Sunan Kuning: Raja yang Terlupakan, Pemberontakan yang Dikenang
Di antara riwayat yang terpatri di pelipis waktu, nama Sunan Kuning bergema dalam bisik angin yang melintasi sisa-sisa kerajaan tua. Seorang anak yang tumbuh dalam gelombang pergolakan, seorang pemuda yang ditempa oleh luka sejarah, dan seorang raja yang melawan takdirnya sendiri.
RM Garendi, cucu Amangkurat III, adalah nyala api di tengah gelapnya pengkhianatan dan penindasan. Ia lahir dari keturunan bangsawan Jawa, namun darah perjuangan yang mengalir dalam tubuhnya berbaur dengan semangat rakyat yang terpinggirkan. Namanya berasal dari Cun Ling, yang berarti "bangsawan tertinggi" dalam bahasa Tionghoa, kemudian perlahan bertransformasi menjadi Sunan Kuning dalam lidah rakyat yang mengaguminya.
Dibesarkan dalam Bara Perlawanan
Sejarah bukan hanya ditulis oleh pemenang, tetapi juga oleh mereka yang berani melawan. Sunan Kuning bukanlah penguasa yang mewarisi takhta dengan penuh gemerlap dan penghormatan. Ia adalah anak yang diambil dari reruntuhan kekuasaan, dibawa ke Semarang oleh Wiramenggala, lalu diasuh oleh He Ti, seorang pemimpin masyarakat Tionghoa yang melihat percik api dalam dirinya.
Dari seorang anak buangan, ia dibentuk menjadi pejuang yang memahami bahwa tanah air lebih luas dari sekadar istana, dan rakyat lebih penting dari mahkota.
Saat geger Pacinan 1740-1743 pecah—saat darah bercampur dengan tanah, saat air mata dan kemarahan menjadi satu—Sunan Kuning berdiri di garis depan. Ia bukan hanya memimpin, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi orang-orang yang merasa dikhianati oleh Sunan Pakubuwana II, raja yang lebih memilih tunduk pada VOC daripada membela negerinya sendiri.
Bersama Khe Panjang dan Raden Mas Said (Sambernyawa), Sunan Kuning mengobarkan perang di tanah Mataram. Sebuah persekutuan yang begitu berani, hingga VOC pun gemetar menghadapi gelombang perlawanan yang tak terduga.
Merebut Tahta yang Hilang
Juni 1742. Kartasura, jantung kekuasaan Mataram, bergetar di bawah derap langkah pasukan Sunan Kuning. Khe Panjang, kapitan perang yang gagah berani, memimpin serangan melalui gerbang Sitihinggil, sementara di dalam istana, Pakubuwana II dan keluarganya melarikan diri dengan wajah pucat.
Dalam sekejap, sejarah berubah. Seorang anak buangan kini duduk di singgasana Kartasura.
Ia memerintah sebagai Sunan Amangkurat V, namun tahtanya lebih seperti api unggun di tengah badai—hangat, tetapi rapuh. Ia tahu, kemenangan yang baru diraihnya akan segera diuji oleh gelombang balasan dari VOC dan para penguasa yang masih setia kepada Pakubuwana II.
Dan badai itu pun datang.
Pasukannya yang terdiri dari orang-orang Jawa dan Tionghoa berusaha menahan gempuran di berbagai titik—di Welahan, di Salatiga, di Boyolali. Tetapi, VOC terlalu kuat, terlalu licik, dan terlalu tak kenal ampun. Satu per satu para pejuang gugur. Tan We Kie tewas di Pulau Mandalika. Singseh ditangkap di Lasem, lalu dieksekusi di sana.
Pada bulan November 1742, Kartasura jatuh. Sunan Kuning tak lagi punya istana, tetapi hatinya tetap berisi perlawanan. Ia mundur ke selatan, ke hutan, ke lembah, ke tempat-tempat di mana kebebasan masih bisa bersembunyi.
Takdir di Ujung Senja
Namun waktu tak pernah memihak mereka yang terusir.
September 1743, di Surabaya bagian selatan, perjalanan Sunan Kuning mencapai ujungnya. Terpisah dari Kapitan Sepanjang, ia dan para pengikutnya menyerahkan diri kepada VOC di bawah pimpinan Reinier De Klerk.
Hari itu, langit mendung seakan ikut menangis.
Dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia, ia akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka)—sebuah tempat yang jauh dari tanah yang diperjuangkannya, dari rakyat yang pernah meneriakkan namanya, dari istana yang pernah ia rebut dengan darah dan air mata.
Tetapi, legenda tak pernah benar-benar mati.
Beberapa mengatakan bahwa ia wafat di tanah asing, tetapi ada pula yang percaya bahwa jasadnya terbaring tenang di atas bukit di Semarang, di tempat di mana angin masih membawa bisikan perjuangannya.
Jejak yang Tak Terhapus Waktu
Sunan Kuning bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah cermin dari perlawanan yang terus menyala, dari hati yang tak mudah tunduk pada tirani.
Ia adalah anak yang terlupakan, raja yang terbuang, dan pahlawan yang tetap hidup dalam ingatan orang-orang yang mengerti arti kebebasan.
Karena sejatinya, seorang pemimpin tak diukur dari seberapa lama ia berkuasa, tetapi dari seberapa banyak ia berani menantang kezaliman.
Dan Sunan Kuning telah melakukannya—dengan segala yang ia punya.
---
Sumber Sejarah
Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Palgrave Macmillan.
De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. Th. (1974). Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries.
Lombard, D. (2000). Nusa Jawa: Silang Budaya. PT Gramedia.
Wikipedia: Sunan Kuning & Geger Pacinan.
#JejakNusantara #jangkauanluas #sejarahindonesia #budaya #kesenianindonesia #history #urbanlegends #kerajaan #majapahit #kerajaanmajapahit #nusantara #WisataSejarah #sejarah #sejarahnusantara #SejarahCilacap #MikSemarSeniBudaya
No comments:
Post a Comment