25 March 2025

Pakubuwono II menyerahkan Surabaya Kepada VOC Sebagai Hadiah Sejarah kolonialisme Belanda di Surabaya tak bisa dilepaskan dari peran Pakubuwono II. Raja Mataram kesembilan itu menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa termasuk Surabaya ke VOC, karena membantunya dalam perebutan tahta dengan Amangkurat V. Pakubuwono II resmi menghadiahkan Surabaya dan pesisir utara Jawa pada November 1743. Sejak saat itu, perusahaan dagang asal Belanda tersebut berkuasa penuh di wilayah pesisir meliputi Surabaya, Madura Barat, Blambangan, Rembang dan Jepara. Dengan penyerahan itu, maka sejarah kolonialisme VOC Belanda resmi dimulai dan kokoh di Surabaya, salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini yakni Gedung Negara Grahadi. Kekuasaan ini makin kokoh pada 1763 ketika Surabaya ditetapkan sebagai pusat komando Oosthoek (ujung timur) yang dipimpin pejabat Gezaghebber (Letnan Gubernur). Kekuasaannya dari Semarang hingga Banyuwangi, wilayah pesisir termasuk Surabaya tersebut sengaja dijanjikan oleh Pakubuwono II. Janji itu ditunaikan setelah VOC mengalahkan dan merebut istana Kartasura yang diduduki Amangkurat V. konflik perebutan tahta antata Pakubuwono II dan Amangkurat V dipicu karena sebagian rakyat Jawa kecewa melihat Pakubuwono yang memutuskan bersahabat dengan VOC, usai peristiwa Geger Pecinan di Batavia. Peristiwa Geger Pecinan atau Tragedi Angke terjadi pada tahun 1740. Dalam peristiwa itu ribuan orang-orang Cina di Batavia yang akan memberontak dibantai oleh VOC. Mereka yang selamat dari pembantaian kemudian melarikan diri ke arah timur bergabung dengan Orang-orang Jawa yang dipimpin oleh Mas Garendi untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Pada mulanya, Pakubuwono II secara sembunyi-sembunyi turut membantu pemberontakan itu. Namun karena kalah dan dukungannya kepada kaum pemberontak diketahui VOC, Pakubuwono II kemudian menyerah dan memilih berpihak kepada VOC. Melihat sikap Pakubuwono II itu, rakyat Jawa kemudian kecewa. Kaum pemberontak yang kecewa kemudian mengangkat Raden Mas Garendi menjadi susuhanan (raja) Mataram baru dengan gelar Amangkurat V Pada awal 1742. Raden Mas Garendi merupakan cucu dari Amangkurat III dan anti-VOC. Masih di tahun yang sama, pemberontakan mencapai puncaknya dengan takluknya istana Kartasura. Hal itu kemudian mengakibatkan lengsernya tahta Pakubuwono II dan harus melarikan diri ke arah timur hingga Ponorogo. Merasa terancam dengan pemberontakan itu, Pakubuwono II kemudian meminta bantuan ke VOC untuk dapat merebut kembali tahtanya. Sebagai imbalannya, Pakubuwono menawarkan ke VOC hadiah wilayah pesisir utara Jawa. Tawaran itu diterima VOC. Dalam waktu singkat, VOC mampu memukul mundur Amangkurat V dan kaum pemberontak. Tak hanya itu, istana Kartasura juga dapat dikuasai kembali dan diserahkan ke Pakubuwono II. Pada November 1743, Amangkurat V dan pengikutnya menyerah kepada VOC. Penyerahan itu kemudian diikuti dengan pengembalian tahta Pakubuwono II. Atas keberhasilan VOC itu, Pakubuwono II kemudian menepati janjinya dengan menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC seperti Surabaya, Rembang, Jepara, Ujung Timur serta Madura dan sebagian dari pendapatan pelabuhan lainnya. Surabaya merupakan kota pelabuhan penting di Jawa Timur yang menjadi pusat perdagangan antara Jawa dan luar negeri. Dengan menguasai Surabaya, VOC dapat memperkuat posisinya di Asia Tenggara dan menghalau pesaingnya seperti Inggris. Dengan penyerahan Surabaya dan wilayah pesisir utara Jawa lainnya kepada VOC, sejarah kolonialisme Belanda di Jawa Timur resmi dimulai dan kokoh hingga abad ke-20. Salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini adalah Gedung Negara Grahadi, sebuah bangunan bergaya Eropa yang dibangun oleh VOC pada tahun 1795 sebagai kediaman resmi gubernur pesisir Jawa bagian timur. * Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber

 Pakubuwono II menyerahkan Surabaya Kepada VOC Sebagai Hadiah

Sejarah kolonialisme Belanda di Surabaya tak bisa dilepaskan dari peran Pakubuwono II. Raja Mataram kesembilan itu menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa termasuk Surabaya ke VOC, karena membantunya dalam perebutan tahta dengan Amangkurat V.

Pakubuwono II resmi menghadiahkan Surabaya dan pesisir utara Jawa pada November 1743. Sejak saat itu, perusahaan dagang asal Belanda tersebut berkuasa penuh di wilayah pesisir meliputi Surabaya, Madura Barat, Blambangan, Rembang dan Jepara.



Dengan penyerahan itu, maka sejarah kolonialisme VOC Belanda resmi dimulai dan kokoh di Surabaya, salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini yakni Gedung Negara Grahadi. Kekuasaan ini makin kokoh pada 1763 ketika Surabaya ditetapkan sebagai pusat komando Oosthoek (ujung timur) yang dipimpin pejabat Gezaghebber (Letnan Gubernur). Kekuasaannya dari Semarang hingga Banyuwangi, wilayah pesisir termasuk Surabaya tersebut sengaja dijanjikan oleh Pakubuwono II. Janji itu ditunaikan setelah VOC mengalahkan dan merebut istana Kartasura yang diduduki Amangkurat V.


konflik perebutan tahta antata Pakubuwono II dan Amangkurat V dipicu karena sebagian rakyat Jawa kecewa melihat Pakubuwono yang memutuskan bersahabat dengan VOC, usai peristiwa Geger Pecinan di Batavia.

Peristiwa Geger Pecinan atau Tragedi Angke terjadi pada tahun 1740. Dalam peristiwa itu ribuan orang-orang Cina di Batavia yang akan memberontak dibantai oleh VOC. Mereka yang selamat dari pembantaian kemudian melarikan diri ke arah timur bergabung dengan

Orang-orang Jawa yang dipimpin oleh Mas Garendi untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.

Pada mulanya, Pakubuwono II secara sembunyi-sembunyi turut membantu pemberontakan itu. Namun karena kalah dan dukungannya kepada kaum pemberontak diketahui VOC, Pakubuwono II kemudian menyerah dan memilih berpihak kepada VOC.


Melihat sikap Pakubuwono II itu, rakyat Jawa kemudian kecewa. Kaum pemberontak yang kecewa kemudian mengangkat Raden Mas Garendi menjadi susuhanan (raja) Mataram baru dengan gelar Amangkurat V Pada awal 1742. Raden Mas Garendi merupakan cucu dari Amangkurat III dan anti-VOC.

Masih di tahun yang sama, pemberontakan mencapai puncaknya dengan takluknya istana Kartasura. Hal itu kemudian mengakibatkan lengsernya tahta Pakubuwono II dan harus melarikan diri ke arah timur hingga Ponorogo.


Merasa terancam dengan pemberontakan itu, Pakubuwono II kemudian meminta bantuan ke VOC untuk dapat merebut kembali tahtanya. Sebagai imbalannya, Pakubuwono menawarkan ke VOC hadiah wilayah pesisir utara Jawa. Tawaran itu diterima VOC.


Dalam waktu singkat, VOC mampu memukul mundur Amangkurat V dan kaum pemberontak. Tak hanya itu, istana Kartasura juga dapat dikuasai kembali dan diserahkan ke Pakubuwono II.


Pada November 1743, Amangkurat V dan pengikutnya menyerah kepada VOC. Penyerahan itu kemudian diikuti dengan pengembalian tahta Pakubuwono II. Atas keberhasilan VOC itu, Pakubuwono II kemudian menepati janjinya dengan menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC seperti Surabaya, Rembang, Jepara, Ujung Timur serta Madura dan sebagian dari pendapatan pelabuhan lainnya.


Surabaya merupakan kota pelabuhan penting di Jawa Timur yang menjadi pusat perdagangan antara Jawa dan luar negeri. Dengan menguasai Surabaya, VOC dapat memperkuat posisinya di Asia Tenggara dan menghalau pesaingnya seperti Inggris.

Dengan penyerahan Surabaya dan wilayah pesisir utara Jawa lainnya kepada VOC, sejarah kolonialisme Belanda di Jawa Timur resmi dimulai dan kokoh hingga abad ke-20.

Salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini adalah Gedung Negara Grahadi, sebuah bangunan bergaya Eropa yang dibangun oleh VOC pada tahun 1795 sebagai kediaman resmi gubernur pesisir Jawa bagian timur.

* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber

No comments:

Post a Comment