Operasi Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985: Ketika Negara Menjadi Algojo
---
* Prolog: Malam Penuh Mayat Tanpa Nama
Tahun 1982, Indonesia di bawah kekuasaan Presiden Soeharto tampak berjalan stabil. Media dikuasai, aparat militer mendominasi ruang-ruang sosial dan politik. Namun, di balik stabilitas semu itu, ketakutan gelap mulai menyusup diam-diam. Mayat-mayat bertato dengan tangan terikat ke belakang dan luka tembak di kepala mulai ditemukan di pinggir jalan, sungai, selokan, hingga kebun kosong.
Tak ada pengakuan resmi, tak ada penjelasan. Hanya bisik-bisik di warung kopi dan lorong-lorong pasar tentang operasi rahasia: Petrus singkatan dari Penembakan Misterius.
Orang-orang tahu apa yang sedang terjadi, tapi tak ada yang berani bersuara.
---
* Awal Mula: Ketika Preman Jadi Musuh Negara
Di awal 1980-an, premanisme di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang memang mulai marak. Orang-orang bertato yang kala itu dijuluki “gali” (gabungan anak liar) kerap dianggap perusak ketertiban umum. Pemerintah menganggap para preman ini ancaman serius bagi keamanan dan ketertiban sosial.
Namun, di balik narasi itu, ada kegelisahan rezim Orde Baru terhadap potensi perlawanan rakyat. Preman-preman itu, meski dianggap kriminal, sesungguhnya juga bagian dari masyarakat bawah yang sewaktu-waktu bisa jadi alat atau ancaman politik.
Akhirnya diputuskan, bukan lewat pengadilan atau rehabilitasi sosial — tapi dengan peluru.
---
* Operasi Tanpa Nama, Tapi Sangat Sistematis
Operasi Petrus digerakkan oleh aparat militer di bawah koordinasi sejumlah Kodam dan Kodim. Mereka bergerak diam-diam, tanpa surat perintah pengadilan, tanpa prosedur hukum. Daftar nama target disusun: mulai dari preman jalanan, tukang parkir liar, bahkan pemuda biasa yang kebetulan bertato.
Orang-orang bertato menjadi buruan. Siapa saja yang memiliki tato meski hanya simbol kecil di lengan berisiko ditembak mati tanpa pengadilan.
Korban umumnya ditangkap malam hari. Diculik, diinterogasi, lalu dibawa ke lokasi eksekusi. Tubuh mereka ditemukan keesokan harinya di pinggir jalan, sungai, atau semak-semak. Mulut disumpal, tangan diikat ke belakang, dan luka tembak di kepala atau dada.
Kadang ada mayat yang sengaja dibiarkan tergeletak beberapa jam di jalan, sebagai pesan peringatan bagi yang lain.
---
* Kisah Kentus: Lari Dari Maut, Terjebak Dalam Sistem
Salah satu kisah nyata yang paling dikenal dari Operasi Petrus adalah kasus Kentus, seorang pemuda dari Yogyakarta yang bertato dan dikenal sebagai preman kecil. Tahun 1983, saat gelombang Petrus mulai membara di Yogyakarta, Kentus merasa nyawanya dalam ancaman.
Ia dan dua rekannya melarikan diri ke Jakarta, berharap bisa selamat di kota besar. Di sana, mereka mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. LBH yang saat itu masih berani menangani kasus-kasus sensitif mencoba bernegosiasi dengan Kodim Yogyakarta, meminta jaminan keselamatan bagi Kentus.
Kodim memberi jaminan tertulis. Namun kenyataannya, seminggu kemudian Kentus ditangkap di Jakarta. Ia dibawa kembali ke Yogyakarta, diinterogasi berhari-hari tanpa pengacara, lalu dipindahkan ke Poltabes.
Setelah itu, namanya hilang. Tak pernah ditemukan. Banyak yang meyakini Kentus telah dieksekusi, mayatnya dibuang ke kuburan massal tanpa identitas di pinggiran kota.
---
* Ketakutan Massal: Tato Dianggap Dosa
Operasi Petrus menciptakan ketakutan luar biasa di tengah masyarakat. Studio tato gulung tikar. Orang-orang berbondong-bondong menghapus tatonya dengan benda panas atau asam. Preman-preman kecil bersembunyi di desa-desa atau hutan. Bahkan, ada orang-orang yang sebenarnya bukan kriminal tapi sekadar bertato karena seni atau budaya, ikut menjadi korban.
Warga tak berani keluar malam. Di beberapa kampung kota, anak-anak dilarang bermain di luar setelah magrib. Di warung-warung kopi, nama-nama korban Petrus hanya dibisikkan, karena siapa pun bisa saja diawasi.
Ironisnya, kasus salah sasaran kerap terjadi. Dendam pribadi, persaingan bisnis, hingga kecemburuan antar preman dimanfaatkan untuk menyingkirkan lawan dengan cara memasukkan nama mereka ke daftar target Petrus.
---
* Negara Diam, Media Bungkam
Selama bertahun-tahun, pemerintah Orde Baru tak pernah mengakui secara resmi adanya Operasi Petrus. Media-media dilarang memberitakan secara terbuka. Jika ada laporan tentang mayat misterius, aparat selalu menyebutnya sebagai korban “perkelahian antar preman.”
Namun, para jurnalis bawah tanah, aktivis HAM, dan pegiat hukum tahu persis apa yang sedang terjadi. Tapi membongkar Petrus di masa itu berarti mempertaruhkan nyawa.
---
* Akhir yang Tertunda: Pengakuan Puluhan Tahun Kemudian
Operasi Petrus mereda sekitar tahun 1985, setelah ribuan korban tewas. Jumlah pasti korban tak pernah diumumkan. Diperkirakan antara 2.000 hingga 10.000 jiwa.
Baru pada 11 Januari 2023, dalam pidato resminya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Operasi Petrus merupakan bagian dari pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ia menyebut peristiwa itu bersama 11 peristiwa kelam lainnya.
Namun, meski diakui, hingga kini tak ada satu pun pelaku eksekusi, komandan operasi, atau pejabat militer Orde Baru yang diadili. Kuburan massal korban Petrus pun masih banyak yang tak diketahui letaknya.
---
* Epilog: Luka Yang Tak Pernah Ditutup
Petrus bukan sekadar tragedi hukum atau kekerasan jalanan. Ia adalah luka sejarah yang menyimpan ironi: ketika negara yang seharusnya melindungi, justru menjadi algojo rakyatnya sendiri. Teror Petrus membuktikan betapa kekuasaan bisa menggunakan ketakutan sebagai senjata untuk membungkam perlawanan sosial.
Hingga kini, keluarga korban masih menunggu keadilan yang tak kunjung datang. Sementara banyak nama yang hilang dalam sejarah, tubuh yang terkubur tanpa nisan, dan trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi.
---
Ditulis oleh : Dunia Sejarah
---
Sumber Referensi:
- Asvi Warman Adam, Melacak Kekerasan Negara Orde Baru, 2006
- Komnas HAM RI, Laporan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Operasi Petrus, 2012
- Tempo, Preman, Petrus, dan Negara, Edisi Khusus, 2012
- Kompas, Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat, Termasuk Petrus, 11 Januari 2023
#OperasiPetrus #SejarahKelamIndonesia #HAMIndonesia #Preman1980an #KentusYogyakarta #OrdeBaru #PelanggarnHAM #Jokowi2023 #SejarahIndonesia #TragediPetrus
No comments:
Post a Comment