dan kepanikan, Pierre disangka sebagai Nasution. Ia diseret ke mobil, dibawa ke Lubang Buaya, dan akhirnya menjadi salah satu korban pemb*ntai*n malam itu. --- * Ade Irma Bertahan Antara Hidup dan M*ti Sunarti segera membawa Ade Irma yang sekarat ke RSPAD Gatot Subroto. Luka tembak di tubuh kecil itu parah. Dokter berusaha sekuat tenaga. Ade Irma sempat sadar beberapa kali. Di salah satu kesempatan, ia memanggil pelan: “Papa... Ade mau Papa...” Jenderal Nasution baru tiba di rumah sakit dengan kondisi luka di kaki. Saat melihat putri bungsunya dalam kondisi sekarat, tubuhnya bergetar. Sang jenderal yang terkenal tegas, gagah, dan tak pernah gentar di medan perang itu, menangis di depan anaknya sendiri. “Papa di sini, Ade... Papa di sini, Nak...” Tangan Nasution menggenggam tangan mungil itu. Ade Irma hanya bisa menatap lemah. Pelan, air mata jatuh di pipinya. Ia sempat meminta susu kesukaannya, tapi dokter tahu tubuh kecil itu sudah tak sanggup mencerna apapun. --- * Hari Ketiga: Ade Irma Menghembuskan Nafas Terakhir Selama tiga hari, Ade Irma bertahan di ujung hidupnya. Setiap malam, Nasution dan Sunarti menunggui putri bungsunya. Di saat-saat terakhirnya, Ade Irma sempat berbisik: “Mama... Papa... Ade ngantuk...” Tangannya mengejang lemah. Tubuh mungil itu menghembuskan napas terakhir di pelukan ibunya. Tanggal 3 Oktober 1965, pukul 05.30 WIB, Ade Irma Suryani dinyatakan wafat. Tangis Sunarti pecah. Nasution terpukul luar biasa. Ia tak hanya kehilangan anak, tapi juga kehilangan kebahagiaan keluarga yang selama ini dia perjuangkan. --- * Pemakaman dan Janji Seorang Ayah Ade Irma dimakamkan di pemakaman keluarga di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Di atas pusara putrinya, Nasution berdiri kaku, air matanya terus mengalir. Ia tak berkata banyak. Hanya satu kalimat yang keluar: “Anakku... maafkan Papa... darahmu tak akan tumpah sia-sia.” Sejak saat itu, Nasution dikenal makin keras terhadap segala bentuk pengkhianatan dan makar terhadap bangsa. Ia kehilangan anak kandungnya sendiri dalam tragedi politik yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami kala itu. --- * Warisan Luka Sejarah Tragedi itu meninggalkan luka abadi. Sunarti mengalami trauma berkepanjangan. Rumah mereka di Jalan Teuku Umar masih menyisakan lubang peluru di dinding kamar Ade Irma. Kini, rumah itu menjadi Museum Jenderal A.H. Nasution, saksi bisu sebuah malam pengkhianatan keji. Ade Irma, bocah kecil tak berdosa, menjadi korban kekejian politik yang tak pernah ia pahami. Hingga hari ini, makamnya di TMP Kalibata masih ramai diziarahi, bukan hanya sebagai pahlawan cilik, tapi simbol bahwa sejarah bangsa ini pernah diwarnai darah anak-anak kecil yang tak bersalah. --- “Ade, Nak... Andai kau masih ada, mungkin kau sekarang sedang berlari-lari di halaman rumah sambil memanggil ‘Papa’... Tapi takdir berkata lain. Kau pergi di malam berdarah, menjadi pelindung ayahmu. Dan darahmu abadi menjadi saksi sejarah bangsa ini.” - A.H. Nasution --- ditulis oleh @dunia.sjr --- * Foto keluarga Jendral A.H. Nasution telah direstorasi dan diwarnai Sumber: - A.H. Nasution, “Memenuhi Panggilan Tugas” (1985) - Museum Jenderal Besar A.H. Nasution, Jakarta - Nugroho Notosusanto, “Lubang Buaya” (1966) - Dokumenter “Pengkhianatan G30S/PKI” (1984) - Kompas com & Historia id arsip G30S/1965 --- Bagaimana perasaanmu membaca kisah ini? Tulis di kolom komentar. SHARE kisah ini, agar kita semua tak lupa betapa mahalnya harga kemerdekaan dan betapa kejamnya pengkhianatan dalam sejarah bangsa ini. #AdeIrmaSuryani #G30SPKI #TangisanBangsa #JenderalNasution #PahlawanCilik #SejarahIndonesia #MalamPengkhianatan #IndonesiaTidakLupa

 Tangisan Terakhir Ade Irma: Malam Berd4r4h di Rumah Sang Jenderal


Jakarta, 30 September 1965. Malam itu, angin berhembus pelan di ibu kota yang masih remang-remang diterangi lampu minyak dan lentera jalan. Di balik suasana tenang, di sudut sebuah rumah di Jalan Teuku Umar No. 40, keluarga Jenderal A.H. Nasution tertidur lelap. Tak ada yang menyangka, malam itu akan menjadi malam paling kelam dan berd*r*h dalam hidup mereka.



Di dalam kamar, Ade Irma Suryani Nasution, gadis kecil berusia 5 tahun, tengah tertidur di samping ibunya, Johanna Sunarti Nasution. Sosok kecil itu masih polos, tak pernah tahu apa itu dendam politik, kudeta, atau makar. Baginya, malam itu hanyalah satu malam biasa sebelum esok bermain dengan bonekanya. Tapi takdir berkata lain.


---


* Derap Sepatu dan Denting Senjata


Pukul 04.00 dini hari, sekelompok pasukan Cakrabirawa bersenjata lengkap mengepung rumah. Wajah mereka tegang, tanpa belas kasihan. Nama-nama jenderal yang harus “dihabisi” telah dikantongi. Salah satu yang paling dicari: Jenderal Abdul Haris Nasution, pejuang veteran, otak gerilya Indonesia, sekaligus musuh utama kelompok ini.


Mereka mendobrak pagar, menyusup ke halaman, lalu menendang pintu rumah dengan kasar. Tembakan dilepaskan ke udara. Letnan Pierre Tendean, ajudan muda Nasution, segera keluar kamar dalam kondisi setengah sadar. Peluru meletup. Kaca jendela pecah. Sunarti terbangun. Ade Irma yang masih terlelap terkejut mendengar letusan senjata. Ia menangis ketakutan.


“Mama... mama... ada apa Ma?”

Jeritannya lirih, penuh ketakutan.


Sunarti memeluk erat putri bungsunya itu. Derap sepatu menghantam lantai kayu. Tentara bersenjata mendobrak masuk ke dalam kamar. Tanpa aba-aba, rentetan peluru dilepaskan ke arah ranjang.


---


* Tubuh Kecil Itu Roboh


Ade Irma Suryani tak sempat lari. Tiga butir peluru bersarang di tubuh kecilnya. Darah muncrat membasahi seprai putih. Sunarti menjerit histeris. Ade Irma tergeletak dengan tubuh bersimbah darah, masih dalam pelukan ibunya. Napasnya tersengal.


“Mama... Ade sakit, Ma...”

Suaranya kecil, pelan, nyaris tak terdengar.


Sunarti berteriak memanggil nama suaminya. Nasution, yang sejak awal mendengar keributan itu, bergegas melompati pagar rumah ke kediaman tetangga. Dalam kepanikan, peluru sempat mengenai kakinya. Tapi nyawanya selamat. Ia tak tahu anaknya telah tertembak.


Di halaman, Letnan Pierre Tendean berhasil ditangkap. Dalam gelapnya malam dan kepanikan, Pierre disangka sebagai Nasution. Ia diseret ke mobil, dibawa ke Lubang Buaya, dan akhirnya menjadi salah satu korban pemb*ntai*n malam itu.


---


* Ade Irma Bertahan Antara Hidup dan M*ti


Sunarti segera membawa Ade Irma yang sekarat ke RSPAD Gatot Subroto. Luka tembak di tubuh kecil itu parah. Dokter berusaha sekuat tenaga. Ade Irma sempat sadar beberapa kali. Di salah satu kesempatan, ia memanggil pelan:


“Papa... Ade mau Papa...”


Jenderal Nasution baru tiba di rumah sakit dengan kondisi luka di kaki. Saat melihat putri bungsunya dalam kondisi sekarat, tubuhnya bergetar. Sang jenderal yang terkenal tegas, gagah, dan tak pernah gentar di medan perang itu, menangis di depan anaknya sendiri.


“Papa di sini, Ade... Papa di sini, Nak...”


Tangan Nasution menggenggam tangan mungil itu. Ade Irma hanya bisa menatap lemah. Pelan, air mata jatuh di pipinya. Ia sempat meminta susu kesukaannya, tapi dokter tahu tubuh kecil itu sudah tak sanggup mencerna apapun.


---


* Hari Ketiga: Ade Irma Menghembuskan Nafas Terakhir


Selama tiga hari, Ade Irma bertahan di ujung hidupnya. Setiap malam, Nasution dan Sunarti menunggui putri bungsunya. Di saat-saat terakhirnya, Ade Irma sempat berbisik:


“Mama... Papa... Ade ngantuk...”


Tangannya mengejang lemah. Tubuh mungil itu menghembuskan napas terakhir di pelukan ibunya.

Tanggal 3 Oktober 1965, pukul 05.30 WIB, Ade Irma Suryani dinyatakan wafat. Tangis Sunarti pecah. Nasution terpukul luar biasa. Ia tak hanya kehilangan anak, tapi juga kehilangan kebahagiaan keluarga yang selama ini dia perjuangkan.


---


* Pemakaman dan Janji Seorang Ayah


Ade Irma dimakamkan di pemakaman keluarga di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Di atas pusara putrinya, Nasution berdiri kaku, air matanya terus mengalir. Ia tak berkata banyak. Hanya satu kalimat yang keluar:


“Anakku... maafkan Papa... darahmu tak akan tumpah sia-sia.”


Sejak saat itu, Nasution dikenal makin keras terhadap segala bentuk pengkhianatan dan makar terhadap bangsa. Ia kehilangan anak kandungnya sendiri dalam tragedi politik yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami kala itu.


---


* Warisan Luka Sejarah


Tragedi itu meninggalkan luka abadi. Sunarti mengalami trauma berkepanjangan. Rumah mereka di Jalan Teuku Umar masih menyisakan lubang peluru di dinding kamar Ade Irma. Kini, rumah itu menjadi Museum Jenderal A.H. Nasution, saksi bisu sebuah malam pengkhianatan keji.


Ade Irma, bocah kecil tak berdosa, menjadi korban kekejian politik yang tak pernah ia pahami. Hingga hari ini, makamnya di TMP Kalibata masih ramai diziarahi, bukan hanya sebagai pahlawan cilik, tapi simbol bahwa sejarah bangsa ini pernah diwarnai darah anak-anak kecil yang tak bersalah.


---


“Ade, Nak... Andai kau masih ada, mungkin kau sekarang sedang berlari-lari di halaman rumah sambil memanggil ‘Papa’... Tapi takdir berkata lain. Kau pergi di malam berdarah, menjadi pelindung ayahmu. Dan darahmu abadi menjadi saksi sejarah bangsa ini.” - A.H. Nasution


---

ditulis oleh @dunia.sjr

---


* Foto keluarga Jendral A.H. Nasution telah direstorasi dan diwarnai


Sumber:

- A.H. Nasution, “Memenuhi Panggilan Tugas” (1985)

- Museum Jenderal Besar A.H. Nasution, Jakarta

- Nugroho Notosusanto, “Lubang Buaya” (1966)

- Dokumenter “Pengkhianatan G30S/PKI” (1984)

- Kompas com & Historia id arsip G30S/1965


---


Bagaimana perasaanmu membaca kisah ini? Tulis di kolom komentar. SHARE kisah ini, agar kita semua tak lupa betapa mahalnya harga kemerdekaan dan betapa kejamnya pengkhianatan dalam sejarah bangsa ini.


#AdeIrmaSuryani #G30SPKI #TangisanBangsa #JenderalNasution #PahlawanCilik #SejarahIndonesia #MalamPengkhianatan #IndonesiaTidakLupa

No comments:

Post a Comment