03 November 2025

Pidato Terakhir DN Aidit di Sumur Tua Markas Batalyon, Hidup PKI! Lalu DOR! Malam di Solo, 22 November 1965, menyimpan kisah kelam yang tak terhapus dari sejarah Indonesia. Dalam suasana genting pasca peristiwa G30S, sang Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit, akhirnya tertangkap oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia. Ia digelandang ke Markas Brigade IV Infanteri (Brigif IV) yang dipimpin oleh Kolonel Yasir Hadibroto, sosok yang kemudian menjadi eksekutor akhir dalam hidup Aidit atas restu tidak langsung dari Mayjen Soeharto. Di markas Loji Gandrung, Solo, Aidit diinterogasi keras oleh Yasir. Dalam berita acara pemeriksaan yang kelak dicatat oleh sejarah, Aidit mengakui keterlibatannya: > “Saya adalah satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal, dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI serta organisasi massa di bawah PKI,” tulisnya dalam surat pengakuan yang ia tanda tangani sendiri. Namun di balik pengakuan itu, Aidit masih sempat meminta satu hal bertemu dengan Presiden Sukarno. Ia berharap bisa berbicara langsung dengan sang pemimpin revolusi. Tapi permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Yasir. > “Jika diserahkan kepada Bung Karno, persoalan akan jadi lain. Fakta bisa diputarbalikkan,” ujar Yasir, seperti dikutip Tempo dari buku “Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia” karya Abdul Gafur. Rencana semula, Aidit akan dibawa ke Markas Kodam Diponegoro di Semarang untuk diadili. Tiga jip disiapkan. Yasir berada di jip paling belakang, bersama Aidit yang tangannya diborgol erat. Namun, di tengah perjalanan, arah konvoi itu berubah. Tanpa sepengetahuan dua jip di depan, Yasir memerintahkan pengemudinya berbelok menuju Markas Batalyon 444 tempat di mana sejarah akan berhenti bagi Aidit. Di sana, Yasir bertanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon: > “Apakah ada sumur di sini?” Trisno menunjuk ke arah belakang rumahnya sebuah sumur tua, sunyi, gelap, dan dalam. Aidit dibawa ke tepi sumur itu. Dalam suasana hening yang mencekam, Yasir mempersilakan Aidit mengucapkan kata terakhirnya. Dengan mata tajam dan suara lantang, Aidit berteriak, > “Daripada saya ditangkap, lebih baik kalian bunuh saya!” Ia lalu melontarkan pidato singkat yang membara, berakhir dengan seruan keras, > “Hidup PKI!” Teriakan itu membuat darah para prajurit mendidih. Dan dalam sekejap Dor! Peluru menembus dadanya. Tubuh DN Aidit terhuyung dan jatuh ke dalam sumur tua yang sunyi, menutup bab terakhir hidupnya sebagai tokoh paling kontroversial di republik ini. Aidit tewas tanpa pernah diadili, meninggalkan jejak sejarah yang terus menjadi perdebatan panjang tentang kekuasaan, ideologi, dan keadilan. Sumber : gelora.co #DetikTerakhirAidit #SejarahKelam1965 #DNaidit #KolonelYasirHadibroto #G30S #SumurTuaSolo #LembaranHitamSejarah

 Pidato Terakhir DN Aidit di Sumur Tua Markas Batalyon, Hidup PKI! Lalu DOR!



Malam di Solo, 22 November 1965, menyimpan kisah kelam yang tak terhapus dari sejarah Indonesia. Dalam suasana genting pasca peristiwa G30S, sang Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit, akhirnya tertangkap oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia.

Ia digelandang ke Markas Brigade IV Infanteri (Brigif IV) yang dipimpin oleh Kolonel Yasir Hadibroto, sosok yang kemudian menjadi eksekutor akhir dalam hidup Aidit atas restu tidak langsung dari Mayjen Soeharto.


Di markas Loji Gandrung, Solo, Aidit diinterogasi keras oleh Yasir. Dalam berita acara pemeriksaan yang kelak dicatat oleh sejarah, Aidit mengakui keterlibatannya:


> “Saya adalah satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal, dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI serta organisasi massa di bawah PKI,”

tulisnya dalam surat pengakuan yang ia tanda tangani sendiri.


Namun di balik pengakuan itu, Aidit masih sempat meminta satu hal bertemu dengan Presiden Sukarno. Ia berharap bisa berbicara langsung dengan sang pemimpin revolusi. Tapi permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Yasir.


> “Jika diserahkan kepada Bung Karno, persoalan akan jadi lain. Fakta bisa diputarbalikkan,”

ujar Yasir, seperti dikutip Tempo dari buku “Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia” karya Abdul Gafur.


Rencana semula, Aidit akan dibawa ke Markas Kodam Diponegoro di Semarang untuk diadili. Tiga jip disiapkan. Yasir berada di jip paling belakang, bersama Aidit yang tangannya diborgol erat. Namun, di tengah perjalanan, arah konvoi itu berubah. Tanpa sepengetahuan dua jip di depan, Yasir memerintahkan pengemudinya berbelok menuju Markas Batalyon 444 tempat di mana sejarah akan berhenti bagi Aidit.


Di sana, Yasir bertanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon:


> “Apakah ada sumur di sini?”

Trisno menunjuk ke arah belakang rumahnya sebuah sumur tua, sunyi, gelap, dan dalam.


Aidit dibawa ke tepi sumur itu. Dalam suasana hening yang mencekam, Yasir mempersilakan Aidit mengucapkan kata terakhirnya.

Dengan mata tajam dan suara lantang, Aidit berteriak,


> “Daripada saya ditangkap, lebih baik kalian bunuh saya!”


Ia lalu melontarkan pidato singkat yang membara, berakhir dengan seruan keras,


> “Hidup PKI!”


Teriakan itu membuat darah para prajurit mendidih.

Dan dalam sekejap Dor!

Peluru menembus dadanya. Tubuh DN Aidit terhuyung dan jatuh ke dalam sumur tua yang sunyi, menutup bab terakhir hidupnya sebagai tokoh paling kontroversial di republik ini.

Aidit tewas tanpa pernah diadili, meninggalkan jejak sejarah yang terus menjadi perdebatan panjang tentang kekuasaan, ideologi, dan keadilan.

Sumber : gelora.co

Om Phol


#DetikTerakhirAidit

#SejarahKelam1965

#DNaidit

#KolonelYasirHadibroto

#G30S

#SumurTuaSolo

#LembaranHitamSejarah

No comments:

Post a Comment