21 April 2025

Trinil, Kartini, dan Jejak Emansipasi yang Dimulai dari Rumah. Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai pahlawan emansipasi perempuan Indonesia, lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1806. Kartini adalah putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara, dan Ngasirah, putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Meskipun lahir dalam keluarga bangsawan, kehidupan Kartini tidaklah semudah yang dibayangkan. Menurut buku RA Kartini, Biografi Singkat 1879-1904 yang ditulis oleh Imron Rosyadi, sejarawan M.C. Ricklefs menyebut Sosroningrat sebagai "one of the most enlightened of Java's Bupatis" (salah satu bupati yang berpikiran maju di Jawa). Sosroningrat adalah seorang bupati yang berpendidikan dan sangat fasih berbahasa Belanda, suatu kemampuan yang sangat jarang dimiliki oleh banyak bupati pada masa kolonial. Dengan kecerdasan ini, ia memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan anak-anaknya, termasuk Kartini. Namun, meskipun Sosroningrat termasuk bupati yang progresif, kehidupan Kartini tidak bebas dari diskriminasi dan penderitaan, terutama karena status ibunya yang bukan berasal dari kalangan bangsawan. Kehidupan Keluarga yang Penuh Penderitaan Kehidupan Kartini di rumah tangga ayahnya penuh dengan ketidaksetaraan. Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam, keturunan bangsawan Madura, karena Ngasirah, ibu Kartini, bukanlah keturunan bangsawan. Menurut tradisi kolonial saat itu, bupati diwajibkan untuk menikahi bangsawan. Dengan pernikahan kedua ini, Raden Ayu Muryam menjadi garwa padmi (istri utama), sementara Ngasirah menjadi garwa ampil (istri kedua). Kehidupan sebagai anak selir membuat Kartini dan ibunya harus merasakan penderitaan yang tak terkatakan. Dalam suratnya yang ditulis pada 21 Desember 1900, Kartini dengan penuh emosi mengungkapkan, "Saya meyaksikan penderitaan dan menderita sendiri karena penderitaan ibu saya dan karena saya anaknya. Aduhai, merasakan sedalam-dalamnya, itulah penderitaan neraka. Ada hari-hari tanpa kegembiraan dan amat sedih sampai saya terengah-engah dan mengidam-idamkan akhir hidup saya di dunia dan hendak mengakhirinya sendiri kalaiusaya tidak sangat mencintai ayah saya." Julukan Trinil dan Jaran Kore Meskipun hidup di tengah penderitaan, Kartini kecil memiliki semangat yang tinggi dan rasa ingin tahu yang luar biasa. Ayahnya memberi julukan "Trinil" untuknya, yang berarti burung kecil yang gesit dan lincah, karena sifatnya yang aktif dan banyak bertanya. Julukan ini mencerminkan betapa Kartini sudah memiliki kecerdasan dan semangat yang tinggi meskipun usianya masih sangat muda. Dalam suratnya yang ditulis pada 18 Agustus 1899 kepada sahabatnya, Estelle Zeehandelaar, Kartini menceritakan, "Saya disebut Kuda Kore atau Kuda Liar karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak." Panggilan "Jaran Kore" (Kuda Liar) diberikan oleh saudara-saudaranya karena perilakunya yang tidak seperti perempuan Jawa pada umumnya, yang diharapkan untuk lebih tenang dan santun. Sejak kecil, Kartini merasakan perbedaan yang tajam antara kehidupannya di rumah ibunya dan rumah ayahnya. Dalam suratnya kepada Nyonya HG dee Booij-Boissevain, Kartini menggambarkan betapa beratnya hidup yang ia jalani sebagai anak dari seorang selir. "Sejak kecil saya sudah merasakan kehidupan yang berbeda antara gedung utama dan rumah kecil tempat saya tinggal bersama ibu saya," ungkap Kartini. Rumah ayahnya, yang dihuni oleh istri utama dan anak-anak dari pernikahan pertama, sangat berbeda dengan rumah ibu kandungnya yang sederhana dan penuh keterbatasan. Perbedaan status ini menyebabkan Kartini merasakan diskriminasi sejak dini, sesuatu yang juga ia alami sepanjang hidupnya. Lingkungan Keluarga yang Berpendidikan dan Maju Walaupun Kartini lahir dari seorang ibu selir, ia tetap dibesarkan dalam keluarga yang sangat mendukung pendidikan. Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, adalah bupati yang sangat memperhatikan pendidikan. Pada tahun 1845, ia mendatangkan guru-guru dari Belanda untuk mengajarkan ilmu pengetahuan Barat kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Kartini lahir dari keluarga yang sangat menghargai pendidikan dan memiliki pemikiran yang jauh lebih maju dibandingkan dengan kebanyakan keluarga pada masa itu. Kartini juga memiliki paman yang berperan penting dalam pemerintahan kolonial, Pangeran Ario Hadiningrat, yang menjadi Bupati Demak. Pada awal 1920-an, paman Kartini ini menjadi ketua pertama Perhimpunan Bupati yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Semua ini menunjukkan bahwa meskipun Kartini adalah anak seorang selir, ia berasal dari keluarga yang memiliki tradisi intelektual yang kuat, yang akhirnya mempengaruhi pemikirannya dan pandangannya terhadap pendidikan perempuan. Tempat Kelahiran yang Masih Menjadi Misteri Ada berbagai pendapat mengenai tempat kelahiran Kartini. Tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai apakah ia lahir di rumah ayahnya atau rumah ibunya. Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, terdapat dua foto yang menunjukkan tempat yang diduga sebagai lokasi kelahiran Kartini, yaitu sebuah gedung asistenwedanaan. Foto ini menunjukkan bahwa gedung tersebut lebih sederhana dan tidak seberapa terlihat dinding batu, yang kemungkinan besar menggambarkan bahwa Kartini lahir di gedung tersebut, bukan di rumah ayahnya yang lebih besar dan megah. Imron Rosyadi dalam tulisannya menyebutkan bahwa karena Ngasirah bukan berasal dari keluarga bangsawan, maka tidak mungkin rumahnya dibuat dari batu, dan itu menunjukkan bahwa Kartini kemungkinan besar lahir di gedung asistenwedanaan. Kartini pun tetap dibesarkan dengan nilai-nilai yang mengedepankan pengetahuan dan kemajuan. Kartini tumbuh menjadi simbol perjuangan perempuan Indonesia, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga berjuang untuk pendidikan dan emansipasi perempuan di seluruh Nusantara. Melalui surat-suratnya yang penuh makna, Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan dalam dirinya terkandung semangat untuk mengubah nasib perempuan Indonesia. #kartini #ibukitakartini #sejarah #emansipasi #wanita #patinesia #foto #fyp #viral #trending Sumber : https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/04/20/131300388/trinil-kartini-dan-jejak-emansipasi-yang-dimulai-dari-rumah#page3

 Trinil, Kartini, dan Jejak Emansipasi yang Dimulai dari Rumah.


Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai pahlawan emansipasi perempuan Indonesia, lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1806. Kartini adalah putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara, dan Ngasirah, putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.



Meskipun lahir dalam keluarga bangsawan, kehidupan Kartini tidaklah semudah yang dibayangkan. 


Menurut buku RA Kartini, Biografi Singkat 1879-1904 yang ditulis oleh Imron Rosyadi, sejarawan M.C. Ricklefs menyebut Sosroningrat sebagai "one of the most enlightened of Java's Bupatis" (salah satu bupati yang berpikiran maju di Jawa).


Sosroningrat adalah seorang bupati yang berpendidikan dan sangat fasih berbahasa Belanda, suatu kemampuan yang sangat jarang dimiliki oleh banyak bupati pada masa kolonial. Dengan kecerdasan ini, ia memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan anak-anaknya, termasuk Kartini. 


Namun, meskipun Sosroningrat termasuk bupati yang progresif, kehidupan Kartini tidak bebas dari diskriminasi dan penderitaan, terutama karena status ibunya yang bukan berasal dari kalangan bangsawan. 


Kehidupan Keluarga yang Penuh Penderitaan


Kehidupan Kartini di rumah tangga ayahnya penuh dengan ketidaksetaraan. Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam, keturunan bangsawan Madura, karena Ngasirah, ibu Kartini, bukanlah keturunan bangsawan. 


Menurut tradisi kolonial saat itu, bupati diwajibkan untuk menikahi bangsawan. Dengan pernikahan kedua ini, Raden Ayu Muryam menjadi garwa padmi (istri utama), sementara Ngasirah menjadi garwa ampil (istri kedua). 


Kehidupan sebagai anak selir membuat Kartini dan ibunya harus merasakan penderitaan yang tak terkatakan. Dalam suratnya yang ditulis pada 21 Desember 1900, Kartini dengan penuh emosi mengungkapkan, 


"Saya meyaksikan penderitaan dan menderita sendiri karena penderitaan ibu saya dan karena saya anaknya. Aduhai, merasakan sedalam-dalamnya, itulah penderitaan neraka. Ada hari-hari tanpa kegembiraan dan amat sedih sampai saya terengah-engah dan mengidam-idamkan akhir hidup saya di dunia dan hendak mengakhirinya sendiri kalaiusaya tidak sangat mencintai ayah saya." 


Julukan Trinil dan Jaran Kore


Meskipun hidup di tengah penderitaan, Kartini kecil memiliki semangat yang tinggi dan rasa ingin tahu yang luar biasa. Ayahnya memberi julukan "Trinil" untuknya, yang berarti burung kecil yang gesit dan lincah, karena sifatnya yang aktif dan banyak bertanya. Julukan ini mencerminkan betapa Kartini sudah memiliki kecerdasan dan semangat yang tinggi meskipun usianya masih sangat muda. 


Dalam suratnya yang ditulis pada 18 Agustus 1899 kepada sahabatnya, Estelle Zeehandelaar, Kartini menceritakan, "Saya disebut Kuda Kore atau Kuda Liar karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak." 


Panggilan "Jaran Kore" (Kuda Liar) diberikan oleh saudara-saudaranya karena perilakunya yang tidak seperti perempuan Jawa pada umumnya, yang diharapkan untuk lebih tenang dan santun.


Sejak kecil, Kartini merasakan perbedaan yang tajam antara kehidupannya di rumah ibunya dan rumah ayahnya. 


Dalam suratnya kepada Nyonya HG dee Booij-Boissevain, Kartini menggambarkan betapa beratnya hidup yang ia jalani sebagai anak dari seorang selir. 


"Sejak kecil saya sudah merasakan kehidupan yang berbeda antara gedung utama dan rumah kecil tempat saya tinggal bersama ibu saya," ungkap Kartini. 


Rumah ayahnya, yang dihuni oleh istri utama dan anak-anak dari pernikahan pertama, sangat berbeda dengan rumah ibu kandungnya yang sederhana dan penuh keterbatasan. Perbedaan status ini menyebabkan Kartini merasakan diskriminasi sejak dini, sesuatu yang juga ia alami sepanjang hidupnya. 


Lingkungan Keluarga yang Berpendidikan dan Maju


Walaupun Kartini lahir dari seorang ibu selir, ia tetap dibesarkan dalam keluarga yang sangat mendukung pendidikan. Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, adalah bupati yang sangat memperhatikan pendidikan. 


Pada tahun 1845, ia mendatangkan guru-guru dari Belanda untuk mengajarkan ilmu pengetahuan Barat kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Kartini lahir dari keluarga yang sangat menghargai pendidikan dan memiliki pemikiran yang jauh lebih maju dibandingkan dengan kebanyakan keluarga pada masa itu. 


Kartini juga memiliki paman yang berperan penting dalam pemerintahan kolonial, Pangeran Ario Hadiningrat, yang menjadi Bupati Demak. Pada awal 1920-an, paman Kartini ini menjadi ketua pertama Perhimpunan Bupati yang didirikan oleh pemerintah kolonial.  


Semua ini menunjukkan bahwa meskipun Kartini adalah anak seorang selir, ia berasal dari keluarga yang memiliki tradisi intelektual yang kuat, yang akhirnya mempengaruhi pemikirannya dan pandangannya terhadap pendidikan perempuan.


Tempat Kelahiran yang Masih Menjadi Misteri 


Ada berbagai pendapat mengenai tempat kelahiran Kartini. Tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai apakah ia lahir di rumah ayahnya atau rumah ibunya. 


Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, terdapat dua foto yang menunjukkan tempat yang diduga sebagai lokasi kelahiran Kartini, yaitu sebuah gedung asistenwedanaan. Foto ini menunjukkan bahwa gedung tersebut lebih sederhana dan tidak seberapa terlihat dinding batu, yang kemungkinan besar menggambarkan bahwa Kartini lahir di gedung tersebut, bukan di rumah ayahnya yang lebih besar dan megah. 


Imron Rosyadi dalam tulisannya menyebutkan bahwa karena Ngasirah bukan berasal dari keluarga bangsawan, maka tidak mungkin rumahnya dibuat dari batu, dan itu menunjukkan bahwa Kartini kemungkinan besar lahir di gedung asistenwedanaan.


Kartini pun tetap dibesarkan dengan nilai-nilai yang mengedepankan pengetahuan dan kemajuan. Kartini tumbuh menjadi simbol perjuangan perempuan Indonesia, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga berjuang untuk pendidikan dan emansipasi perempuan di seluruh Nusantara. 


Melalui surat-suratnya yang penuh makna, Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan dalam dirinya terkandung semangat untuk mengubah nasib perempuan Indonesia.

#kartini #ibukitakartini #sejarah #emansipasi #wanita #patinesia #foto #fyp #viral #trending


Sumber : https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/04/20/131300388/trinil-kartini-dan-jejak-emansipasi-yang-dimulai-dari-rumah#page3

No comments:

Post a Comment