14 March 2025

Sosok Ratu Ageng, Nenek Buyut P. Diponegoro, Pembentuk Karakter Dan Spiritual Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat pribumi, namanya termasyhur sebagai pemimpin Perang Jawa, Perang besar yang mampu memporak-porandakan kekuatan fisik dan finansial Pasukan Belanda. beliau adalah putra Sultan Hamengkubuwono III. Namun, alih-alih menjadi penerus tahta kesultanan, Pangeran Diponegoro menempuh jalannya sendiri untuk melawan pengaruh Belanda di kalangan istana serta berbagai ketidak adilan yang menimpa masyarakat. Pangeran Diponegoro lahir tepat menjelang fajar pada Jum’at Wage, 11 November 1785 di Keraton Yogyakarta. Diponegoro kecil tinggal di perumahan kaum perempuan keraton (keputren) hingga berusia 7 tahun. Ia kemudian pindah untuk tinggal bersama nenek buyutnya di Tegalrejo. Sang nenek inilah yang mengasuh Diponegoro sejak kecil hingga berusia 18 tahun. Di sinilah pembentukan karakter Diponegoro mulai terbentuk, mulai dari keyakinan agama, pergaulan dengan kaum santri, serta pandangan-pandangan sosialnya banyak mendapat pengaruh dari asuhan neneknya. Namun tahukah Anda siapa nenek buyut yang menumbuhkan pemikiran dan mengukuhkan ideologi spiritual Sang Pangeran? Dialah Ratu Ageng, Istri dari pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang juga meletakakkan dasar-dasar falsafah Keraton Yogyakarta. Ratu Ageng Tegalrejo mempunyai nama asli Niken Ayu Yuwati, lahir pada tahun 1732 di Sragen, Jawa Tengah. Ratu Ageng adalah putri Kiai Ageng Derpoyudo, seorang ulama dari Majangjati, Sragen, Silsilahnya juga bersambung dengan Kiai Ageng Datuk Sulaiman alias Kiai Sulaiman Bekel Jamus, putra Sultan Abdul Qahir dari Kesultanan Bima, Sumbawa. Sebuah kerajaan Islam yang pernah berjaya di Indonesia Timur. Pertemuannya dengan Pangeran Mangkubumi (yang kelak bergelar HB I) terjadi di tengah perjuangannya pada Perang Suksesi Jawa ketiga. Ratu Ageng adalah sosok perempuan yang Tangguh, beliau ikut bersama Pangeran Mangkubumi dalam Perang Giyanti (1746-1755) melawan Pakubuwono II yang bersekutu dengan VOC. Sesudah Keraton Yogyakarta berdiri, Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Pertama Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Ratu Ageng menjadi panglima Bregada Langen Kusuma, pasukan elite perempuan pengawal raja. pasukan kawal istimewa perempuan kerajaan yang merupakan satu-satunya barisan pasukan militer Keraton Yogya. Pernikahannya dengan Hamengkubuwono I melahirkan Pangeran Sundoro (HB II) ayahanda dari Pangeran Surojo. Pangeran Surojo (HB III) merupakan ayah dari Pangeran Diponegoro. Setelah Sultan Hamengkubuwono I wafat, kemudian Ratu Ageng meninggalkan hingar bingar keraton Yogyakarta karena terjadi konflik dengan anaknya, Hamengkubuwono II. Ratu Ageng menilai bahwa HB II dianggap telah menyepelekan ajaran Islam. Setelah menyingkir ke Tegalrejo, kemudian membangun sebuah tempat yang sepi, sejuk, asri, dan lepas dari kemegahan, kemewahan dan hiruk pikuk Keraton Yogyakarta. Di Tegalrejo, Ratu Ageng membuka lahan, menjadikan tegalan menjadi wilayah pertanian yang subur. Ratu Ageng juga membuka pesantren kecil untuk menyebarkan agama Islam bernafaskan Tarekat Syattariyah. Ia menjadi sosok pendidik dan spiritualis disegani masyarakat. Di Tegalrejo ini beliau lebih dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalrejo Ratu Ageng adalah seorang perempuan yang agamis. Ia dikenal sebagai salah satu ulama perempuan di Jawa. Sebagai seorang ulama, kegemarannya ialah membaca kitab-kitab agama. Ia juga merupakan seorang penganut tarekat Syattariyah. Ratu Ageng juga sangat disiplin menegakkan kehidupan yang religius. Kepribadian yang religius ini berjalan seimbang dengan kuatnya Ratu Ageng dalam menjaga adat istiadat budaya Jawa Ratu Ageng kepribadiannya dikenal sangat bersahaja, taat beragama, dan hidup di tengah perkampungan yang jauh dari keraton dan jauh dari intrik-intrik politik di keraton. Kesederhanaan Tegalrejo mengajarkan Diponegoro sejak kanak-kanak, remaja hingga dewasa menjadi semakin dekat dengan petani, pedagang, bangsawan, santri dan ulama. Untuk itulah, ketika terjadi Perang Jawa (1825-1830), kharisma Sang Pangeran menjadi modal dasar untuk menggerakkan para petani, pedagang, bangsawan, santri dan ulama bersama-sama satu tekat melawan Kolonial Belanda. Ratu Ageng Tegalrejo wafat pada hari Senin, 17 Oktober 1803. Saat itu Diponegoro menginjak usia 18 tahun. Setelah Ratu Ageng wafat, Tegalrejo diwariskan kepada Diponegoro. * Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber Oleh .Karya Budaya Bangsa

 Sosok Ratu Ageng, Nenek Buyut P. Diponegoro, Pembentuk Karakter Dan Spiritual

Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat pribumi, namanya termasyhur sebagai pemimpin Perang Jawa, Perang besar yang mampu memporak-porandakan kekuatan fisik dan finansial Pasukan Belanda. beliau adalah putra Sultan Hamengkubuwono III. Namun, alih-alih menjadi penerus tahta kesultanan, Pangeran Diponegoro menempuh jalannya sendiri untuk melawan pengaruh Belanda di kalangan istana serta berbagai ketidak adilan yang menimpa masyarakat.


Pangeran Diponegoro lahir tepat menjelang fajar pada Jum’at Wage, 11 November 1785 di Keraton Yogyakarta. Diponegoro kecil tinggal di perumahan kaum perempuan keraton (keputren) hingga berusia 7 tahun. Ia kemudian pindah untuk tinggal bersama nenek buyutnya di Tegalrejo. Sang nenek inilah yang mengasuh Diponegoro sejak kecil hingga berusia 18 tahun.

Di sinilah pembentukan karakter Diponegoro mulai terbentuk, mulai dari keyakinan agama, pergaulan dengan kaum santri, serta pandangan-pandangan sosialnya banyak mendapat pengaruh dari asuhan neneknya.



Namun tahukah Anda siapa nenek buyut yang menumbuhkan pemikiran dan mengukuhkan ideologi spiritual Sang Pangeran?


Dialah Ratu Ageng, Istri dari pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang juga meletakakkan dasar-dasar falsafah Keraton Yogyakarta.

Ratu Ageng Tegalrejo mempunyai nama asli Niken Ayu Yuwati, lahir pada tahun 1732 di Sragen, Jawa Tengah. Ratu Ageng adalah putri Kiai Ageng Derpoyudo, seorang ulama dari Majangjati, Sragen, Silsilahnya juga bersambung dengan Kiai Ageng Datuk Sulaiman alias Kiai Sulaiman Bekel Jamus, putra Sultan Abdul Qahir dari Kesultanan Bima, Sumbawa. Sebuah kerajaan Islam yang pernah berjaya di Indonesia Timur.

Pertemuannya dengan Pangeran Mangkubumi (yang kelak bergelar HB I) terjadi di tengah perjuangannya pada Perang Suksesi Jawa ketiga.


Ratu Ageng adalah sosok perempuan yang Tangguh, beliau ikut bersama Pangeran Mangkubumi dalam Perang Giyanti (1746-1755) melawan Pakubuwono II yang bersekutu dengan VOC. Sesudah Keraton Yogyakarta berdiri, Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Pertama Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Ratu Ageng menjadi panglima Bregada Langen Kusuma, pasukan elite perempuan pengawal raja. pasukan kawal istimewa perempuan kerajaan yang merupakan satu-satunya barisan pasukan militer Keraton Yogya.

Pernikahannya dengan Hamengkubuwono I melahirkan Pangeran Sundoro (HB II) ayahanda dari Pangeran Surojo. Pangeran Surojo (HB III) merupakan ayah dari Pangeran Diponegoro.


Setelah Sultan Hamengkubuwono I wafat, kemudian Ratu Ageng meninggalkan hingar bingar keraton Yogyakarta karena terjadi konflik dengan anaknya, Hamengkubuwono II. Ratu Ageng menilai bahwa HB II dianggap telah menyepelekan ajaran Islam.

Setelah menyingkir ke Tegalrejo, kemudian membangun sebuah tempat yang sepi, sejuk, asri, dan lepas dari kemegahan, kemewahan dan hiruk pikuk Keraton Yogyakarta.

Di Tegalrejo, Ratu Ageng membuka lahan, menjadikan tegalan menjadi wilayah pertanian yang subur. Ratu Ageng juga membuka pesantren kecil untuk menyebarkan agama Islam bernafaskan Tarekat Syattariyah. Ia menjadi sosok pendidik dan spiritualis disegani masyarakat. Di Tegalrejo ini beliau lebih dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalrejo


Ratu Ageng adalah seorang perempuan yang agamis. Ia dikenal sebagai salah satu ulama perempuan di Jawa. Sebagai seorang ulama, kegemarannya ialah membaca kitab-kitab agama. Ia juga merupakan seorang penganut tarekat Syattariyah. Ratu Ageng juga sangat disiplin menegakkan kehidupan yang religius. Kepribadian yang religius ini berjalan seimbang dengan kuatnya Ratu Ageng dalam menjaga adat istiadat budaya Jawa


Ratu Ageng kepribadiannya dikenal sangat bersahaja, taat beragama, dan hidup di tengah perkampungan yang jauh dari keraton dan jauh dari intrik-intrik politik di keraton. Kesederhanaan Tegalrejo mengajarkan Diponegoro sejak kanak-kanak, remaja hingga dewasa menjadi semakin dekat dengan petani, pedagang, bangsawan, santri dan ulama.

Untuk itulah, ketika terjadi Perang Jawa (1825-1830), kharisma Sang Pangeran menjadi modal dasar untuk menggerakkan para petani, pedagang, bangsawan, santri dan ulama bersama-sama satu tekat melawan Kolonial Belanda.

Ratu Ageng Tegalrejo wafat pada hari Senin, 17 Oktober 1803. Saat itu Diponegoro menginjak usia 18 tahun. Setelah Ratu Ageng wafat, Tegalrejo diwariskan kepada Diponegoro.

* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber


Oleh .Karya Budaya Bangsa

No comments:

Post a Comment