“Malam yang Membelah Hidup Kopral Hargijono si penembak Ade Irma Suryani Nasution"
Pada malam yang lengang di Teuku Umar, 30 September 1965, seorang prajurit muda bernama Kopral Dua Hargijono berdiri di antara hiruk-pikuk pasukan Tjakrabirawa yang bergerak cepat...
Tak ada yang istimewa sejatinya pada prajurit ini, ia bukan perwira tinggi, bukan pula tokoh yang akrab dengan para jenderal. Ia hanyalah satu dari ratusan anggota pasukan pengawal presiden yang bertugas menurut perintah.
Namun malam itu, sebuah keputusan sepersekian detik akan mengubah hidupnya untuk selamanya, bahkan ikut mengubah sejarah Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, dalam wawancara media, seorang bekas anggota Cakrabirawa menggambarkan suasana malam itu sebagai “malam penuh teka-teki”. Ia mengatakan bahwa banyak prajurit hanya diberitahu bahwa mereka akan “menjemput orang-orang yang mengkhianati Presiden”. Tidak ada penjelasan detail. Tidak ada briefing politik. Hargijono berada dalam kelompok yang mendapat perintah menuju rumah Jenderal A.H. Nasution.
Menurut rekonstruksi Historia dan laporan Liputan6, Hargijono saat itu memegang Sten gun, senjata otomatis yang ringan namun sensitif terhadap tremor tangan dan tekanan picu. Ia ditempatkan sebagai anggota depan dalam regu kecil yang memasuki halaman rumah.
Ketika pasukan menabrak pintu rumah Nasution, pintu kamar terlihat sempat terbuka lalu tertutup kembali. Di titik inilah ketegangan dimulai, kata salah satu saksi yang diwawancarai Historia “Cepat! Buka pintunya!”
Perintah itu terdengar ditekan, keras, dan tanpa ruang untuk ragu.
Hargijono maju. Ia mendekatkan laras senjata ke gagang pintu. Dalam rekonstruksi, seorang saksi menggambarkan momentum itu seperti “segala hal terjadi dalam hitungan detik terdengar orang berteriak, lampu temaram, dan tekanan perintah yang membuat siapa pun bisa salah gerak.”
Hargijono menarik pelatuk, ledakan kecil memecah ruangan, dan peluru yang awalnya diarahkan ke gagang pintu ternyata meleset. Peluru yang tidak pernah dimaksukkan ke dalam rencana siapa pun
Menurut kesaksian seorang mantan prajurit yang berada di tempat yang sama—wawancara yang dikumpulkan jurnalis Petrik Matanasi—rombongan pasukan mendengar suara jeritan perempuan dari dalam kamar. Di tengah kekacauan itu, prajurit-prajurit baru menyadari sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan:
peluru yang meleset itu mengenai seorang anak kecil. Anak itu adalah Ade Irma Suryani, putri bungsu Jenderal Nasution.
Seorang saksi mata yang diwawancarai Liputan6 berkata “Tidak ada yang berniat menembak anak. Kami kaget. Semua diam beberapa detik, seperti dunia berhenti.”
Hargijono sendiri, menurut rekaman persidangan yang dikutip Historia, tidak menyangkal bahwa tembakan itu berasal dari senjatanya. Tapi ia menjelaskan bahwa ia menembak gagang pintu karena itu perintah, bukan mengarahkan ke siapa pun dalam kamar.
Beberapa hari setelah peristiwa G30S, operasi penangkapan besar-besaran dimulai. Para anggota Cakrabirawa yang ikut dalam operasi “penjemputan” digiring ke tahanan militer. Nama Hargijono masuk daftar sejak hari pertama.
Dalam salah satu wawancara KBR (Kantor Berita Radio) terhadap bekas anggota pasukan pengawal presiden, muncul gambaran tentang bagaimana para prajurit tingkat rendah merasa bahwa mereka “tidak pernah diberi ruang menjelaskan”. Seorang saksi bahkan berkata “Kalau saya harus minta ampun ke Soeharto, saya lebih baik mati.”
Ungkapan ini menggambarkan betapa kuat tekanan politik saat itu. Menjalankan perintah dianggap tidak cukup sebagai pembelaan.
Di pengadilan militer, kesaksian tentang tembakan ke pintu dan peluru yang meleset kembali dihadirkan. Menurut dokumentasi yang pernah dirangkum Historia, Hargijono menerima vonis yang sangat berat sebagai konsekuensi perannya dalam operasi itu.
Dalam liputan panjang Historia, saksi lain yang pernah menjadi prajurit Cakrabirawa menyatakan “Kami itu tentara kecil. Kalau komandan bilang kiri, kami kiri. Kalau bilang tembak gagang pintu, ya kami tembak. Tapi sejarah tidak peduli siapa apa waktu itu.”
Kalimat itu menjadi ringkasan betapa banyak prajurit lapangan yang tersapu oleh badai politik yang jauh lebih besar daripada mereka.
Seorang saksi lain yang dikutip Liputan6 mengingat Hargijono sebagai “pendiam, tidak banyak bicara, dan bukan tipe prajurit yang suka kekerasan.” Dalam narasi tersebut, ia digambarkan lebih sebagai pelaksana teknis ketimbang seorang aktor politik.
Nama Hargijono tenggelam dalam deretan nama besar G30S. Namun ironi sejarah adalah tindakan yang tidak direncanakan, tidak ditargetkan, dan terjadi dalam kepanika justru menjadi salah satu peristiwa yang paling dikenang publik.
Hingga kini, arsip publik tentang riwayat hidupnya sebelum 1965 nyaris kosong. Tak ada catatan lengkap tentang masa kecil, keluarganya, atau motivasinya bergabung dalam militer. Ia muncul dalam sejarah secara tiba-tiba dan hilang secara tiba-tiba pula.
Yang tersisa hanyalah jejak malam itu, rekonstruksi para saksi, dan perdebatan panjang tentang siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab dalam operasi 30 September.
..........
Sumber :
Sigit Rahardjo
* Sumber Kutipan dan Referensi:
Historia: laporan rekonstruksi penembakan Ade Irma oleh Kopral Hargijono.
Liputan6: wawancara mantan anggota Cakrabirawa tentang kronologi malam kejadian.
KBR: wawancara eks-Cakrabirawa mengenai tekanan politik dan pengadilan militer.
Tirto (Petrik Matanasi): konteks operasi penjemputan dan kesaksian prajurit.

No comments:
Post a Comment