RM Sura, Pewaris Mataram Yang Diasingkan Ke Afrika Selatan
Arya Mangkunegara lahir di Keraton Kartasura pada 1703, wafat di Kapstaden, Cape Town, Afrika Selatan pada 1796. ia adalah putra tertua Susuhunan Amangkurat IV dengan BRAy. Kusumanarsa. Arya Mangkunegara Memiliki nama kecil RM. Sura dan oleh kakeknya (Susuhunan Pakubuwana I) ia diberi nama Pangeran Riya. Selain itu semenjak kecil RM. Sura diasuh dan dirawat oleh pamannya, Pangeran Purbaya.
KPA. Mangkunegara memiliki 2 istri:
1). RAy. Sonowati (RAy. Ragasmara) putri dari Adipati Cakra Adiningrat III dari Madura
2). RAy. Wulan, putri dari Pangeran Balitar.
Dari kedua istrinya, KPA Mangkunagara ing Kartasura memiliki putra-putri :
* RM. Ngali / Pangeran Tirtakusuma
* RM. Umar, meninggal muda
* RM Said / Pangeran Sambernyawa (KGPAA. Mangkunegara I)
* RM Sakadi, seda timur
* Anak perempuan, meninggal muda
* RM. Ambiya / Pangeran Pamot
* RM. Sabar / Pangeran Arya Mangkudiningrat
* R. Ay. Puspakusuma
*Anak lelaki, meninggal muda
* R. Ay. Tirtayuda
* Pangeran Kap
* RAy. Mangkuyuda
* RM. Arya Tejakusuma
* RM. Arya Warihkusuma
* RM. Arya Ranukusuma
* R. Ay. Mangkuyuda
Ketika ayahnya (Susuhunan Amangkurat IV) naik tahta tahun 1719, kondisi Karaton Kartasura masih makmur aman dan damai seperti pada masa Susuhunan Pakubuwana I. Namun ketika Susuhunan mulai mengatur posisi dan kedudukan para pangeran, kondisi karaton menjadi bergejolak. Termasuk adik-adik raja seperti Pangeran Purbaya dan Pangeran Balitar juga menerima nasib diturunkan kedudukannya bahkan ditarik pasukannya.
Sehingga mereka hanya menjadi Pangeran Sentana. Kemudian mereka termasuk RM. Sura ikut serta menyingkir ke arah Bale Kajenar yang merupakan tempat tinggal Sultan Agung di Karta pada jaman dahulu.
Efek dari perubahan aturan tersebut membuat banyak pangeran yang memberontak hingga terjadi musim paceklik yang makin melengkapi penderitaan di Karaton Kartasura. Pemberontakan para pangeran ini membuat Susuhunan Amangkurat IV marah dan dengan dibantu VOC berusaha memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh adik-adiknya sendiri. Karena makin terdesak oleh pasukan VOC, akhirnya Pangeran Balitar dan Pangeran Purbaya pindah ke Malang, begitupun RM. Sura turut serta mengikuti kemanapun pamannya pergi. Namun tidak berselang lama Pangeran Balitar wafat karena sakit lalu dimakamkan di tempat yang kini bernama Astana Nitikan, Yogyakarta.
Sementara Pangeran Purbaya yang masih berada di Malang bersama putra angkatnya, RM. Sura, bersatu dengan Pangeran Dipanagara Kartasura yang kini bergelar Panembahan Herucakra untuk terus melakukan perlawanan. Karena sulit menaklukkan, maka pihak VOC melakukan operasi tipu daya dengan mengundang Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra di Pasuruan dengan dalih akan dibantu dan diangkat menjadi raja. Setelah bertemu, lalu Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra diajak ke Semarang lewat Pelabuhan Surabaya. Namun ketika sampai di Semarang, RM. Sura atau Pangeran Riya diminta turun bahkan dijemput secara hormat oleh utusan Susuhunan Amangkurat IV untuk pulang ke Karaton Kartasura.
Sementara, Pangeran Purbaya belum menyadari bahwa itu hanya tipu daya VOC akhirnya di penjara di Benteng Alang-Alang, Batavia kemudian diasingkan di Afrika Selatan dan Panembahan Herucakra sendiri diasingkan ke Srilangka.
Sementara RM. Sura alias Pangeran Riya yang telah sampai di Karaton Kartasura kemudian diangkat sebagai Pangeran Pati atau putra mahkota dari Karaton Mataram dengan menyandang gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram".
Arya Mangkunegara semula adalah calon penerus Amangkurat IV. Bahkan, dalam situasi menjelang wafat, Amangkurat IV secara jelas mengamanatkan kepada Patih Danureja dan permaisurinya bahwa Pangeran Arya Mangkunegara adalah penerus tahta yang sah. Amanat ini bahkan diperkuat dengan pemberian keris pusaka sebagai simbol legitimasi.
Berawal ketika Susuhunan Amangkurat IV mulai mengalami sakit dan dalam kondisi kebingungan dalam penunjukan raja selanjutnya, beliau memerintahkan kepada Pepatih dalem Karaton Kartasura, Patih Danureja untuk menuliskan surat pada VOC di Batavia yang berisikan pesan : "Bilamana Sinuhun wafat, yang diijinkan menggantikan kedudukannya adalah KPA. Mangkunegara. Namun bilamana tidak dapat terlaksana, bisa digantikan oleh Pangeran Prabasuyasa. Namun jika masih tidak terlaksana, bisa dipilih salah satu dari keempat putra Ratu Kadipaten."
Kondisi Susuhunan yang semakin sakit parah dan surat balasan dari VOC juga tidak kunjung datang. Akhirnya Susuhunan Amangkurat IV berpesan kepada Patih Danureja bahwa yang diberikan ijin untuk menggantikan tahtanya adalah seperti yang ditulis dalam surat tempo hari.
Lalu Susuhunan Amangkurat IV melalui permaisurinya memberikan keris pusaka untuk diserahkan kepada KPA. Mangkunegara sebagai tanda bahwa dialah penggantinya. Namun karena situasi politik, Danurejo yang bersekutu dengan VOC, kemudian yang menjadi penerus ternyata malah GRM. Prabasuyasa yang menjadi raja Mataram bergelar Susuhunan Pakubuwana II.
Walaupun KPA. Mangkunegara tidak menjadi raja karena tergeser adiknya, beliau tetap selalu mendukung pemerintahan adiknya itu dengan kebesaran hatinya. Namun upaya-upaya untuk menyingkirkan KPA. Mangkunegara terus berlangsung. Hingga puncaknya terjadi suatu kesalahfahaman antara Susuhunan Pakubuwana II dan KPA. Mangkunegara.
Hubungan kakak adik lain ibu tersebut makin memanas karena dibumbui fitnah dari Patih Danureja yang memandang sikap KPA. Mangkunegara itu terlalu memusuhi VOC.
Hal inilah yang mengakibatkan KPA. Mangkunegara diasingkan ke Ceylon, Srilangka di tahun 1728 kemudian dipindahkan ke Cape Town, Afrika Selatan hingga wafat disana. Selama pengasingan tersebut beliau didampingi istrinya, RAy. Wulan. Keputusan ini menjadi klimaks dari sebuah ironi, seorang putra mahkota sah, terbuang oleh permainan politik internal dan kepentingan kolonial.
Setelah wafat dalam pengasingan, jenazah beliau diperkenankan kondur atau dibawa kembali ke Matatam untuk dimakamkan dan dikumpulkan bersama para kerabat di kompleks Pakubuwanan, Pajimatan Imogiri.
Kondisi itulah yang membuat sang putra Arya Mangkunegara, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, sangat berhasrat merebut hak yang seharusnya dimiliki ayahnya. ia menginginkan takhta Mataram Islam. Pangeran Sambernyawa pun memberontak hingga 16 tahun lamanya.
Setelah mendirikan Praja Mangkunegaran, Pangeran Sambernyawa bergelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I".
Namanya diambil dari nama kebesaran ayahnya, yaitu Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura
* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber
Lihat juga kisah ini di postingan saya: facebook.com/100001856336410/posts/28847197711592056/
No comments:
Post a Comment