26 June 2025

Empat Perempuan Belanda yang Mengkhianati Bangsanya Demi Indonesia --- * 6 Desember 1946. Dingin musim dingin Rotterdam menusuk tulang. Di pelabuhan, sebuah kapal bernama Weltevreden bersiap bertolak menuju Hindia Belanda sebuah negeri yang baru saja berani memproklamasikan kemerdekaan, meski kekuatan kolonial Belanda belum rela melepaskan cengkeramannya. Di antara kerumunan serdadu berseragam KNIL dan awak kapal, berdiri empat perempuan kulit putih: Dolly Zegerius, serta tiga bersaudara Betsy, Annie, dan Miny Kobus. Mereka bukan hendak pergi menaklukkan negeri jajahan, melainkan sebaliknya memihak republik muda yang sedang berdarah mempertahankan kemerdekaan. Di mata Belanda, mereka adalah pengkhianat. Tapi di hati Indonesia, merekalah pejuang. --- * Perempuan Kulit Putih di Kapal Pembawa Tentara Kapal itu seolah gambaran dunia yang terpecah dua. Satu sisi, para tentara Belanda yang hendak ‘menertibkan’ republik yang dianggap membangkang. Di sisi lain, sekelompok kecil orang Belanda yang justru mendukung Indonesia dan mereka tahu risikonya: kehilangan kewarganegaraan, diasingkan, bahkan dicap pengkhianat. "Orang tua saya menangis saat mengantar. Bukan karena saya membela Indonesia, tapi karena saya pergi jauh," kenang Dolly puluhan tahun kemudian. --- * Cinta, Keroncong, dan Perlawanan di Amsterdam Semua berawal dari perkenalan keluarga Kobus, keluarga sosialis di Amsterdam yang sejak lama menentang penjajahan. Rumah mereka jadi tempat singgah para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Belanda. Dari situ, ketiga bersaudara Kobus jatuh hati pada pria-pria Nusantara. Pada 9 Mei 1946, mereka menggelar nikah massal di Belanda: Betsy dengan Djumiran Annie dengan Djabir Miny dengan Amarie Dan sejak saat itu, pilihan mereka jelas: Indonesia adalah tanah air mereka. --- * Tiba di Indonesia, Disambut Garis Demarkasi Tanggal 1 Januari 1947, kapal mereka merapat di Tanjung Priok. Jakarta masih dalam cengkeraman Belanda. Mereka dijemput kereta menuju Yogyakarta ibu kota republik saat itu. Di sepanjang perjalanan, ketiga Kobus muda berkali-kali menjulurkan kepala ke luar jendela kereta, berteriak: "Merdeka! Merdeka!" Di Stasiun Kranji, seorang serdadu KNIL memandang mereka heran. "Kalian ke sana?" tanyanya sambil membuat gerakan lingkaran di pelipis. Di mata tentara Belanda itu, mereka gila empat perempuan kulit putih yang membelot ke pihak republik. --- * Bertemu Soekarno, Diserahkan untuk Indonesia Sesampainya di Yogyakarta, mereka diundang bertemu Presiden Soekarno. Sang ibu, Mien Kobus, menyerahkan ketiga anak perempuannya kepada Bung Karno. "Ketiga anak saya ini satu-satunya harta milik saya," kata Mien. Soekarno menepuk bahunya, "Jangan khawatir, Ibu. Kami akan menjaga mereka." --- * Ketika Peluru dan Ledakan Menjadi Kehidupan Sehari-hari Saat Agresi Militer Belanda pertama meletus pada 21 Juli 1947, mereka tak punya waktu untuk takut. Annie dan Miny bergabung dengan Palang Merah Indonesia di Jember, membantu ribuan pengungsi Surabaya. Dolly menetap di Solo, menjadi istri bangsawan Mangkunegaran, Raden Mas Soetarjo Soerjosoemarno. Ledakan mortir dan tembakan jadi suara sehari-hari. Hingga suatu pagi di Malang, tiga serdadu KNIL datang menenteng senapan ke depan pintu. "Apa kalian tak bisa dapat lelaki Belanda sampai harus menikah dengan orang Indonesia?" ejek mereka. Dolly, Annie, dan Miny berdiri tegak. Mereka tahu, keberpihakan mereka tak bisa dibatalkan. --- * Harga Pengkhianatan dan Setia Sampai Akhir Betsy sempat ditangkap di Jember, disangka mata-mata. Dua hari diinterogasi sebelum akhirnya dibebaskan. Surat-surat dari keluarga di Amsterdam tak lagi datang. Beberapa kerabat menyebut mereka "verrader" (pengkhianat). Namun, mereka tetap tinggal. Membantu di kamp pengungsian, merawat korban perang, menjadi saksi detik-detik berdarah revolusi Indonesia. --- * Tanah Air Baru di Bawah Merah Putih Setelah Indonesia merdeka penuh di akhir 1949, keempat perempuan itu tak pernah kembali ke Belanda. Dolly menetap di Solo, aktif dalam sosial budaya. Annie dan Miny tetap di Palang Merah Indonesia. Betsy hidup di Banyuwangi bersama suaminya. Meski pernah dipandang aneh sebagai kulit putih di tengah republik muda, mereka tak pernah menyesali keputusan yang mereka buat di atas kapal Weltevreden. "Indonesia tanah air kami. Di sini kami lahir kembali," kata Dolly di usia senja. --- ditulis oleh @dunia.sjr --- Sumber: - Janssen, Hilde. Enkele Reis Indonesië (Marjin Kiri, 2017) - Wawancara BBC Indonesia dengan Dolly Zegerius, 2016 - Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) - Sejarah Palang Merah Indonesia #SejarahIndonesia #DollyZegerius #KobusBersaudara #Weltevreden1946 #TanahAirBaruIndonesia #PejuangBelandaProRI #RevolusiIndonesia #SejarahPerempuanPejuang #PalangMerahIndonesia #SolidaritasKemanusiaan

 Empat Perempuan Belanda yang Mengkhianati Bangsanya Demi Indonesia


---


* 6 Desember 1946.

Dingin musim dingin Rotterdam menusuk tulang. Di pelabuhan, sebuah kapal bernama Weltevreden bersiap bertolak menuju Hindia Belanda sebuah negeri yang baru saja berani memproklamasikan kemerdekaan, meski kekuatan kolonial Belanda belum rela melepaskan cengkeramannya.


Di antara kerumunan serdadu berseragam KNIL dan awak kapal, berdiri empat perempuan kulit putih: Dolly Zegerius, serta tiga bersaudara Betsy, Annie, dan Miny Kobus. Mereka bukan hendak pergi menaklukkan negeri jajahan, melainkan sebaliknya memihak republik muda yang sedang berdarah mempertahankan kemerdekaan.



Di mata Belanda, mereka adalah pengkhianat. Tapi di hati Indonesia, merekalah pejuang.


---


* Perempuan Kulit Putih di Kapal Pembawa Tentara


Kapal itu seolah gambaran dunia yang terpecah dua. Satu sisi, para tentara Belanda yang hendak ‘menertibkan’ republik yang dianggap membangkang. Di sisi lain, sekelompok kecil orang Belanda yang justru mendukung Indonesia dan mereka tahu risikonya: kehilangan kewarganegaraan, diasingkan, bahkan dicap pengkhianat.


"Orang tua saya menangis saat mengantar. Bukan karena saya membela Indonesia, tapi karena saya pergi jauh," kenang Dolly puluhan tahun kemudian.


---


* Cinta, Keroncong, dan Perlawanan di Amsterdam


Semua berawal dari perkenalan keluarga Kobus, keluarga sosialis di Amsterdam yang sejak lama menentang penjajahan. Rumah mereka jadi tempat singgah para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Belanda. Dari situ, ketiga bersaudara Kobus jatuh hati pada pria-pria Nusantara.


Pada 9 Mei 1946, mereka menggelar nikah massal di Belanda:


Betsy dengan Djumiran


Annie dengan Djabir


Miny dengan Amarie


Dan sejak saat itu, pilihan mereka jelas: Indonesia adalah tanah air mereka.


---


* Tiba di Indonesia, Disambut Garis Demarkasi


Tanggal 1 Januari 1947, kapal mereka merapat di Tanjung Priok. Jakarta masih dalam cengkeraman Belanda. Mereka dijemput kereta menuju Yogyakarta ibu kota republik saat itu. Di sepanjang perjalanan, ketiga Kobus muda berkali-kali menjulurkan kepala ke luar jendela kereta, berteriak:


"Merdeka! Merdeka!"


Di Stasiun Kranji, seorang serdadu KNIL memandang mereka heran.

"Kalian ke sana?" tanyanya sambil membuat gerakan lingkaran di pelipis.

Di mata tentara Belanda itu, mereka gila empat perempuan kulit putih yang membelot ke pihak republik.


---


* Bertemu Soekarno, Diserahkan untuk Indonesia


Sesampainya di Yogyakarta, mereka diundang bertemu Presiden Soekarno. Sang ibu, Mien Kobus, menyerahkan ketiga anak perempuannya kepada Bung Karno.


"Ketiga anak saya ini satu-satunya harta milik saya," kata Mien.

Soekarno menepuk bahunya,

"Jangan khawatir, Ibu. Kami akan menjaga mereka."


---


* Ketika Peluru dan Ledakan Menjadi Kehidupan Sehari-hari


Saat Agresi Militer Belanda pertama meletus pada 21 Juli 1947, mereka tak punya waktu untuk takut.

Annie dan Miny bergabung dengan Palang Merah Indonesia di Jember, membantu ribuan pengungsi Surabaya. Dolly menetap di Solo, menjadi istri bangsawan Mangkunegaran, Raden Mas Soetarjo Soerjosoemarno.


Ledakan mortir dan tembakan jadi suara sehari-hari. Hingga suatu pagi di Malang, tiga serdadu KNIL datang menenteng senapan ke depan pintu.


"Apa kalian tak bisa dapat lelaki Belanda sampai harus menikah dengan orang Indonesia?" ejek mereka.


Dolly, Annie, dan Miny berdiri tegak. Mereka tahu, keberpihakan mereka tak bisa dibatalkan.


---


* Harga Pengkhianatan dan Setia Sampai Akhir


Betsy sempat ditangkap di Jember, disangka mata-mata. Dua hari diinterogasi sebelum akhirnya dibebaskan.

Surat-surat dari keluarga di Amsterdam tak lagi datang. Beberapa kerabat menyebut mereka "verrader" (pengkhianat).


Namun, mereka tetap tinggal.

Membantu di kamp pengungsian, merawat korban perang, menjadi saksi detik-detik berdarah revolusi Indonesia.


---


* Tanah Air Baru di Bawah Merah Putih


Setelah Indonesia merdeka penuh di akhir 1949, keempat perempuan itu tak pernah kembali ke Belanda.


Dolly menetap di Solo, aktif dalam sosial budaya.


Annie dan Miny tetap di Palang Merah Indonesia.


Betsy hidup di Banyuwangi bersama suaminya.


Meski pernah dipandang aneh sebagai kulit putih di tengah republik muda, mereka tak pernah menyesali keputusan yang mereka buat di atas kapal Weltevreden.


"Indonesia tanah air kami. Di sini kami lahir kembali," kata Dolly di usia senja.


---

ditulis oleh @dunia.sjr

---


Sumber:

- Janssen, Hilde. Enkele Reis Indonesië (Marjin Kiri, 2017)

- Wawancara BBC Indonesia dengan Dolly Zegerius, 2016

- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

- Sejarah Palang Merah Indonesia


#SejarahIndonesia #DollyZegerius #KobusBersaudara

#Weltevreden1946 #TanahAirBaruIndonesia

#PejuangBelandaProRI #RevolusiIndonesia

#SejarahPerempuanPejuang #PalangMerahIndonesia

#SolidaritasKemanusiaan

No comments:

Post a Comment