๐ฝ๐ผ๐ ๐ผ๐ ๐๐ผ๐๐ ๐๐ผ๐๐๐๐ผ
Naturalis Inggris Wallace mengatakan bahwa orang Galela sendiri adalah (juga) para penjelajah samudra yang handal dan besar wilayahnya, yang dapat ditemukan di mana-mana di timur Kepulauan dengan perahu yang mereka buat sendiri. Mereka juga para pemburu yang handal rusa dan babi hutan, ikan penyu dan tripang (mentimun), akan tetapi mereka juga menanam padi dan jagung.
Mereka tampak seperti orang Papua. Bahasanya juga dianggap bahasa Papua, tapi sebagian orang Galela sendiri berlayar atau menjadi orang Melayu yang mereka anggap, meski dengan beberapa pencampuran Papua. (P. Boomgaard, 2001).
Selain itu, orang Galela juga dikenal sebagai bajak laut (RPJMD 2008:32). Aktifitas bajak laut, atau di Galela dikenal dengan istilah canga, merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Ternate dan Tidore, yang memerintah dengan sewenang-wenang (Lapian, 1983:99). Artinya, orang Galela merampok dilaut merupkan bentuk penghindaran diri, sekaligus perlawanan terhadap kekuasaan kerajaan Ternate dan Tidore.
Selain merampok, perlawanan orang Galela terhadap kerjaan Ternate dan Tidore juga dilakukan dengan cara menangkap laki-laki dan perempuan dari pulau Sula, dan Banggai dua daerah ini adalah wilayah kekuasaan kerajaan Ternate untuk dijadikan sebagai budak (gilalu; Galela; Gilaungu; Tobelo). Orang Galela menjual budaknya dengan harga 24-30 real atau 80-100 mark, atau di bawah ke Papua untuk di tukar dengan budak Papua dengan nilai 2 budak Banggai untuk 3 budak Papua (Lapian, 1983:208). Menjadi canga dilakukan orang Galela juga sebagai penghindaran atau perlawanan terhadap pajak yang ditetapkan penjajah (Baretta, 1917:42-43).
Pada 1794 dua orang pria dari Sula bernama Dego dan Baya yang telah ditangkapdan ditahan oleh para penjarah selama 11 bulan melaporkan bahwa usai menyerang dan menjarah Buton, orang Galela dan Tobelo di atas 26 kora-kora tiba di Sulabesi, tempat mereka menangkap banyak orang. Para penjarah kemudian melanjutkan penjarahan hingga Amblau dimana mereka menangkap selusing orang. Setelah itu, mereka mengarah kembali ke Waru tempat Pangeran Nuku menetap.
Para korban yang melaporkan insiden-insiden ini berhasil melarikan diri setelah menemukan sebuah perahu yang mereka gunakan untuk berlayar ke Ambon. (Muridan, Widjojo 2013:197-198).
Orang Bajo mempunyai sikap yang mendua terhadap para perompak laut ini: apakah sebagai kawan atau lawan:
Menurut kesaksian orang-orang sebagai kawanan atau lawan, perompak atau pemenggal kepala, orang-orang ini tak ragu-ragu menyerang desa-desa yang berada di pedalaman. Di laut, mereka mengambil budak-budak dari awak-awak kapal lain yang mereka jumpai ketika mereka melakukan perjalanan-perjalanan panjang (Zakot, 2008:78).
Sekian ulasan Bajak Laut Galela di atas baik yang saya kutip dari berbagai sumber buku dan Internet semoga menambah khanzana pengetahuan serta bermanfaat terhadap pembaca untuk lebih mengenal sejarah Maluku Utara lebih khususnya Galela.
Meskipun ulasan di atas tidak sempurna dan masih banyak kekurangan yang perlu saya perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan saya tentang disiplin ilmu sejarah serta referensi yang didapat. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat saya harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.
Narasi oleh: Muhammad Diadi
Ket. Foto: Potret Bajak Laut Galela, Halmahera 1915.
No comments:
Post a Comment