Jalan Utama, Magelang, sekitar tahun 1910
Hoofdweg, Magelang, ca 1910
Sumber : Bintoro Hoepoedio
.... berani menjalani kehidupan, adalah sebuah konsekuensi untuk ikut membangun sebuah peradaban yang lebih bertanggung jawab ...
𝙆𝙀𝙏𝙄𝙆𝘼 𝙏𝘼𝙉𝘼𝙃 𝙏𝙐𝙈𝙋𝘼𝙃, 𝘿𝘼𝙍𝘼𝙃
Empat Raja. Empat bangsa Eropa. Empat yang datang satu-satu. Empat berganti satu demi satu. Empat kehendak untuk kuasa.
Dan bunyi kekuasaan adalah selalu genderang. Negerimu bukan lagi bunyi teratur tifa dan rebana yang mengiringi syair-syair dalil tifa, tapi berganti bunyi lantang genderang perang. Semacam bunyi liar, tabuh-tabuhan takberaturan, menggemakan berang.
Tampak lelaki-lelaki menggotong genderang, serongga kayu yang kulitnya dipukuli keras-keras, kacau-kacau, bukan dengan dua tangan namun dengan senapan, letupan meriam, parang, tombak.
Gemerincing perangkat perang, riuh bersahut-sahutan dengan tabuh-tabuhan dan teriakan dan makian. Dan manusia-manusia di atas negeri menari Cakalele. Empat berhadap-hadapan. Empat putih empat coklat, menari perang dengan siasat.
Lengan-lengan para raja dan ksatria dan rakyat jelata mengacungkan parang, tombak dan perisai salawaku yang berhias pecahan porselen atau kerang yang disusun bentuk angka-angka kembang: jimat penangkis lawan, hasil perhitungan keramat angka kemenangan.
Mereka menapak maju dengan kaki telanjang. Maju menuju dada-dada berbaju zirah, kepala-kepala bertutup topi besi, lengan-lengan putih yang menghunus senapan, mengusung meriam, menabur bubuk mesiu. Dan betapa anehnya mereka menari. Jari-jari putih coklat para penari saling berjemputan, bertautan, badan-badan mereka saling berdekapan.
Kemudian saling bertabrakan, berhantaman, bersandungan. Mereka bertukar-tukar pasangan lawan dan kawan. Satu lawan satu. Dua lawan satu. Dua kawan satu. Empat lawan dua. Satu kawan satu. Satu yang menari sendiri, melukai diri. Empat yang kian berpusing seperti gasing, jari-jemari saling menukar pasang sekutu dan pesaing. Empat yang berlesatan, bersesatan, berkelindan: lawan dan kawan, kekuasaan dan perlawanan, ketertindasan dan kebebasan dalam tarian amuk setan.
Pulaumu menangguk kekalahan, meraih kemenangan, mengulangi keduanya, atau sekadai menunda keduanya, pada sebuah akhir yang entah apa dan entah kapan. Begitu lama para lelaki itu menari perang. Cakalele yang berganti penari-penari, generasi demi generasi, abad demi abad.
Dalam gerakan-gerakan yang sama, perhitungan angka-angka lama. Tarian amuk setan dalam lingkaran setan tak berkesudahan: kesilaman, kekinian, masa depan. Menjadi sejarah, yang ditulis di kitab-kitab manusia dalam huruf-huruf besar untuk anak cucu mereka. Sejarah, kesilaman itu, rangkaian pengulangan usang.
Kesilaman, menjadi masa depan, hari-hari yang datang satu-satu itu. Masa depan yang tak menawarkan kebaruan, kesegaran. Nanti yang tak lagi seru untuk dinanti apalagi dengan penuh harapan, telah habis kejutan.
Masa depan adalah semata pergantian tampakan kesilaman, berubah-ubah mengambil banyak rupa, untuk imaji-imaji yang tetap dan purba. Masa depan ialah reruntuhan, yang dibangun untuk dihancurkan lagi dan dibangun lagi untuk dihancurkan lagi untuk dibangun lagi, lagi dan lagi. Dan di atasnya, manusia-manusia menari.
Cerita Nukila Amal | "Tuah Tanah" (Kalam 2001:40-41).
Postingan : Muhammmad Diadi
Foto : ChatGTP
Mamuya, 19 April 2025.
Sorotan
- GAYO BUKAN PRIBUMI ACEH -
Ada yang mengatakan Gayo adalah " pribumi Aceh "
Apakah itu benar ???
Mari kita telusuri dari mana Indatu Gayo !!
Pada dasarnya Gayo juga seperti Aceh ( pendatang )karena Gayo adalah Aceh meskipun ada yang tak mengakuinya untuk masa sekarang bukan duhulu☝️✊🔥
Mana buktinya Gayo pendatang ???
Para sesepuh Gayo salah satunya Almarhum ILYAS LEUBE mengatakan bahwa Indatu mereka berasal dari negeri Rum ataupun Turki dan begitu juga beberapa orang Gayo yang tahu sejarah mereka juga mengakui tentang asal muasal nenek moyang mereka !!
Berbicara tentang Batak 27 yang disematkan kepada mereka yang asli Gayo itu tidak mungkin !!
Meskipun ada, mereka tidak sama karakter dan sifatnya asbab mereka yang Gayo asli tidak mau disamakan apalagi di katakan keturunan dari Batak 27.
Jika benar Indatu Gayo berasal dari Turki berarti Gayo juga pendatang yang singgah dan menetap di bumi Aceh ini !!
Hanya saja yang harus dipertanyakan Turki Seljuk atau Ottoman atau yang lebih tua lagi dari kedua dinasti ini !!
Gayo itu Aceh dan jika ada orang Gayo yang mengganggap mereka bukan Aceh berarti memang Indatu mereka bukan Gayo yang telah berjuang untuk negri ini dari dulu sampai sekarang !!
Jangan mau kita di adu domba oleh mereka yang tidak senang melihat Aceh bersatu maka diciptakan bahasa yang menyudutkan (provokasi) layaknya Belanda pada zaman dulu yang sudah menanam labu di Nusantara ini !!
Jika kita terhasut dengan De vide et empera new maka yang berhasil siapa ???
Yang akhirnya domba yang kalah mereka sembelih dan domba yang menang mereka jual 😁😁
Semoga tak gagal faham !!
Wassalam 🙏🙏🙏
Kenapa orang Lombok disebut Sasak? Apakah ada hubungannya dengan kalender Śaka?
Kita semua sepakat bahwa Sasak adalah nama suku mayoritas yang mendiami pulau Lombok. Hal ini tercatat oleh media Australia, Sydney Herald pada tahun 1894, dimana penduduk pulau Lombok menyebut diri mereka, Sasak dan jumlah mereka ratusan ribu pada tahun tersebut.
Adapun asal usul kata Sasak hingga hari ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.
Sumber lisan mengatakan bahwa kata sasak berasal kata sesak atau rapat karena dahulu pulau Lombok ditumbuhi hutan belantara yang sangat rapat. Akan tetapi, hal ini menurut kami agak meragukan, mengingat kata sesak berasal dari Bahasa Melayu.
Sejarawan Dr. C.H. Goris menyebut kata Sasak berasal dari bahasa Sansekerta (Sak = pergi dan Saka = asal). Jadi Orang Sasak adalah orang yang meninggalkan negeri asalnya dengan menggunakan rakit. Mungkinkah begitu?
Sementara Dr Van Teeuw dan P. De Roo De La Faille berpendapat seragam yang meyakini asal kata Sasak berasal dari pengulangan tembasaq (kain putih) yaitu saq saq sehingga menjadi Sasak. Kami pribadi masih ragu, mengingat Tembasaq sendiri tidak umum digunakan dalam Bahasa Sasak.
Jika merujuk ke masa yang lebih tua, terminologi kata Sasak pertama kali ditemukan pada prasasti pujungan berangka tahun 1034 Masehi yang saat ini tersimpan di Puri Tabanan, Bali, dimana terdapat tulisan; Sasakdhana prihhan srih jayannira.
Filolog J.G. de Casparis pernah memeriksa prasasti tersebut, yang menurut pembacanya berarti: Benda ini pemberian (seorang) Sasak, untuk peringatan kemenangannya.
Berdasarkan prasasti tersebut, sebagian ahli meyakini jika Sasak adalah nama sebuah kerajaan di masa lalu. Dan jika melihat angka tahun prasasti tersebut, maka dapat dipastikan keberadaan kerajaan Sasak itu jauh sebelum Majapahit berdiri, lebih tepatnya pada zaman pemerintahan Anak Wungsu ( 1025-1077 M) di Bali dengan pusat pemerintahan di Tampak Siring.
Akan tetapi, di mana letak kerajaan Sasak, siapa nama raja rajanya? Hingga hari ini masih menjadi pertanyaan besar. Ahli mencurigai jika letusan Gunung Samalas pada 1257 Masehi bertanggung jawab atas lenyapnya banyak bukti sejarah Lombok pada abad ke 13 dan era sebelumnya.
Kembali ke asal usul penamaan suku Sasak, kami tertarik dengan ulasan tokoh adat, penggiat dan pemerhati sejarah Lombok, Kanda Maspanji Satria Wangsa tentang keterhubungan (Kalender Sasak) SaSaka (beliau menyebutnya) dengan Kalender Śaka yang lazim digunakan oleh umat Hindu Dharma.
“Tanggal 1, bulan 1 tahun Śaka 1947. Tanggal Sak bulan Sak, tahun Śaka 1947”
Meskipun kami meragukan jika kalender Śaka memiliki hubungan dengan suku Sasak, dan juga atas pernyataan di atas, karena sesuai dengan penjelasan Arkeolog muda Nicolas Umbu Lado bahwa penanggalan tahun baru Śaka jatuh pada tanggal 1 bulan Caitra/Sembilan, atau Kesanga dalam Bahasa Bali. Tetapi ada satu poin menarik dari Maspanji Satriawangsa yang membuat pikiran kami traveling, yaitu kata “Sak” yang sangat umum digunakan oleh masyarakat Sasak dalam penyebutan angka satu; Sak/Sak: 1/1.
Catatan:
Masyarakat Sasak memiliki beberapa penyebutan untuk angka 1 (satu); Sak, Saik, Sekeq, Sopoq. Tetapi kami meyakini yang paling umum adalah Sak.
Mungkinkah penamaan Sasak merupakan kode atau penanggalan yang disematkan kepada “orang/kelompok” yang pertama kali datang ke pulau Lombok, yaitu orang orang yang datang pada tanggal 1 bulan 1, alias Sak/Sak?
Akan tetapi kata “Sak” juga memiliki arti “yang”. Mungkinkah arti kata Sasak lebih dekat kepada Gunung “Yang Satu”?
Kami membayangkan di masa lalu, ketika Samalas masih kokoh berdiri dan lanskap pulau Lombok pastinya tidak sepenuhnya seperti hari ini, dan masyarakat pada umumnya masih memegang keyakinan pada “The Higher, The Holier”, atau menyucikan tempat tempat tinggi. Dalam khayalan kami, sekelompok orang (Austronesia) mengarungi lautan, lalu melihat sebuah gunung menjulang sangat tinggi memenuhi seluruh daratan pulau, jauh lebih tinggi daripada daratan (pulau pulau) lain di sekitarnya, lalu orang orang di tengah lautan menyebutnya “yang satu satunya” dalam bahasa mereka; Sak Sak.
Kata Sak atau Sa berasal dari Bahasa Proto Austronesia “Isa, Esa” dengan banyak ragam pelafalan yang tersebar di kepulauan Asia Tenggara dan Polinesia.
Dua poin terakhir adalah opini pribadi kami yang membayangkan jika asal usul nama Sasak lebih dekat kepada angka daripada kata; Tembasaq, Sesak, Sak Saka, dsb.
Sekedar pendapat pribadi. Silahkan jika ada yang memiliki pendapat berbeda. 🙏
Selamat Tahun Baru Śaka 1947 kepada semeton Hindu Dharma, dan Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1446 Hijriah kepada segenap semeton Muslim. ✨️
Photo: @z.war_
#sukusasak #sejarahlombok
Portrait Prajurit Bali (1890an)
Menurut catatan belanda,
"Orang Bali adalah musuh pribumi terkuat, terberani yang pernah dilawan oleh tentara kerajaan hindia belanda"
Tidak cuman berperang dengan keris, tombak, klewang (pedang), tamiang (perisai dilengkapi duri) tapi prajurit bali juga dilengkapi dengan senapan laras panjang kuno seperti meriam tangan (terinspirasi dari cetbang majapahit) dan senapan laras panjang modern eropa seperti Winchester Repeating Rifle buatan inggris (hasil perdagangan dengan singapura (koloni inggris)
Pocut Meurah Intan (1833-1937)
Di telinga masyarakat awam, mungkin nama Pocut Meurah Intan tak segaung Keumalahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan pejuang inong-inong Aceh lainnya. Namun harus diketahui, perjuangan pahlawan wanita kelahiran Biheue, wilayah Sagi XXII Mukim pada 1833 ini, tidak kalah merepotkan Pemerintah Belanda kala itu.
Pengaruhnya terhadap pergerakan perjuangan di medan perang, bisa dibuktikan bahwa tokoh yang dengan nama lain dikenal dengan Pocut di Biheue tersebut, juga menyulitkan pemerintahan kala itu. Terbukti, diakhir hayatnya, ia harus diasingkan beratus-ratus kilometer dari tanah kelahirnnya sendiri.
Pejuang yang masih memiliki darah keturunan Kesultanan Aceh ini, dikenal sangat anti terhadap kolonial Belanda. Ia bahkan rela menceraikan suaminya, Tuanku Abdul Majid, yang kala itu menyerah kepada Belanda. Sehingga dalam menjalankan perjuangan, ia mengajak ketiga anaknya, seperti Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin, beserta pasukan lainnya untuk melakukan perlawanan.
Begitu gigih dan gencarnya perlawanan yang dilakukan membuat Belanda melakukan penyerangan terhadap pasukan Pocut Meurah Intan dan ketiga anaknya tersebut. Akhirnya, anaknya, Tuanku Muhammad Batee ditangkap pasukan Belanda pada Februari 1900 di kawasan Tangse, Pidie. Tak hanya sampai di situ, dua bulan kemudian Pocut Meurah Intan juga harus berpisah dengan Tuanku Muhammad Batee, usai sang anak diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.
Kehilangan buah hati dari sisinya, tidak membuat wanita ini menyerah, bahkan ia semakin marah kepada Belanda. Hingga sampai tersiar kabar bahwa Pocut Meurah Intan akhirnya ditangkap di Sigli, Pidie pada 11 November 1902. Dalam proses penangkapan itu pun dikatakan bahwa dirinya tidak mau menyerah begitu saja meski tubuhnya telah penuh dengan luka.
Melihat kondisi Pocut Meurah Intan yang terluka parah, Veltman, pimpinan pasukan Belanda pada waktu menawarkan pertolongan. Akan tetapi, rencong yang masih erat tergenggam ditangannya kala itu, membuat sejumlah pasukan marsose (pasukan khusus/anti gerilya Belanda) terluka ketika akan mengamankannya.
Kegigihannya, membuat Belanda selaku musuh di medan perang mengakui semangat yang dimiliki Pocut Meurah Intan. Bahkan, pejuang wanita dari Aceh ini dijuluki sebagai ‘Heldhafting’ atau kepahlawanan yang terkenal untuk kegigihan dan keberaniannya.
Pocut Meurah Intan, beserta dua putranya, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin, telah diamankan oleh Belanda. Selanjutnya, mereka pun diasingkan ke Blora, Jawa Tengah pada 6 Mei 1905 bersamaan dengan keluarga Sultan Aceh bernama Tuanku Ibrahim. Ia pun menghembuskan nafas terakhir di tempat pengasingannya tersebut, pada 20 September 1937.
Gito dan Gati, yang dikenal dengan nama duet Gito-Gati, adalah seniman pedalangan dan ketoprak Yogyakarta yang terkenal. Mereka adalah saudara kembar yang juga dikenal sebagai pelawak. Keduanya memiliki darah seni yang tinggi dari keluarga yang bergelut dalam kesenian wayang dan ketoprak. Gito dan Gati juga berperan aktif dalam pendirian Paguyuban Seniman Bagian Yogyakarta Utara (PS Bayu).
Gito dan Gati lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan keluarga yang bergelut dalam kesenian, khususnya wayang dan ketoprak. Ayah mereka, Ki Cermo Taruna, adalah seorang dalang yang berpengaruh.
Gito dan Gati memiliki pengalaman pentas wayang dan ketoprak sejak kecil, mengikuti ayahnya dari panggung ke panggung. Gati bahkan mendapat kepercayaan untuk mengelola pertunjukan ketoprak di padepokannya.
Gito dan Gati turut terlibat dalam pendirian PS Bayu, sebuah organisasi seniman yang menjadi wadah untuk berkesenian.
Gito dan Gati dikenal sebagai duet pelawak yang populer dalam pertunjukan ketoprak maupun wayang kulit, seringkali berperan sebagai pesinden atau aktor di panggung.
Keduanya dikenal luas sebagai Gito-Gati, dan nama mereka bahkan diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Yogyakarta.
Unjuk rasa beberapa ormas Islam di tahun 1965/1966.
Muhammadiyah, jakarta 1965
Gahetna
#sejarah #tempodulu
Foto kenangan sebelum berangkat Tugas tempur Dwikora, Soemarno masa muda Resimen Pelopor tahun 1962/1963
Ini lukisan salah satu prajurit KNIL asal Elmina (sekarang Ghana) yang terluka pada perang Aceh. Karena terluka prajurit ini di pulangkan kembali ke negaranya. Di lukis oleh pelukis oleh Isaac Israels sebelum prajurit ini kembali ke Afrika, tahun 1882. Kemungkinan di Batavia.
Anggota KNIL pada waktu itu bukan cuma dari Hindia Belanda (mungkin sudah pada tahu ya), selain warga belanda sendiri, yang di rekrut masuk KNIL ada yang berasal dari Jerman, Belgia, Zwitserland, Amerika, Ghana dan Burkhina Faso
Sc: Historiek, Rijksmuseum
Foto Original: Pertemuan Antara Pejabat Tinggi Keraton Surakarta dan Orang Jepang
Woerjaningrat (kanan, depan). Pada periode 1901-1947, Woerjaningrat (masih dgn gelar KRMTH) menjabat Bupati Nayoko Keraton Surakarta.
Foto para pejuang yang gugur semasa Aksi Polisionil 1 Belanda di wilayah sekitar Medan 1947
Catatan: Catatan foto menyebutkan lokasinya "Koeala en Banten" yang tidak mudah untuk ditelusuri lebih lanjut. Mengingat ada foto lain yang menyebut "Bindjei/Koeala" sangat boleh jadi foto-foto berasal dari Kuala di Langkat.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
#sejarah #tempodulu
Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara
Oleh : Afkar Aristoteles Mukhaer
Perang Jawa (1825-1830) mempertemukan dua seteru, Pangeran Dipanagara dan kolonial Hindia Belanda. Ketika perang usai, Pulau Jawa jatuh dalam kuasa kolonial, sementara Sang Pangeran bersama para pengikutnya ditahan.
Peter Carey mengatakan kemenangan Hindia Belanda atas Dipanagara tidak dapat terjadi tanpa hulptroepen (pasukan tulungan), pasukan pribumi yang mendukung mereka. Sebenarnya penggunaan hulptroepen sering dilakukan dalam ekspedisi penaklukan kolonial Hindia Belanda. Termasuk, Perang Padri di Sumatera Barat.
Umumnya, hulptroepen (baca: hulptrupe) berasal dari wilayah timur seperti Makassar, Madura, Bali, dan Minahasa. Tetapi ada juga beberapa hulptroepen yang berasal dari Pulau Jawa itu sendiri.
Carey memaparkan dalam kuliah umum yang diadakan Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Menurut Carey, penyebab mengapa ada kalangan lokal, khususnya dari Minahasa, bersedia membantu pemerintah kolonial lantaran perjanjian yang memikat mereka. Awalnya Minahasa tak sendiri tak sudi untuk membantu. Pasca Perang Tondano, sejumlah penguasa Minahasa bersedia memberikan pasukan sebagai jasa yang menguntungkan.
Hampir sepuluh persen dari keseluruhan 15.000 hulptroepen yang dikerahkan Belanda pada masa akhir Perang Jawa (1829-1830), menurut Carey, adalah berasal dari Minahasa. Hulptroepen, dikenal dengan kemampuan yang luar biasa di situasi genting dan sulit. Bahkan, dianggap memiliki keunggulan dari tentara kolonial sendiri sebagai pasukan gerak cepat.
Bahkan ungkapan ini tertuang oleh Errembault, salah satu komandan kolonial yang dikutip oleh Carey: "Bagi saya sendiri, saya lebih suka memimpin prajurit pribumi daripada prajurit Eropa; Saya tidak banyak menghadapi [prajurit] yang sakit-sakitan, dan kalau mereka dipimpin dengan baik, mereka bertarung sehebat [orang Eropa]."
Carey juga mengutip pendapat Paku Alam I terkait hulptroepen, "Sewaktu pasukan dari Sumenep saja sampai didatangkan ke Jawa, barulah kita sadar bahwa pemberontakan Pangeran Dipanagara adalah suatu hal yang penting."
Hulptroepen sebagai pasukan gerak cepat dan intel kolonial, terlibat dalam pertempuran besar terakhir di Siluk, sebelah barat Yogyakarta pada 17 September 1829. Pertempuran ini membuat Dipanagara kalah telak.
Giat mereka berlanjut hingga ke Sengir, Kecamatan Kokap, Kulon Progo. Hulptroepen menyergap dan memenggal kepala komandan senior pasukan Dipanagara, Pangeran Ngabehi (Joyokusumo I) bersama kedua anaknya, Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo pada 21 September.
Pada 11 November 1829, Dipanagara sendiri disergap di pegunungan Gowong. Pasukan Minahasa pun merebut tombak pusakanya, setelah sang pangeran melompat dari kuda ke lembah dan bersembunyi.
Selanjutnya, Dipanagara sendiri dikejar lima unit Pasukan Gerak Cepat yang memiliki hulptroepen yang mayoritas dari Minahasa. Perjalanan Dipanagara dari pegunungan Gowong sampai ke Banyumas selama November 1829 hingga Februari 1830.
Hingga akhirnya, mereka bisa melacak dan mengajak Dipanagara untuk melakukan negosiasi damai dengan Jenderal de Kock di Magelang.
"Awalnya dia [Dipanagara] jadi buronan, lalu dikawal pada April 1830. Di Menoreh, banyak para pengikutnya yang ikut seperti magnet untuk mengiring negosiasi dengan Jenderal de Kock," terang Carey.
"Tetapi sampai Magelang, ia justru ditangkap, ditangkap dengan cara yang khianat."
Keberadaan hulptroepen juga terekam dalam dua lukisan peristiwa penangkapan Pangeran Dipanagara, baik oleh Raden Saleh maupun Nicolaas Pieneman.
Pemimpin pasukan dari Minahasa yang sangat jelas terpampang itu adalah Benjamin Thomas Sigar alias Tawjlin Sigar (1790-1879) dan Hermanus Willem Dotulong (1795-1888).
Peninggalan mereka pun masih tersisa dalam memorial atas Hermanus Willem Dotulong di Cilincing, Jakarta.
Hulptroepen kemudian dilanjutkan pada periode kolonial selanjutnya ketika Belanda membuat KNIL. Berpihaknya para orang lokal dalam militer Hindia Belanda, membuat sentimen para nasionalis dengan 'anjing Belanda' yang biasanya ditorehkan pada KNIL yang mayoritas dari kawasan timur koloni.
Sumber : https://nationalgeographic.grid.id/read/132743383/hulptroepen-satuan-lokal-hindia-belanda-dalam-perang-dipanagara?page=all
Jalur Sunyi yang Menyimpan Sejarah
Jalan tembus dari Pacet, Mojokerto menuju Cangar, Batu—kini dikenal sebagai jalur wisata yang ramai dilalui pemudik dan pelancong—dulunya hanyalah setapak sunyi di lereng Gunung Welirang dan Arjuno.
Pertama kali dibuka pada masa pendudukan Jepang, jalan ini hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Namun dalam Agresi Militer Belanda I tahun 1947, jalur sempit ini menjadi saksi bisu pergerakan pasukan Belanda yang hendak menyerang Malang melalui Batu.
Baru pada tahun 1994-1995, jalur ini diaspal dan dibuka untuk kendaraan bermotor. Meski memikat dengan keindahan alamnya, jalur ini terkenal curam dan rawan longsor—seolah alam tak ingin sepenuhnya menyerahkan rahasianya.
Sumber foto: nationaalarchief.nl
#TEMPODOELOE
PETROMAX
Lampu petromax pertama masuk ke Hindia Belanda sekitar tahun 1916.
Meskipun saat itu listrik dan lampu listrik sudah lama hadir di Hindia Belanda,namun pemakaian listrik belumlah menyebar luas di kalangan rakyat biasa,masih banyak rumah dan rumah tangga yang belum teraliri listrik.
Sehingga lampu petromax solusi yang tepat untuk mengatasi kegelapan di malam hari.
Sedangkan lampu petromax itu sendiri di temukan tahun 1910 oleh Max Graetz seorang penemu berkebangsaan Jerman.
Petromax atau stromking berasal dari gabungan kata petroleum and max Graetz.
Awalnya istilah ini merupakan merk dagang,namun karena penyebaran lampu ini meluas ke seluruh dunia,maka orang di seluruh dunia menyebut lampu ini petromax.
Sedangkan Max Graetz sendiri sebenarnya adalah seorang CEO di perusahan Ehrich and Greatz yang berpusat di Berlin.
Kesediaan bahan bakar minyak tanah dan spiritus yang melimpah ruah saat itu,dan sebagian besar penduduk dunia belum bisa menikmati listrik secara merata,sehingga menjadikan lampu petromax sangat populer di seluruh dunia termasuk di Hindia Belanda/lndonesia.
Terada Saburo (mantan tentara Jepang yang menolak menyerah kepada Sekutu, dan memilih bergabung berjuang bersama TNI di wilayah Probolinggo melawan Belanda)
Terada Saburo di penjara militer Glodok, setelah tertangkap Belanda. Tampak di tangan kanannya ada tato kepala macan dengan tulisan "merdeka".
Terada Saburo (kiri) bersama tentara Jepang lainnya di penjara militer Glodok. Catatan foto menyebut nama Tamaki Keizo, Akiyama Fiiatri (?), Kuollya (?) dan Tomon Hiroshi d.ki.k.ka
Nationaal Archief
#sejarah #tempodulu
Sphinx Besar Giza adalah salah satu monumen paling terkenal dan misterius di dunia. Itu diukir dari satu blok batu kapur lebih dari 4.500 tahun yang lalu dan berdiri di dekat Piramida Besar di Mesir.
Patung itu memiliki tubuh singa dan wajah manusia, yang diyakini banyak orang untuk menunjukkan kekuatan dan kebijaksanaan seorang firaun.
Namun, tidak semua orang setuju dengan seperti apa Sphinx aslinya. Beberapa ahli berpikir mungkin pertama kali diukir seperti singa atau bahkan seekor jackal, seperti dewa Anubis, yang terhubung dengan alam baka.
Mereka bilang kepala terlihat terlalu kecil untuk tubuh, yang mungkin berarti itu diubah kemudian menjadi terlihat seperti manusia.
Bahkan hari ini, tidak ada yang tahu pasti siapa yang membangun Sphinx atau mengapa, dan itu bagian dari apa yang membuatnya begitu menarik. Orang-orang terus mempelajarinya dan mengajukan pertanyaan tentang tujuan dan sejarah.
Sphinx tetap menjadi simbol kuat Mesir kuno dan masih menarik orang-orang dari seluruh dunia yang ingin melihat bentuknya yang unik dan misterius.
Pertempuran Surabaya melibatkan infanteri reguler dari inggris dan para milisi pejuang kemerdekaan Indonesia. Puncak pertempuran terjadi di bulan November 1945.Sebuah pertempuran yang begitu besar dan dahsyat hingga dijadikan simbol perjuangan rakyat Indonesia.
Seorang prajurit dari India menjaga sebuah tank ringan peninggalan dari tentara jepang yang digunakan oleh para milisi pejuang kemerdekaan Indonesia.
Imperial Warmuseum
#sejarah #tempodulu
Sejarah Panjang Sepatu BATA, Setia Temani Langkah Masyarakat Indonesia
by Bayu Yulianto
Masyarakat Indonesia dikagetkan dengan berakhirnya produksi Pabrik Sepatu BATA yang bermarkas di Purwakarta, Jawa Barat. Industri alas kaki yang sudah ada sejak sebelum Perang Dunia I itu menjadi bagian dari perjalanan kehidupan masyarakat Tanah Air, dari generasi ke generasi.
Karena identik dengan kehidupan masyarakat Indonesia, banyak yang mengira bahwa Sepatu BATA merupakan produk anak bangsa. Siapa sangka, ternyata merek ini bukan buatan dalam negeri, lho.
Didirikan oleh pengusaha asal Eropa
Sepatu Bata yang sangat terkenal di negara kita ini adalah merek dagang yang dimiliki oleh pengusaha bersaudara dari Eropa. Dikutip dari situs The Bata Company, perusahaan ini memulai roda usahanya sejak tanggal 21 September 1894. Tiga bersaudara pendirinya bernama Tomas, Anna, dan Antonin Bata.
Ketiganya adalah generasi kedelapan dari keluarga Bata yang memiliki reputasi sebagai pembuat sepatu di kota Zlin, Cekoslowakia. Tomas, Anna dan Antonin juga menjadi pelopor dari industrialisasi perusahaan keluarga mereka dengan menghadirkan modernisasi pada 1897. Dengan menggunakan mesin uap, BATA memproduksi sepatu secara massal dan memasarkannya di Eropa.
Banjir pesanan gara-gara Perang Dunia I
Perang Dunia I yang menghancurkan sebagian besar Eropa justru menjadi ladang rezeki bagi BATA Berdasarkan data The Encyclopedia of The Industrial Revolution in World History (2014), BATA mampu memproduksi hingga 50 ribu sepatu pada salah satu periode kelam Benua Biru tersebut karena mendapat pesanan pembuatan sepatu tentara dalam skala besar. Berkat keuntungan besar itu pula BATA memiliki modal untuk melakukan ekspansi usahanya ke berbagai negara.
Masa kejayaan BATA terjadi di tahun 1936 dimana salah satu produk yang paling diminati masyarakat adalah model BATA Tennis. Sepatu yang sangat populer di kalangan pelajar India tersebut adalah sepatu kets dengan desain bergaris serta pelindung ujung kaki karet. Sepatu terlaris sepanjang masa itu bahkan masih dijual di seluruh dunia.
Pernah dipakai mantan bintang basket, Magic Johnson
Tak hanya fokus pada sepatu untuk gaya, BATA juga memberi perhatian lebih pada dunia olahraga. Tahun 1970 hingga 1980 an menjadi puncak era bagi brand satu ini.
Salah satu bukti kedigdayaan BATA sebagai sepatu olahraga adalah ketika menggaet mantan bintang basket Magic Johnson. Selain itu BATA juga memantabkan diri sebagai salah satu sponsor Piala Dunia 1986 yang diselenggarakan di Meksiko.
Sejarah Berdirinya BATA di Indonesia
Kehadiran BATA di Indonesia diawali di tahun 1931. Bekerja sama dengan importir sepatu Netherlandsch-Indisch (NV), BATA akhirnya membuka pabrik pertamanya di Kalibata, Jakarta Selatan dan memulai produksinya pada 1940. Popularitas BATA begitu tinggi di mata masyarakat Indonesia. Di tahun 1994 pabrik kedua di Purwakarta, Jawa Barat, dibuka. Pabrikan sepatu ini kemudian mulai berproduksi pada 1940.
Berbagai produk sepatu diluncurkan. Mulai dari Bubblegummers untuk anak-anak, North Star bagi kaum muda, Power untuk pecinta olahraga, hingga Marie Claire yang khusus buat para wanita. Dari kesuksesan tersebut, BATA memproduksi lebih dari 160 ribu pasang setiap hari. Toko-tokonya juga hadir di 30 negara, termasuk Indonesia.
Kejayaan BATA dengan lebih dari 400 gerainya di Tanah Air meredup akibat pandemi Covid-19. Kerugian demi kerugian membuat produsen sepatu ini akhirnya harus merelakan ‘rumah kedua’ mereka di Purwakarta. Semoga ini bukan akhir dari perjalanan panjang Sepatu BATA dalam menemani langkah pecinta sepatu Indonesia.
Pemilu tahun 1971 adalah Pemilu kedua yang diselengarakan di Indonesia setelah Pemilu pertama tahun 1955.
Partai peserta Pemilu sebanyak 10 partai politik, yaitu NU, GOLKAR, PARMUSI, PNI, PSII, PARKINDO, Partai KATOLIK, PERTI, IPKI, dan MURBA.
Pada tahun 1977 yaitu Pemilu ketiga beberapa partai melakukan fusi atau gabungan :
NU, Parmusi, Perti, dan PSII bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan atau PPP.
Sedangkan PNI, Parkindo, partai Katolik, IPKI dan Murba bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia atau PDI.
Sehingga pada Pemilu tahun 1977 ada 3 kontestan peserta pemilu yaitu PPP, PDI dan Golkar.
Fakta Menarik Dari Misteri Benteng Lohagad: Mahakarya Strategi dan Kekuatan dari Abad ke-1 SM
Terletak di ketinggian 1.033 meter di wilayah Maharashtra, India, Benteng Lohagad berdiri gagah sebagai saksi bisu perjalanan waktu selama lebih dari 2.000 tahun. Asal-usulnya dapat ditelusuri hingga periode Satavahana (sekitar abad ke-1 hingga ke-2 SM), menjadikannya salah satu benteng tertua di India. Namun, pesonanya tidak hanya karena usianya, melainkan juga karena kejeniusan konstruksi dan nilai strategisnya.
Benteng ini dibangun di atas bukit yang curam dan sulit diakses, pilihan yang sangat strategis dalam dunia militer kuno. Batu basalt lokal digunakan sebagai bahan utama. Dengan teknik tradisional, batu-batu besar dipahat dan disusun erat tanpa menggunakan semen modern, tetapi tetap kuat berkat teknik sambung dan tumpuk yang cermat.
Empat gerbang besar mengamankan benteng, menjadikannya benteng bertingkat dengan pertahanan berlapis. Dinding-dinding tebal dan kokoh membentang mengelilingi area utama, memperlihatkan kemampuan teknik pertahanan zaman kuno. Salah satu fitur paling menariknya adalah Vinchu Kata, sebuah formasi panjang yang menyerupai ekor kalajengking bukan hanya estetika, tapi juga berfungsi untuk menipu dan mengarahkan musuh ke jalur pertahanan.
Tak hanya kekuatan fisik yang dipikirkan, namun juga keberlanjutan. Tangki air hujan dan saluran air dibangun untuk memastikan pasokan air cukup saat benteng dikepung atau saat musim panas melanda. Semua ini menjadikan Lohagad bukan sekadar benteng, tapi peradaban kecil di puncak bukit.
Benteng ini sempat memainkan peran penting dalam sejarah Maratha saat Chhatrapati Shivaji Maharaj mengambil alihnya pada abad ke-17 dan menjadikannya pusat penyimpanan harta rampasan. Perpaduan antara arsitektur kuno, posisi strategis, dan kekayaan sejarah membuat Lohagad menjadi simbol kejayaan masa lalu yang masih berdiri kokoh hingga kini.
Sumber:
Archaeological Survey of India (ASI)
#DPU_FYI
Soesalit Djojoadhiningrat, Anak Semata Wayang R.A. Kartini yang Terlupakan Sejarah.
Soesalit Djojoadhiningrat, satu-satunya anak dari Raden Ajeng Kartini, tak banyak dikenal masyarakat. Namanya seakan tenggelam di balik popularitas sang ibu, pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Padahal, perjalanan hidup Soesalit penuh dengan cerita pahit, dari menjadi yatim piatu sejak kecil, hingga dituduh terlibat dalam pemberontakan dan berakhir sebagai tahanan rumah.
Soesalit Djojoadhiningrat lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 13 September 1904. Ia adalah anak dari RA Kartini dengan suaminya, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, Bupati Rembang kala itu. Namun, hanya empat hari setelah melahirkannya, RA Kartini wafat. Soesalit pun tumbuh tanpa kasih sayang ibu.
Tragedi serupa kembali terjadi ketika Soesalit baru menginjak usia delapan tahun. Sang ayah meninggal dunia, menjadikannya yatim piatu.
Setelah itu, Soesalit diasuh oleh neneknya, Ngasirah, serta kakak tirinya yang tertua, Abdulkarnen Djojoadhiningrat. Abdulkarnen-lah yang membiayai pendidikan Soesalit dan mengatur jalannya kehidupan sang adik tiri.
Layaknya RA Kartini, Soesalit mengenyam pendidikan di Europe Lagere School (ELS), sekolah elite yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan kaum bangsawan pribumi.
Pada 1919, ia lulus dari ELS dan melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang, kemudian masuk Rechtshoogeschool (RHS) di Batavia—sekolah tinggi hukum bergengsi pada masa kolonial.
Namun, Soesalit hanya menempuh pendidikan hukum selama setahun. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai pamong praja kolonial.
Karier Soesalit mengambil arah yang mengejutkan ketika Abdulkarnen menawarinya posisi di Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yakni polisi rahasia Hindia Belanda. Tugasnya adalah memata-matai kaum pergerakan nasional dan mengantisipasi spionase asing, termasuk dari Jepang. Pekerjaan ini membuat batin Soesalit terbelah—di satu sisi ia bekerja untuk pemerintahan kolonial, tapi di sisi lain ia paham bahwa tugasnya justru mengkhianati bangsanya sendiri.
Situasi berubah saat Jepang menguasai Indonesia. Soesalit meninggalkan PID dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), tentara sukarela bentukan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, Soesalit aktif dalam perjuangan fisik. Ia pernah menjadi Panglima Divisi III Diponegoro dan bergerilya di Gunung Sumbing saat Agresi Militer Belanda II.
Namun, karier militernya tidak berjalan mulus. Soesalit yang sempat berpangkat Mayor Jenderal, diturunkan pangkatnya menjadi Kolonel, hingga kemudian dipindahkan ke Kementerian Perhubungan.
Puncak penderitaan Soesalit terjadi pada peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948. Dalam sebuah dokumen yang disita pemerintah, namanya tercantum sebagai "orang yang diharapkan" oleh kelompok pemberontak.
Pada September 1948, terjadi peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun yang menyeret namanya. Peristiwa tersebut merupakan pemberontakan oleh kelompok komunis, di mana tentara yang dianggap memiliki kecenderungan kiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhasil menguasai Kota Madiun dan sekitarnya.
Soesalit, yang memiliki hubungan dekat dengan beberapa tokoh-tokoh dan laskar-laskar kiri, dituduh terlibat dalam pemberontakan ini. Meski keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun tidak pernah dibuktikan dan tidak melalui proses peradilan, ia dijadikan sebagai tahanan rumah.
Soesalit kemudian dibebaskan oleh Presiden Soekarno, dan setelah peristiwa itu, ia tidak lagi menjabat panglima. Ia dipindahtugaskan menjadi perwira staf Angkatan Darat di Kementerian Pertahanan. Pada 1950, Soesalit menjadi Kepala Penerbangan Sipil, dan di masa Kabinet Ali Sastroamodjojo I (1953-1955), ia ditunjuk sebagai Penasihat Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri dengan pangkat kolonel. Soesalit mengabdi sebagai pejabat sipil dengan pangkat militer tanpa bintang. Namanya nyaris tak terdengar lagi di kalangan publik.
Soesalit Djojoadhiningrat wafat pada 17 Maret 1979 di Rumah Sakit Angkatan Perang (RSAP). Semasa hidup, Soesalit menikah dengan Siti Loewijah dan dikaruniai seorang putra bernama Boedi Setyo Soesalit.
Boedi Soesalit menikah dengan Sri Bidjatini dan memiliki lima anak yang dinamai Kartini, Kartono, Rukmini, Samimum, dan Rachmat. Namun, sepeninggal Boedi Soesalit, keturunan Kartini hidup dalam keprihatinan.
"Hanya yang pertama yang lumayan, sedangkan Kartono mengojek, demikian pula Samimun juga jadi tukang ojek. Sementara Rukmini telah ditinggal suaminya yang bunuh diri akibat terlilit ekonomi, dan Racmat yang menderita autis sudah meninggal," ungkap Bupati Jepara Ahmad Marzuki saat memberi sambutan pada Resepsi Peringatan Hari Kartini ke-39 Tahun 2018 di Pendapa Kabupaten Jepara, dikutip Kompas dari situs resmi Pemprov Jateng, Sabtu (20/4/2024).
Salah satu pesan terakhir yang Soesalit tinggalkan untuk keturunannya adalah agar tidak membanggakan statusnya sebagai anak RA Kartini.
Ia berharap mereka hidup dengan rendah hati dan tidak menjadikan garis keturunan sebagai alasan untuk merasa lebih tinggi dari orang lain.
#soesalitdjojoadhiningrat #anak #kartini #rakartini #patinesia #foto #fyp #viral #trending
Sumber : https://www.kompas.com/jawa-tengah/read/2025/04/20/162753388/soesalit-djojoadhiningrat-anak-semata-wayang-ra-kartini-yang#page2
SRI SUSUHUNAN PAKUBUWANA III (24 Februari 1732 – 26 September 1788) adalah susuhunan kedua Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788.
Nama takhta:
"Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping III"
Sunan Pakubuwana III memiliki nama asli Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri GKR. Hemas, putri Pangeran Purbaya dari Lamongan (putra Pakubuwana I).
Pakubuwana III naik takhta pada tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras. Ia ditunjuk sebagai raja oleh Baron von Hohendorff sesuai wasiat Pakubuwana II kepadanya, untuk menobatkan Raden Mas Suryadi sebagai raja selanjutnya.
* Perlawanan Pangeran Mangkubumi
Pakubuwana III ketika menjadi raja dihadapkan dengan perlawanan di masa pemerintahan ayahnya. Perlawanan tersebut dipelopori oleh pamannya sendiri, Pangeran Mangkubumi sejak tahun 1746. Pihak pendukung Mangkubumi sendiri telah mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai Pakubuwana III dan Pangeran Sambernyawa sebagai patihnya pada tanggal 12 Desember 1749 di basis pertahanan mereka.
Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. VOC segera menawarkan perdamaian dengan Pangeran Mangkubumi.
Perundingan dilakukan dan berakhir dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan kedaulatan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi pernah mengangkat diri sebagai susuhunan dan bergelar Pakubuwana III di daerah Kabanaran, bersamaan saat pelantikan Raden Mas Suryadi menjadi Pakubuwana III.
Berdasarkan hasil perjanjian yang telah disepakati, Pangeran Mangkubumi tidak diperbolehkan menggunakan gelar susuhunan. Pada tanggal 23 September 1755 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sebagai sultan yang bergelar Hamengkubuwana I dan membangun kerajaan baru bernama Kesultanan Yogyakarta.
Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan yang dipimpin Hamengkubuwana I disebut dengan nama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III disebut dengan nama Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
* Perlawanan Pangeran Sambernyawa
Seusai Perjanjian Giyanti, Pangeran Sambernyawa merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi. Akhirnya ia pun menjadi musuh Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I, sekaligus VOC.
Puncaknya, pada bulan Maret 1757 Pangeran Sambernyawa bersedia berdamai dengan VOC, Surakarta dan Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga. Sejak itu, Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said bergelar Mangkunagara I. Daerah yang dipimpinnya bernama Kadipaten Mangkunagaran, sebidang tanah pemberian Pakubuwana III hasil pembagian wilayah Mataram.
Pakubuwana III meninggal dunia tanggal 26 September 1788, Kemudian digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana IV, seorang raja yang lebih cakap dan pemberani dalam mengambil sikap politiknya.
Potret restorasi berwarna para prajurit TRI (Tentara Republik Indonesia) yg sekarang TNI sedang berbaris dengan latar belakang kereta api yang penuh dengan pengungsi di daerah Bekasi Desember 1946
#sejarahnwgriku
Banteng Raiders Dalam Sejarah
Tulisan Letkol A Jani
Benteng negara no 1 Thn IV Januari 1953.
Tulisan alm terkait dengan taktik banteng raiders .
Koes Bersaudara Grup Band Legendaris, Kini Tinggal 1 Personel yg Masih Hidup ,.....
Inilah kisah Koes Bersaudara, cikal bakal grup legendaris Tanah Air, Koes Plus. Nama Koes Bersaudara tentu sudah tak asing lagi bagi pencinta musik Tanah Air.
Grup yang terdiri dari keluarga Koeswoyo ini dibentuk sejak akhir era 1950-an. Pada saat itu, Koes Bersaudara digawangi oleh John, Tonny, Yon, Yok, dan Nomo Koeswoyo.
Di masa-masa awal karier, grup asal Jawa Timur ini banyak membawakan lagu-lagu Barat. Di antaranya saja lagu-lagu dari band terkenal seperti The Everly Brothers hingga The Beatles.
Pada masanya, yakni di era Orde Lama, kemunculannya menimbulkan pertentangan. Sejumlah personel Koes Bersaudara ini bahkan pernah mencicipi dinginnya lantai penjara karena memainkan lagu-lagu The Beatles.
Mereka dianggap memainkan musik 'ngak ngek ngok', yang cenderung dianggap imperialisme pro barat. Peristiwa penangkapan mereka itu terjadi di era 1960-an.
Namun, justru dari situlah mereka menciptakan lagu-lagu hits. Di antaranya saja Jadikan Aku Dombamu, Di Dalam BUI, To The So Called The Guilties, dan Balada Kamar 15.
Koes Bersaudara ini sempat vakum. Lalu, pada 1968, mereka memutuskan mengganti nama menjadi Koes Plus. Sebab, Nomo memilih keluar, dan digantikan oleh Murry atau Kasmuri dan Totok Adji Rachman Totok AR yang bukan anggota keluarga Koeswoyo
Grup musik tersebut lalu membawakan lagu-lagu hits yang hingga saat ini masih digemari oleh masyarakat. Lagu-lagi tersebut seperti Diana, Kolam Susu, dan masih banyak lagi.
Masa kejayaan grup band Koes Plus dimulai sejak tahun 1970-an. Lima tahun setelahnya, Koes Plus tercatat sudah mengeluarkan 22 album di tahun 1974.
Kemudian di tahun 1975, mereka mengeluarkan enam album dan tahun 1976 mengeluarkan sepuluh album. Kemudian pada 2001, grup band tersebut tercatat memiliki 750 lagu dalam 72 album.
Sayangnya pada akhir era 80-an, salah satu anggo Koes Plus, Tonny Koeswoyo, berpulang ke pangkuan Tuhan. Pentolan Koes Plus itu meninggal dunia pada 27 Maret 1987 di usia 51 tahun.
Sejak kepergian Tonny, formasi pada tiap album dan saat konser berganti-ganti. Setelah itu, Nur atau Kasmuri meninggal dunia pada 2014 di usia 64 tahun.
Empat tahun kemudian, Yon Koeswoyo, menyusul Tonny dan Murry. Yon, meninggal dunia pada 2018 di usia 77 tahun. Saat ini, tinggal Yok Koeswoyo satu-satunya anggota Koes Bersaudara dan Koes Plus yang masih tersisa.
Dulunya, Yok memainkan gitar pengiring, kemudian berpindah ke bass gitar sekaligus vokal pendukung. Saat ini, Yok berusia 79 dan masih terlihat sehat.
Sementara itu, belum lama ini, Nomo Koeswoyo, dikabarkan meninggal dunia pada 15 Maret 2023. Sang drummer dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
presiden Soekarno melantik Ali Sadikin sebagai gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966.
Mei 2008) Atau lebih akrab dengan nama panggilan Bang Ali adalah seorang letnan jenderal KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 1966 yang kemudian diduetkan dengan Laksamana Muda Udara Raden H. Atje Wiriadinata untuk membangun Ibu Kota Republik Indonesia.
Pada akhir kekuasaannya, Soekarno mempercayakan Jakarta kepada Ali Sadikin, yang dianggap sebagi 'anak didik' Soekarno. Bukan tanpa alasan Soekarno memilih Ali Sadikin di masa jabatannya pada periode transisi yang cukup sulit, Presiden Soekarno yang saat itu sedang berada di bawah tekanan sebelum akhirnya Orde Baru lahir dibawah Soeharto melihat bahwa Ali Sadikin merupakan seorang marinir dengan gaya kepemimpinannya yang tegas dan "keras",
#sejarah #tempodulu
Soekarno sebagai Presiden RIS duduk mendengarkan pidato dari juru bicara DPR RIS (tidak terlihat di foto). Jakarta 15 Februari 1950.
Burung Garuda Pancasila masih belum memiliki jambul.
ANP
#sejarah #tempodulu
#ITD_Budaya
5 MISTERI CANDI BOROBUDUR yang Masih Menjadi Kontroversi
Dibalik kemegahan candi peninggalan dinasti Syailendra yang dibangun pada abad ke 8 dan merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia ini ternyata masih meninggalkan beberapa tanda tanya seputar keberadaannya, menurut catatan sejarah, candi Borobudur pertama kali ditemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang gubernur jenderal Inggris, pembangunannya sendiri diperkirakan memakan waktu kurang lebih 100 tahun, tidak diketahui secara pasti bagaimana candi dengan ukuran gigantis ini dibangun, namun berdasarkan pengamatan para ahli arkeologi, dulunya candi ini memiliki 1 stupa raksasa di sekitar 5 pagar langkan, karena dikhawatirkan runtuh karena tekanannya yang terlalu berat, maka stupa ini dirubah dengan 1 stupa dengan 3 tingkat stupa disekelilingnya. Bukan hanya soal pembangunannya yang menjadi misteri, namun ada beberapa penemuan lain yang sama-sama menjadi tanda tanya besar, berikut 5 diantaranya :
1. RELIEF BERBENTUK PIRINGAN TERBANG
Dari beberapa peninggalan kuno di dunia yang memiliki relief menyerupai UFO atau piringan terbang, ternyata candi Borobudur termasuk salah satunya, tidak bisa dipastikan mengapa mereka membuat pola seperti itu, entah itu memang UFO yang dimaksud atau simbol lain, ada yang berpendapat bahwa simbol piringan terbang itu bisa jadi merupakan gambaran tentang 7 permata raja dalam ilmu kosmologi Budha tapi tetap saja tidak ada bukti yang sah mengenai pernyataan ini.
2. MITOS KUNTO BIMO
Jika kita perhatikan di candi Borobudur terdapat beberapa stupa yang memiliki lubang-lubang dan di dalamnya terdapat patung arca bernama Kunto Bimo yang sedang dalam posisi Dharmachakra, menurut legenda, barang siapa yang bisa menyentuh arca tersebut dengan tangan melalui lubang-lubang stupanya semua permintaannya akan terkabul, bagi pria disarankan menyentuh kelingking patung arca tersebut sedangkan untuk wanita disarankan menyentuh jari kakinya, entah dari mana kepercayaan ini berawal, namun dalam beberapa kasus hal tersebut memang pernah terjadi.
3. RELIEF TERSEMBUNYI
Ada satu relief yang tersembunyi di bagian kaki-kaki candi, relief ini disebut juga sebagai Karmawibhangga, relief ini menggambarkan adegan-adegan sensitif seperti pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan dll, tidak ada yang tahu kenapa ada relief seperti ini yang disembunyikan pada bagian candi Borobudur, relief ini sendiri pertama kali ditemukan oleh JW Yzerman pada tahun 1891.
4. ARSITEKTUR BOROBUDUR
Satu hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah arsitekturnya, candi Borobudur memiliki susunan yang begitu presisi, setiap batu penyusunnya nyaris diletakan secara sempurna dan tepat, untuk melakukan ini tentu diperlukan kemampuan perhitungan matematika yang mumpuni, pertanyaannya adalah siapa yang sanggup merancang seluruh pembangunan candi raksasa ini ? menurut legenda sekitar perancangnya adalah Gunadharma, seorang tokoh intelektual pada masanya, namun sekali lagi, tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung pernyataan ini.
5.DANAU PURBA
Seorang mahasiswa doktoral Departemen Geografi Universitas Gajah Mada yaitu Helmi Murwanti, mendapat hasil penelitian tentang danau purba yang konon berada di area candi Borobudur sebelum candi ini dibangun, hasil analisa penyebaran endapan lempung hitam menunjukan berasal dari material vulkanik dan bebatuan, ditambah dengan citra satelit yang memperlihatkan aliran sungai yang bermuara pada danau ini, diperkirakan danau purba ini terbentuk pada zaman Pleistosen dan sudah berumur 10.000 tahun kemudian menyusut karena digunakan manusia seiring dengan perkembangan peradaban disekitar danau tersebut.
Penelitian besar secara mendalam perlu dilakukan lagi untuk menyingkap seluruh misteri yang melekat pada candi Borobudur, sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia sudah seharusnya kita sebagai penerus generasi untuk mengetahui seluk beluk tentang candi ini, jangan sampai informasi penting yang seharusnya kita ketahui selama-lamanya terkubur dalam sejarah dunia.
(Hengky_NT,Author)
Trinil, Kartini, dan Jejak Emansipasi yang Dimulai dari Rumah.
Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai pahlawan emansipasi perempuan Indonesia, lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1806. Kartini adalah putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara, dan Ngasirah, putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Meskipun lahir dalam keluarga bangsawan, kehidupan Kartini tidaklah semudah yang dibayangkan.
Menurut buku RA Kartini, Biografi Singkat 1879-1904 yang ditulis oleh Imron Rosyadi, sejarawan M.C. Ricklefs menyebut Sosroningrat sebagai "one of the most enlightened of Java's Bupatis" (salah satu bupati yang berpikiran maju di Jawa).
Sosroningrat adalah seorang bupati yang berpendidikan dan sangat fasih berbahasa Belanda, suatu kemampuan yang sangat jarang dimiliki oleh banyak bupati pada masa kolonial. Dengan kecerdasan ini, ia memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan anak-anaknya, termasuk Kartini.
Namun, meskipun Sosroningrat termasuk bupati yang progresif, kehidupan Kartini tidak bebas dari diskriminasi dan penderitaan, terutama karena status ibunya yang bukan berasal dari kalangan bangsawan.
Kehidupan Keluarga yang Penuh Penderitaan
Kehidupan Kartini di rumah tangga ayahnya penuh dengan ketidaksetaraan. Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam, keturunan bangsawan Madura, karena Ngasirah, ibu Kartini, bukanlah keturunan bangsawan.
Menurut tradisi kolonial saat itu, bupati diwajibkan untuk menikahi bangsawan. Dengan pernikahan kedua ini, Raden Ayu Muryam menjadi garwa padmi (istri utama), sementara Ngasirah menjadi garwa ampil (istri kedua).
Kehidupan sebagai anak selir membuat Kartini dan ibunya harus merasakan penderitaan yang tak terkatakan. Dalam suratnya yang ditulis pada 21 Desember 1900, Kartini dengan penuh emosi mengungkapkan,
"Saya meyaksikan penderitaan dan menderita sendiri karena penderitaan ibu saya dan karena saya anaknya. Aduhai, merasakan sedalam-dalamnya, itulah penderitaan neraka. Ada hari-hari tanpa kegembiraan dan amat sedih sampai saya terengah-engah dan mengidam-idamkan akhir hidup saya di dunia dan hendak mengakhirinya sendiri kalaiusaya tidak sangat mencintai ayah saya."
Julukan Trinil dan Jaran Kore
Meskipun hidup di tengah penderitaan, Kartini kecil memiliki semangat yang tinggi dan rasa ingin tahu yang luar biasa. Ayahnya memberi julukan "Trinil" untuknya, yang berarti burung kecil yang gesit dan lincah, karena sifatnya yang aktif dan banyak bertanya. Julukan ini mencerminkan betapa Kartini sudah memiliki kecerdasan dan semangat yang tinggi meskipun usianya masih sangat muda.
Dalam suratnya yang ditulis pada 18 Agustus 1899 kepada sahabatnya, Estelle Zeehandelaar, Kartini menceritakan, "Saya disebut Kuda Kore atau Kuda Liar karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak."
Panggilan "Jaran Kore" (Kuda Liar) diberikan oleh saudara-saudaranya karena perilakunya yang tidak seperti perempuan Jawa pada umumnya, yang diharapkan untuk lebih tenang dan santun.
Sejak kecil, Kartini merasakan perbedaan yang tajam antara kehidupannya di rumah ibunya dan rumah ayahnya.
Dalam suratnya kepada Nyonya HG dee Booij-Boissevain, Kartini menggambarkan betapa beratnya hidup yang ia jalani sebagai anak dari seorang selir.
"Sejak kecil saya sudah merasakan kehidupan yang berbeda antara gedung utama dan rumah kecil tempat saya tinggal bersama ibu saya," ungkap Kartini.
Rumah ayahnya, yang dihuni oleh istri utama dan anak-anak dari pernikahan pertama, sangat berbeda dengan rumah ibu kandungnya yang sederhana dan penuh keterbatasan. Perbedaan status ini menyebabkan Kartini merasakan diskriminasi sejak dini, sesuatu yang juga ia alami sepanjang hidupnya.
Lingkungan Keluarga yang Berpendidikan dan Maju
Walaupun Kartini lahir dari seorang ibu selir, ia tetap dibesarkan dalam keluarga yang sangat mendukung pendidikan. Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, adalah bupati yang sangat memperhatikan pendidikan.
Pada tahun 1845, ia mendatangkan guru-guru dari Belanda untuk mengajarkan ilmu pengetahuan Barat kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Kartini lahir dari keluarga yang sangat menghargai pendidikan dan memiliki pemikiran yang jauh lebih maju dibandingkan dengan kebanyakan keluarga pada masa itu.
Kartini juga memiliki paman yang berperan penting dalam pemerintahan kolonial, Pangeran Ario Hadiningrat, yang menjadi Bupati Demak. Pada awal 1920-an, paman Kartini ini menjadi ketua pertama Perhimpunan Bupati yang didirikan oleh pemerintah kolonial.
Semua ini menunjukkan bahwa meskipun Kartini adalah anak seorang selir, ia berasal dari keluarga yang memiliki tradisi intelektual yang kuat, yang akhirnya mempengaruhi pemikirannya dan pandangannya terhadap pendidikan perempuan.
Tempat Kelahiran yang Masih Menjadi Misteri
Ada berbagai pendapat mengenai tempat kelahiran Kartini. Tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai apakah ia lahir di rumah ayahnya atau rumah ibunya.
Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, terdapat dua foto yang menunjukkan tempat yang diduga sebagai lokasi kelahiran Kartini, yaitu sebuah gedung asistenwedanaan. Foto ini menunjukkan bahwa gedung tersebut lebih sederhana dan tidak seberapa terlihat dinding batu, yang kemungkinan besar menggambarkan bahwa Kartini lahir di gedung tersebut, bukan di rumah ayahnya yang lebih besar dan megah.
Imron Rosyadi dalam tulisannya menyebutkan bahwa karena Ngasirah bukan berasal dari keluarga bangsawan, maka tidak mungkin rumahnya dibuat dari batu, dan itu menunjukkan bahwa Kartini kemungkinan besar lahir di gedung asistenwedanaan.
Kartini pun tetap dibesarkan dengan nilai-nilai yang mengedepankan pengetahuan dan kemajuan. Kartini tumbuh menjadi simbol perjuangan perempuan Indonesia, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga berjuang untuk pendidikan dan emansipasi perempuan di seluruh Nusantara.
Melalui surat-suratnya yang penuh makna, Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan dalam dirinya terkandung semangat untuk mengubah nasib perempuan Indonesia.
#kartini #ibukitakartini #sejarah #emansipasi #wanita #patinesia #foto #fyp #viral #trending
Sumber : https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/04/20/131300388/trinil-kartini-dan-jejak-emansipasi-yang-dimulai-dari-rumah#page3
GALUH PURBA: Kerajaan Purba dari Lereng Gunung Slamet yang Menjadi Induk Raja-Raja di Tanah Jawa
Di balik kemegahan sejarah kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, terdapat sebuah kerajaan purba yang sering terlupakan namun memiliki peran signifikan dalam pembentukan peradaban di Pulau Jawa. Kerajaan ini adalah Galuh Purba, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-1 Masehi di lereng Gunung Slamet.
Berdasarkan catatan sejarawan Belanda, W.J. van der Meulen, dalam bukunya “Indonesia di Ambang Sejarah” (1988), kerajaan ini dianggap sebagai induk dari banyak kerajaan di Tanah Jawa.
Asal Usul Kerajaan Galuh Purba
Galuh Purba didirikan oleh sekelompok pendatang dari Kutai, Kalimantan Timur, pada zaman pra-Hindu, sebelum terbentuknya Kerajaan Kutai Kertanegara. Para pendatang ini tiba di Pulau Jawa melalui Cirebon, lalu berpencar ke berbagai wilayah pedalaman seperti Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu. Di sekitar Gunung Slamet, mereka berinteraksi dengan penduduk lokal dan mendirikan Kerajaan Galuh Purba.
Kerajaan Galuh Purba berkembang menjadi kerajaan besar yang disegani di Pulau Jawa. Menurut Van der Meulen, hingga abad ke-6 Masehi, wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang luas, seperti Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo, dan Purwodadi. Wilayah yang sangat luas ini menjadi saksi kejayaan Kerajaan Galuh Purba sebelum akhirnya mengalami kemunduran.
Kemunduran Kerajaan Galuh Purba
Pamor Kerajaan Galuh Purba mulai meredup seiring dengan kebangkitan Dinasti Syailendra di Pulau Jawa. Prasasti Bogor mencatat bahwa pada masa itu, eksistensi Kerajaan Galuh Purba mulai tergeser oleh munculnya kerajaan-kerajaan baru di berbagai pelosok Jawa. Meskipun mengalami kemunduran, banyak kerajaan dan kadipaten di Jawa yang masih mengidentifikasi diri dengan nama "Galuh", menunjukkan pengaruh mendalam dari kerajaan ini.
Beberapa kerajaan yang menggunakan nama Galuh antara lain Kerajaan Galuh Rahyang di Brebes, Galuh Kalangon di Brebes, Galuh Lalean di Cilacap, Galuh Tanduran di Pananjung, dan Galuh Kumara di Tegal. Kerajaan-kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan dan ibu kota yang berbeda, namun semuanya mengacu pada akar sejarah yang sama, yakni Kerajaan Galuh Purba. Ada pula Galuh Pataka di Nanggalacah, Galuh Nagara Tengah di Cineam, Galuh Imbanagara di Barunay, dan Galuh Kalingga di Bojong.
Transformasi Menjadi Galuh Kawali
Pada abad ke-6, Kerajaan Galuh Purba memindahkan pusat pemerintahannya ke Kawali, dekat Garut, dan mengganti namanya menjadi Galuh Kawali. Pada masa yang sama, muncul kerajaan-kerajaan besar lainnya di Jawa, seperti Kerajaan Kalingga di timur dan Kerajaan Tarumanegara di barat. Persaingan antara kerajaan-kerajaan ini semakin memperlemah posisi Galuh Purba.
Namun, saat Purnawarman, Raja Tarumanegara, turun tahta dan digantikan oleh Raja Candrawarman, Kerajaan Galuh Kawali mengalami kebangkitan kembali. Pada masa pemerintahan Raja Tarusbawa Wretikandayun, Raja Galuh Kawali menyatakan kemerdekaannya dari Tarumanegara, dan dengan dukungan dari Kerajaan Kalingga, kerajaan ini kembali mengubah namanya menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh inilah yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran, yang terkenal dalam sejarah Sunda.
Dinasti Sanjaya dan Pengaruh Kerajaan Galuh Purba
Salah satu dampak penting dari Kerajaan Galuh Purba adalah munculnya Dinasti Sanjaya, hasil dari perkawinan antara bangsawan dari Kerajaan Galuh, Kalingga, dan Tarumanegara. Dinasti ini kelak melahirkan raja-raja besar di Tanah Jawa, memperkuat argumen bahwa Galuh Purba adalah induk dari banyak kerajaan di Nusantara.
E.M. Uhlenbeck dalam bukunya “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura” (1964) juga menguatkan teori ini dengan kajian linguistiknya. Uhlenbeck menyebutkan bahwa bahasa Banyumasan, yang dituturkan di wilayah sekitar Gunung Slamet, memiliki usia lebih tua dibandingkan sub-bahasa Jawa lainnya. Bahasa ini diyakini sebagai bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kerajaan Galuh Purba, menandakan bahwa peradaban Galuh Purba sudah mapan sebelum kerajaan-kerajaan besar lainnya muncul di Jawa.
Galuh Purba dalam Sejarah dan Legenda
Jejak kejayaan Kerajaan Galuh Purba masih dapat ditemukan di berbagai wilayah di sekitar Gunung Slamet, terutama melalui toponimi dan situs-situs sejarah yang berkaitan dengan kerajaan tersebut. Misalnya, Sungai Ideng yang berarti “hitam” dalam Bahasa Sunda, Sungai Kahuripan yang berarti “hidup”, serta legenda-legenda tentang tokoh-tokoh dari Kerajaan Pajajaran yang menyepi ke wilayah Panginyongan di sekitar Gunung Slamet.
Salah satu tokoh terkenal adalah Syekh Jambu Karang, pendiri Perdikan Cahyana dan leluhur Wong Purbalingga, yang dikenal sebagai Pangeran Raden Mundingwangi dari Kerajaan Pajajaran. Petilasannya di Gunung Ardi Lawet, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, hingga kini masih dianggap sebagai tempat keramat.
Selain itu, kompleks Goa Lawa di Purbalingga (Golaga), Desa Siwarak, Kecamatan Karangreja, juga dianggap memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajaran. Di sini terdapat tumpukan batu yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Prabu Siliwangi dan Gua Ratu Ayu, yang dihuni oleh dua putri Prabu Siliwangi, Endang Murdiningsih dan Endang Murdaningrum, yang ditemani oleh tiga ekor harimau berwarna hitam, putih, dan kuning.
Warisan Abadi Kerajaan Galuh Purba
Peninggalan sejarah dan legenda yang mengaitkan wilayah Gunung Slamet dengan tokoh-tokoh Pajajaran menunjukkan adanya hubungan erat antara wilayah ini dengan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Mereka datang ke wilayah Bumi Panginyongan bukan tanpa alasan, melainkan sebagai bentuk “pulang kampung” ke tanah leluhur mereka. Analisis Van der Meulen mungkin benar bahwa Kerajaan Galuh Purba di Lereng Gunung Slamet adalah induk dari kerajaan-kerajaan besar yang ada di Tanah Jawa.
Dengan demikian, Kerajaan Galuh Purba bukan hanya sebuah kerajaan tua yang terlupakan, tetapi juga memiliki peran penting dalam membentuk sejarah dan peradaban di Nusantara. Warisannya masih terasa hingga kini, terutama melalui bahasa, legenda, dan toponimi yang menunjukkan akar sejarah yang mendalam di tanah Jawa. Gunung Slamet dan sekitarnya bukan sekadar lanskap alam, tetapi juga simbol dari peradaban purba yang menjadi fondasi bagi kemunculan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.
#galuhpurba #legenda #history #sejarah #gunungslamet Bumi Pusaka #nusantara #kerajaan
Potret para pejuang yang tertangkap militer Belanda tengah jongkok di tanah. Salatiga, sekitar Oktober 1947
| Nationaal Archief | #jejakkolonial #nostalgianusantara #sejarahindonesia
Dua foto scan dari buku Brigif 4 ini menunjukkan salah satu cara menghambat daya gerak lawan yang dilakukan Falintil dalam Operasi Seroja 1975-1976. Selain penanaman ranjau dan penghadangan di medan kritik/Letter S, taktik menggunakan rintangan alam tercatat pernah juga dilakukan dengan menumbangkan pohon agar jalan tidak dapat dilalui. Belum lagi musim.hujan. juga membuat jalan menjadi rusak dan sungai meluap hingga tidak dapat diseberangi.
Terima Kasih Buat Yang Sudah Mau Menyimak untuk Belajar Bersama.
Sumber : Priyono
#operasiseroja
Potret Jasa Tandu di Cianjur Jawa Barat antara tahun 1900- 1940.
Tandu adalah sarana transportasi jaman dulu yang menggunakan tenaga manusia yang sudah ada sebelum adanya kendaraan yang ditarik oleh hewan atau manusia.
Jaman Feodal atau kerajaan, tandu digunakan untuk Raja dan bangsawan.
Jaman kolonial, jasa tandu digunakan oleh para kapitalis, baik kapitalis dari Eropa, Pribumi maupun orang orang kaya Timur Asing sebagai sarana transportasi jarak pendek.
Biasanya digunakan untuk berkunjung ke tempat wisata pegunungan
Jaman sekarang jasa tandu juga masih ada. Biasanya terdapat pada objek wisata pegunungan atau tempat wisata yang sulit dijangkau oleh para lansia atau bagi mereka yang sanggup membayar jasa tandu.
Contoh, di objek wisata Grojogan Sewu yang menyediakan jasa tandu bagi lansia atau mereka yang kesulitan naik turun tangga tebing untuk melihat air terjun Grojogan Sewu.
Jasa tandu lebih identik sebagai sarana transportasi kapitalis yang menggunakan tenaga manusia, ada uang tandu siap berjalan.
Sumber foto : wereldmuseum.nl
Champa Versi Babat Lasem
Sebelum orang champa penganut Islam menuju Jawa ada generasi Champa yang terlebih dahulu menuju Jawa karena tertarik kesuburan tanah Jawa. Generasi awal ini memeluk budha dan memuja Avalokitesvara. Beda dengan pendatang Cina yang suka berdagang, orang Champa suka bertani, pengrajin dan suka berkesenian.
Masih menurut Babat Lasem ketika Islam berkembang dan sebagian diajarkan oleh orang Champa generasi ke 2, maka orang Champa generasi pertama terbelah jadi 3 kelompok. Kelompok yang masuk Islam. Kelompok Ikut Cina dan ikut keyakinannya orang Cina. Kelompok ikut orang Jawa abangan dengan tetap memuja Avalokitesvara.
Champa yang ikut dalam komunitas Jawa hidup bertani dan menyamarkan sesembahannya yaitu budha Avalokitesvara kedalam sosok Dewi Sri. Nama Champa mereka juga digeser ke nama Jawa misal Po Ie ni jadi Poini atau Paini, Ngow Die Min jadi Ngadimin.
Tentu hal ini masih perlu konfirmasi secara akademik. Hanya saja nama seperti Ngdimo, Paini, Paidin kayaknya memang bukan nama Jawa semisal Suro, Slamet, Basuki dsb.