17 October 2024

SARIP TAMBAK OSO PENDEKAR ETAN KALI Legenda Sarip Tambak Oso terjadi ketika Belanda dengan kompeninya masih menjajah ibu pertiwi. Tidak ada catatan pasti tahun berapa sejarah perlawanan Sarip Tambak Oso terhadap kompeni Belanda, karena mungkin tokoh Sarip hanyalah “kerikil-kerikil kecil” sejarah bangsa Indonesia dalam melawan Belanda. Cerita ini sering dimainkan dalam kesenian ludruk, orang Surabaya maupun Sidoarjo pasti tahu dan kenal siapa Sarip Tambak Oso. Sarip adalah nama pemuda kampung yang tinggal di Wetan (timur) sungai Sedati Sidoarjo. Dia dikenal sebagai seorang pendekar yang bertemperamen kasar tetapi sangat perhatian pada penderitaan orang-orang miskin yang menjadi korban pemungutan pajak oleh Belanda. Sarip Tambak Oso memiliki ikatan batin dengan ibunya, seorang janda tua yang miskin. Ketika masih kecil Sarip Tambak Oso memakan “lemah abang” (Tanah Merah) bersama ibunya. Lemah Abang tersebut adalah pemberian ayahnya, ”selama ibunya masih hidup, Sarip tidak akan pernah bisa mati meski dia terbunuh seribu kali“. Sarip memiliki paman dari jalur ayahnya, dimana dia telah mengambil harta warisan berupa tambak peninggalan ayah Sarip untuk dimanfaatkan sendiri. Suatu hari datang lurah Gedangan dan kompeni Belanda kerumah Sarip dengan maksud ingin menarik pajak tambak, karena tambak yang dikelolah paman Sarip adalah atas nama Ayahnya Sarip. Sarip ketika itu tidak ada dirumah sehingga tidak mengetahui peristiwa tersebut. Lurah Gedangan dibantu kompeni Belanda meminta paksa pajak tanah pada ibunya yang tidak mampu membayar. Ibunya Sarip dihajar, dipukul dan ditendang oleh lurah Gedangan dengan dibantu kompeni Belanda. Ibunya Sarip yang sudah tua rentah menangis dan merintih memanggil-manggil Sarip yang tidak ada di rumah waktu itu ”Sariip reneo le.. mbokmu diajar londo le.. Sarriiipp“ (”Sariip… kemari nak.. ibumu dipukuli Belanda nak”). Sarip yang ketika itu tidak berada dirumah seolah mendengar rintihan ibunya, dengan kesaktiannya segera kembali kerumah menemui Ibunya yang sedang dianiaya oleh lurah Gedangan bersama kompeni Belanda. Segera dicabutnya pisau yang selalu terselip dipinggang, lalu dibunuhnya lurah Gedangan dan sebagian kompeni Belanda, sisanya melarikan diri. Sejak saat itu Sarip Tambak Oso menjadi buronan kompeni Belanda. Suatu hari Sarip mendatangi pamannya yang telah mengambil hak tanah tambak peninggalan orang tuanya, tetapi tidak diberikan oleh pamannya sehingga terjadi perkelahian antara Sarip dengan sang Paman. Karena merasa terdesak dan kalah, pamannya melarikan diri menuju kulon kali Sedati, menemui salah satu pendekar yang bernama Paidi. Paidi adalah pendekar kulon (Barat) kali Sedati yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang, karena ia berprofesi sebagai kusir delman. Paidi senang pada putri pamannya Sarip yang bernama Saropah sehingga ia mau membantu pamannya Sarip. Paidi akhirnya pergi mendatangi Sarip dengan maksud untuk menuntut balas perlakuan Sarip pada pamannya. Sarip dan Paidi akhirnya bertemu ditepi sungai Sedati, mereka berkelahi dengan mengadu ilmu kesaktiannya. Sarip kalah dan terbunuh, jasadnya dibuang oleh Paidi ke sungai Sedati. Ketika itu ibunya Sarip sedang mencuci pakaian di sungai Sedati, melihat air sungai berwarna merah darah maka ibunya Sarip mencari sumbernya dan betapa terkejutnya karena ternyata sumber warna merah sungai Sedati berasal dari darah anaknya dan seketika itu juga ibunya menjerit ”Sariiip.. tangio le.. durung wayahe awakmu mati..” (Sariip bangun nak.. belum waktunya kamu meninggal) dan seketika Sarip bangkit dari kematiannya seperti orang bangun dari tidur. Oleh ibunya, untuk sementara waktu Sarip diperintahkan menyingkir dari kampungnya dan bersembunyi. Sarip pun kembali mencari Paidi dan bertarung, dimana kali ini Paidi yang kalah dan terbunuh oleh Sarip. Sebagai buronan Belanda, Sarip sering merampok rumah-rumah tuan tanah Belanda dan orang kaya yang menjadi antek-antek Belanda, dimana hasil rampokannya selalu ia bagikan pada rakyat miskin di daerahnya. Belanda merasa kewalahan dengan sepak terjang Sarip yang semakin berani melawan Belanda. Belanda pun menyewa pendekar-pendekar untuk melawan Sarip, tapi tidak ada yang sanggup mengalahkannya karena setiap Sarip mati pasti dia akan hidup kembali dan berulang-ulang terjadi. Belanda pun mencari tahu apa gerangan yang menjadi rahasia kehebatan Sarip sehingga bisa hidup berulang-ulang setiap dia mati. Akhirnya Belanda dapat mengetahui rahasia dan kelemahan Sarip dari pamannya yang merupakan saudara seperguruan silat ayah Sarip, bahwa letak kesaktian Sarip ada pada ibunya. Belanda akhirnya menangkap ibunya Sarip kemudian menembaknya. Sarip pun terdesak dan akhirnya tertangkap oleh Belanda. Oleh Belanda Sarip dijatuhi hukuman mati dengan dikubur hidup-hidup dalam sumur dengan ditutupi batu dan tanah oleh Belanda. Begitulah kisah Sarip Tambak Oso seorang pendekar muda yang gugur melawan Belanda.

 SARIP TAMBAK OSO PENDEKAR ETAN KALI


Legenda Sarip Tambak Oso terjadi ketika Belanda dengan kompeninya masih menjajah ibu pertiwi. Tidak ada catatan pasti tahun berapa sejarah perlawanan Sarip Tambak Oso terhadap kompeni Belanda, karena mungkin tokoh Sarip hanyalah “kerikil-kerikil kecil” sejarah bangsa Indonesia dalam melawan Belanda.



Cerita ini sering dimainkan dalam kesenian ludruk, orang Surabaya maupun Sidoarjo pasti tahu dan kenal siapa Sarip Tambak Oso. Sarip adalah nama pemuda kampung yang tinggal di Wetan (timur) sungai Sedati Sidoarjo. Dia dikenal sebagai seorang pendekar yang bertemperamen kasar tetapi sangat perhatian pada penderitaan orang-orang miskin yang menjadi korban pemungutan pajak oleh Belanda.


Sarip Tambak Oso memiliki ikatan batin dengan ibunya, seorang janda tua yang miskin. Ketika masih kecil Sarip Tambak Oso memakan “lemah abang” (Tanah Merah) bersama ibunya. Lemah Abang tersebut adalah pemberian ayahnya, ”selama ibunya masih hidup, Sarip tidak akan pernah bisa mati meski dia terbunuh seribu kali“. Sarip memiliki paman dari jalur ayahnya, dimana dia telah mengambil harta warisan berupa tambak peninggalan ayah Sarip untuk dimanfaatkan sendiri.


Suatu hari datang lurah Gedangan dan kompeni Belanda kerumah Sarip dengan maksud ingin menarik pajak tambak, karena tambak yang dikelolah paman Sarip adalah atas nama Ayahnya Sarip. Sarip ketika itu tidak ada dirumah sehingga tidak mengetahui peristiwa tersebut. Lurah Gedangan dibantu kompeni Belanda meminta paksa pajak tanah pada ibunya yang tidak mampu membayar. Ibunya Sarip dihajar, dipukul dan ditendang oleh lurah Gedangan dengan dibantu kompeni Belanda.


Ibunya Sarip yang sudah tua rentah menangis dan merintih memanggil-manggil Sarip yang tidak ada di rumah waktu itu ”Sariip reneo le.. mbokmu diajar londo le.. Sarriiipp“ (”Sariip… kemari nak.. ibumu dipukuli Belanda nak”). Sarip yang ketika itu tidak berada dirumah seolah mendengar rintihan ibunya, dengan kesaktiannya segera kembali kerumah menemui Ibunya yang sedang dianiaya oleh lurah Gedangan bersama kompeni Belanda. Segera dicabutnya pisau yang selalu terselip dipinggang, lalu dibunuhnya lurah Gedangan dan sebagian kompeni Belanda, sisanya melarikan diri. 


Sejak saat itu Sarip Tambak Oso menjadi buronan kompeni Belanda. Suatu hari Sarip mendatangi pamannya yang telah mengambil hak tanah tambak peninggalan orang tuanya, tetapi tidak diberikan oleh pamannya sehingga terjadi perkelahian antara Sarip dengan sang Paman. Karena merasa terdesak dan kalah, pamannya melarikan diri menuju kulon kali Sedati, menemui salah satu pendekar yang bernama Paidi. Paidi adalah pendekar kulon (Barat) kali Sedati yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang, karena ia berprofesi sebagai kusir delman. 


Paidi senang pada putri pamannya Sarip yang bernama Saropah sehingga ia mau membantu pamannya Sarip. Paidi akhirnya pergi mendatangi Sarip dengan maksud untuk menuntut balas perlakuan Sarip pada pamannya. Sarip dan Paidi akhirnya bertemu ditepi sungai Sedati, mereka berkelahi dengan mengadu ilmu kesaktiannya. Sarip kalah dan terbunuh, jasadnya dibuang oleh Paidi ke sungai Sedati. 


Ketika itu ibunya Sarip sedang mencuci pakaian di sungai Sedati, melihat air sungai berwarna merah darah maka ibunya Sarip mencari sumbernya dan betapa terkejutnya karena ternyata sumber warna merah sungai Sedati berasal dari darah anaknya dan seketika itu juga ibunya menjerit ”Sariiip.. tangio le.. durung wayahe awakmu mati..” (Sariip bangun nak.. belum waktunya kamu meninggal) dan seketika Sarip bangkit dari kematiannya seperti orang bangun dari tidur. Oleh ibunya, untuk sementara waktu Sarip diperintahkan menyingkir dari kampungnya dan bersembunyi. 


Sarip pun kembali mencari Paidi dan bertarung, dimana kali ini Paidi yang kalah dan terbunuh oleh Sarip. Sebagai buronan Belanda, Sarip sering merampok rumah-rumah tuan tanah Belanda dan orang kaya yang menjadi antek-antek Belanda, dimana hasil rampokannya selalu ia bagikan pada rakyat miskin di daerahnya. Belanda merasa kewalahan dengan sepak terjang Sarip yang semakin berani melawan Belanda.


Belanda pun menyewa pendekar-pendekar untuk melawan Sarip, tapi tidak ada yang sanggup mengalahkannya karena setiap Sarip mati pasti dia akan hidup kembali dan berulang-ulang terjadi. Belanda pun mencari tahu apa gerangan yang menjadi rahasia kehebatan Sarip sehingga bisa hidup berulang-ulang setiap dia mati.


Akhirnya Belanda dapat mengetahui rahasia dan kelemahan Sarip dari pamannya yang merupakan saudara seperguruan silat ayah Sarip, bahwa letak kesaktian Sarip ada pada ibunya. Belanda akhirnya menangkap ibunya Sarip kemudian menembaknya. Sarip pun terdesak dan akhirnya tertangkap oleh Belanda. Oleh Belanda Sarip dijatuhi hukuman mati dengan dikubur hidup-hidup dalam sumur dengan ditutupi batu dan tanah oleh Belanda. Begitulah kisah Sarip Tambak Oso seorang pendekar muda yang gugur melawan Belanda.

No comments:

Post a Comment