07 July 2025

LONDO IRENG: SAUDARA SEBANGSA YANG MEMBAWA SENAPAN PENJAJAH --- Oleh: Dunia Sejarah --- * Prolog: Senapan di Tangan Saudara Di sebuah malam, Aceh 1898. Ketika rakyat bersiap menyerang pos Belanda di pinggiran Lhoksukon, terdengar suara langkah serdadu. Namun bukan Belanda kulit putih. Yang datang adalah pria-pria kampung sebelah, wajah mereka sama legamnya, rambut ikal atau lurus, mata mereka gelap menatap rekan sebangsanya. Di tangan mereka: senapan. Mereka inilah yang dikenal sebagai Londo Ireng. Pribumi Nusantara berseragam KNIL atau Marsose yang memegang senjata atas nama Ratu Belanda. Kadang tetanggamu. Kadang saudaramu sendiri. --- * Asal Usul ‘Londo Ireng’ Istilah "Londo Ireng" lahir dari bahasa Jawa: “Londo” artinya Belanda, “Ireng” artinya hitam. Awalnya merujuk serdadu kulit hitam dari Afrika yang didatangkan Belanda ke Hindia Belanda, tapi kemudian digunakan untuk menyebut pribumi yang bertempur di pihak kolonial. Orang-orang ini bukanlah bangsawan atau pemilik tanah. Mereka adalah anak kampung, mantan petani, buruh pelabuhan, budak perkebunan, atau anak miskin kota yang terjerat kemiskinan dan propaganda. --- * Darah Saudara Tumpah di Aceh dan Jawa Perang Aceh (1873-1914) jadi panggung utama peran Londo Ireng. Sebagian besar pasukan Marsose satuan pembantai gerilyawan Aceh adalah pribumi dari Jawa, Ambon, Menado, dan Bugis. Foto tragis Marsose di Sigli, 1897 memperlihatkan mereka berpose di atas mayat rakyat Aceh. Senyuman mereka dalam foto itu bukan karena bangga membunuh, melainkan karena tahu nyawa mereka sendiri bisa jadi taruhannya bila menolak perintah. # Foto Ke 2 --- * Statistik yang Tak Pernah Diajarkan Tahun 1936, statistik KNIL menyebut: 39% pasukan berasal dari Jawa 15% dari Manado 12% dari Ambon Mereka adalah tulang punggung kekuatan militer kolonial. Jumlah serdadu pribumi jauh melebihi jumlah Belanda Eropa di Hindia. Inilah kunci kekuatan Belanda: mengadu pribumi melawan pribumi. --- * Mengapa Mereka Mau? Alasannya sederhana, tapi memilukan: Gaji KNIL 8-10 kali lipat dibanding petani sawah. Diberi seragam, rumah barak, jatah makan, dan akses barang mewah: rokok lintingan, sabun Eropa, bahkan kain batik dari Yogya. Ancaman kematian atau siksaan bila menolak. Sebagian besar diantaranya bukan pengkhianat ideologis, tapi orang biasa yang terpaksa memilih hidup daripada mati kelaparan. --- * Peristiwa Memilukan di Pemakaman Van Heutsz Ketika Jenderal J.B. van HHeuts tukang jagal Aceh meninggal 1927, upacara pemakamannya dihadiri 11 opsir senior KNIL Jawa. Mereka berdiri dengan topi baja dan pedang komando, memberi hormat pada orang yang pernah membakar desa-desa di Aceh, membantai keluarga sebangsa mereka. # Foto ke 1 --- Dilema yang Tak Pernah Tercatat Catatan Van Deventer (1904) menulis: “Banyak serdadu Jawa dan Ambon yang direkrut bukan karena kesetiaan, tapi karena tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, di saat tanah pertanian dirampas dan rakyat didera pajak berat.” Sebagian dari mereka bahkan menyusup sebagai mata-mata, sengaja bergabung untuk bisa membocorkan posisi Belanda ke pejuang gerilya. Namun sayangnya, banyak pula yang terjebak dalam ilusi nyaman hidup sebagai serdadu kolonial. --- * Media Sosial dan Salah Kaprah Zaman Now Kini, setiap yang memakai seragam KNIL di foto sejarah dianggap pengkhianat. Padahal tak semua Londo Ireng bisa dituduh hina. Karena mereka manusia. Punya keluarga, perut lapar, ketakutan, dan mimpi hidup aman di zaman kejam. Sejarah itu abu-abu, bukan hitam-putih. --- * Pelajaran Zaman Sekarang Jika dulu Londo Ireng mengangkat senapan untuk Belanda, kini banyak yang menjual tambang, laut, tanah, dan rakyatnya demi kekuasaan. Penjajahan modern lebih licik, dan para pengkhianatnya lebih bersih bajunya. Karena sejarah yang tak dibaca akan berulang. --- Sumber Referensi - Museum Bronbeek - KITLV Leiden - Arsip Nasional Belanda - De Locomotief (1900) - Catatan Van Deventer (1904) #LondoIreng #KNIL #JejakKolonialisme #MelawanLupa #SejarahKelamIndonesia #PerangAceh #SejarahBuruhKNIL #BangsaSendiri

 LONDO IRENG: SAUDARA SEBANGSA YANG MEMBAWA SENAPAN PENJAJAH


---

Oleh: Dunia Sejarah

---


* Prolog: Senapan di Tangan Saudara


Di sebuah malam, Aceh 1898.

Ketika rakyat bersiap menyerang pos Belanda di pinggiran Lhoksukon, terdengar suara langkah serdadu. Namun bukan Belanda kulit putih. Yang datang adalah pria-pria kampung sebelah, wajah mereka sama legamnya, rambut ikal atau lurus, mata mereka gelap menatap rekan sebangsanya. Di tangan mereka: senapan.


Mereka inilah yang dikenal sebagai Londo Ireng. Pribumi Nusantara berseragam KNIL atau Marsose yang memegang senjata atas nama Ratu Belanda. Kadang tetanggamu. Kadang saudaramu sendiri.


---



* Asal Usul ‘Londo Ireng’


Istilah "Londo Ireng" lahir dari bahasa Jawa: “Londo” artinya Belanda, “Ireng” artinya hitam. Awalnya merujuk serdadu kulit hitam dari Afrika yang didatangkan Belanda ke Hindia Belanda, tapi kemudian digunakan untuk menyebut pribumi yang bertempur di pihak kolonial.


Orang-orang ini bukanlah bangsawan atau pemilik tanah. Mereka adalah anak kampung, mantan petani, buruh pelabuhan, budak perkebunan, atau anak miskin kota yang terjerat kemiskinan dan propaganda.


---


* Darah Saudara Tumpah di Aceh dan Jawa


Perang Aceh (1873-1914) jadi panggung utama peran Londo Ireng.

Sebagian besar pasukan Marsose satuan pembantai gerilyawan Aceh adalah pribumi dari Jawa, Ambon, Menado, dan Bugis.


Foto tragis Marsose di Sigli, 1897 memperlihatkan mereka berpose di atas mayat rakyat Aceh. Senyuman mereka dalam foto itu bukan karena bangga membunuh, melainkan karena tahu nyawa mereka sendiri bisa jadi taruhannya bila menolak perintah.




---


* Statistik yang Tak Pernah Diajarkan


Tahun 1936, statistik KNIL menyebut:

39% pasukan berasal dari Jawa

15% dari Manado

12% dari Ambon


Mereka adalah tulang punggung kekuatan militer kolonial. Jumlah serdadu pribumi jauh melebihi jumlah Belanda Eropa di Hindia. Inilah kunci kekuatan Belanda: mengadu pribumi melawan pribumi.


---


* Mengapa Mereka Mau?


Alasannya sederhana, tapi memilukan:


Gaji KNIL 8-10 kali lipat dibanding petani sawah.


Diberi seragam, rumah barak, jatah makan, dan akses barang mewah: rokok lintingan, sabun Eropa, bahkan kain batik dari Yogya.


Ancaman kematian atau siksaan bila menolak.


Sebagian besar diantaranya bukan pengkhianat ideologis, tapi orang biasa yang terpaksa memilih hidup daripada mati kelaparan.


---


* Peristiwa Memilukan di Pemakaman Van Heutsz


Ketika Jenderal J.B. van HHeuts tukang jagal Aceh  meninggal 1927, upacara pemakamannya dihadiri 11 opsir senior KNIL Jawa.

Mereka berdiri dengan topi baja dan pedang komando, memberi hormat pada orang yang pernah membakar desa-desa di Aceh, membantai keluarga sebangsa mereka.




---


Dilema yang Tak Pernah Tercatat


Catatan Van Deventer (1904) menulis:


“Banyak serdadu Jawa dan Ambon yang direkrut bukan karena kesetiaan, tapi karena tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, di saat tanah pertanian dirampas dan rakyat didera pajak berat.”


Sebagian dari mereka bahkan menyusup sebagai mata-mata, sengaja bergabung untuk bisa membocorkan posisi Belanda ke pejuang gerilya.


Namun sayangnya, banyak pula yang terjebak dalam ilusi nyaman hidup sebagai serdadu kolonial.


---


* Media Sosial dan Salah Kaprah Zaman Now


Kini, setiap yang memakai seragam KNIL di foto sejarah dianggap pengkhianat. Padahal tak semua Londo Ireng bisa dituduh hina.


Karena mereka manusia.

Punya keluarga, perut lapar, ketakutan, dan mimpi hidup aman di zaman kejam.


Sejarah itu abu-abu, bukan hitam-putih.


---


* Pelajaran Zaman Sekarang


Jika dulu Londo Ireng mengangkat senapan untuk Belanda, kini banyak yang menjual tambang, laut, tanah, dan rakyatnya demi kekuasaan.

Penjajahan modern lebih licik, dan para pengkhianatnya lebih bersih bajunya.


Karena sejarah yang tak dibaca akan berulang.


---


Sumber Referensi

- Museum Bronbeek

- KITLV Leiden

- Arsip Nasional Belanda

- De Locomotief (1900)

- Catatan Van Deventer (1904)


#LondoIreng #KNIL #JejakKolonialisme #MelawanLupa #SejarahKelamIndonesia #PerangAceh #SejarahBuruhKNIL #BangsaSendiri

No comments:

Post a Comment