MAHASISWA KEDOKTERAN INI MENINGGALKAN BANGKU KULIAH UNTUK JADI GERILYAWAN
KISAH TJIA GIOK THWAM, SANG PEJUANG DENGAN DUA NAMA
SURABAYA, 1945–1950 — Di tengah hiruk pikuk perjuangan kemerdekaan, ada satu nama yang membawa janji kehidupan (dokter) dan kematian (pejuang gerilya) sekaligus: Tjia Giok Thwam. Lebih dikenal dengan nama Indonesianya, Basuki Hidayat, kisah pemuda keturunan Tionghoa ini adalah ironi heroik. Mengapa seorang mahasiswa kedokteran yang seharusnya berada di laboratorium, memilih lumpur, senapan, dan risiko kematian demi Republik yang baru lahir?
Inilah kisah perjuangan Tjia Giok Thwam, bukti bahwa loyalitas kepada Indonesia melampaui sekat etnis, kelas, dan cita-cita profesional.
I. Panggilan Revolusi: Meninggalkan Stetoskop Demi Senapan
Tjia Giok Thwam lahir di Surabaya pada tahun 1927. Ia berada di jalur cerah masa depan, seorang pelajar Tionghoa yang terdidik. Namun, proklamasi kemerdekaan 1945 mengubah segalanya. Ketika Belanda berusaha merebut kembali Indonesia, Tjia Giok Thwam tidak memilih jalur aman.
Pilihan Ekstrem: Pada usia 18 tahun, ia meninggalkan buku-buku kedokteran dan memilih senjata. Ia bergabung dengan Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT), tepatnya di Pasukan 19. CMDT adalah kesatuan mahasiswa yang secara aktif terlibat dalam Revolusi Fisik di Jawa Timur.
Identitas Baru: Dalam perjuangan gerilya yang penuh risiko, ia mengadopsi nama Jawa yang populer: Basuki Hidayat. Nama baru ini berfungsi sebagai simbol integrasi dan loyalitas totalnya kepada perjuangan Republik.
II. Medan Juang Gerilya: Mahasiswa Menjadi Tentara Elit
Tjia Giok Thwam tidak hanya ikut-ikutan; ia terlibat aktif dalam berbagai pertempuran penting di Jawa Timur. Ia bertempur sebagai bagian dari pasukan gerilya CMDT, sebuah unit yang memiliki mobilitas tinggi dan kemampuan tempur yang cerdik.
Kontribusi Vital: Perjuangan Tjia Giok Thwam dan CMDT berlangsung hingga tahun 1950. Mereka bertanggung jawab atas berbagai operasi militer, terutama dalam menghadapi agresi militer Belanda I dan II di wilayah Jawa Timur.
Pengorbanan Penuh: Melalui hutan dan desa, Tjia Giok Thwam hidup dalam kondisi sulit sebagai gerilyawan. Statusnya sebagai mahasiswa terdidik menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan menarik semua elemen masyarakat, tanpa memandang latar belakang.
III. Pensiun Dini dan Penghargaan Negara
Setelah kedaulatan Indonesia diakui sepenuhnya pada tahun 1950, Tjia Giok Thwam membuat keputusan signifikan: ia mundur dari dunia militer dengan pangkat terakhir Letnan Dua (Letda).
Kembali ke Cita-cita: Ia menanggalkan seragam tempur untuk kembali mengejar cita-cita awalnya—studi kedokteran. Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Perjalanan dari Letda gerilyawan kembali menjadi mahasiswa kedokteran adalah simbol unik dari transisi Indonesia dari masa revolusi ke masa pembangunan.
Pengakuan Negara: Meskipun kembali ke kehidupan sipil, jasa-jasanya di medan perang tidak dilupakan. Pada tahun 1958, Tjia Giok Thwam menerima Satya Lencana Perang Kemerdekaan Kedua dari pemerintah RI, sebuah tanda kehormatan atas perjuangannya.
Tjia Giok Thwam kemudian mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan, menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Jiwa Pusat Sumber Porong hingga akhir hayatnya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang, dengan upacara militer yang lengkap—sebuah penghormatan abadi bagi seorang patriot yang berjuang dengan dua nama, dan mengabdi dengan dua profesi.
Sumber Utama Peristiwa dan Detail:
Arsip Sejarah Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT).
Keputusan Menteri Pertahanan RI Tahun 1958 (Mengenai pemberian Satya Lencana Perang Kemerdekaan Kedua).
Historiografi Tokoh Keturunan Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Data Pemakaman Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang.

No comments:
Post a Comment