23 November 2025

Johar Manik, Senopati P. Diponegoro, Mati Tertusuk Tombak Oleh Londo Ireng Perang Jawa berkobar dari tahun 1825 hingga 1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Perang ini menjadi salah satu perang terbesar selama penjajahan Belanda di Indonesia Pangeran Diponegoro memiliki sejumlah senopati yang andal saat perang melawan pemerintah kolonial Belanda. Salah satu sosoknya adalah Senopati Johar Manik yang ahli strategi perang. Dia adalah senopati Diponegoro yang menjadi Komandon Bulkiyo dengan anggota laskar-laskar di seputaran Salatiga. Johar Manik yang ditugaskan di wilayah Salatiga dan sekitarnya, memiliki kemampaun supranatural atau kesaktian. Kesaktian didapat setelah Johar Manik gemar tirakat, baik itu puasa maupun melek (tidak tidur). Sebagai senopati andalan Pangeran Diponegoro, berbagai medan pertempuran sengit melawan Belanda dialami. Baik ketika bisa mengalahkan pasukan musuh atau terpaksa mundur karena terdesak. Ketika terdesak, Johar Manik bersama laskarnya sering dikejar-kejar Belanda dan antek-anteknya yang disebut londo ireng (Belanda hitam, orang pribumi yang bergabung dengan Belanda). Kesetiaan Johar Manik terhadap pimpinan membuatnya sangat dekat dan akrab dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro yang tinggal di Tegalrejo, secara diam-diam berkunjung ke Blondo, Salatiga untuk sekedar ngobrol atau mengatur strategi perang. Karena jabatannya sebagai senopati perang, Johar Manik diberi seekor kuda berwarna putih dari Pangeran Diponegoro untuk mobilitas dalam peperangan. Kuda putih itu diberi nama Kiai Bangkol. Sebelum Pangeran Diponegoro berangkat berunding, yang kemudian dijebak oleh Belanda, sempat bertemu Johar Manik di Watu Ceper, Pangeran Diponegoro berpesan, apa pun yang terjadi dalam perundingan tersebut, meski nanti tidak lagi bisa bertemu, perjuangan harus diteruskan dan tidak boleh kalah melawan penjajah. Dalam sebuah penyergapan di Salatiga yang dilakukan oleh Belanda dan antek-anteknya, Johar Manik yang saat itu terkepung tetap melakukan perlawanan sengit. Johar Manik yang saat itu menunggangi kuda, tertusuk tombak di badannya hingga menderita luka parah. Meski demikian, dia masih tetap bisa mengendalikan kuda tunggangannya menuju tempat persembunyiannya di daerah Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Ketika di Sumogawe, ada Pangeran Sumonegoro yang merupakan saudara Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang melawan penjajah. Johar Manik yang terluka parah kemudian dirawat, namun akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia. Sebelum meninggal, Johar Manik yang aslinya berasal Bantul berpesan kepada anaknya Karmin Karyodino agar dimakamkan di dekat rumahnya, yaitu di sekitaran Blondo. Jenazah Johar Manik kemudian dimakamkan di daeah Tanggulayu tak jauh dari Blondo. Suber : Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Johar Manik, Senopati P. Diponegoro, Mati Tertusuk Tombak Oleh Londo Ireng

Perang Jawa berkobar dari tahun 1825 hingga 1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Perang ini menjadi salah satu perang terbesar selama penjajahan Belanda di Indonesia

Pangeran Diponegoro memiliki sejumlah senopati yang andal saat perang melawan pemerintah kolonial Belanda.



Salah satu sosoknya adalah Senopati Johar Manik yang ahli strategi perang. Dia adalah senopati Diponegoro yang menjadi Komandon Bulkiyo dengan anggota laskar-laskar di seputaran Salatiga.    

Johar Manik yang ditugaskan di wilayah Salatiga dan sekitarnya, memiliki kemampaun supranatural atau kesaktian. Kesaktian didapat setelah Johar Manik gemar tirakat, baik itu puasa maupun melek (tidak tidur).


Sebagai senopati andalan Pangeran Diponegoro, berbagai medan pertempuran sengit melawan Belanda dialami. Baik ketika bisa mengalahkan pasukan musuh atau terpaksa mundur karena terdesak.


Ketika terdesak, Johar Manik bersama laskarnya sering dikejar-kejar Belanda dan antek-anteknya yang disebut londo ireng (Belanda hitam, orang pribumi yang bergabung dengan Belanda).

Kesetiaan Johar Manik terhadap pimpinan membuatnya sangat dekat dan akrab dengan Pangeran Diponegoro.


Pangeran Diponegoro yang tinggal di Tegalrejo, secara diam-diam berkunjung ke Blondo, Salatiga untuk sekedar ngobrol atau mengatur strategi perang.

Karena jabatannya sebagai senopati perang, Johar Manik diberi seekor kuda berwarna putih dari Pangeran Diponegoro untuk mobilitas dalam peperangan. Kuda putih itu diberi nama Kiai Bangkol.


Sebelum Pangeran Diponegoro berangkat berunding, yang kemudian dijebak oleh Belanda, sempat bertemu Johar Manik di Watu Ceper, Pangeran Diponegoro berpesan, apa pun yang terjadi dalam perundingan tersebut, meski nanti tidak lagi bisa bertemu, perjuangan harus diteruskan dan tidak boleh kalah melawan penjajah.


Dalam sebuah penyergapan di Salatiga yang dilakukan oleh Belanda dan antek-anteknya, Johar Manik yang saat itu terkepung tetap melakukan perlawanan sengit.


Johar Manik yang saat itu menunggangi kuda, tertusuk tombak di badannya hingga menderita luka parah. Meski demikian, dia masih tetap bisa mengendalikan kuda tunggangannya menuju tempat persembunyiannya di daerah Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. 


Ketika di Sumogawe, ada Pangeran Sumonegoro yang merupakan saudara Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang melawan penjajah. Johar Manik yang terluka parah kemudian dirawat, namun akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia.


Sebelum meninggal, Johar Manik yang aslinya berasal Bantul berpesan kepada anaknya Karmin Karyodino agar dimakamkan di dekat rumahnya, yaitu di sekitaran Blondo. Jenazah Johar Manik kemudian dimakamkan di daeah Tanggulayu tak jauh dari Blondo.



Suber :  Abror Subhi Dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment