08 November 2025

Ratu Amangkurat: Ibu Suri Berdarah Wali di Tengah Geger Pecinan (1740–1743) Dalam sejarah Mataram Islam abad ke-18, nama Ratu Amangkurat jarang disebut sebagai pemegang kekuasaan formal. Namun, pengaruhnya yang halus namun nyata, terutama selama masa genting Geger Pecinan (1740–1743), menjadikannya figur sentral dalam pusaran kekuasaan dan intrik istana Kartasura. Sebagai ibu suri dari Sunan Pakubuwono II, ia berasal dari darah bangsawan dan merupakan keturunan langsung dari Sunan Kudus—seorang tokoh wali besar. Hal ini menjadikannya bukan sekadar sosok keibuan di lingkungan keraton, melainkan juga simbol legitimasi spiritual di tengah ketidakpastian politik yang melanda kerajaan. Geger Pecinan adalah tragedi multidimensional yang menyatukan kekacauan politik, perang antar etnis, perebutan kekuasaan, dan kolaborasi pragmatis antara elite Jawa dan VOC. Di tengah pusaran konflik itu, Ratu Amangkurat memainkan peran penting sebagai penyeimbang antara konservatisme Patih Notokusumo dan keterbukaan diplomatik Sunan. * Krisis Legitimasi dan Terjunnya Tirtowiguno Ketika Kartasura diguncang oleh pemberontakan besar-besaran, posisi Pakubuwono II sebagai penguasa tidak lagi berdiri kokoh. VOC mencurigai gerak-gerik Notokusumo yang dinilai bersimpati pada para pemberontak Tionghoa dan Jawa. Dalam situasi yang sangat tidak menentu, Sunan—atas anjuran ibunda, Ratu Amangkurat—mengirim sekretaris kepercayaannya, Tirtowiguno, ke Semarang untuk bertemu dengan Hugo Verijsel, pemimpin VOC di wilayah pesisir utara Jawa. Tirtowiguno adalah pilihan tepat. Ia bukan hanya paham watak Sunan, tetapi juga dikenal memiliki relasi diplomatis yang lebih diterima oleh VOC ketimbang Notokusumo. Ratu Amangkurat memainkan peranan krusial dalam penunjukan ini. Ia menyadari bahwa kepercayaan terhadap Kartasura hanya bisa dipulihkan melalui komunikasi yang elegan dan cerdas dengan Kompeni. Patih Notokusumo dianggap terlalu radikal dan tidak disukai Belanda. Pada 8 Maret 1742, Tirtowiguno tiba di Semarang. Namun, Verijsel belum memperoleh petunjuk dari Batavia. Meskipun demikian, ia mencatat keputusasaan yang terpancar dari pesan Sunan melalui Tirtowiguno.Sang Raja menyampaikan bahwa tanpa bantuan VOC, posisinya sebagai penguasa akan runtuh. Maka, VOC disarankan segera mengirim garnisun ke Kartasura. Tirtowiguno menekankan pentingnya kehadiran militer VOC walau dalam skala kecil. Ia mengusulkan agar Semarang mengirimkan detasemen terbatas sebagai simbol dukungan, dan sekaligus menjadi alat pengawasan langsung terhadap dinamika internal keraton. Verijsel menyetujui usulan ini, dan menunjuk Kapten Andries Baron von Hohendorff untuk memimpin misi tersebut. Von Hohendorff, perwira kawakan VOC, sudah mengenal seluk-beluk Kartasura. Ia didampingi oleh Letnan Muda Ferdinand Karel Hoogwits serta penerjemah Balthazar Toutlemonde. Misi mereka bukan hanya simbolik, tetapi penuh intrik: mengumpulkan informasi dari dalam keraton, termasuk dari kalangan perempuan dan pelayan istana. * Ratu Amangkurat dan Diplomasi Keraton Von Hohendorff berhasil menjalin komunikasi langsung dengan Sunan Pakubuwono II dan bahkan mendapat kepercayaan penuh untuk menghadap kapan pun. Tidak hanya itu, ia juga membangun hubungan khusus dengan Ratu Amangkurat. Sosok ibu suri ini diketahui menganjurkan Sunan agar terus menjalin hubungan dengan VOC. Pengaruh Ratu Amangkurat terbukti dalam keputusan-keputusan besar yang diambil Sunan, seperti pengangkatan Tirtowiguno, penghindaran konflik terbuka dengan Belanda, dan langkah-langkah diplomasi lainnya. Ratu Amangkurat tidak hanya ibu dari raja, melainkan pengendali kebijakan luar negeri Kartasura. Ia memiliki hubungan dekat dengan Tirtowiguno, dan melihatnya sebagai perpanjangan tangan dirinya di luar istana. Kepercayaannya terhadap sekretaris ini jauh lebih besar ketimbang terhadap Notokusumo, yang sejak awal dipandang terlalu keras dan potensial menjadi ancaman terhadap stabilitas istana. Rombongan VOC yang dipimpin Von Hohendorff tidak datang sendiri. Mereka membawa seorang kopral, enam serdadu, pelayan, dan juru masak. Dalam waktu singkat, mereka berhasil merebut simpati kalangan istana. Bahkan selir-selir dan pelayan perempuan mulai membuka diri kepada para mata-mata VOC. Tugas mereka jelas: mengumpulkan segala informasi, dari pembicaraan pribadi Sunan hingga interaksi antara Raja dan ibunya. Mereka dibekali dana cukup besar, namun diwanti-wanti agar berhati-hati. Von Hohendorff, atas masukan Ratu Amangkurat, mulai menolak berinteraksi dengan para menteri yang dianggap telah "kotor" karena keterlibatan mereka dengan pihak pemberontak. Keputusan ini memperjelas poros kekuasaan baru di Kartasura: Sunan Pakubuwono II, Ratu Amangkurat, dan VOC. * Konsolidasi Militer dan Kebangkitan Kartasura Sementara itu, pasukan Kartasura mulai melakukan konsolidasi. Pringgalaya dan Mlayakusuma memimpin 2.500 serdadu menyerang pemberontak di Grobogan. Mereka dibantu oleh para tumenggung seperti Mangunnegoro, Wiroguno, dan Singoranu. Keberhasilan ini menjadi titik balik bagi Sunan Pakubuwono II yang semula hampir kehilangan segalanya. Namun, kecurigaan terhadap Patih Notokusumo masih menguat. Ia dianggap memberi bantuan finansial kepada pemberontak. Ketika Notokusumo mundur dari Demak dan tiba di Semarang pada 29 Maret 1742, ia melakukan konsolidasi dengan bupati-bupati setempat, namun tak berhasil menghilangkan tuduhan keterlibatan. Salah satu wilayah yang menjadi medan sengit pertempuran adalah Lasem. Di sini, sejarah mencatat kolaborasi erat antara rakyat Jawa dan Tionghoa dalam melawan dominasi VOC. Raden Panji Margana, putra dari Tejakusuma V, bergabung dengan para pejuang Tionghoa dan mengenakan seragam sama—baju Tionghoa dan celana konperang hitam—untuk menyamarkan identitas dan menyatukan barisan. Ia dibantu oleh tokoh masyarakat Tionghoa seperti Tan Ke Wie, seorang pembuat batu bata dan guru silat ternama. Identitas kultural dicairkan demi tujuan bersama: melawan penjajahan dan dominasi Kompeni. Kekuatan dari Lasem ini membuktikan bahwa akar perlawanan rakyat terhadap VOC tidak pernah mati, bahkan menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa menyala. * Akhir Geger Pecinan Dalam historiografi Jawa abad ke-18, salah satu bab paling berdarah adalah pemberontakan besar yang dikenal sebagai Geger Pecinan (1740–1743). Peristiwa ini berawal dari pembantaian massal etnis Tionghoa oleh VOC di Batavia, yang kemudian meluas ke wilayah pesisir utara Jawa dan menular ke jantung kerajaan Mataram di Kartasura. Pemberontakan itu bukan hanya luapan amarah etnis Tionghoa, tetapi menjelma menjadi gerakan revolusioner Jawa-Tionghoa yang mencoba menggulingkan rezim Pakubuwono II, penguasa Mataram yang tunduk pada kekuasaan VOC. Di tengah gemuruh itu, dua tokoh muda tampil menonjol: Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III yang menggugat takhta dengan gelar Amangkurat V, dan Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, komandan muda berdarah biru yang menjelma simbol pemberontakan Mataram yang tak kunjung padam. Hubungan keduanya menjadi sorotan penting dalam sejarah fase akhir Geger Pecinan yang brutal, tragis, dan penuh intrik. Raden Mas Garendi, putra bungsu Pangeran Teposono, adalah bangsawan muda yang hidupnya sejak kecil dirundung dendam politik. Kakeknya, Amangkurat III, pernah menjadi musuh VOC dan dibuang ke Srilanka, begitu pula nasib ayahnya yang dieksekusi Pakubuwono II karena dituduh makar. Diselamatkan oleh pamannya, Wiramenggala, Garendi tumbuh dalam pelarian dan perlawanan. Puncaknya terjadi ketika pasukan gabungan Jawa-Tionghoa menyerbu Kartasura pada 30 Juni 1742. Kartasura jatuh. Pakubuwono II melarikan diri. Di tengah puing-puing istana, Garendi dinobatkan menjadi raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat V. Dalam waktu yang singkat, sejarah Mataram diguncang. Seorang raja boneka VOC dikudeta oleh cucu raja buangan. Pada saat yang sama, Raden Mas Said yang baru berusia 14 tahun telah menunjukkan kegemilangan sebagai panglima perang. Putra Pangeran Arya Mangkunegara ini mewarisi dendam pribadi terhadap VOC dan istana Surakarta. Ayahnya, sebagaimana kakek Garendi, pernah dibuang ke Sri Lanka oleh Pakubuwono II. Menariknya, baik Raden Mas Said maupun Pakubuwono II berasal dari garis keturunan yang sama—keduanya adalah cucu Amangkurat IV. Pangeran Arya Mangkunegara, ayah Raden Mas Said, merupakan putra Amangkurat IV dari selir bernama Mas Ayu Karoh. Sementara itu, Pakubuwono II adalah putra Amangkurat IV dari permaisuri resmi, Ratu Amangkurat atau yang dikenal pula sebagai Ratu Kencana. Dengan demikian, Pakubuwono II dan Pangeran Arya Mangkunegara adalah saudara seayah namun berlainan ibu. Artinya, Raden Mas Said merupakan keponakan dari Pakubuwono II. Hubungan kekerabatan ini menempatkan konflik di antara keduanya bukan semata soal politik dan kekuasaan, melainkan juga cerminan ketegangan dalam tubuh dinasti Mataram itu sendiri. Raden Mas Said tampil sebagai komandan perang dalam aliansi Jawa-Tionghoa di bawah Amangkurat V. Ia memimpin berbagai pertempuran besar, mulai dari Welahan, Tembayat, hingga Randhaluwang.Dalam satu momen krusial pada 24 Agustus 1742, Said memimpin pasukan bersama Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko (Singseh) menghadang pasukan VOC di Tanjung, Kudus. Di situ, Said tampil bukan hanya sebagai prajurit, tetapi sebagai tokoh sentral dalam struktur militer pemberontak. Namun revolusi itu tidak bertahan lama. Pada 26 November 1742, koalisi kontra-pemberontak yang terdiri dari Pakubuwono II, Cakraningrat IV dari Madura, dan tentara VOC dari arah Ungaran dan Salatiga menggempur Kartasura dari dua arah. Serangan itu berhasil memukul mundur pasukan Amangkurat V. Garendi terpaksa meninggalkan istana. Ia dan pengikutnya bergerak ke selatan, berupaya mempertahankan sisa-sisa kekuasaan. Salah satu benteng terakhirnya adalah Randhaluwang di tepi Kali Opak, dekat Prambanan. Namun, pada 3 Juni 1743, serangan besar VOC berhasil memukul pasukan pemberontak di sana. Pasukan Jawa-Tionghoa tercerai-berai. Raden Mas Said, yang memimpin bersama Kapitan Sepanjang, terdesak hingga harus melarikan diri ke arah timur: Nguteran, Madiun, lalu Keduwang di kaki Gunung Lawu. Perpisahan terjadi. Said dan Garendi berpisah. Revolusi mulai kehilangan koordinasi dan arah. Sementara itu, Garendi yang masih menyandang gelar Amangkurat V mencoba melakukan manuver terakhir dengan mengirimkan 1.200 prajurit untuk menyerang Semarang. Namun kekuatan mereka sudah jauh melemah. Pada Desember 1743, Garendi dilaporkan tertangkap di Surabaya, dalam kondisi terpisah dari rombongan pasukannya. VOC membawanya ke Semarang, kemudian Batavia, dan akhirnya membuangnya ke Ceylon (Sri Lanka), sama seperti kakeknya. Nasib Garendi setelah itu menjadi teka-teki. Tidak ada catatan resmi tentang tanggal atau tempat kematiannya. Ia lenyap dari panggung sejarah, namanya dihapus dari daftar raja-raja resmi Mataram. Namun bagi mereka yang membaca sejarah secara teliti, Garendi bukan pemberontak, melainkan simbol perlawanan terhadap tirani dan kolonialisme. Historiografi kolonial dan istana Surakarta-Yogyakarta nyaris tidak memberikan tempat bagi Raden Mas Garendi. Ia dianggap usurper (perebut takhta) yang gagal. Namun data sejarah dari laporan Belanda, surat-surat perang, dan kesaksian lisan mencatat peran besarnya. Begitu pula dengan peran Raden Mas Said di Geger Pecinan. Dalam narasi-narasi resmi Keraton, Said seolah hanya muncul saat Perang Suksesi Jawa III (1752–1755), padahal ia sudah tampil sejak awal usia mudanya dalam perjuangan berdarah melawan VOC. Bahwa seorang anak muda 14 tahun mampu menjadi panglima perang dalam koalisi multietnis—Jawa, Tionghoa, bahkan Makassar—merupakan fakta yang menantang historiografi Jawa yang feodalis. Akhir dari Geger Pecinan menandai hancurnya koalisi revolusioner Jawa-Tionghoa. VOC kembali menguasai pusat kekuasaan, Pakubuwono II direstorasi ke takhta oleh Belanda, dan banyak pemimpin pemberontakan dibunuh atau dibuang. Kapitan Sepanjang dieksekusi, Singseh ditangkap, Garendi diasingkan. Namun satu tokoh selamat: Raden Mas Said. Dari reruntuhan Kartasura, ia membangun gerilya di timur. Ia menolak menyerah. Dengan membawa semangat dari Geger Pecinan, Said menjelma Sambernyawa—penyambar nyawa—yang selama lebih dari satu dekade membuat VOC tak pernah bisa tidur nyenyak. Sejarah mungkin mencoret nama Amangkurat V dari daftar resmi raja-raja Mataram, tapi peristiwa Geger Pecinan tetap menjadi saksi bahwa dalam sejarah Jawa, pernah ada anak-anak muda pemberani yang menantang kekuasaan kolonial dan istana demi satu hal: martabat. Warisan Sunyi Sang Ibu Suri Peran Ratu Amangkurat dalam pusaran sejarah Geger Pecinan tidak dapat direduksi sekadar sebagai ibu dari raja. Ia adalah pengendali narasi, pemegang kendali diplomatik, dan penjaga kontinuitas Mataram Islam dalam masa genting. Dengan latar belakang darah wali dan koneksi spiritualitas keulamaan, ia memancarkan wibawa yang mengarahkan Sunan untuk memilih jalur diplomasi dibanding konfrontasi langsung. Dalam sejarah yang dicatat oleh pena-pena maskulin dan kekuasaan yang dikawal oleh tombak dan meriam, Ratu Amangkurat menghadirkan kekuatan yang lembut namun menentukan. Sejarah mencatat namanya dengan sunyi. Namun, dalam pusaran Kartasura yang dikepung dari segala arah, dialah jangkar stabilitas yang menyelamatkan Mataram dari kehancuran total. Dan dalam kegelapan malam pemberontakan, suara ibunda yang penuh doa dan pertimbangan bijak menjadi kompas bagi Sunan untuk kembali pada pijakan kewarasan dan kelangsungan dinasti. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Ratu Amangkurat: Ibu Suri Berdarah Wali di Tengah Geger Pecinan (1740–1743)

Dalam sejarah Mataram Islam abad ke-18, nama Ratu Amangkurat jarang disebut sebagai pemegang kekuasaan formal. Namun, pengaruhnya yang halus namun nyata, terutama selama masa genting Geger Pecinan (1740–1743), menjadikannya figur sentral dalam pusaran kekuasaan dan intrik istana Kartasura. 



Sebagai ibu suri dari Sunan Pakubuwono II, ia berasal dari darah bangsawan dan merupakan keturunan langsung dari Sunan Kudus—seorang tokoh wali besar. Hal ini menjadikannya bukan sekadar sosok keibuan di lingkungan keraton, melainkan juga simbol legitimasi spiritual di tengah ketidakpastian politik yang melanda kerajaan.


Geger Pecinan adalah tragedi multidimensional yang menyatukan kekacauan politik, perang antar etnis, perebutan kekuasaan, dan kolaborasi pragmatis antara elite Jawa dan VOC. Di tengah pusaran konflik itu, Ratu Amangkurat memainkan peran penting sebagai penyeimbang antara konservatisme Patih Notokusumo dan keterbukaan diplomatik Sunan.


* Krisis Legitimasi dan Terjunnya Tirtowiguno


Ketika Kartasura diguncang oleh pemberontakan besar-besaran, posisi Pakubuwono II sebagai penguasa tidak lagi berdiri kokoh. VOC mencurigai gerak-gerik Notokusumo yang dinilai bersimpati pada para pemberontak Tionghoa dan Jawa. 


Dalam situasi yang sangat tidak menentu, Sunan—atas anjuran ibunda, Ratu Amangkurat—mengirim sekretaris kepercayaannya, Tirtowiguno, ke Semarang untuk bertemu dengan Hugo Verijsel, pemimpin VOC di wilayah pesisir utara Jawa.


Tirtowiguno adalah pilihan tepat. Ia bukan hanya paham watak Sunan, tetapi juga dikenal memiliki relasi diplomatis yang lebih diterima oleh VOC ketimbang Notokusumo. Ratu Amangkurat memainkan peranan krusial dalam penunjukan ini. 


Ia menyadari bahwa kepercayaan terhadap Kartasura hanya bisa dipulihkan melalui komunikasi yang elegan dan cerdas dengan Kompeni. Patih Notokusumo dianggap terlalu radikal dan tidak disukai Belanda.


Pada 8 Maret 1742, Tirtowiguno tiba di Semarang. Namun, Verijsel belum memperoleh petunjuk dari Batavia. Meskipun demikian, ia mencatat keputusasaan yang terpancar dari pesan Sunan melalui Tirtowiguno.Sang Raja menyampaikan bahwa tanpa bantuan VOC, posisinya sebagai penguasa akan runtuh. Maka, VOC disarankan segera mengirim garnisun ke Kartasura.


Tirtowiguno menekankan pentingnya kehadiran militer VOC walau dalam skala kecil. Ia mengusulkan agar Semarang mengirimkan detasemen terbatas sebagai simbol dukungan, dan sekaligus menjadi alat pengawasan langsung terhadap dinamika internal keraton. 


Verijsel menyetujui usulan ini, dan menunjuk Kapten Andries Baron von Hohendorff untuk memimpin misi tersebut.


Von Hohendorff, perwira kawakan VOC, sudah mengenal seluk-beluk Kartasura. Ia didampingi oleh Letnan Muda Ferdinand Karel Hoogwits serta penerjemah Balthazar Toutlemonde. 


Misi mereka bukan hanya simbolik, tetapi penuh intrik: mengumpulkan informasi dari dalam keraton, termasuk dari kalangan perempuan dan pelayan istana.


* Ratu Amangkurat dan Diplomasi Keraton


Von Hohendorff berhasil menjalin komunikasi langsung dengan Sunan Pakubuwono II dan bahkan mendapat kepercayaan penuh untuk menghadap kapan pun. Tidak hanya itu, ia juga membangun hubungan khusus dengan Ratu Amangkurat. 


Sosok ibu suri ini diketahui menganjurkan Sunan agar terus menjalin hubungan dengan VOC.


Pengaruh Ratu Amangkurat terbukti dalam keputusan-keputusan besar yang diambil Sunan, seperti pengangkatan Tirtowiguno, penghindaran konflik terbuka dengan Belanda, dan langkah-langkah diplomasi lainnya. Ratu Amangkurat tidak hanya ibu dari raja, melainkan pengendali kebijakan luar negeri Kartasura.


Ia memiliki hubungan dekat dengan Tirtowiguno, dan melihatnya sebagai perpanjangan tangan dirinya di luar istana. Kepercayaannya terhadap sekretaris ini jauh lebih besar ketimbang terhadap Notokusumo, yang sejak awal dipandang terlalu keras dan potensial menjadi ancaman terhadap stabilitas istana.


Rombongan VOC yang dipimpin Von Hohendorff tidak datang sendiri. Mereka membawa seorang kopral, enam serdadu, pelayan, dan juru masak. Dalam waktu singkat, mereka berhasil merebut simpati kalangan istana. Bahkan selir-selir dan pelayan perempuan mulai membuka diri kepada para mata-mata VOC.


Tugas mereka jelas: mengumpulkan segala informasi, dari pembicaraan pribadi Sunan hingga interaksi antara Raja dan ibunya. Mereka dibekali dana cukup besar, namun diwanti-wanti agar berhati-hati.


Von Hohendorff, atas masukan Ratu Amangkurat, mulai menolak berinteraksi dengan para menteri yang dianggap telah "kotor" karena keterlibatan mereka dengan pihak pemberontak. Keputusan ini memperjelas poros kekuasaan baru di Kartasura: Sunan Pakubuwono II, Ratu Amangkurat, dan VOC.


* Konsolidasi Militer dan Kebangkitan Kartasura


Sementara itu, pasukan Kartasura mulai melakukan konsolidasi. Pringgalaya dan Mlayakusuma memimpin 2.500 serdadu menyerang pemberontak di Grobogan. Mereka dibantu oleh para tumenggung seperti Mangunnegoro, Wiroguno, dan Singoranu. Keberhasilan ini menjadi titik balik bagi Sunan Pakubuwono II yang semula hampir kehilangan segalanya.


Namun, kecurigaan terhadap Patih Notokusumo masih menguat. Ia dianggap memberi bantuan finansial kepada pemberontak. Ketika Notokusumo mundur dari Demak dan tiba di Semarang pada 29 Maret 1742, ia melakukan konsolidasi dengan bupati-bupati setempat, namun tak berhasil menghilangkan tuduhan keterlibatan.


Salah satu wilayah yang menjadi medan sengit pertempuran adalah Lasem. Di sini, sejarah mencatat kolaborasi erat antara rakyat Jawa dan Tionghoa dalam melawan dominasi VOC. Raden Panji Margana, putra dari Tejakusuma V, bergabung dengan para pejuang Tionghoa dan mengenakan seragam sama—baju Tionghoa dan celana konperang hitam—untuk menyamarkan identitas dan menyatukan barisan.


Ia dibantu oleh tokoh masyarakat Tionghoa seperti Tan Ke Wie, seorang pembuat batu bata dan guru silat ternama. Identitas kultural dicairkan demi tujuan bersama: melawan penjajahan dan dominasi Kompeni. Kekuatan dari Lasem ini membuktikan bahwa akar perlawanan rakyat terhadap VOC tidak pernah mati, bahkan menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa menyala.


* Akhir Geger Pecinan


Dalam historiografi Jawa abad ke-18, salah satu bab paling berdarah adalah pemberontakan besar yang dikenal sebagai Geger Pecinan (1740–1743). Peristiwa ini berawal dari pembantaian massal etnis Tionghoa oleh VOC di Batavia, yang kemudian meluas ke wilayah pesisir utara Jawa dan menular ke jantung kerajaan Mataram di Kartasura. 


Pemberontakan itu bukan hanya luapan amarah etnis Tionghoa, tetapi menjelma menjadi gerakan revolusioner Jawa-Tionghoa yang mencoba menggulingkan rezim Pakubuwono II, penguasa Mataram yang tunduk pada kekuasaan VOC.


Di tengah gemuruh itu, dua tokoh muda tampil menonjol: Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III yang menggugat takhta dengan gelar Amangkurat V, dan Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, komandan muda berdarah biru yang menjelma simbol pemberontakan Mataram yang tak kunjung padam.


Hubungan keduanya menjadi sorotan penting dalam sejarah fase akhir Geger Pecinan yang brutal, tragis, dan penuh intrik.


Raden Mas Garendi, putra bungsu Pangeran Teposono, adalah bangsawan muda yang hidupnya sejak kecil dirundung dendam politik. Kakeknya, Amangkurat III, pernah menjadi musuh VOC dan dibuang ke Srilanka, begitu pula nasib ayahnya yang dieksekusi Pakubuwono II karena dituduh makar. Diselamatkan oleh pamannya, Wiramenggala, Garendi tumbuh dalam pelarian dan perlawanan.


Puncaknya terjadi ketika pasukan gabungan Jawa-Tionghoa menyerbu Kartasura pada 30 Juni 1742. Kartasura jatuh. Pakubuwono II melarikan diri. Di tengah puing-puing istana, Garendi dinobatkan menjadi raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat V. 


Dalam waktu yang singkat, sejarah Mataram diguncang. Seorang raja boneka VOC dikudeta oleh cucu raja buangan.


Pada saat yang sama, Raden Mas Said yang baru berusia 14 tahun telah menunjukkan kegemilangan sebagai panglima perang. Putra Pangeran Arya Mangkunegara ini mewarisi dendam pribadi terhadap VOC dan istana Surakarta. Ayahnya, sebagaimana kakek Garendi, pernah dibuang ke Sri Lanka oleh Pakubuwono II.


Menariknya, baik Raden Mas Said maupun Pakubuwono II berasal dari garis keturunan yang sama—keduanya adalah cucu Amangkurat IV. Pangeran Arya Mangkunegara, ayah Raden Mas Said, merupakan putra Amangkurat IV dari selir bernama Mas Ayu Karoh. Sementara itu, Pakubuwono II adalah putra Amangkurat IV dari permaisuri resmi, Ratu Amangkurat atau yang dikenal pula sebagai Ratu Kencana. 


Dengan demikian, Pakubuwono II dan Pangeran Arya Mangkunegara adalah saudara seayah namun berlainan ibu. Artinya, Raden Mas Said merupakan keponakan dari Pakubuwono II. Hubungan kekerabatan ini menempatkan konflik di antara keduanya bukan semata soal politik dan kekuasaan, melainkan juga cerminan ketegangan dalam tubuh dinasti Mataram itu sendiri.


Raden Mas Said tampil sebagai komandan perang dalam aliansi Jawa-Tionghoa di bawah Amangkurat V. Ia memimpin berbagai pertempuran besar, mulai dari Welahan, Tembayat, hingga Randhaluwang.Dalam satu momen krusial pada 24 Agustus 1742, Said memimpin pasukan bersama Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko (Singseh) menghadang pasukan VOC di Tanjung, Kudus. Di situ, Said tampil bukan hanya sebagai prajurit, tetapi sebagai tokoh sentral dalam struktur militer pemberontak.


Namun revolusi itu tidak bertahan lama. Pada 26 November 1742, koalisi kontra-pemberontak yang terdiri dari Pakubuwono II, Cakraningrat IV dari Madura, dan tentara VOC dari arah Ungaran dan Salatiga menggempur Kartasura dari dua arah. Serangan itu berhasil memukul mundur pasukan Amangkurat V.


Garendi terpaksa meninggalkan istana. Ia dan pengikutnya bergerak ke selatan, berupaya mempertahankan sisa-sisa kekuasaan. Salah satu benteng terakhirnya adalah Randhaluwang di tepi Kali Opak, dekat Prambanan. Namun, pada 3 Juni 1743, serangan besar VOC berhasil memukul pasukan pemberontak di sana.


Pasukan Jawa-Tionghoa tercerai-berai. Raden Mas Said, yang memimpin bersama Kapitan Sepanjang, terdesak hingga harus melarikan diri ke arah timur: Nguteran, Madiun, lalu Keduwang di kaki Gunung Lawu. Perpisahan terjadi. Said dan Garendi berpisah. Revolusi mulai kehilangan koordinasi dan arah.


Sementara itu, Garendi yang masih menyandang gelar Amangkurat V mencoba melakukan manuver terakhir dengan mengirimkan 1.200 prajurit untuk menyerang Semarang. Namun kekuatan mereka sudah jauh melemah. Pada Desember 1743, Garendi dilaporkan tertangkap di Surabaya, dalam kondisi terpisah dari rombongan pasukannya. VOC membawanya ke Semarang, kemudian Batavia, dan akhirnya membuangnya ke Ceylon (Sri Lanka), sama seperti kakeknya.


Nasib Garendi setelah itu menjadi teka-teki. Tidak ada catatan resmi tentang tanggal atau tempat kematiannya. Ia lenyap dari panggung sejarah, namanya dihapus dari daftar raja-raja resmi Mataram. Namun bagi mereka yang membaca sejarah secara teliti, Garendi bukan pemberontak, melainkan simbol perlawanan terhadap tirani dan kolonialisme.


Historiografi kolonial dan istana Surakarta-Yogyakarta nyaris tidak memberikan tempat bagi Raden Mas Garendi. Ia dianggap usurper (perebut takhta) yang gagal. Namun data sejarah dari laporan Belanda, surat-surat perang, dan kesaksian lisan mencatat peran besarnya.


Begitu pula dengan peran Raden Mas Said di Geger Pecinan. Dalam narasi-narasi resmi Keraton, Said seolah hanya muncul saat Perang Suksesi Jawa III (1752–1755), padahal ia sudah tampil sejak awal usia mudanya dalam perjuangan berdarah melawan VOC. Bahwa seorang anak muda 14 tahun mampu menjadi panglima perang dalam koalisi multietnis—Jawa, Tionghoa, bahkan Makassar—merupakan fakta yang menantang historiografi Jawa yang feodalis.


Akhir dari Geger Pecinan menandai hancurnya koalisi revolusioner Jawa-Tionghoa. VOC kembali menguasai pusat kekuasaan, Pakubuwono II direstorasi ke takhta oleh Belanda, dan banyak pemimpin pemberontakan dibunuh atau dibuang. Kapitan Sepanjang dieksekusi, Singseh ditangkap, Garendi diasingkan.


Namun satu tokoh selamat: Raden Mas Said. Dari reruntuhan Kartasura, ia membangun gerilya di timur. Ia menolak menyerah. Dengan membawa semangat dari Geger Pecinan, Said menjelma Sambernyawa—penyambar nyawa—yang selama lebih dari satu dekade membuat VOC tak pernah bisa tidur nyenyak.


Sejarah mungkin mencoret nama Amangkurat V dari daftar resmi raja-raja Mataram, tapi peristiwa Geger Pecinan tetap menjadi saksi bahwa dalam sejarah Jawa, pernah ada anak-anak muda pemberani yang menantang kekuasaan kolonial dan istana demi satu hal: martabat.


Warisan Sunyi Sang Ibu Suri


Peran Ratu Amangkurat dalam pusaran sejarah Geger Pecinan tidak dapat direduksi sekadar sebagai ibu dari raja. Ia adalah pengendali narasi, pemegang kendali diplomatik, dan penjaga kontinuitas Mataram Islam dalam masa genting.


Dengan latar belakang darah wali dan koneksi spiritualitas keulamaan, ia memancarkan wibawa yang mengarahkan Sunan untuk memilih jalur diplomasi dibanding konfrontasi langsung. Dalam sejarah yang dicatat oleh pena-pena maskulin dan kekuasaan yang dikawal oleh tombak dan meriam, Ratu Amangkurat menghadirkan kekuatan yang lembut namun menentukan.


Sejarah mencatat namanya dengan sunyi. Namun, dalam pusaran Kartasura yang dikepung dari segala arah, dialah jangkar stabilitas yang menyelamatkan Mataram dari kehancuran total. Dan dalam kegelapan malam pemberontakan, suara ibunda yang penuh doa dan pertimbangan bijak menjadi kompas bagi Sunan untuk kembali pada pijakan kewarasan dan kelangsungan dinasti.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment