29 April 2025

𝙆𝙀𝙏𝙄𝙆𝘼 𝙏𝘼𝙉𝘼𝙃 𝙏𝙐𝙈𝙋𝘼𝙃, 𝘿𝘼𝙍𝘼𝙃 Empat Raja. Empat bangsa Eropa. Empat yang datang satu-satu. Empat berganti satu demi satu. Empat kehendak untuk kuasa. Dan bunyi kekuasaan adalah selalu genderang. Negerimu bukan lagi bunyi teratur tifa dan rebana yang mengiringi syair-syair dalil tifa, tapi berganti bunyi lantang genderang perang. Semacam bunyi liar, tabuh-tabuhan takberaturan, menggemakan berang. Tampak lelaki-lelaki menggotong genderang, serongga kayu yang kulitnya dipukuli keras-keras, kacau-kacau, bukan dengan dua tangan namun dengan senapan, letupan meriam, parang, tombak. Gemerincing perangkat perang, riuh bersahut-sahutan dengan tabuh-tabuhan dan teriakan dan makian. Dan manusia-manusia di atas negeri menari Cakalele. Empat berhadap-hadapan. Empat putih empat coklat, menari perang dengan siasat. Lengan-lengan para raja dan ksatria dan rakyat jelata mengacungkan parang, tombak dan perisai salawaku yang berhias pecahan porselen atau kerang yang disusun bentuk angka-angka kembang: jimat penangkis lawan, hasil perhitungan keramat angka kemenangan. Mereka menapak maju dengan kaki telanjang. Maju menuju dada-dada berbaju zirah, kepala-kepala bertutup topi besi, lengan-lengan putih yang menghunus senapan, mengusung meriam, menabur bubuk mesiu. Dan betapa anehnya mereka menari. Jari-jari putih coklat para penari saling berjemputan, bertautan, badan-badan mereka saling berdekapan. Kemudian saling bertabrakan, berhantaman, bersandungan. Mereka bertukar-tukar pasangan lawan dan kawan. Satu lawan satu. Dua lawan satu. Dua kawan satu. Empat lawan dua. Satu kawan satu. Satu yang menari sendiri, melukai diri. Empat yang kian berpusing seperti gasing, jari-jemari saling menukar pasang sekutu dan pesaing. Empat yang berlesatan, bersesatan, berkelindan: lawan dan kawan, kekuasaan dan perlawanan, ketertindasan dan kebebasan dalam tarian amuk setan. Pulaumu menangguk kekalahan, meraih kemenangan, mengulangi keduanya, atau sekadai menunda keduanya, pada sebuah akhir yang entah apa dan entah kapan. Begitu lama para lelaki itu menari perang. Cakalele yang berganti penari-penari, generasi demi generasi, abad demi abad. Dalam gerakan-gerakan yang sama, perhitungan angka-angka lama. Tarian amuk setan dalam lingkaran setan tak berkesudahan: kesilaman, kekinian, masa depan. Menjadi sejarah, yang ditulis di kitab-kitab manusia dalam huruf-huruf besar untuk anak cucu mereka. Sejarah, kesilaman itu, rangkaian pengulangan usang. Kesilaman, menjadi masa depan, hari-hari yang datang satu-satu itu. Masa depan yang tak menawarkan kebaruan, kesegaran. Nanti yang tak lagi seru untuk dinanti apalagi dengan penuh harapan, telah habis kejutan. Masa depan adalah semata pergantian tampakan kesilaman, berubah-ubah mengambil banyak rupa, untuk imaji-imaji yang tetap dan purba. Masa depan ialah reruntuhan, yang dibangun untuk dihancurkan lagi dan dibangun lagi untuk dihancurkan lagi untuk dibangun lagi, lagi dan lagi. Dan di atasnya, manusia-manusia menari. Cerita Nukila Amal | "Tuah Tanah" (Kalam 2001:40-41). Postingan : Muhammmad Diadi Foto : ChatGTP Mamuya, 19 April 2025. Sorotan

 𝙆𝙀𝙏𝙄𝙆𝘼 𝙏𝘼𝙉𝘼𝙃 𝙏𝙐𝙈𝙋𝘼𝙃, 𝘿𝘼𝙍𝘼𝙃


Empat Raja. Empat bangsa Eropa. Empat yang datang satu-satu. Empat berganti satu demi satu. Empat kehendak untuk kuasa.



Dan bunyi kekuasaan adalah selalu genderang. Negerimu bukan lagi bunyi teratur tifa dan rebana yang mengiringi syair-syair dalil tifa, tapi berganti bunyi lantang genderang perang. Semacam bunyi liar, tabuh-tabuhan takberaturan, menggemakan berang.


Tampak lelaki-lelaki menggotong genderang, serongga kayu yang kulitnya dipukuli keras-keras, kacau-kacau, bukan dengan dua tangan namun dengan senapan, letupan meriam, parang, tombak.


Gemerincing perangkat perang, riuh bersahut-sahutan dengan tabuh-tabuhan dan teriakan dan makian. Dan manusia-manusia di atas negeri menari Cakalele. Empat berhadap-hadapan. Empat putih empat coklat, menari perang dengan siasat.


Lengan-lengan para raja dan ksatria dan rakyat jelata mengacungkan parang, tombak dan perisai salawaku yang berhias pecahan porselen atau kerang yang disusun bentuk angka-angka kembang: jimat penangkis lawan, hasil perhitungan keramat angka kemenangan.


Mereka menapak maju dengan kaki telanjang. Maju menuju dada-dada berbaju zirah, kepala-kepala bertutup topi besi, lengan-lengan putih yang menghunus senapan, mengusung meriam, menabur bubuk mesiu. Dan betapa anehnya mereka menari. Jari-jari putih coklat para penari saling berjemputan, bertautan, badan-badan mereka saling berdekapan.


Kemudian saling bertabrakan, berhantaman, bersandungan. Mereka bertukar-tukar pasangan lawan dan kawan. Satu lawan satu. Dua lawan satu. Dua kawan satu. Empat lawan dua. Satu kawan satu. Satu yang menari sendiri, melukai diri. Empat yang kian berpusing seperti gasing, jari-jemari saling menukar pasang sekutu dan pesaing. Empat yang berlesatan, bersesatan, berkelindan: lawan dan kawan, kekuasaan dan perlawanan, ketertindasan dan kebebasan dalam tarian amuk setan.


Pulaumu menangguk kekalahan, meraih kemenangan, mengulangi keduanya, atau sekadai menunda keduanya, pada sebuah akhir yang entah apa dan entah kapan. Begitu lama para lelaki itu menari perang. Cakalele yang berganti penari-penari, generasi demi generasi, abad demi abad. 


Dalam gerakan-gerakan yang sama, perhitungan angka-angka lama. Tarian amuk setan dalam lingkaran setan tak berkesudahan: kesilaman, kekinian, masa depan. Menjadi sejarah, yang ditulis di kitab-kitab manusia dalam huruf-huruf besar untuk anak cucu mereka. Sejarah, kesilaman itu, rangkaian pengulangan usang.


Kesilaman, menjadi masa depan, hari-hari yang datang satu-satu itu. Masa depan yang tak menawarkan kebaruan, kesegaran. Nanti yang tak lagi seru untuk dinanti apalagi dengan penuh harapan, telah habis kejutan.


Masa depan adalah semata pergantian tampakan kesilaman, berubah-ubah mengambil banyak rupa, untuk imaji-imaji yang tetap dan purba. Masa depan ialah reruntuhan, yang dibangun untuk dihancurkan lagi dan dibangun lagi untuk dihancurkan lagi untuk dibangun lagi, lagi dan lagi. Dan di atasnya, manusia-manusia menari. 


Cerita Nukila Amal | "Tuah Tanah" (Kalam 2001:40-41).

Postingan : Muhammmad Diadi

Foto : ChatGTP


Mamuya, 19 April 2025.

Sorotan

No comments:

Post a Comment