Raja Vorstenlanden
.... berani menjalani kehidupan, adalah sebuah konsekuensi untuk ikut membangun sebuah peradaban yang lebih bertanggung jawab ...
08 March 2025
Para pekerja mengayak tepung dengan di awasi dua orang Belanda di Pabrik roti Salatiga, 23 Oktober 1947 📷 Nationaal Archief
Para pekerja mengayak tepung dengan di awasi dua orang Belanda di Pabrik roti Salatiga, 23 Oktober 1947
📷 Nationaal Archief
06 March 2025
BAGELEN Bagelen kini tidak setenar dahulu, sebab kini Bagelen hanya sebuah nama kecamatan saja, padahal dahulu yaitu sebelum abad ke 20 awal Bagelen dikenal sebagai Provinsi/Keadipatian/Keresidenan yang wilayahnya meliputi Kab Purworejo dan Kab Kebumen Sekarang. Bagelen surut pamornya setelah dibubarkan Belanda pada tahun 1901. Secara geografis Bagelen merupakan sebuah wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo. Adapun Purworejo merupakan nama baru sebagai pengganti nama Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen. Karesidenan Bagelen terdiri atas Kabupaten Brengkelan (Purworejo), Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Karangduwur (Kemiri), dan Kabupaten Ngaran ( masuk wilayah Kebumen). Kabupaten Purworejo sekarang meliputi wilayah yang termasuk ke dalam Karesidenan Bagelen dahulu, yaitu gabungan antara wilayah Brengkelan, Semawung dan Karangduwur. Kedudukan Bagelen sebagai sebuah karesidenan kemudian dihapus pada 1 Agustus 1901 dan dimasukkan ke dalam wilayah Karesidenan Kedu. Sementara nama Bagelen sekarang hanya dipergunakan sebagai nama sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo. Oleh : Sejarah Cirebon
BAGELEN
Bagelen kini tidak setenar dahulu, sebab kini Bagelen hanya sebuah nama kecamatan saja, padahal dahulu yaitu sebelum abad ke 20 awal Bagelen dikenal sebagai Provinsi/Keadipatian/Keresidenan yang wilayahnya meliputi Kab Purworejo dan Kab Kebumen Sekarang. Bagelen surut pamornya setelah dibubarkan Belanda pada tahun 1901.
Secara geografis Bagelen merupakan sebuah wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo. Adapun Purworejo merupakan nama baru sebagai pengganti nama Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen.
Karesidenan Bagelen terdiri atas Kabupaten Brengkelan (Purworejo), Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Karangduwur (Kemiri), dan Kabupaten Ngaran ( masuk wilayah Kebumen). Kabupaten Purworejo sekarang meliputi wilayah yang termasuk ke dalam Karesidenan Bagelen dahulu, yaitu gabungan antara wilayah Brengkelan, Semawung dan Karangduwur.
Kedudukan Bagelen sebagai sebuah karesidenan kemudian dihapus pada 1 Agustus 1901 dan dimasukkan ke dalam wilayah Karesidenan Kedu. Sementara nama Bagelen sekarang hanya dipergunakan sebagai nama sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo.
Oleh : Sejarah Cirebon
04 March 2025
Letnan Komarudin Prajurit Legendaris TNI Kebal Peluru Letnan Komarudin adalah seorang prajurit TNI yang legendaris karena kemampuannya yang luar biasa dikenal kebal peluru dan suntikan. Dia adalah tentara kebanggaan Indonesia yang memiliki kemampuan di luar nalar. Komarudin menjadi terkenal ketika pasukannya berlindung di balik tubuhnya yang kebal peluru saat diberondong peluru oleh tentara Belanda. Keberanian dan kekebalan Komarudin membuatnya menjadi sosok yang dihormati dan diandalkan oleh banyak prajurit. Komarudin memiliki peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Meski terjadi kesalahan tanggal, di mana serangan dilakukan sehari lebih awal, keberanian Komarudin dan pasukannya dalam menyerang tangsi Belanda menjadi salah satu alasan mengapa Belanda lengah. Serangan ini menunjukkan keberanian dan strategi yang berani dari Komarudin dan pasukannya. Dikutip dari berbagai sumber, Komarudin bernama asli Eli Yakim Teniwut, lahir di Desa Ohoidertutu, Maluku Tenggara. Dia merupakan keturunan ulama sakti, Kiai Abdur Rahman (Mbah Tanjung), dan panglima perang Pangeran Diponegoro, Bantengwareng. Latar belakang ini membuat banyak orang percaya bahwa kekebalan Komarudin terhadap senjata adalah warisan dari leluhurnya. Komarudin sering memimpin serangan yang mengguncang pertahanan Belanda di Yogyakarta. Kekebalannya terhadap peluru membuat dia dan pasukannya bisa mengatasi sergapan Belanda tanpa terluka. Keberanian dan ketenangan Komarudin dalam menghadapi musuh menjadikannya sosok yang ditakuti oleh tentara Belanda. Setelah kematian Jenderal Soedirman, karier militer Komarudin meredup akibat tuduhan keterlibatan dengan gerakan DI/TII. Sumber : beritabeta.com Merdeka.com
Letnan Komarudin
Prajurit Legendaris TNI Kebal Peluru
Letnan Komarudin adalah seorang prajurit TNI yang legendaris karena kemampuannya yang luar biasa dikenal kebal peluru dan suntikan. Dia adalah tentara kebanggaan Indonesia yang memiliki kemampuan di luar nalar.
Komarudin menjadi terkenal ketika pasukannya berlindung di balik tubuhnya yang kebal peluru saat diberondong peluru oleh tentara Belanda. Keberanian dan kekebalan Komarudin membuatnya menjadi sosok yang dihormati dan diandalkan oleh banyak prajurit.
Komarudin memiliki peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Meski terjadi kesalahan tanggal, di mana serangan dilakukan sehari lebih awal, keberanian Komarudin dan pasukannya dalam menyerang tangsi Belanda menjadi salah satu alasan mengapa Belanda lengah.
Serangan ini menunjukkan keberanian dan strategi yang berani dari Komarudin dan pasukannya. Dikutip dari berbagai sumber, Komarudin bernama asli Eli Yakim Teniwut, lahir di Desa Ohoidertutu, Maluku Tenggara.
Dia merupakan keturunan ulama sakti, Kiai Abdur Rahman (Mbah Tanjung), dan panglima perang Pangeran Diponegoro, Bantengwareng. Latar belakang ini membuat banyak orang percaya bahwa kekebalan Komarudin terhadap senjata adalah warisan dari leluhurnya.
Komarudin sering memimpin serangan yang mengguncang pertahanan Belanda di Yogyakarta. Kekebalannya terhadap peluru membuat dia dan pasukannya bisa mengatasi sergapan Belanda tanpa terluka.
Keberanian dan ketenangan Komarudin dalam menghadapi musuh menjadikannya sosok yang ditakuti oleh tentara Belanda. Setelah kematian Jenderal Soedirman, karier militer Komarudin meredup akibat tuduhan keterlibatan dengan gerakan DI/TII.
Sumber : beritabeta.com
Merdeka.com
03 March 2025
KOLONEL DARWIS DJAMIN SALAH SATU PENDIRI TNI AL Saat TKR Djawatan Laoet dibentuk, Darwis menjadi komandan Pangkalan Laut Tegal, usai perang kemerdekaan ia mendirikan Perusahaan Pelayaran swasta terbesar yakni Djakarta Lloyd.
KOLONEL DARWIS DJAMIN
SALAH SATU PENDIRI TNI AL
Saat TKR Djawatan Laoet dibentuk, Darwis menjadi komandan Pangkalan Laut Tegal, usai perang kemerdekaan ia mendirikan Perusahaan Pelayaran swasta terbesar yakni Djakarta Lloyd.
Pengetahuan lur. ~Makam Pangeran Benawa di Desa Pakuncen Kec. Pegandon Kab. Kendal, Jawa Tengah~ Pangeran Benawa atau Raden Hadiningrat. Pangeran Benawa adalah raja Pajang ketiga dan memerintah tahun 1586-1587, bergelar Kanjeng Adipati Pengging/ Pangeran Benawa/ Pangeran Hadipati Benawa / Sultan Prabuwijaya. * Silsilah Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram. Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. * Kisah Hidup Pangeran Benawa. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara. Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang. Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri. Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Hadiwijaya. Makam Pangeran Benawa, yang berada di kompleks makam Desa Pakuncen, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. sekitar dua kilometer dari kompleks makam Pekuncen, terdapat sebuah goa yang dinamakan Goa Pekukulan dimana Pangeran Benawa bertapa. sumber : buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hammam Rokhani.
Pengetahuan lur.
~Makam Pangeran Benawa di Desa Pakuncen Kec. Pegandon Kab. Kendal, Jawa Tengah~
Pangeran Benawa atau Raden Hadiningrat. Pangeran Benawa adalah raja Pajang ketiga dan memerintah tahun 1586-1587, bergelar Kanjeng
Adipati Pengging/ Pangeran Benawa/ Pangeran Hadipati Benawa / Sultan Prabuwijaya.
* Silsilah Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram. Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak
menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.
* Kisah Hidup Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang. Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri. Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Hadiwijaya.
Makam Pangeran Benawa, yang berada di kompleks makam Desa Pakuncen, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. sekitar dua kilometer dari kompleks makam Pekuncen, terdapat sebuah goa yang dinamakan Goa Pekukulan dimana Pangeran Benawa bertapa.
sumber : buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hammam Rokhani.
Perang Jawa Libur Selama Ramadan, P. Diponegoro Fokus Ibadah Kebumen adalah tempat pertama kalinya P. Diponegoro bertemu dengan utusan Jenderal De Kock yang bernama Jan Baptist Cleerens. Pada Selasa 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro bertemu dengan Cleerens di Desa Romakamal (Sempor, Kebumen) di hulu Kali Cingcingguling, tak jauh dari tempat persembunyian P. Diponegoro. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1830 untuk kedua kalinya Kolonel Cleerens menemui P. Diponegoro, Kali ini mereka mengadakan pertemuan di desa Kejawang (Sruweng, Kebumen) sebelah timur Roma kamal. P. Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan De Kock dan penentuan perundingan dengan De Kock akan diadakan setelah selesai bulan puasa ramadhan (akhir maret 1830). Karena De Kock masih di Batavia, Pangeran Diponegoro bermaksud menunggunya di Bagelen Barat (Wilayah Kebumen). Namun, Cleerens membujuk agar Diponegoro melanjutkan perjalanan dan menunggu di Menoreh. Beberapa hari setelah pertemuan itu, P. Diponegoro beserta pengikutnya pun berangkat dari desa Kejawang menuju Magelang Pada 21 Februari 1830, empat hari menjelang bulan Ramadan, Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh, pegunungan perbatasan Bagelen dan Kedu. Kedatangannya berdasarkan kesepakatan gencatan senjata selama bulan Ramadhan dengan Belanda yang dimediasi oleh Jan Baptist Cleerens. Hari pertama puasa 1 Ramadhan 1245 hijriah jatuh pada 25 Februari 1830. Pangeran Diponegoro menghabiskan waktu selama bulan puasa di Magelang sambil beristirahat dan memulihkan sakitnya. Pangeran sangat menderita akibat serangan malaria selama bergerilya di hutan Bagelen Barat. P. Diponegoro pernah menderita Malaria ketika sedang dalam persembunyian di perbukitan daerah Brujul (sekarang Peniron, Pejagoan, Kebumen) kuda beliau ditambatkan disebuah batu berwarna hitam, dan sampai sekarang batu tersebut dikenal dengan situs Watu Jaran. P. Diponegoro dirawat di sebuah gubuk milik seorang pande besi bernama Empu Astrajingga. Selama dirawat, beliau dijaga oleh Pangeran Adisurya (adiknya) dan beberapa abdinya seperti Bantengwareng, Suroto, Basah Gondokusumo, Basah Mertonegoro. Selama beristirahat Di Menoreh, Pangeran Diponegoro dan 800 pengikutnya tinggal di sebuah pesanggrahan sederhana. Setiap pagi selama bulan puasa, mereka giat berlatih olah kanuragan dan menjalankan ibadah. Masyarakat Kedu pun banyak yang datang mengunjungi P. Diponegoro dengan membawa gula Jawa sebagai tanda penghormatan mereka kepada P. Dipanegoro sebagai pemimpin Perang Jawa. Awal Maret 1830, Cleerens memberitahu Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock bahwa P. Diponegoro tidak akan melakukan pembicaraan tentang perang selama bulan puasa karena sedang istirahat dan fokus ibadah. De Kock pun setuju. Karena masih dalam suasana gencatan senjata selama bulan Ramadhan, De Kock dan stafnya pun beberapa kali mengunjungi P. Diponegoro di pesanggrahannya. De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro tiga kali: dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan sekali di pesanggrahan. De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda bagus warna abu-abu dan uang sebesar 10.000 gulden yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa. Sikap manis De Kock ternyata bermuatan politis, Dia ingin membuat P. Diponegoro terlena agar menyerah tanpa syarat kepada Belanda. Namun, Pangeran Diponegoro tidak tertipu dan tetap pada pendirianya, yaitu melawan penjajah Belanda. Seorang mata-mata bernama Tumenggung Mangunkusumo dikirim oleh Belanda untuk menyusup dan berbaur dengan pasukan Diponegoro di pesanggrahanya untuk mencari informasi tentang rencana P. Diponegoro. Mata-mata itu kemudian melaporkan kepada De Kock bahwa P. Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk tetap melawan Belanda. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, De Kock diam-diam memerintahkan Louis du Perron dan A.V Michels untuk mempersiapkan penangkapan Pangeran Diponegoro pada pertemuan setelah lebaran, tepatnya 28 Maret 1830. Bersambung.... * Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber facebook.com/100001856336410/posts/28704969045814924/
Perang Jawa Libur Selama Ramadan, P. Diponegoro Fokus Ibadah
Kebumen adalah tempat pertama kalinya P. Diponegoro bertemu dengan utusan Jenderal De Kock yang bernama Jan Baptist Cleerens. Pada Selasa 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro bertemu dengan Cleerens di Desa Romakamal (Sempor, Kebumen) di hulu Kali Cingcingguling, tak jauh dari tempat persembunyian P. Diponegoro. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1830 untuk kedua kalinya Kolonel Cleerens menemui P. Diponegoro, Kali ini mereka mengadakan pertemuan di desa Kejawang (Sruweng, Kebumen) sebelah timur Roma kamal. P. Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan De Kock dan penentuan perundingan dengan De Kock akan diadakan setelah selesai bulan puasa ramadhan (akhir maret 1830).
Karena De Kock masih di Batavia, Pangeran Diponegoro bermaksud menunggunya di Bagelen Barat (Wilayah Kebumen). Namun, Cleerens membujuk agar Diponegoro melanjutkan perjalanan dan menunggu di Menoreh. Beberapa hari setelah pertemuan itu, P. Diponegoro beserta pengikutnya pun berangkat dari desa Kejawang menuju Magelang
Pada 21 Februari 1830, empat hari menjelang bulan Ramadan, Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh, pegunungan perbatasan Bagelen dan Kedu. Kedatangannya berdasarkan kesepakatan gencatan senjata selama bulan Ramadhan dengan Belanda yang dimediasi oleh Jan Baptist Cleerens.
Hari pertama puasa 1 Ramadhan 1245 hijriah jatuh pada 25 Februari 1830. Pangeran Diponegoro menghabiskan waktu selama bulan puasa di Magelang sambil beristirahat dan memulihkan sakitnya. Pangeran sangat menderita akibat serangan malaria selama bergerilya di hutan Bagelen Barat. P. Diponegoro pernah menderita Malaria ketika sedang dalam persembunyian di perbukitan daerah Brujul (sekarang Peniron, Pejagoan, Kebumen) kuda beliau ditambatkan disebuah batu berwarna hitam, dan sampai sekarang batu tersebut dikenal dengan situs Watu Jaran. P. Diponegoro dirawat di sebuah gubuk milik seorang pande besi bernama Empu Astrajingga. Selama dirawat, beliau dijaga oleh Pangeran Adisurya (adiknya) dan beberapa abdinya seperti Bantengwareng, Suroto, Basah Gondokusumo, Basah Mertonegoro.
Selama beristirahat Di Menoreh, Pangeran Diponegoro dan 800 pengikutnya tinggal di sebuah pesanggrahan sederhana. Setiap pagi selama bulan puasa, mereka giat berlatih olah kanuragan dan menjalankan ibadah. Masyarakat Kedu pun banyak yang datang mengunjungi P. Diponegoro dengan membawa gula Jawa sebagai tanda penghormatan mereka kepada P. Dipanegoro sebagai pemimpin Perang Jawa.
Awal Maret 1830, Cleerens memberitahu Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock bahwa P. Diponegoro tidak akan melakukan pembicaraan tentang perang selama bulan puasa karena sedang istirahat dan fokus ibadah. De Kock pun setuju.
Karena masih dalam suasana gencatan senjata selama bulan Ramadhan, De Kock dan stafnya pun beberapa kali mengunjungi P. Diponegoro di pesanggrahannya.
De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro tiga kali: dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan sekali di pesanggrahan.
De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda bagus warna abu-abu dan uang sebesar 10.000 gulden yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa.
Sikap manis De Kock ternyata bermuatan politis, Dia ingin membuat P. Diponegoro terlena agar menyerah tanpa syarat kepada Belanda.
Namun, Pangeran Diponegoro tidak tertipu dan tetap pada pendirianya, yaitu melawan penjajah Belanda. Seorang mata-mata bernama Tumenggung Mangunkusumo dikirim oleh Belanda untuk menyusup dan berbaur dengan pasukan Diponegoro di pesanggrahanya untuk mencari informasi tentang rencana P. Diponegoro. Mata-mata itu kemudian melaporkan kepada De Kock bahwa P. Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk tetap melawan Belanda.
Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, De Kock diam-diam memerintahkan Louis du Perron dan A.V Michels untuk mempersiapkan penangkapan Pangeran Diponegoro pada pertemuan setelah lebaran, tepatnya 28 Maret 1830.
Bersambung....
* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber
facebook.com/100001856336410/posts/28704969045814924/
Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, selalu menebar pesona di mana-mana. Rakyat rindu untuk bertemu dengannya. Foto seperti ini jarang kita lihat: 'Putra sang Fajar' mendekap seorang perempuan kawula yang begitu mengidolakannya dan mungkin sudah lama ingin berjumpa dengannya. Ya, tentulah banyak orang yang ingin "menjatakan rindunja kepada Bung Karno". Akan tetapi sang wartawan majalah Garuda yang mempublikasikan ini tampaknya cukup iseng juga. la berkomentar "A[n]da bilang apa bung?". Bahasa sekarangnya "Nah, anda mau bilang apa lagi bung?", dengan harapan agar Bung Karno tidak lagi menyangkal, bahwa beliau memang idola. Sumber: Majalah Garuda, No. 27, 22 Djuli 1951: 4 #sejarah #tempodulu
Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, selalu menebar pesona di mana-mana. Rakyat rindu untuk bertemu dengannya. Foto seperti ini jarang kita lihat: 'Putra sang Fajar' mendekap seorang perempuan kawula yang begitu mengidolakannya dan mungkin sudah lama ingin berjumpa dengannya. Ya, tentulah banyak orang yang ingin "menjatakan rindunja kepada Bung Karno". Akan tetapi sang wartawan majalah Garuda yang mempublikasikan ini tampaknya cukup iseng juga. la berkomentar "A[n]da bilang apa bung?". Bahasa sekarangnya "Nah, anda mau bilang apa lagi bung?", dengan harapan agar Bung Karno tidak lagi menyangkal, bahwa beliau memang idola.
Sumber: Majalah Garuda, No. 27, 22 Djuli 1951: 4
#sejarah #tempodulu
02 March 2025
Rumah joglo rumah tradisional Jawa tahun 30'an. Untuk ukuran jaman itu yang memiliki rumah seperti ini setingkat kepala desa, karena rumah yang sudah pakai genting sudah termasuk orang mampu. Rumah seperti ini halamanya luas ditumbuhi berbagai macam pohon buah-buahan biasanya ada pohon sukun, Rambutan, mangga, dll. Kalau masuk lantainya masih tanah dan atasnya tanpa pelapon. Disebelahnya suka ada kandang sapi atau kerbau. Sampai tahun 90'an dipeloksok Banyumas masih banyak rumah seperti ini, tapi meski rumah sederhana tapi jangan di tanya berapa ekor sapinya, berapa luas sawah dan kebunya! bisa hektaran. Sampai saat ini masih kangen tinggal dirumah seperti ini sejuk dan adem. Kalau pagi dihidangkan teh panas pakai gula batu yang tehnya masih terlihat batangnya. Kalau malam menikmati goreng mendoan dengan cabe pedas. Pokoknya nganenin! Apalagi kalau lama diperantauan.
Rumah joglo rumah tradisional Jawa tahun 30'an. Untuk ukuran jaman itu yang memiliki rumah seperti ini setingkat kepala desa, karena rumah yang sudah pakai genting sudah termasuk orang mampu. Rumah seperti ini halamanya luas ditumbuhi berbagai macam pohon buah-buahan biasanya ada pohon sukun, Rambutan, mangga, dll.
Kalau masuk lantainya masih tanah dan atasnya tanpa pelapon. Disebelahnya suka ada kandang sapi atau kerbau.
Sampai tahun 90'an dipeloksok Banyumas masih banyak rumah seperti ini, tapi meski rumah sederhana tapi jangan di tanya berapa ekor sapinya, berapa luas sawah dan kebunya! bisa hektaran.
Sampai saat ini masih kangen tinggal dirumah seperti ini sejuk dan adem. Kalau pagi dihidangkan teh panas pakai gula batu yang tehnya masih terlihat batangnya. Kalau malam menikmati goreng mendoan dengan cabe pedas.
Pokoknya nganenin! Apalagi kalau lama diperantauan.
Prajurit Belanda Jefke Bautz van Berg bij Sitard, Belanda, memberikan pakaian kepada penduduk yang ditangkapnya saat bertugas. Kekurangan tekstil ditemukan parah di seluruh wilayah Republik, sekitar 1947. IMS Vintage Photos #sejarah #tempodulu
Prajurit Belanda Jefke Bautz van Berg bij Sitard, Belanda, memberikan pakaian kepada penduduk yang ditangkapnya saat bertugas. Kekurangan tekstil ditemukan parah di seluruh wilayah Republik, sekitar 1947.
IMS Vintage Photos
TERBUNUHNYA JAYA NEGARA Membunuh Jaya Negara terbilang susah, sebab selain seorang Raja yang selalu dijaga ketat oleh Para Bhayangkara, Jaya Negara juga memiliki ilmu kebal, begitulah yang diinformasikan serat Pararaton pada bagian ke 8. Meskipun begitu Ra Tanca rupanya punya teknik jitu untuk membunuhnya. Jaya Negara adalah Raja kedua Majapahit, menurut Negara Kertagama Jaya Negara naik tahta pada 1309 Masehi dengan Gelar Abhiseka Wiralandaghopala, ia naik tahta selepas kemangkatan ayahnya Dyah Wijaya. Jaya Negara merupakan anak laki-laki satu-satunya Dyah Wijaya, ibunya adalah Indradewi atau Dara Petak seorang Putri Melayu dari Kerajaan Dhamasraya. Meskipun Jaya Negara terlahir dari seorang selir, akan tetapi karena sejak kecil ia diakui anak oleh Sri Prameswari Dyah Dewi Tribuaneswari (Permaisuri) maka secara otomatis kedudukan Jaya Negara berubah menjadi Putra Mahkota, apalagi Permaisuri tidak mempunyai anak laki-laki sehingga kedudukan Jaya Negara sebagai penerus tahta tidak ada yang membantah. Pada masa Jaya Negara memerintah Majapahit, kondisi kerajaan dirundung banyak masalah, karena Jaya Negara termakan hasutan Dyah Halayuda yang dikenal menghalalkan segala cara demi memperoleh jabatan sebagai Mahapatih. Pada masa Jaya Negara memerintah 1309-1328 tercatat beberapa kali terjadi pemberontakan yang diakibatkan oleh hasutan Dyah Halyuda, diantaranya Pemberontakan Mahapatih Nambi, dan Pemberontakan Ra Kuti. Semua pemberontakan pada akhirnya mampu dipadamkan Jaya Negara, biang perusak kerajaanpun (Dyah Halayuda) akhirnya dibunuh Jaya Negara melalui tangan Gajah Mada. Meskipun demikian asap dari Pemberontakan rupanya masih tetap ada. Ra Tanca salah satu dari 7 Pejabat Dharmaputra yang berprofesi sebagai Tabib Istana menyimpan dendam dalam-dalam terhadap Jaya Negara. Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa dendam Jaya Negara muncul selepas istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh Raja, selain itu, ia juga masih menyimpan dendam terhadap kematian teman-teman seperjuangannya di Dharmaputra. Ra Tanca tidak menyukai kelakuan Jaya Negara yang a moral, dalam serat Pararaton, Jaya Negara dikisahkan sebagai Raja yang banyak membuat kecewa dan sengsara rakyat, juga dikenal sebagai Raja yang mau mengawini adik perempuannya sendiri agar tahta Majapahit tetap utuh ditangannya. Kemuakan Ra Tanca pada Jaya Negara melahirkan rencana pembunuhan, ia berniat menghabisinya. Akan tetapi karena ketatnya penjagaan, Ra Tanca memilih untuk bersabar, hingga suatu ketika datang kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Serat Pararaton menceritakan, bahwa suatu ketika Jaya Negara terkena sakit bisul, sehingga ia tidak bisa berjalan karena mengalami pembengkakan. Gajah Mada kemudian memanggil Ra Tanca ke Istana untuk mengoperasi penyakit Raja. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Ra Tanca, iapun mempersiapkan alat oprasi yang sanggup dijadikan sebagai alat bunuh, mengingat dalam kamar Raja, Ra Tanca tidak diperkenankan membawa senjata. Ketika kesempatan membunuh didepan mata, Ra Tanca menusukan pisau operasi (Taji) pada bagian tubuh Jaya Negara yang membengkak, namun sang Raja rupanya tak bergeming, Jaya Negara kebal senjata. Dengan alasan hendak mengoperasi penyakit sang Raja, Ra Tanca akhirnya merayu Rajanya untuk melepaskan jimat kekebalan yang dimiliki, malangnya Jaya Negara menurutinya, sehingga pembunuhan pun akhirnya terjadi. Jaya Negara dihujani pisau operasi berkali-kali hingga tewas. Sementara disisi lain, Gajah Mada dan para Bhayangkara yang memergoki peristiwa pembunuhan menjadi kalang kabut, Gajah Mada kemudian menusuk Ra Tanca dengan sebilah keris, Ra Tancapun akhirnya tewas bersimbah darah.
TERBUNUHNYA JAYA NEGARA
Membunuh Jaya Negara terbilang susah, sebab selain seorang Raja yang selalu dijaga ketat oleh Para Bhayangkara, Jaya Negara juga memiliki ilmu kebal, begitulah yang diinformasikan serat Pararaton pada bagian ke 8. Meskipun begitu Ra Tanca rupanya punya teknik jitu untuk membunuhnya.
Jaya Negara adalah Raja kedua Majapahit, menurut Negara Kertagama Jaya Negara naik tahta pada 1309 Masehi dengan Gelar Abhiseka Wiralandaghopala, ia naik tahta selepas kemangkatan ayahnya Dyah Wijaya. Jaya Negara merupakan anak laki-laki satu-satunya Dyah Wijaya, ibunya adalah Indradewi atau Dara Petak seorang Putri Melayu dari Kerajaan Dhamasraya.
Meskipun Jaya Negara terlahir dari seorang selir, akan tetapi karena sejak kecil ia diakui anak oleh Sri Prameswari Dyah Dewi Tribuaneswari (Permaisuri) maka secara otomatis kedudukan Jaya Negara berubah menjadi Putra Mahkota, apalagi Permaisuri tidak mempunyai anak laki-laki sehingga kedudukan Jaya Negara sebagai penerus tahta tidak ada yang membantah.
Pada masa Jaya Negara memerintah Majapahit, kondisi kerajaan dirundung banyak masalah, karena Jaya Negara termakan hasutan Dyah Halayuda yang dikenal menghalalkan segala cara demi memperoleh jabatan sebagai Mahapatih.
Pada masa Jaya Negara memerintah 1309-1328 tercatat beberapa kali terjadi pemberontakan yang diakibatkan oleh hasutan Dyah Halyuda, diantaranya Pemberontakan Mahapatih Nambi, dan Pemberontakan Ra Kuti.
Semua pemberontakan pada akhirnya mampu dipadamkan Jaya Negara, biang perusak kerajaanpun (Dyah Halayuda) akhirnya dibunuh Jaya Negara melalui tangan Gajah Mada. Meskipun demikian asap dari Pemberontakan rupanya masih tetap ada.
Ra Tanca salah satu dari 7 Pejabat Dharmaputra yang berprofesi sebagai Tabib Istana menyimpan dendam dalam-dalam terhadap Jaya Negara. Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa dendam Jaya Negara muncul selepas istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh Raja, selain itu, ia juga masih menyimpan dendam terhadap kematian teman-teman seperjuangannya di Dharmaputra.
Ra Tanca tidak menyukai kelakuan Jaya Negara yang a moral, dalam serat Pararaton, Jaya Negara dikisahkan sebagai Raja yang banyak membuat kecewa dan sengsara rakyat, juga dikenal sebagai Raja yang mau mengawini adik perempuannya sendiri agar tahta Majapahit tetap utuh ditangannya.
Kemuakan Ra Tanca pada Jaya Negara melahirkan rencana pembunuhan, ia berniat menghabisinya. Akan tetapi karena ketatnya penjagaan, Ra Tanca memilih untuk bersabar, hingga suatu ketika datang kesempatan yang ia tunggu-tunggu.
Serat Pararaton menceritakan, bahwa suatu ketika Jaya Negara terkena sakit bisul, sehingga ia tidak bisa berjalan karena mengalami pembengkakan. Gajah Mada kemudian memanggil Ra Tanca ke Istana untuk mengoperasi penyakit Raja.
Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Ra Tanca, iapun mempersiapkan alat oprasi yang sanggup dijadikan sebagai alat bunuh, mengingat dalam kamar Raja, Ra Tanca tidak diperkenankan membawa senjata.
Ketika kesempatan membunuh didepan mata, Ra Tanca menusukan pisau operasi (Taji) pada bagian tubuh Jaya Negara yang membengkak, namun sang Raja rupanya tak bergeming, Jaya Negara kebal senjata.
Dengan alasan hendak mengoperasi penyakit sang Raja, Ra Tanca akhirnya merayu Rajanya untuk melepaskan jimat kekebalan yang dimiliki, malangnya Jaya Negara menurutinya, sehingga pembunuhan pun akhirnya terjadi. Jaya Negara dihujani pisau operasi berkali-kali hingga tewas.
Sementara disisi lain, Gajah Mada dan para Bhayangkara yang memergoki peristiwa pembunuhan menjadi kalang kabut, Gajah Mada kemudian menusuk Ra Tanca dengan sebilah keris, Ra Tancapun akhirnya tewas bersimbah darah.
Piagam Bendasari Bukti Penyelesaian Peradilan Sengketa Tanah di Kerajaan Majapahit ________________________________________________ Momen persidangan sengketa tanah di zaman Kerajaan Majapahit dicatat dalam Piagam Bendasari. Saat itu terdapat perselisihan tanah di Desa Manuk antara Mapanji Sarana dan para pembesar-pembesar alias pejabat di Sima Tiga. Mapanji Sarana yang berstatus rakyat biasa dibantu kawan-kawannya yakni Ki Karna, Mapanji Manakara, Ajaran Reka, Ki Saran, dan Ki Jumput. Sedangkan pembesar-pembesar Sima Tiga diwakili Panji Anawang Harsa sebagai juru bicaranya. Menurut Mapanji Sarana, hak pakai tanah di atas sudah dimilikinya sejak dahulu kala. Sebaliknya, Panji Anawung Harsa menyatakan tanah tersebut adalah tanah sanda-gadai pada zaman sebelum ada uang perak di Jawa. Tanah itu digadaikan oleh nenek moyangnya sebanyak dua takar perak. Demikianlah silih pendapat kedua belah pihak. Sejarawan Prof Slamet Muljana pada bukunya "Tafsir Sejarah Nagarakretagama" menjelaskan, bagaimana proses persidangan diawali tanda rakryan memanggil orang-orang di sekitar tanah sengketa untuk memberikan kesaksian. Keterangan para saksi dari desa-desa di sekelilingnya menyebutkan bahwa menurut pendengaran mereka tanah sima itu adalah tanah sanda-gadai, namun tidak diketahui asal-usul pemakaian istilah sanda-gadai. Darı keterangan para saksi itu diputuskan, Panji Anawung Harsa kalah dalam sengketa tanah. Hakim memutuskan sengketa tanah itu sah milik Mapanji Sarana yang dikukuhkan pengadilan Majapahit. Pengadil memerintahkan membuat piagam. Keputusan perkara itu berdasarkan kitab perundang- undangan Kutara Manawa dan kitab undang-undang lainnya serta merupakan keputusan resmi pengadilan. Piagam yang memuat keputusan tentang sengketa yang demikian disebut Jayapatra, bukti tertulis tanda kemenangan diserahkan kepada pemenang. Prasasti Walandit yang dikeluarkan pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk memberitakan tentang keputusan sengketa antara orang-orang di Desa Walandit dan orang-orang di Desa Himad. Desa Walandit semula adalah daerah Swatantra, penduduknya mendapat tugas untuk memelihara dharma kabuyutan atau candi leluhur di Walandit. Mereka hanya mengakui kekuasaan dharma kabuyutan atas lembah dan bukit di sekitar Desa Walandit. Namun, dalam perkembangan sejarah para pejabat Desa Himad menguasai Walandit. Penduduk Walandit enggan mengakui kekuasaan pejabat-pejabat Himad dan menuduh mereka mencampuri urusan Desa Walandit. Sebagai bukti, mereka mengemukakan piagam yang dikeluarkan Raja Sindok dan kesaksian orang-orang cacat yang bekerja di dharma kabuyutan. Sengketa antara orang-orang Desa Walandit dan para pejabat Himad diputuskan di luar pengadilan.
Piagam Bendasari Bukti Penyelesaian Peradilan Sengketa Tanah di Kerajaan Majapahit
________________________________________________
Momen persidangan sengketa tanah di zaman Kerajaan Majapahit dicatat dalam Piagam Bendasari. Saat itu terdapat perselisihan tanah di Desa Manuk antara Mapanji Sarana dan para pembesar-pembesar alias pejabat di Sima Tiga. Mapanji Sarana yang berstatus rakyat biasa dibantu kawan-kawannya yakni Ki Karna, Mapanji Manakara, Ajaran Reka, Ki Saran, dan Ki Jumput. Sedangkan pembesar-pembesar Sima Tiga diwakili Panji Anawang Harsa sebagai juru bicaranya.
Menurut Mapanji Sarana, hak pakai tanah di atas sudah dimilikinya sejak dahulu kala. Sebaliknya, Panji Anawung Harsa menyatakan tanah tersebut adalah tanah sanda-gadai pada zaman sebelum ada uang perak di Jawa.
Tanah itu digadaikan oleh nenek moyangnya sebanyak dua takar perak. Demikianlah silih pendapat kedua belah pihak.
Sejarawan Prof Slamet Muljana pada bukunya "Tafsir Sejarah Nagarakretagama" menjelaskan, bagaimana proses persidangan diawali tanda rakryan memanggil orang-orang di sekitar tanah sengketa untuk memberikan kesaksian.
Keterangan para saksi dari desa-desa di sekelilingnya menyebutkan bahwa menurut pendengaran mereka tanah sima itu adalah tanah sanda-gadai, namun tidak diketahui asal-usul pemakaian istilah sanda-gadai.
Darı keterangan para saksi itu diputuskan, Panji Anawung Harsa kalah dalam sengketa tanah. Hakim memutuskan sengketa tanah itu sah milik Mapanji Sarana yang dikukuhkan pengadilan Majapahit.
Pengadil memerintahkan membuat piagam. Keputusan perkara itu berdasarkan kitab perundang- undangan Kutara Manawa dan kitab undang-undang lainnya serta merupakan keputusan resmi pengadilan. Piagam yang memuat keputusan tentang sengketa yang demikian disebut Jayapatra, bukti tertulis tanda kemenangan diserahkan kepada pemenang.
Prasasti Walandit yang dikeluarkan pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk memberitakan tentang keputusan sengketa antara orang-orang di Desa Walandit dan orang-orang di Desa Himad. Desa Walandit semula adalah daerah Swatantra, penduduknya mendapat tugas untuk memelihara dharma kabuyutan atau candi leluhur di Walandit.
Mereka hanya mengakui kekuasaan dharma kabuyutan atas lembah dan bukit di sekitar Desa Walandit. Namun, dalam perkembangan sejarah para pejabat Desa Himad menguasai Walandit.
Penduduk Walandit enggan mengakui kekuasaan pejabat-pejabat Himad dan menuduh mereka mencampuri urusan Desa Walandit. Sebagai bukti, mereka mengemukakan piagam yang dikeluarkan Raja Sindok dan kesaksian orang-orang cacat yang bekerja di dharma kabuyutan. Sengketa antara orang-orang Desa Walandit dan para pejabat Himad diputuskan di luar pengadilan.
Osvaldo Dorticós Torrado (Presiden Kuba), Presiden Soekarno, dan Fidel Castro (Perdana Menteri Kuba) di Havana, Kuba.1960 Sumber: Corbis #sejarah #tempodulu
Osvaldo Dorticós Torrado (Presiden Kuba), Presiden Soekarno, dan Fidel Castro (Perdana Menteri Kuba) di Havana, Kuba.1960
Sumber: Corbis
Studio foto dari tentara KNIL. Baris kedua dari kiri: P. Matakena, baris ketiga dari kiri: Wattilete. Duduk: Adam Siuta. Tanggal pembuatan: Tahun 1948 Sumber: Molukse geschiedenis en culture in beeld, Moluks Historisch Museum #Sejarah #SejarahMaluku #KNIL #KNILAmbon #Sejarahindonesia #mollucas
Studio foto dari tentara KNIL. Baris kedua dari kiri: P. Matakena, baris ketiga dari kiri: Wattilete. Duduk: Adam Siuta.
Tanggal pembuatan: Tahun 1948
Sumber: Molukse geschiedenis en culture in beeld, Moluks Historisch Museum
#
PAHALWAN DARI MALUKU. Komarudin adalah seorang prajurit ganteng nan selebor berbaret hitam. Ia digambarkan sangat pemberani menembus hujan peluru, memburu para tentara Belanda. Bahkan ketika bergerak mundur sekalipun tetap saja menembakkan senjatanya menembus hujan peluru.
PAHALWAN DARI MALUKU.
Komarudin adalah seorang prajurit ganteng nan selebor berbaret hitam. Ia digambarkan sangat pemberani menembus hujan peluru, memburu para tentara Belanda. Bahkan ketika bergerak mundur sekalipun tetap saja menembakkan senjatanya menembus hujan peluru.
TERBUNUHNYA JAYA NEGARA Membunuh Jaya Negara terbilang susah, sebab selain seorang Raja yang selalu dijaga ketat oleh Para Bhayangkara, Jaya Negara juga memiliki ilmu kebal, begitulah yang diinformasikan serat Pararaton pada bagian ke 8. Meskipun begitu Ra Tanca rupanya punya teknik jitu untuk membunuhnya. Jaya Negara adalah Raja kedua Majapahit, menurut Negara Kertagama Jaya Negara naik tahta pada 1309 Masehi dengan Gelar Abhiseka Wiralandaghopala, ia naik tahta selepas kemangkatan ayahnya Dyah Wijaya. Jaya Negara merupakan anak laki-laki satu-satunya Dyah Wijaya, ibunya adalah Indradewi atau Dara Petak seorang Putri Melayu dari Kerajaan Dhamasraya. Meskipun Jaya Negara terlahir dari seorang selir, akan tetapi karena sejak kecil ia diakui anak oleh Sri Prameswari Dyah Dewi Tribuaneswari (Permaisuri) maka secara otomatis kedudukan Jaya Negara berubah menjadi Putra Mahkota, apalagi Permaisuri tidak mempunyai anak laki-laki sehingga kedudukan Jaya Negara sebagai penerus tahta tidak ada yang membantah. Pada masa Jaya Negara memerintah Majapahit, kondisi kerajaan dirundung banyak masalah, karena Jaya Negara termakan hasutan Dyah Halayuda yang dikenal menghalalkan segala cara demi memperoleh jabatan sebagai Mahapatih. Pada masa Jaya Negara memerintah 1309-1328 tercatat beberapa kali terjadi pemberontakan yang diakibatkan oleh hasutan Dyah Halyuda, diantaranya Pemberontakan Mahapatih Nambi, dan Pemberontakan Ra Kuti. Semua pemberontakan pada akhirnya mampu dipadamkan Jaya Negara, biang perusak kerajaanpun (Dyah Halayuda) akhirnya dibunuh Jaya Negara melalui tangan Gajah Mada. Meskipun demikian asap dari Pemberontakan rupanya masih tetap ada. Ra Tanca salah satu dari 7 Pejabat Dharmaputra yang berprofesi sebagai Tabib Istana menyimpan dendam dalam-dalam terhadap Jaya Negara. Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa dendam Jaya Negara muncul selepas istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh Raja, selain itu, ia juga masih menyimpan dendam terhadap kematian teman-teman seperjuangannya di Dharmaputra. Ra Tanca tidak menyukai kelakuan Jaya Negara yang a moral, dalam serat Pararaton, Jaya Negara dikisahkan sebagai Raja yang banyak membuat kecewa dan sengsara rakyat, juga dikenal sebagai Raja yang mau mengawini adik perempuannya sendiri agar tahta Majapahit tetap utuh ditangannya. Kemuakan Ra Tanca pada Jaya Negara melahirkan rencana pembunuhan, ia berniat menghabisinya. Akan tetapi karena ketatnya penjagaan, Ra Tanca memilih untuk bersabar, hingga suatu ketika datang kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Serat Pararaton menceritakan, bahwa suatu ketika Jaya Negara terkena sakit bisul, sehingga ia tidak bisa berjalan karena mengalami pembengkakan. Gajah Mada kemudian memanggil Ra Tanca ke Istana untuk mengoperasi penyakit Raja. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Ra Tanca, iapun mempersiapkan alat oprasi yang sanggup dijadikan sebagai alat bunuh, mengingat dalam kamar Raja, Ra Tanca tidak diperkenankan membawa senjata. Ketika kesempatan membunuh didepan mata, Ra Tanca menusukan pisau operasi (Taji) pada bagian tubuh Jaya Negara yang membengkak, namun sang Raja rupanya tak bergeming, Jaya Negara kebal senjata. Dengan alasan hendak mengoperasi penyakit sang Raja, Ra Tanca akhirnya merayu Rajanya untuk melepaskan jimat kekebalan yang dimiliki, malangnya Jaya Negara menurutinya, sehingga pembunuhan pun akhirnya terjadi. Jaya Negara dihujani pisau operasi berkali-kali hingga tewas. Sementara disisi lain, Gajah Mada dan para Bhayangkara yang memergoki peristiwa pembunuhan menjadi kalang kabut, Gajah Mada kemudian menusuk Ra Tanca dengan sebilah keris, Ra Tancapun akhirnya tewas bersimbah darah. Oleh : Sejarah Cirebon
TERBUNUHNYA JAYA NEGARA
Membunuh Jaya Negara terbilang susah, sebab selain seorang Raja yang selalu dijaga ketat oleh Para Bhayangkara, Jaya Negara juga memiliki ilmu kebal, begitulah yang diinformasikan serat Pararaton pada bagian ke 8. Meskipun begitu Ra Tanca rupanya punya teknik jitu untuk membunuhnya.
Jaya Negara adalah Raja kedua Majapahit, menurut Negara Kertagama Jaya Negara naik tahta pada 1309 Masehi dengan Gelar Abhiseka Wiralandaghopala, ia naik tahta selepas kemangkatan ayahnya Dyah Wijaya. Jaya Negara merupakan anak laki-laki satu-satunya Dyah Wijaya, ibunya adalah Indradewi atau Dara Petak seorang Putri Melayu dari Kerajaan Dhamasraya.
Meskipun Jaya Negara terlahir dari seorang selir, akan tetapi karena sejak kecil ia diakui anak oleh Sri Prameswari Dyah Dewi Tribuaneswari (Permaisuri) maka secara otomatis kedudukan Jaya Negara berubah menjadi Putra Mahkota, apalagi Permaisuri tidak mempunyai anak laki-laki sehingga kedudukan Jaya Negara sebagai penerus tahta tidak ada yang membantah.
Pada masa Jaya Negara memerintah Majapahit, kondisi kerajaan dirundung banyak masalah, karena Jaya Negara termakan hasutan Dyah Halayuda yang dikenal menghalalkan segala cara demi memperoleh jabatan sebagai Mahapatih.
Pada masa Jaya Negara memerintah 1309-1328 tercatat beberapa kali terjadi pemberontakan yang diakibatkan oleh hasutan Dyah Halyuda, diantaranya Pemberontakan Mahapatih Nambi, dan Pemberontakan Ra Kuti.
Semua pemberontakan pada akhirnya mampu dipadamkan Jaya Negara, biang perusak kerajaanpun (Dyah Halayuda) akhirnya dibunuh Jaya Negara melalui tangan Gajah Mada. Meskipun demikian asap dari Pemberontakan rupanya masih tetap ada.
Ra Tanca salah satu dari 7 Pejabat Dharmaputra yang berprofesi sebagai Tabib Istana menyimpan dendam dalam-dalam terhadap Jaya Negara. Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa dendam Jaya Negara muncul selepas istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh Raja, selain itu, ia juga masih menyimpan dendam terhadap kematian teman-teman seperjuangannya di Dharmaputra.
Ra Tanca tidak menyukai kelakuan Jaya Negara yang a moral, dalam serat Pararaton, Jaya Negara dikisahkan sebagai Raja yang banyak membuat kecewa dan sengsara rakyat, juga dikenal sebagai Raja yang mau mengawini adik perempuannya sendiri agar tahta Majapahit tetap utuh ditangannya.
Kemuakan Ra Tanca pada Jaya Negara melahirkan rencana pembunuhan, ia berniat menghabisinya. Akan tetapi karena ketatnya penjagaan, Ra Tanca memilih untuk bersabar, hingga suatu ketika datang kesempatan yang ia tunggu-tunggu.
Serat Pararaton menceritakan, bahwa suatu ketika Jaya Negara terkena sakit bisul, sehingga ia tidak bisa berjalan karena mengalami pembengkakan. Gajah Mada kemudian memanggil Ra Tanca ke Istana untuk mengoperasi penyakit Raja.
Kesempatan tersebut tidak disia-siakan Ra Tanca, iapun mempersiapkan alat oprasi yang sanggup dijadikan sebagai alat bunuh, mengingat dalam kamar Raja, Ra Tanca tidak diperkenankan membawa senjata.
Ketika kesempatan membunuh didepan mata, Ra Tanca menusukan pisau operasi (Taji) pada bagian tubuh Jaya Negara yang membengkak, namun sang Raja rupanya tak bergeming, Jaya Negara kebal senjata.
Dengan alasan hendak mengoperasi penyakit sang Raja, Ra Tanca akhirnya merayu Rajanya untuk melepaskan jimat kekebalan yang dimiliki, malangnya Jaya Negara menurutinya, sehingga pembunuhan pun akhirnya terjadi. Jaya Negara dihujani pisau operasi berkali-kali hingga tewas.
Sementara disisi lain, Gajah Mada dan para Bhayangkara yang memergoki peristiwa pembunuhan menjadi kalang kabut, Gajah Mada kemudian menusuk Ra Tanca dengan sebilah keris, Ra Tancapun akhirnya tewas bersimbah darah.
Oleh : Sejarah Cirebon
Seorang marinir berbicara dengan seorang prajurit TRI (Tentara Republik Indonesia), Surabaya, sekitar Oktober 1946. Negatieven Mariniersbrigade - Wilmar, Hugo A #sejarah #tempodulu
Seorang marinir berbicara dengan seorang prajurit TRI (Tentara Republik Indonesia), Surabaya, sekitar Oktober 1946.
Negatieven Mariniersbrigade - Wilmar, Hugo A
01 March 2025
Penandatanganan kontrak karya Freeport Dalam foto ini nampak Menteri Pertambangan RI, Ir. Slamet Bratanata (duduk paling kanan) lalu di sebelahnya adalah Robert C. Hills, Presiden dari Freeport Sulphur dan duduk di sudut kiri adalah Manager Freeport Indonesia, Forbes K. Wilson. Duta Besar Amerika Serikat (saat itu) untuk Indonesia, Marshall Green, nampak berdiri di ujung kiri yang terjadi pada tanggal 7 April 1967 #sejarah #tempodulu
Penandatanganan kontrak karya Freeport
Dalam foto ini nampak Menteri Pertambangan RI, Ir. Slamet Bratanata (duduk paling kanan) lalu di sebelahnya adalah Robert C. Hills, Presiden dari Freeport Sulphur dan duduk di sudut kiri adalah Manager Freeport Indonesia, Forbes K. Wilson. Duta Besar Amerika Serikat (saat itu) untuk Indonesia, Marshall Green, nampak berdiri di ujung kiri yang terjadi pada tanggal 7 April 1967
ASAL-USUL RATU KALINAYAMAT & PANGERAN KALINYAMAT Nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono, raja Demak (1521-1546). Pada usia remaja ia dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat. Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Jawa. Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian berguru pada Sunan Kudus. Versi lain mengatakan, Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putera Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Tiongkok dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib. Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi Retna Kencana putri Sultan Demak, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat. Sejak itu, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kerajaan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri. Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah bersama di Jepara. Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat, dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara. Oleh: Sejarah Cirebon
ASAL-USUL RATU KALINAYAMAT & PANGERAN KALINYAMAT
Nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono, raja Demak (1521-1546). Pada usia remaja ia dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat.
Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Jawa. Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian berguru pada Sunan Kudus.
Versi lain mengatakan, Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putera Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Tiongkok dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib.
Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi Retna Kencana putri Sultan Demak, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat. Sejak itu, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kerajaan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri.
Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah bersama di Jepara. Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat, dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.
Oleh: Sejarah Cirebon