06 June 2025

Pengkhianatan Sultan Haji Bersekutu Dengan VOC Untuk Menghancurkan Ayahnya Tahun 1682 menjadi saksi bisu pergolakan politik yang menegangkan di Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa, sang penguasa, dihadapkan dengan pemberontakan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Sultan Haji. Kisah pengkhianatan Sultan Haji terhadap Sultan Ageng Tirtayasa disebutkan terjadi akibat campur tangan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau biasa dikenal Sultan Haji adalah adalah putra kandung dari Sultan Banteng ke-6, yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Sultan Haji, yang saat itu berstatus sebagai putra mahkota, sebagai raja pembantu yang bertanggung jawab atas urusan dalam negeri kerajaan. Sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab atas urusan luar negeri dibantu oleh putranya yang lain, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan di Banten diketahui oleh VOC, yang segera memanfaatkannya untuk menerapkan politik adu domba. Pada salah satu strateginya, VOC biasa memakai Devide et Impera atau politik pecah. Hal ini dilakukan untuk memecah belah Kesultanan Banten yang waktu itu dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Demi memuluskan rencana, VOC mengincar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar alias Sultan Haji. Tak hanya karena statusnya sebagai Putra Mahkota, Sultan Haji kala itu sudah diangkat jadi pembantu ayahnya untuk mengurus masalah dalam negeri. Awalnya, VOC menghasut Sultan Haji dengan menyebar isu bahwa penugasan yang diberikan Sultan Ageng Tirtayasa tidak adil dan berupaya menyingkirkannya sebagai putra mahkota. Alhasil, Sultan Haji terbujuk tipu muslihat VOC yang waktu itu menginginkan kekuasaan di Banten. Pada akhirnya, Sultan Haji berkhianat kepada ayahnya dan bersekongkol dengan VOC untuk merebut takhta kekuasaan Banten supaya tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya. VOC yang sebenarnya ingin menguasai Banten menawarkan bantuan kepada Sultan Haji untuk mendapatkan takhta Kesultanan, tentunya kerja sama dengan VOC tidak datang secara cuma-cuma. Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang sangat merugikan Kerajaan Banten. Adapun empat syarat yang diajukan VOC ke Sultan Haji yakni: Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali. Persyaratan itu pun diterima oleh Sultan Haji yang telah gelap mata dan menyetujui semua persyaratan VOC yang merugikan kerajaannya. Menyanggupi syarat itu, Sultan Haji mulai melancarkan aksinya dengan dukungan VOC. Sempat kesulitan, VOC mengirim bantuan dari Batavia pada 7 April 1682 di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Punya kekuatan besar, VOC kembali menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa. Serangan hebat kemudian dilakukan dan berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan dan Tangerang dapat dikuasai. Sultan Ageng Tirtayasa lalu mundur ke Tirtayasa dan menjadikan tempat itu sebagai pusat pertahanan. Namun, keadaan semakin rumit ketika Kademangan jatuh. Belanda beberapa kali membujuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghentikan perlawanan. Namun, ia tidak gentar dan tetap berusaha mempertahankan Banten. Pada akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap saat hendak kembali ke Keraton Surosowan. Ia kemudian dipenjara di Batavia sampai meninggal. Bersama restu VOC, Sultan Haji naik takhta menjadi penguasa Banten. Sesuai janji yang pernah disepakati, VOC pun perlahan-lahan mulai menebar pengaruh di sana. Akibatnya, Sultan Haji tak hannya menghadapi penentangan dari rakyat, melainkan karena harus menuruti segala kehendak VOC juga. Puncaknya, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1687. Sejak Sultan Ageng Tirtayasa wafat, Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan VOC, sedangkan raja-raja yang berkuasa, termasuk Sultan Haji, hanya sebagai raja boneka Setelah Sultan Haji meninggal, VOC semakin berkuasa di Banten. Bahkan, pengangkatan para Sultan Banten berikutnya harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Banten dibubarkan oleh Inggris pada 1813 * Abror Subhi facebook.com/100001856336410/posts/29916850191293464/

 Pengkhianatan Sultan Haji Bersekutu Dengan VOC Untuk Menghancurkan Ayahnya

Tahun 1682 menjadi saksi bisu pergolakan politik yang menegangkan di Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa, sang penguasa, dihadapkan dengan pemberontakan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Sultan Haji.

Kisah pengkhianatan Sultan Haji terhadap Sultan Ageng Tirtayasa disebutkan terjadi akibat campur tangan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)



Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau biasa dikenal Sultan Haji adalah adalah putra kandung dari Sultan Banteng ke-6, yakni Sultan Ageng Tirtayasa.

Pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Sultan Haji, yang saat itu berstatus sebagai putra mahkota, sebagai raja pembantu yang bertanggung jawab atas urusan dalam negeri kerajaan. Sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab atas urusan luar negeri dibantu oleh putranya yang lain, Pangeran Arya Purbaya.


Pemisahan urusan pemerintahan di Banten diketahui oleh VOC, yang segera memanfaatkannya untuk menerapkan politik adu domba. Pada salah satu strateginya, VOC biasa memakai Devide et Impera atau politik pecah. Hal ini dilakukan untuk memecah belah Kesultanan Banten yang waktu itu dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa.


Demi memuluskan rencana, VOC mengincar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar alias Sultan Haji. Tak hanya karena statusnya sebagai Putra Mahkota, Sultan Haji kala itu sudah diangkat jadi pembantu ayahnya untuk mengurus masalah dalam negeri.


Awalnya, VOC menghasut Sultan Haji dengan menyebar isu bahwa penugasan yang diberikan Sultan Ageng Tirtayasa tidak adil dan berupaya menyingkirkannya sebagai putra mahkota.

Alhasil, Sultan Haji terbujuk tipu muslihat VOC yang waktu itu menginginkan kekuasaan di Banten. Pada akhirnya, Sultan Haji berkhianat kepada ayahnya dan bersekongkol dengan VOC untuk merebut takhta kekuasaan Banten supaya tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya.


VOC yang sebenarnya ingin menguasai Banten menawarkan bantuan kepada Sultan Haji untuk mendapatkan takhta Kesultanan, tentunya kerja sama dengan VOC tidak datang secara cuma-cuma. Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang sangat merugikan Kerajaan Banten.


Adapun empat syarat yang diajukan VOC ke Sultan Haji yakni:

Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.

Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten.

Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC.

Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.


Persyaratan itu pun diterima oleh Sultan Haji yang telah gelap mata dan menyetujui semua persyaratan VOC yang merugikan kerajaannya.

Menyanggupi syarat itu, Sultan Haji mulai melancarkan aksinya dengan dukungan VOC. Sempat kesulitan, VOC mengirim bantuan dari Batavia pada 7 April 1682 di bawah komando Tack dan De Saint Martin. 

Punya kekuatan besar, VOC kembali menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa. Serangan hebat kemudian dilakukan dan berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan dan Tangerang dapat dikuasai. 


Sultan Ageng Tirtayasa lalu mundur ke Tirtayasa dan menjadikan tempat itu sebagai pusat pertahanan. Namun, keadaan semakin rumit ketika Kademangan jatuh.

Belanda beberapa kali membujuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghentikan perlawanan. Namun, ia tidak gentar dan tetap berusaha mempertahankan Banten. Pada akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap saat hendak kembali ke Keraton Surosowan. Ia kemudian dipenjara di Batavia sampai meninggal. 


Bersama restu VOC, Sultan Haji naik takhta menjadi penguasa Banten. Sesuai janji yang pernah disepakati, VOC pun perlahan-lahan mulai menebar pengaruh di sana.

Akibatnya, Sultan Haji tak hannya menghadapi penentangan dari rakyat, melainkan karena harus menuruti segala kehendak VOC juga. Puncaknya, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1687. 

Sejak Sultan Ageng Tirtayasa wafat, Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan VOC, sedangkan raja-raja yang berkuasa, termasuk Sultan Haji, hanya sebagai raja boneka


Setelah Sultan Haji meninggal, VOC semakin berkuasa di Banten. Bahkan, pengangkatan para Sultan Banten berikutnya harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia.

Kondisi tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Banten dibubarkan oleh Inggris pada 1813


* Abror Subhi 

facebook.com/100001856336410/posts/29916850191293464/

No comments:

Post a Comment