07 May 2024

Perang Bubat dan Akhir Karier Mahapatih Gajah Mada di Majapahit Dari banyak literasi yang ada, setelah perang bubat hubungan gajah mada dan raja hayam wuruk merenggang. Disebutkan juga setelah perang bubat Gajah Mada meninggalkan Majapahit sampai akhir hidupnya. Kegemilangan Gajah Mada pun meredup ketika terjadinya Perang Bubat pada 1357. Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada 1279 Saka atau 1357 Masehi pada abad ke-14, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Perang itu terjadi akibat perselisihan antara Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, akibat tidak seimbangnya antara pasukan Majapahit dengan pasukan Kerajaan Sunda yang mengakibatkan hampir seluruh rombongan Sunda tewas, termasuk Raja Sunda dan Putri Dyah Pitaloka. Peristiwa Perang Bubat tersebut diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon, ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya sebuah lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu. Niat dari pernikahan itu adalah untuk mempererat sebuah tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) merupakan keturunan dari Dyah Lembu Tal dan Rakeyan Jayadarma (raja Kerajaan Sunda). Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang mempunyai niat untuk memperistri perempuan tersebut dengan didorong oleh alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Mayang Sari. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini dikarenakan menurut adat yang berlaku di Nusantara saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu, ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, di antaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka, dengan diiringi prajurit menggunakan 200 kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal datang ke Kerajaan Majapahit, sebagaimana diceritakan dalam Kidung Sunda. Namun, menurut tafsir kisah Panji Angreni oleh sejarawan Agus Aris Munandar (arkeolog Universitas Indonesia), Gajah Mada diperintahkan oleh Krtawarddhana (ayah Hayam Wuruk) untuk membatalkan pernikahan tersebut karena telah menjodohkannya dengan Indudewi, anak dari Rajadewi Maharajasa yang bekedudukan di Daha (Kediri). Agus mengatakan jika Gajah Mada hanya perpanjangan tangan dari orang tua Hayam Wuruk, yang khawatir kedudukan permaisuri Majapahit jatuh ke tangan Dyah Pitaloka. Gajah Mada lantas menyarankan Hayam Wuruk untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan. Hal inilah yang membuat Kerajaan Sunda merasa dipermalukan, hingga akhirnya memilih berperang melawan Majapahit demi menjaga kehormatan. PERANG BUBAT VERSI LAIN Versi umum yang beredar di masyarakat menurut Kidung Sundayana, perang ini terjadi akibat ambisi Sumpah Palapa dari Gajah Mada. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan keputusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Akhirnya, terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan balamati (pengawal kerajaan) yang berjumlah kecil, serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan Kidung Sunda bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari berbagai pihak pejabat dan bangsawan Majapahit. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa tindakan Gajah Mada sangatlah ceroboh dan gegabah. Dia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini menandai turunnya karier Gajah Mada, karena Hayam Wuruk kemudian menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meski tindakan ini tampak sebagai penganugerahan, hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun. Tanah Madakaripura letaknya jauh dari ibu kota Majapahit. Gajah Mada pun mangkat pada 1364 dan setelah itu meninggal karena sakit. Dengan meninggalnya Gajah Mada, kebesaran Majapahit pun kian surut. Peristiwa tersebut juga menimbulkan beberapa reaksi yang mencerminkan sebuah kekecewaan masyarakat Sunda, yaitu diberlakukannya peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa. Beberapa reaksi kekecewaan masyarakat Sunda lainnya adalah tidak adanya jalan yang menggunakan nama Gajah Mada atau Majapahit di Kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sebagai pusat budaya masyarakat Sunda. Pada 6 Maret 2018, ‎‎Soekarwo (Gubernur Jawa Timur), Ahmad Heryawan‎‎ (Gubernur Jawa Barat), dan Sri Sultan ‎‎Hamengkubuwana X (Gubernur Yogyakarta) menggelar Rekonsiliasi Budaya Kerukunan Budaya Sunda–Jawa di Hotel Bumi Surabaya. Mereka sepakat untuk mengakhiri masalah pasca-Bubat dengan mengganti nama jalan arteri di Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, merupakan bentuk penghormatan terhadap Gajah Mada sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, nama Gajah Mada juga digunakan sebagai nama universitas terbaik di Yogyakarta, yaitu Universitas Gadjah.

 Perang Bubat dan Akhir Karier Mahapatih Gajah Mada di Majapahit


Dari banyak literasi yang ada, setelah perang bubat hubungan gajah mada dan raja hayam wuruk merenggang. Disebutkan juga setelah perang bubat Gajah Mada meninggalkan Majapahit sampai akhir hidupnya. 


Kegemilangan Gajah Mada pun meredup ketika terjadinya Perang Bubat pada 1357. Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada 1279 Saka atau 1357 Masehi pada abad ke-14, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.



Perang itu terjadi akibat perselisihan antara Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, akibat tidak seimbangnya antara pasukan Majapahit dengan pasukan Kerajaan Sunda yang mengakibatkan hampir seluruh rombongan Sunda tewas, termasuk Raja Sunda dan Putri Dyah Pitaloka.


Peristiwa Perang Bubat tersebut diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon, ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya sebuah lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu.

Niat dari pernikahan itu adalah untuk mempererat sebuah tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) merupakan keturunan dari Dyah Lembu Tal dan Rakeyan Jayadarma (raja Kerajaan Sunda).


Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang mempunyai niat untuk memperistri perempuan tersebut dengan didorong oleh alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Mayang Sari.

Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini dikarenakan menurut adat yang berlaku di Nusantara saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu, ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, di antaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.


Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.


Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka, dengan diiringi prajurit menggunakan 200 kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal datang ke Kerajaan Majapahit, sebagaimana diceritakan dalam Kidung Sunda.

Namun, menurut tafsir kisah Panji Angreni oleh sejarawan Agus Aris Munandar (arkeolog Universitas Indonesia), Gajah Mada diperintahkan oleh Krtawarddhana (ayah Hayam Wuruk) untuk membatalkan pernikahan tersebut karena telah menjodohkannya dengan Indudewi, anak dari Rajadewi Maharajasa yang bekedudukan di Daha (Kediri).

Agus mengatakan jika Gajah Mada hanya perpanjangan tangan dari orang tua Hayam Wuruk, yang khawatir kedudukan permaisuri Majapahit jatuh ke tangan Dyah Pitaloka. Gajah Mada lantas menyarankan Hayam Wuruk untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan. Hal inilah yang membuat Kerajaan Sunda merasa dipermalukan, hingga akhirnya memilih berperang melawan Majapahit demi menjaga kehormatan.


PERANG BUBAT VERSI LAIN


Versi umum yang beredar di masyarakat menurut Kidung Sundayana, perang ini terjadi akibat ambisi Sumpah Palapa dari Gajah Mada. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.


Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan keputusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit.

Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Akhirnya, terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan balamati (pengawal kerajaan) yang berjumlah kecil, serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu.


Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan Kidung Sunda bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari berbagai pihak pejabat dan bangsawan Majapahit. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa tindakan Gajah Mada sangatlah ceroboh dan gegabah.


Dia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini menandai turunnya karier Gajah Mada, karena Hayam Wuruk kemudian menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo).

Meski tindakan ini tampak sebagai penganugerahan, hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun. Tanah Madakaripura letaknya jauh dari ibu kota Majapahit.

Gajah Mada pun mangkat pada 1364 dan setelah itu meninggal karena sakit. Dengan meninggalnya Gajah Mada, kebesaran Majapahit pun kian surut.


Peristiwa tersebut juga menimbulkan beberapa reaksi yang mencerminkan sebuah kekecewaan masyarakat Sunda, yaitu diberlakukannya peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Beberapa reaksi kekecewaan masyarakat Sunda lainnya adalah tidak adanya jalan yang menggunakan nama Gajah Mada atau Majapahit di Kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sebagai pusat budaya masyarakat Sunda.


Pada 6 Maret 2018, ‎‎Soekarwo (Gubernur Jawa Timur), Ahmad Heryawan‎‎ (Gubernur Jawa Barat), dan Sri Sultan ‎‎Hamengkubuwana X (Gubernur Yogyakarta) menggelar Rekonsiliasi Budaya Kerukunan Budaya Sunda–Jawa di Hotel Bumi Surabaya.


Mereka sepakat untuk mengakhiri masalah pasca-Bubat dengan mengganti nama jalan arteri di Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, merupakan bentuk penghormatan terhadap Gajah Mada sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia.

Tidak hanya itu, nama Gajah Mada juga digunakan sebagai nama universitas terbaik di Yogyakarta, yaitu Universitas Gadjah.

No comments:

Post a Comment