16 June 2025

Cinta Terlarang di Keraton Yogyakarta: Kisah Nyi Ageng Serang Muda Di lereng perbukitan Serang, Jawa Tengah, sekitar tahun 1752, lahirlah seorang anak perempuan dari keturunan bangsawan Mataram. Namanya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Sejak kecil, hidupnya tak biasa. Ayahnya, Pangeran Notodiningrat, bukan hanya seorang adipati, tapi juga keturunan langsung dari Sunan Kalijaga. Di usianya yang masih belia, saat anak perempuan lain belajar menari atau menumbuk padi, Raden Ajeng sudah akrab dengan peta-peta jalur perang dan strategi pertempuran. Ia belajar menggunakan tombak, keris, bahkan mengatur barisan prajurit desa. Semua itu diwariskan dari sang kakek buyut, Ki Ageng Serang, pemimpin karismatik Mataram pada zamannya. * Cinta di Balik Dinding Keraton Ketika beranjak remaja, kecantikan dan kecerdasannya tersiar hingga ke telinga Keraton Yogyakarta. Suatu waktu, ia dipanggil ke keraton dan di sanalah benih cinta tumbuh. Seorang bangsawan keraton terpikat kepadanya. Sayangnya, hubungan itu terlarang. Selain perbedaan umur yang jauh, situasi politik di dalam keraton pun tak kondusif. Hubungan itu harus dijalani sembunyi-sembunyi, karena bisa mengancam posisi keluarga keduanya. Di balik kemewahan keraton, Raden Ajeng mulai merasakan kegelisahan. Ia melihat ketidakadilan. Rakyat menderita karena pajak dan kekuasaan kolonial yang makin mencengkeram. Sementara para bangsawan lebih sibuk memperebutkan kekuasaan daripada memikirkan rakyat. Raden Ajeng sadar, cinta asmara yang dikejarnya tak sebanding dengan cinta kepada rakyatnya. * Meninggalkan Cinta, Memilih Rakyat Dalam sebuah malam sunyi, ditemani suara kentongan ronda dan desir angin di halaman keraton, Raden Ajeng membuat keputusan paling berat dalam hidupnya. Ia meninggalkan keraton, meninggalkan cinta terlarang itu, dan kembali ke Desa Serang. Di sana, ia menggalang kekuatan rakyat. Ia menikahi Pangeran Kusumowijoyo, seorang bangsawan lokal yang juga pejuang, bukan demi status, tapi sebagai bagian dari perjuangan menyatukan rakyat. * Berperang di Usia Senja Tahun 1825, Perang Diponegoro pecah. Saat itu, usianya telah lebih dari 70 tahun. Tapi semangatnya tak pernah padam. Di usia senjanya, Nyi Ageng Serang memimpin sendiri pasukan rakyat. Karena tak lagi bisa berjalan jauh, ia memimpin dari atas tandu. Di sinilah ia menunjukkan strategi legendaris: "Daun Lumbu". Pasukannya berkamuflase di ladang talas, menutupi tubuh mereka dengan daun lebar, menyergap pasukan Belanda yang tak menyangka ada serangan dari arah itu. Taktik ini beberapa kali berhasil membuat tentara kolonial kewalahan. * Akhir Hidup yang Terhormat Setelah bertahun-tahun berperang, di tahun 1828, Nyi Ageng Serang wafat di usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bukit Beku, Kulon Progo, Yogyakarta. Ia dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tapi juga sebagai perempuan yang rela mengorbankan cinta pribadi demi cintanya kepada rakyat dan tanah air. Pada 13 Desember 1974, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuknya. Namanya abadi dalam catatan sejarah Indonesia. Sumber Referensi: - Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta - Kompas : Kisah Nyi Ageng Serang, Pahlawan Perempuan dari Yogyakarta - Wikipedia Indonesia: Nyi Ageng Serang - Buku Perempuan-Perempuan Perkasa Nusantara (2019) 📸 Foto Sudah di Restorasi Berwarna Nyi Ageng Serang (Sumber: Dinas Kebudayaan Yogyakarta) #NyiAgengSerang #PahlawanNasional #SejarahIndonesia #PerempuanPejuang #PerangDiponegoro #CeritaTempoDulu #KeratonYogyakarta #EmansipasiPerempuan #PahlawanWanita

 Cinta Terlarang di Keraton Yogyakarta: Kisah Nyi Ageng Serang Muda


Di lereng perbukitan Serang, Jawa Tengah, sekitar tahun 1752, lahirlah seorang anak perempuan dari keturunan bangsawan Mataram. Namanya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Sejak kecil, hidupnya tak biasa. Ayahnya, Pangeran Notodiningrat, bukan hanya seorang adipati, tapi juga keturunan langsung dari Sunan Kalijaga.



Di usianya yang masih belia, saat anak perempuan lain belajar menari atau menumbuk padi, Raden Ajeng sudah akrab dengan peta-peta jalur perang dan strategi pertempuran. Ia belajar menggunakan tombak, keris, bahkan mengatur barisan prajurit desa. Semua itu diwariskan dari sang kakek buyut, Ki Ageng Serang, pemimpin karismatik Mataram pada zamannya.


* Cinta di Balik Dinding Keraton


Ketika beranjak remaja, kecantikan dan kecerdasannya tersiar hingga ke telinga Keraton Yogyakarta. Suatu waktu, ia dipanggil ke keraton dan di sanalah benih cinta tumbuh. Seorang bangsawan keraton terpikat kepadanya. Sayangnya, hubungan itu terlarang. Selain perbedaan umur yang jauh, situasi politik di dalam keraton pun tak kondusif. Hubungan itu harus dijalani sembunyi-sembunyi, karena bisa mengancam posisi keluarga keduanya.


Di balik kemewahan keraton, Raden Ajeng mulai merasakan kegelisahan. Ia melihat ketidakadilan. Rakyat menderita karena pajak dan kekuasaan kolonial yang makin mencengkeram. Sementara para bangsawan lebih sibuk memperebutkan kekuasaan daripada memikirkan rakyat.


Raden Ajeng sadar, cinta asmara yang dikejarnya tak sebanding dengan cinta kepada rakyatnya.


* Meninggalkan Cinta, Memilih Rakyat


Dalam sebuah malam sunyi, ditemani suara kentongan ronda dan desir angin di halaman keraton, Raden Ajeng membuat keputusan paling berat dalam hidupnya. Ia meninggalkan keraton, meninggalkan cinta terlarang itu, dan kembali ke Desa Serang.


Di sana, ia menggalang kekuatan rakyat. Ia menikahi Pangeran Kusumowijoyo, seorang bangsawan lokal yang juga pejuang, bukan demi status, tapi sebagai bagian dari perjuangan menyatukan rakyat.


* Berperang di Usia Senja


Tahun 1825, Perang Diponegoro pecah. Saat itu, usianya telah lebih dari 70 tahun. Tapi semangatnya tak pernah padam. Di usia senjanya, Nyi Ageng Serang memimpin sendiri pasukan rakyat. Karena tak lagi bisa berjalan jauh, ia memimpin dari atas tandu. Di sinilah ia menunjukkan strategi legendaris: "Daun Lumbu".


Pasukannya berkamuflase di ladang talas, menutupi tubuh mereka dengan daun lebar, menyergap pasukan Belanda yang tak menyangka ada serangan dari arah itu. Taktik ini beberapa kali berhasil membuat tentara kolonial kewalahan.


* Akhir Hidup yang Terhormat


Setelah bertahun-tahun berperang, di tahun 1828, Nyi Ageng Serang wafat di usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bukit Beku, Kulon Progo, Yogyakarta. Ia dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tapi juga sebagai perempuan yang rela mengorbankan cinta pribadi demi cintanya kepada rakyat dan tanah air.


Pada 13 Desember 1974, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuknya. Namanya abadi dalam catatan sejarah Indonesia.


Sumber Referensi:

- Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta

- Kompas : Kisah Nyi Ageng Serang, Pahlawan Perempuan dari Yogyakarta

- Wikipedia Indonesia: Nyi Ageng Serang

- Buku Perempuan-Perempuan Perkasa Nusantara (2019)


📸 Foto Sudah di Restorasi Berwarna Nyi Ageng Serang (Sumber: Dinas Kebudayaan Yogyakarta)


#NyiAgengSerang #PahlawanNasional #SejarahIndonesia #PerempuanPejuang #PerangDiponegoro #CeritaTempoDulu #KeratonYogyakarta #EmansipasiPerempuan #PahlawanWanita

No comments:

Post a Comment