26 June 2025

Jejak Air Mata di Dermaga Tanjung Priok : Kisah Pemulangan Massal Orang Belanda dari Indonesia --------------- * Indonesia, 1945. Kembang api kemenangan mewarnai langit Jakarta saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta. Euforia menyelimuti rakyat pribumi yang selama berabad-abad hidup di bawah bayang kolonialisme. Namun, di balik gegap gempita kemerdekaan itu, sekelompok orang Belanda yang selama ini hidup di Hindia Belanda justru menghadapi babak baru yang penuh ketidakpastian. Mereka adalah orang-orang Belanda dan keturunan Indo-Eropa lahir, tumbuh, dan membangun hidup di Hindia Belanda, tanah yang mereka anggap rumah. Namun, dengan berubahnya peta politik dan meningkatnya nasionalisme Indonesia, posisi mereka menjadi kian terjepit. * Gelombang Kepulangan yang Terpaksa Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, situasi di Indonesia berubah drastis. Di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan, berbagai ketegangan politik dan sosial mulai mengarah pada sentimen anti-Belanda. Orang-orang Belanda yang sebelumnya menduduki posisi elite sosial kini menjadi warga asing di tanah yang dulu mereka kuasai. Periode 1946 hingga 1958 menjadi saksi atas repatriasi massal orang Belanda dari Indonesia ke negeri Belanda. Ironisnya, banyak di antara mereka yang bahkan belum pernah menginjakkan kaki di negeri leluhur tersebut. Bagi mereka, Belanda adalah negeri jauh yang asing dingin, berbeda, dan penuh ketidakpastian. Pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan kebijakan yang mempercepat proses pemulangan ini. Salah satunya dengan menghapus berbagai simbol kebudayaan Belanda di ruang publik. Pada Desember 1957, bertepatan dengan perayaan Sinterklas, hari raya tradisional Belanda, Presiden Soekarno mengumumkan larangan merayakan Sinterklas karena dianggap simbol budaya penjajah. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan "SINTERKLAS HITAM". Di mata orang Belanda saat itu, larangan ini bukan sekadar pembatasan budaya, tapi sinyal bahwa keberadaan mereka tak lagi diinginkan. * Tangisan di Dermaga Tanjung Priok Satu per satu kapal-kapal besar berlayar dari pelabuhan Tanjung Priok, membawa ribuan orang Belanda meninggalkan rumah-rumah yang mereka bangun, makam-makam keluarga, dan ingatan masa kecil mereka. Setiap perpisahan di dermaga dipenuhi isak tangis, pelukan erat, dan ketakutan akan hari esok di negeri asing. Banyak kisah menyayat hati muncul dari peristiwa itu. Seorang perempuan Indo bernama Maria Van Der Veen, dalam catatan pribadinya, menceritakan betapa beratnya meninggalkan Indonesia. "Aku lahir di Batavia, menikah di Surabaya, dan anak-anakku dimakamkan di Semarang. Bagaimana mungkin aku harus meninggalkan semua itu untuk negeri yang bahkan tak kutahu bentuknya?" * Perjalanan Kapal Waterman Puncak dari proses repatriasi terjadi pada 6 September 1958. Hari itu, kapal Waterman berangkat membawa rombongan terakhir orang Belanda dari Indonesia menuju Belanda. Kapal itu seakan menjadi simbol penutup dari babak panjang kolonialisme di Hindia Belanda. Di atas kapal, suasana campur aduk. Sebagian menangis, sebagian diam menatap laut lepas, sebagian lagi mencoba menguatkan diri menyambut masa depan yang tak menentu. Kapal Waterman bukan sekadar alat transportasi, tapi perahu penyeberangan nasib, dari tanah air yang dulu mereka miliki menuju tanah asing yang harus mereka panggil rumah. * Kehidupan di Negeri Baru Sesampainya di Belanda, para repatrian ini menghadapi kenyataan pahit. Mereka dipandang sebagai orang asing oleh masyarakat Belanda. Iklim yang dingin, budaya yang berbeda, dan minimnya kesempatan kerja membuat banyak dari mereka terjebak dalam kemiskinan dan keterasingan. Dari sinilah lahir komunitas Indo atau Indisch, kelompok diaspora yang hingga kini menjadi salah satu minoritas terbesar di Belanda. Mereka tetap mempertahankan warisan budaya Indonesia lewat musik keroncong, sajian nasi goreng, hingga cerita-cerita tentang malam tropis di Hindia Belanda. * Akhir Sebuah Era Repatriasi massal ini menandai berakhirnya lebih dari tiga abad kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Meski negeri ini merdeka, jejak peristiwa itu tetap membekas di kedua bangsa. Di Indonesia, trauma kolonialisme diwariskan lewat cerita para orang tua, sementara di Belanda, luka perpisahan dipahat dalam ingatan keturunan Indo yang masih merindukan tanah tropis di seberang lautan. Hingga kini, tiap tahun sejumlah komunitas Indo-Belanda di Den Haag dan Amsterdam masih memperingati hari kepulangan mereka, mengenang masa lalu yang tak pernah benar-benar bisa mereka lepaskan. Foto Hasil Restorasi Berwarna : Potret Lawas Orang Belanda Diusir dari Indonesia Tahun 1957, Berbondong-bondong Naik Kapal Laut ditulis oleh : @dunia.sjr Sumber Referensi : - Jean Gelman Taylor, Indonesia: Peoples and Histories, Yale University Press, 2003. - Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony, Princeton University Press, 2002. - Liputan Tempo, Repatriasi Belanda Pasca-Kemerdekaan, 2017. - Arsip Nasional Belanda, Indische Kwestie. #SejarahIndonesia #PemulanganBelanda1958 #RepatriasiBelanda #IndonesiaBelanda #Waterman1958 #JejakKolonialisme #DuniaSejarah #menyapaindonesia #UjungRuangDigital #palingujung_ebiiberkah #sorotan

 Jejak Air Mata di Dermaga Tanjung Priok : Kisah Pemulangan Massal Orang Belanda dari Indonesia

---------------



* Indonesia, 1945.


Kembang api kemenangan mewarnai langit Jakarta saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta. 

Euforia menyelimuti rakyat pribumi yang selama berabad-abad hidup di bawah bayang kolonialisme. 

Namun, di balik gegap gempita kemerdekaan itu, sekelompok orang Belanda yang selama ini hidup di Hindia Belanda justru menghadapi babak baru yang penuh ketidakpastian.


Mereka adalah orang-orang Belanda dan keturunan Indo-Eropa  lahir, tumbuh, dan membangun hidup di Hindia Belanda, tanah yang mereka anggap rumah. 

Namun, dengan berubahnya peta politik dan meningkatnya nasionalisme Indonesia, posisi mereka menjadi kian terjepit.


* Gelombang Kepulangan yang Terpaksa


Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, situasi di Indonesia berubah drastis. Di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan, berbagai ketegangan politik dan sosial mulai mengarah pada sentimen anti-Belanda. 

Orang-orang Belanda yang sebelumnya menduduki posisi elite sosial kini menjadi warga asing di tanah yang dulu mereka kuasai.


Periode 1946 hingga 1958 menjadi saksi atas repatriasi massal orang Belanda dari Indonesia ke negeri Belanda.

 Ironisnya, banyak di antara mereka yang bahkan belum pernah menginjakkan kaki di negeri leluhur tersebut.

 Bagi mereka, Belanda adalah negeri jauh yang asing dingin, berbeda, dan penuh ketidakpastian.


Pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan kebijakan yang mempercepat proses pemulangan ini.

 Salah satunya dengan menghapus berbagai simbol kebudayaan Belanda di ruang publik. Pada Desember 1957, bertepatan dengan perayaan Sinterklas, hari raya tradisional Belanda, Presiden Soekarno mengumumkan larangan merayakan Sinterklas karena dianggap simbol budaya penjajah.


Peristiwa ini dikenal dengan sebutan "SINTERKLAS HITAM".

Di mata orang Belanda saat itu, larangan ini bukan sekadar pembatasan budaya, tapi sinyal bahwa keberadaan mereka tak lagi diinginkan.


* Tangisan di Dermaga Tanjung Priok


Satu per satu kapal-kapal besar berlayar dari pelabuhan Tanjung Priok, membawa ribuan orang Belanda meninggalkan rumah-rumah yang mereka bangun, makam-makam keluarga, dan ingatan masa kecil mereka.

 Setiap perpisahan di dermaga dipenuhi isak tangis, pelukan erat, dan ketakutan akan hari esok di negeri asing.


Banyak kisah menyayat hati muncul dari peristiwa itu. 

Seorang perempuan Indo bernama Maria Van Der Veen, dalam catatan pribadinya, menceritakan betapa beratnya meninggalkan Indonesia.

"Aku lahir di Batavia, menikah di Surabaya, dan anak-anakku dimakamkan di Semarang. Bagaimana mungkin aku harus meninggalkan semua itu untuk negeri yang bahkan tak kutahu bentuknya?"


* Perjalanan Kapal Waterman


Puncak dari proses repatriasi terjadi pada 6 September 1958.

 Hari itu, kapal Waterman berangkat membawa rombongan terakhir orang Belanda dari Indonesia menuju Belanda.

 Kapal itu seakan menjadi simbol penutup dari babak panjang kolonialisme di Hindia Belanda.


Di atas kapal, suasana campur aduk. 

Sebagian menangis, sebagian diam menatap laut lepas, sebagian lagi mencoba menguatkan diri menyambut masa depan yang tak menentu.

 Kapal Waterman bukan sekadar alat transportasi, tapi perahu penyeberangan nasib, dari tanah air yang dulu mereka miliki menuju tanah asing yang harus mereka panggil rumah.


* Kehidupan di Negeri Baru


Sesampainya di Belanda, para repatrian ini menghadapi kenyataan pahit. 

Mereka dipandang sebagai orang asing oleh masyarakat Belanda.

 Iklim yang dingin, budaya yang berbeda, dan minimnya kesempatan kerja membuat banyak dari mereka terjebak dalam kemiskinan dan keterasingan.


Dari sinilah lahir komunitas Indo atau Indisch, kelompok diaspora yang hingga kini menjadi salah satu minoritas terbesar di Belanda. Mereka tetap mempertahankan warisan budaya Indonesia lewat musik keroncong, sajian nasi goreng, hingga cerita-cerita tentang malam tropis di Hindia Belanda.


* Akhir Sebuah Era


Repatriasi massal ini menandai berakhirnya lebih dari tiga abad kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. 

Meski negeri ini merdeka, jejak peristiwa itu tetap membekas di kedua bangsa.

 Di Indonesia, trauma kolonialisme diwariskan lewat cerita para orang tua, sementara di Belanda, luka perpisahan dipahat dalam ingatan keturunan Indo yang masih merindukan tanah tropis di seberang lautan.


Hingga kini, tiap tahun sejumlah komunitas Indo-Belanda di Den Haag dan Amsterdam masih memperingati hari kepulangan mereka, mengenang masa lalu yang tak pernah benar-benar bisa mereka lepaskan.


  Foto Hasil Restorasi Berwarna : Potret Lawas Orang Belanda Diusir dari Indonesia Tahun 1957, Berbondong-bondong Naik Kapal Laut


ditulis oleh : @dunia.sjr


Sumber Referensi :

- Jean Gelman Taylor, Indonesia: Peoples and Histories, Yale University Press, 2003.

- Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony, Princeton University Press, 2002.

- Liputan Tempo, Repatriasi Belanda Pasca-Kemerdekaan, 2017.

- Arsip Nasional Belanda, Indische Kwestie.


#SejarahIndonesia #PemulanganBelanda1958 #RepatriasiBelanda #IndonesiaBelanda #Waterman1958  #JejakKolonialisme #DuniaSejarah #menyapaindonesia #UjungRuangDigital #palingujung_ebiiberkah #sorotan

No comments:

Post a Comment