15 November 2025

Sejarah Jalan Raya Purworejo Ruas jalan raya Purworejo -Salaman kembali memakan korban, dalam setahun telah terjadi dua kali kecelakaan maut di wilayah tersebut. Kecelakaan lalu lintas tragis terjadi di Desa Kalijambe, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada Selasa (11/11/2025) pagi. Kecelakaan serupa perah terjadi pada Rabu 7 Mei 2025 dengan 11 korban MD dan 6 orang luka luka, seminggu Selasa 13 mei 2025 , ada kecelakan tunggal di tempat yang sama satu unit truk pengangkut semen terguling. Ruas jalan tersebut telah menjadi jalur tengkorak yang terkenal dengan kecelakaan mautnya sejak jaman dahulu. Jalan ini menjadi jalan yang menjadi tanggung jawab dari Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. Menjadi salah satu jalur sibuk yang menghubungkan arus barang dan jasa di wilayah Jawa Tengah. Lalu bagaimana sejarah pembangunan jalan raya tersebut ? Sistem tanam paksa yang dikenalkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tahun 1830 menjadikan kebutuhan jalan untuk mengangkut hasil bumi meningkat. Residen Bagelen Schmid sejak tahun 1842 telah mengusulkan pembangunan jalan Salaman Purworejo, untuk mengangkut hasil tanam paksa ke pelabuhan Semarang. Rencana itu kemudian dimatangkan dan Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) sebagai rencana kerja pada tahun 1845. Pemerintah menerima usul tersebut dan dilaksanakan antara tahuun 1848-1850 . Pembangunan jalan tersebut dimaksudkan untuk menggantikan ruas jalan yang melintasi Pegunungan Menoreh yang melintasi Tumbak Anyar Banyuasin Cacaban Puncak Menoreh Menoreh Salaman yang cukup curam di tanjakan di Dengkeng Cacaban Purworejo. Dalam pembangunan jalan tersebut disesuaikan dengan kepentingan petani yaitu waktu ketika petani tidak sibuk bekerja di sawah. Pemerintah tidak memberikan imbalan makan dan upah , karena menganggap pekerjaan itu bagian dari kerja wajib yang sudah menjadi tradisi dijalankan oleh masyarkat. Dalam pembangunan tersebut terdapat perbedaan pandangan mengenai tenaga kerja, Reside Kedu Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) menganggap pembangunan jalan akan menambah beban bagi rakyat Kedu karena sudah banyak proyek yang harus dikerjakan sedangkan Residen Purworejo menganggap pembangunan tersebut penting untuk mobilitas komoditas dan kepentingan rakyat kedua daerah. Karena tidak disediakan uang makan untuk para pekerja, maka Residen Kedu minta kompromi untuk dilaksanakan slametan setiap memulai dan mengakhiri pekerjaan. Oleh pemerintah government kemudian dipilih dengan sistem kerja wajib. Kerja wajib secara tradisional sudah dilaksanakan sebagai bentuk pengabdian dari kawula pada gustinya yaitu susuhunan. Kerja wajib kemudian diadopsi oleh kolonial Belanda meliputi berbagai bentuk seperti Heerendiensten (kerja paksa untuk pemerintah kolonial) untuk proyek infrastruktur, Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) di bidang pertanian, dan kerja di perkebunan. Kerja wajib tersebut tidak terkait dengan hukuman, tetapi ditetapkan dalam batas-batas waktu tertentu untuk bekerja demi kepentingan para penguasa. Mulai tahun 1830-1831 bupati bupati di Jawa diberi hak berkuasa turun temurun, diberi ha katas tanah dan orang untuk melayaninya, tanda tanda kebesaran keprajuritan dan antribut kebesaran sebagai seorang ningrat Jawa. Termasuk didalamnya adalah untuk meminta dengan sukarela kepada rakyat tenaga kerja. Bagi pemerintah colonial bupati bupati adalah pemiliki rakyat atau cacahnya tersebut. Pembangunan jalan tersebut memakan waktu 3 tahun , setiap petani mendapat jatah bekerja selama 14 hari kerja. Dalam sehari dikerahkan 200 orang , selama 5 jam kerja seperti perbaikan rutin. Sekitar 8000 petani di Distrik Menoreh terlibat , sedangkan dari Distrik Loano Purworejo belum ada data yang dilampirkan. Pekerjaan tersebut tergolong berat karena untuk membangun jalan selebar 6 meter dan 6 meter untuk bahu jalan yang ditanami pohon asam dan kenari, karena harus menimbun sawah, menebang pohon, memberi fondasi batu dan kerikil. Mengangkut batuan kerikil dari sungai sungai sekitar seperti Kali Bogowonto, Kedung Agung , dan Kali Tangsi untu memperkuat pondasi. Pembuatan tanggalu penahan dilereng bukit dan jurang. Medan pembuatan jalan berada di perbukitan yang tanjakan dan turunan curam. Selama 3 tahun pekerjaan biaya pembuatan jalan tersebut memakan f. 28.259,30 seperti yang laporkan oleh Bupati Magelang RAA Danuningrat II kepada Residen Kedua De Bousquet tanggal 17 Pebruari 1845 dan pertimbangan dari direktur pertanian tanggal 13 Juni 1845. Dengan demikian maka pembangunan jalan raya Purworejo Salaman tersebut di laksanakan pada masa pemerintahan RAA Danoeningrat II ( 1826-1862) pada masa Karesidenan Kedu di jabat oleh Residen R. de F. Bouquet ( 1843-1845), Frederik Hendrik Doornik( 1845-1846) Dirk Carel August van Hogendorp (1846-1850). Sedangkan di wilayah Purworejo pada masa jabatan Bupati RAA Tjokronagara I ( 1831-1856) Residen Bagelen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt ( 1842-1849). Dengan melibatkan rakyat di Distrik Menoreh Regentschap Magelang dan Distrik Loano regentschap Purworejo. Untuk mengenang pembangunan jalan yang menghubungkan kedua wilayah tersebut kemudian di bangun Tugu peringatan di Dusun Krajan Desa Bener Kec Bener Kab Purworejo pada tahun 1862. Sedangkan di Magelang diabadikan dengan nama Desa Margoyoso Salaman Magelang dengan Kepala Desa pertama Truno Sentiko. Margoyoso memiliki arti margo berarti jalan sedangkan yoso membuat atau membangun. Sumber tulisan : 1. AM Djulianto Suroyo, Eksploitasi Kolonisal XIX Kerja wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta Th 2000. 2. Robert van Niel Sistem Tanam Paksa di Jawa, LP3ES Jakarta 2003 3. Wikipedia Karesidenan Kedoe , Karesidenan Bagelen 4. Website Desa Margoyoso Salaman 5. Berbagai sumber berita 6. Foto foto dari berbagai sumber dan koleksi di media sosial.

 Sejarah Jalan Raya Purworejo



 Ruas jalan raya Purworejo -Salaman kembali memakan korban, dalam setahun telah terjadi dua kali kecelakaan maut di wilayah tersebut. Kecelakaan lalu lintas tragis terjadi di Desa Kalijambe, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada Selasa (11/11/2025) pagi. Kecelakaan serupa perah terjadi pada Rabu 7 Mei 2025 dengan 11 korban MD dan 6 orang luka luka, seminggu Selasa 13 mei 2025 , ada kecelakan tunggal di tempat yang sama  satu unit truk pengangkut semen terguling. Ruas jalan tersebut telah menjadi jalur tengkorak yang terkenal dengan kecelakaan mautnya sejak jaman dahulu. 

 Jalan ini menjadi jalan yang menjadi tanggung jawab dari Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. Menjadi salah satu jalur sibuk yang menghubungkan arus barang dan jasa di wilayah Jawa Tengah.  Lalu bagaimana sejarah pembangunan jalan raya tersebut ?

 Sistem tanam paksa yang dikenalkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tahun 1830 menjadikan kebutuhan jalan untuk mengangkut hasil bumi meningkat. Residen Bagelen Schmid sejak tahun 1842 telah mengusulkan pembangunan jalan Salaman Purworejo, untuk mengangkut hasil tanam paksa ke pelabuhan Semarang. Rencana itu kemudian dimatangkan  dan Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) sebagai rencana kerja pada tahun 1845. Pemerintah menerima usul tersebut dan dilaksanakan antara tahuun 1848-1850 .

 Pembangunan jalan tersebut dimaksudkan untuk menggantikan ruas jalan yang melintasi Pegunungan Menoreh  yang melintasi  Tumbak Anyar Banyuasin  Cacaban  Puncak Menoreh  Menoreh Salaman yang cukup curam di tanjakan di Dengkeng Cacaban Purworejo. Dalam pembangunan jalan tersebut disesuaikan dengan kepentingan petani yaitu waktu ketika petani tidak sibuk bekerja di sawah. Pemerintah tidak memberikan imbalan makan dan upah , karena menganggap pekerjaan itu bagian dari kerja wajib yang sudah menjadi tradisi dijalankan oleh masyarkat. 

 Dalam pembangunan tersebut terdapat perbedaan pandangan mengenai tenaga kerja, Reside Kedu Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) menganggap pembangunan jalan akan menambah beban bagi rakyat Kedu karena sudah banyak proyek yang harus dikerjakan sedangkan Residen Purworejo menganggap pembangunan tersebut penting untuk mobilitas komoditas dan kepentingan rakyat kedua daerah. Karena tidak disediakan uang makan untuk para pekerja, maka Residen Kedu minta kompromi untuk dilaksanakan slametan setiap memulai dan mengakhiri pekerjaan. 

 Oleh pemerintah government kemudian dipilih dengan sistem kerja wajib. Kerja wajib secara tradisional sudah dilaksanakan sebagai bentuk pengabdian dari kawula pada gustinya yaitu susuhunan. Kerja wajib kemudian diadopsi oleh  kolonial Belanda meliputi berbagai bentuk seperti Heerendiensten (kerja paksa untuk pemerintah kolonial) untuk proyek infrastruktur,  Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) di bidang pertanian, dan kerja di perkebunan. Kerja wajib tersebut tidak terkait dengan hukuman, tetapi ditetapkan dalam batas-batas waktu tertentu untuk bekerja demi kepentingan para penguasa. 

 Mulai tahun 1830-1831 bupati bupati di Jawa diberi hak berkuasa turun temurun, diberi ha katas tanah dan orang untuk melayaninya, tanda tanda kebesaran keprajuritan dan antribut kebesaran sebagai seorang ningrat Jawa. Termasuk didalamnya adalah untuk meminta dengan sukarela kepada rakyat tenaga kerja. Bagi pemerintah colonial bupati bupati adalah pemiliki rakyat atau cacahnya tersebut. 

 Pembangunan jalan tersebut memakan waktu 3 tahun , setiap petani mendapat jatah bekerja selama 14 hari kerja. Dalam sehari dikerahkan 200 orang , selama 5 jam kerja seperti perbaikan rutin. Sekitar 8000 petani di Distrik Menoreh terlibat , sedangkan dari Distrik  Loano Purworejo belum ada data yang dilampirkan. 

 Pekerjaan tersebut tergolong berat karena untuk membangun jalan selebar 6 meter dan 6 meter untuk bahu jalan yang ditanami pohon asam dan kenari, karena harus menimbun sawah, menebang pohon, memberi fondasi batu dan kerikil. Mengangkut batuan kerikil  dari sungai sungai sekitar seperti Kali Bogowonto, Kedung Agung , dan Kali Tangsi untu memperkuat pondasi. Pembuatan tanggalu penahan dilereng bukit dan jurang. Medan pembuatan jalan berada di perbukitan yang tanjakan dan turunan curam. 

 Selama 3 tahun pekerjaan  biaya pembuatan jalan tersebut memakan f. 28.259,30 seperti yang laporkan oleh Bupati Magelang RAA Danuningrat II kepada Residen Kedua De Bousquet tanggal 17 Pebruari 1845 dan pertimbangan dari direktur pertanian tanggal 13 Juni 1845.  Dengan demikian maka pembangunan jalan raya Purworejo Salaman  tersebut di laksanakan pada masa pemerintahan RAA Danoeningrat II ( 1826-1862) pada masa Karesidenan Kedu di jabat oleh Residen  R. de F. Bouquet ( 1843-1845), Frederik Hendrik Doornik( 1845-1846) Dirk Carel August van Hogendorp (1846-1850). Sedangkan di wilayah Purworejo pada masa jabatan Bupati  RAA Tjokronagara I ( 1831-1856)  Residen Bagelen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt ( 1842-1849). Dengan melibatkan rakyat di Distrik Menoreh Regentschap Magelang dan Distrik Loano regentschap Purworejo. 

 Untuk mengenang pembangunan jalan yang menghubungkan kedua wilayah tersebut kemudian di bangun Tugu peringatan di Dusun Krajan Desa Bener Kec Bener Kab Purworejo pada tahun 1862. Sedangkan di Magelang diabadikan dengan nama Desa Margoyoso  Salaman Magelang dengan Kepala Desa pertama Truno Sentiko. Margoyoso memiliki arti margo berarti jalan sedangkan yoso membuat atau membangun. 

Sumber tulisan :

1. AM Djulianto Suroyo, Eksploitasi Kolonisal XIX  Kerja wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta Th 2000.

2. Robert van Niel Sistem Tanam Paksa di Jawa,  LP3ES   Jakarta  2003

3. Wikipedia Karesidenan Kedoe , Karesidenan Bagelen

4. Website Desa Margoyoso Salaman 

5. Berbagai sumber berita 

6. Foto foto dari berbagai sumber dan koleksi di media sosial.

No comments:

Post a Comment