Prabu Hadiwijaya memberikan tanah perdikan Bumi Pati kepada Ki Penjawi tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan Bumi Mataram tahun 1556. Keduanya mendapatkan hadiah atas penumpasan pemberontakan Arya Penangsang.
Tahun 1575 Ki Pemanahan meninggal, di lanjutkan putranya Danang Sutawijaya yang juga putra angkat dari Prabu Hadiwijaya.
Mataram berkembang menjadi besar di bawah kepemimpinan Sutawijaya. Di bawah kepemimpinannya Sutawijaya terus memberikan pengaruhnya kepada daerah-daerah milik kekuasaan Pajang agar membelot dan menjadi bagian dari Mataram.
Sejak saat itu, Danang Sutawijaya enggan melaporkan keadaan Mataram ke Pajang, bahkan Sutawijaya membangun Mataram dengan membentuk prajurit-prajurit, istana keraton dan banyak infrastruktur, terutama untuk menunjang kebutuhan angkatan perang.
Keistimewaan dan kebebasan Mataram yang diberikan oleh Pajang mampu dimanfaatkan oleh Sutawijaya, dan bersiap untuk menggantikan hegemoni Pajang menjadi Mataram.
Tahun demi tahun berlalu, Mataram semakin kuat, meski statusnya hanya kadipaten di bawah Pajang. Serangkaian konfrontasi dan ketegangan terus terjadi antar keduanya.
Meski tidak ditemukan catatan yang jelas dan akurat mengenai perang antar keduanya, banyak yang meyakini bahwa Mataram ingin melepaskan diri dari Pajang, bahkan memberontak dan mengkudeta benar adanya.
Catatan yang dipercayai benar-benar meletus perang antar keduanya terjadi pada tahun 1582, penyebabnya karena Sutawijaya membela adik iparnya, yakni Tumenggung Mayang yang dihukum buang ke Semarang oleh sang Prabu Hadiwijaya. Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram.
Serangkaian perang keduanya telah meletus dari tahun 1575 hingga 1582. Ada kisah yang menarik ketika Pajang mengalami kekalahan dan harus mundur dari penyerangannya ke Mataram akibat meletusnya gunung Merapi.
Kala itu, Pajang geram dengan sikap Mataram yang ingin melepaskan diri. Ribuan pasukan Pajang berangkat ke Mataram untuk berinisiatif melakukan penyerbuan. Dan Mataram pun bersiap untuk menghadapi.
Pasukan keduanya bertemu di Kali Opak. Pajang berada di sebelah Timur Sungai, sedangkan Mataram di sebelah Barat Sungai.
Kekuatan keduanya tidak imbang, Pajang jauh lebih besar dan kuat, tidak ada sumber daya yang membuat Mataram bakal menang. Merupakan pertempuran antara bapak dan anak, pemerintah pusat melawan daerah. Hadiwijaya melawan Sutawijaya.
Pasukan Mataram membunyikan tambur dan bende untuk mengobarkan semangat tempur. Bende Kyai Bicak sebagai pusaka Mataram dibunyikan, apabila terdengar nyaring maka Mataram akan memenangkan pertempuran dan sebaliknya.
Mataram terus menggelorakan semangatnya, kekuatan penguasa alam ikut diberdayakan untuk membantu pertempuran. Penguasa laut Selatan dan Gunung Merapi dilibatkan secara spiritual guna menangnya Mataram.
Ketika situasi semakin memanas dan selangkah lagi kontak fisik dimulai, tiba-tiba Gunung Merapi meletus. Aliran lava menerjang Kali Opak, material piroklastik terbawa angin menyebar ke berbagai penjuru. Seketika langit menjadi gelap, suasana mencekam dan suara gemuruh dari letusan Merapi tiada hentinya berbunyi.
Akhirnya, pasukan Pajang mundur dan kembali lagi ke Pajang. Atas peristiwa tersebut opini menjadi mengemuka diseluruh daerah bawahan Pajang, bahwa Pajang telah jatuh ke tangan Mataram. Perlahan, Pajang runtuh adanya, Danang Sutawijaya mentahbiskan dirinya sebagai penguasa baru dengan gelar Panembahan Senapati Ing Alaga.
Gambar ilustrasi pasukan Mataram dan Pajang di pinggir sungai. Dengan latar belakang GN Merapi dan Candi Prambanan. Sultan Hadiwijaya sedang mengendarai gajah.
No comments:
Post a Comment