02 October 2024

Kelompok yang membuat belanda kerepotan! Samin Surosentiko atau dikenal dengan suku samin. Perlawanan mereka terhadap belanda cukup membuat koloni belanda kerepotan. Pasalnya suku samin melakukan perlawanan dengan elegan yaitu tidak patuh atau "nurut" kepada kebijakan atau aturan yang ditetapkan belanda tempo dulu. Blora, Jawa Tengah, Indonesia Sumber. Radar mukomuko 📷 Tropenmuseum

 Kelompok yang membuat belanda kerepotan! Samin Surosentiko atau dikenal dengan suku samin. Perlawanan mereka terhadap belanda cukup membuat koloni belanda kerepotan. Pasalnya suku samin melakukan perlawanan dengan elegan yaitu tidak patuh atau "nurut" kepada kebijakan atau aturan yang ditetapkan belanda tempo dulu. 



Blora, Jawa Tengah, Indonesia 

Sumber. Radar mukomuko

📷 Tropenmuseum

Kita coba renungkan bagaimana perjuangan para pahlawan kita pada masa lampau. Meski kemerdekaan sudah dideklarasikan, kekuatan asing tetap saja memantau pergerakan kita pada masa itu, bahkan hingga kini kita bangsa indonesia tidak boleh lengah karena banyak cara licik yang bisa ditempuh kekuatan asing untuk menguasai kembali republik tercinta ini. Ini adalah potret para pejuang kemerdekaan Indonesia yang tertangkap pasukan Belanda, mereka dikumpulkan dan dikepung tentara Belanda dan selanjutnya tidak ada yang tahu nasib mereka, Kopeng-Salatiga, sekitar Oktober 1947. • Sumber : National Archief - Th. van de Burgt Posted : #TEMPODOELOE

 Kita coba renungkan bagaimana perjuangan para pahlawan kita pada masa lampau. Meski kemerdekaan sudah dideklarasikan, kekuatan asing tetap saja memantau pergerakan kita pada masa itu, bahkan hingga kini kita bangsa indonesia tidak boleh lengah karena banyak cara licik yang bisa ditempuh kekuatan asing untuk menguasai kembali republik tercinta ini. Ini adalah potret para pejuang kemerdekaan Indonesia yang tertangkap pasukan Belanda, mereka dikumpulkan dan dikepung tentara Belanda dan selanjutnya tidak ada yang tahu nasib mereka, Kopeng-Salatiga, sekitar Oktober 1947.



Sumber : National Archief - Th. van de Burgt

Posted  : #TEMPODOELOE

SUKU JAWA Suku Jawa, atau dikenal sebagai Tiyang Jawi (krama) dan Wong Jawa (ngoko), adalah suku bangsa Austronesia terbesar di Indonesia, berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2010, sekitar 40,22% penduduk Indonesia adalah etnis Jawa. Tidak hanya di Indonesia, suku Jawa juga tersebar di Kaledonia Baru dan Suriname sebagai warisan era kolonial Belanda, serta di berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Belanda. Mayoritas orang Jawa adalah Muslim, dengan minoritas Kristen, Kejawen, Hindu, dan Buddha. Kebudayaan Jawa yang kaya telah dipengaruhi oleh lebih dari seribu tahun interaksi antara budaya Kejawen dan Hindu-Buddha, yang masih terlihat dalam sejarah, tradisi, dan seni Jawa. Dengan populasi global yang besar, suku Jawa menjadi kelompok etnis terbesar kelima di antara umat Islam di dunia, setelah bangsa Arab, Bengali, Punjabi, dan Turki. Suku Jawa juga memiliki beberapa sub-suku seperti Banyumasan, Cirebon, Osing, Samin, Tengger, Jawa Merauke, dan Jawa Suriname. Masyarakat Jawa adalah hasil perpaduan genetik antara orang Austroasiatik dan Austronesia, dengan sekitar 20-30% gen Austronesia dan 50-60% gen Austroasiatik. Adopsi bahasa Austronesia oleh penduduk awal Jawa terjadi sebagai bentuk adaptasi dalam perdagangan dan pertukaran budaya. Budaya Jawa yang sangat kompleks menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari, menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa, yang meliputi wayang kulit, keris, batik, dan gamelan, juga tersebar di luar Jawa. Wayang remaja dari LSM Kampung Halaman di Yogyakarta mendapat penghargaan seni dari AS pada tahun 2011. Gamelan Jawa diajarkan di Universitas Victoria Wellington, Selandia Baru, dan rutin dipentaskan di AS dan Eropa. Sastra Jawa seperti Nagarakretagama diakui UNESCO sebagai Memori Dunia. Pengaruh budaya Jawa juga terlihat di luar Indonesia, termasuk Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan, terutama pada era Majapahit. Bahasa Jawa adalah bahasa Austronesia dengan banyak serapan dari bahasa Sanskerta. Pada awal 1990-an, survei majalah Tempo menunjukkan bahwa mayoritas orang Jawa masih menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosakata dan intonasi berdasarkan hubungan sosial, yang dikenal sebagai unggah-ungguh. Meskipun aksara Jawa semakin tergantikan oleh huruf Latin, aksara ini masih diajarkan di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mayoritas orang Jawa adalah Muslim (sekitar 96%), dengan perbedaan kultur antara kaum Santri dan Abangan. Kaum Santri mengamalkan ajaran Islam secara syariat, sedangkan kaum Abangan masih terpengaruh kuat oleh Kejawen. Selain Islam, orang Jawa juga ada yang menganut agama Kristen (sekitar 3%), Hindu, Buddha, dan Kejawen. Komunitas Jawa Hindu dapat ditemukan di kawasan pegunungan Bromo Tengger Semeru, dan komunitas Jawa Buddha di desa Kalimanggis, Temanggung. Budaya Jawa adalah warisan yang kaya dan berharga, dengan nilai-nilai dan tradisi yang masih dijaga dan dihormati oleh masyarakat Jawa hingga saat ini. Jika ada kesalahan pada pembahasan ini, mohon berikan kritikan ke saya, akan saya perbaiki 🙏

 SUKU JAWA

Suku Jawa, atau dikenal sebagai Tiyang Jawi (krama) dan Wong Jawa (ngoko), adalah suku bangsa Austronesia terbesar di Indonesia, berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2010, sekitar 40,22% penduduk Indonesia adalah etnis Jawa. Tidak hanya di Indonesia, suku Jawa juga tersebar di Kaledonia Baru dan Suriname sebagai warisan era kolonial Belanda, serta di berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Belanda.



Mayoritas orang Jawa adalah Muslim, dengan minoritas Kristen, Kejawen, Hindu, dan Buddha. Kebudayaan Jawa yang kaya telah dipengaruhi oleh lebih dari seribu tahun interaksi antara budaya Kejawen dan Hindu-Buddha, yang masih terlihat dalam sejarah, tradisi, dan seni Jawa. Dengan populasi global yang besar, suku Jawa menjadi kelompok etnis terbesar kelima di antara umat Islam di dunia, setelah bangsa Arab, Bengali, Punjabi, dan Turki. Suku Jawa juga memiliki beberapa sub-suku seperti Banyumasan, Cirebon, Osing, Samin, Tengger, Jawa Merauke, dan Jawa Suriname.


Masyarakat Jawa adalah hasil perpaduan genetik antara orang Austroasiatik dan Austronesia, dengan sekitar 20-30% gen Austronesia dan 50-60% gen Austroasiatik. Adopsi bahasa Austronesia oleh penduduk awal Jawa terjadi sebagai bentuk adaptasi dalam perdagangan dan pertukaran budaya. Budaya Jawa yang sangat kompleks menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari, menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan.


Budaya Jawa, yang meliputi wayang kulit, keris, batik, dan gamelan, juga tersebar di luar Jawa. Wayang remaja dari LSM Kampung Halaman di Yogyakarta mendapat penghargaan seni dari AS pada tahun 2011. Gamelan Jawa diajarkan di Universitas Victoria Wellington, Selandia Baru, dan rutin dipentaskan di AS dan Eropa. Sastra Jawa seperti Nagarakretagama diakui UNESCO sebagai Memori Dunia. Pengaruh budaya Jawa juga terlihat di luar Indonesia, termasuk Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan, terutama pada era Majapahit.


Bahasa Jawa adalah bahasa Austronesia dengan banyak serapan dari bahasa Sanskerta. Pada awal 1990-an, survei majalah Tempo menunjukkan bahwa mayoritas orang Jawa masih menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosakata dan intonasi berdasarkan hubungan sosial, yang dikenal sebagai unggah-ungguh. Meskipun aksara Jawa semakin tergantikan oleh huruf Latin, aksara ini masih diajarkan di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.


Mayoritas orang Jawa adalah Muslim (sekitar 96%), dengan perbedaan kultur antara kaum Santri dan Abangan. Kaum Santri mengamalkan ajaran Islam secara syariat, sedangkan kaum Abangan masih terpengaruh kuat oleh Kejawen. Selain Islam, orang Jawa juga ada yang menganut agama Kristen (sekitar 3%), Hindu, Buddha, dan Kejawen. Komunitas Jawa Hindu dapat ditemukan di kawasan pegunungan Bromo Tengger Semeru, dan komunitas Jawa Buddha di desa Kalimanggis, Temanggung.


Budaya Jawa adalah warisan yang kaya dan berharga, dengan nilai-nilai dan tradisi yang masih dijaga dan dihormati oleh masyarakat Jawa hingga saat ini.


Jika ada kesalahan pada pembahasan ini, mohon berikan kritikan ke saya, akan saya perbaiki 🙏

GELAR 'ANDI': WARISAN KOLONIAL ATAU SIMBOL KEBANGSAWANAN BUGIS-MAKASSAR?" Apakah Anda pernah mendengar nama "Andi" di awal nama seseorang? Atau mungkin Anda memiliki teman dengan nama yang diawali oleh gelar ini? Di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, gelar "Andi" bukanlah sekadar hiasan di depan nama—itu bisa menjadi simbol kebangsawanan, terutama saat dihubungkan dengan nominal Uang Panai’. Bagi sebagian besar masyarakat, apabila seorang perempuan Bugis memiliki gelar "Andi", maka Uang Panai’ yang harus disiapkan pun harus lebih tinggi dari biasanya. Namun, di balik tradisi yang telah begitu mendarah daging ini, ada sebuah kenyataan tersembunyi yang mungkin belum banyak diketahui. Gelar "Andi" sebenarnya bukanlah gelar kebangsawanan murni dari tradisi Bugis-Makassar. Lantas, bagaimana gelar ini muncul dan menjadi begitu penting? Asal-Usul Gelar "Andi" dalam Sejarah Bugis-Makassar Sejarah mencatat bahwa gelar "Andi" bukan berasal dari dalam adat Bugis-Makassar itu sendiri, melainkan hasil intervensi dari seorang misionaris Belanda di awal abad ke-20. Gelar ini mulai dikenal sekitar 100 tahun yang lalu, serupa dengan pemberian gelar "Haji" bagi umat Islam pada masa kolonial. Prof. Mattulada, seorang antropolog dari Unhas, menelusuri asal muasal gelar ini pada masa penjajahan Belanda. Di tahun 1930-an, setiap siswa yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat HIS atau sekolah pamong praja, harus menyertakan “stamboom” atau daftar silsilah keluarga bangsawan mereka. Dalam proses ini, gelar "Andi" digunakan untuk mengidentifikasi siswa yang berasal dari keluarga bangsawan, membedakannya dari masyarakat umum. Kisah seorang tokoh terkenal, Andi Matalatta, mengukuhkan sejarah ini. Pada tahun 1929, saat ia hendak melanjutkan sekolahnya di Openbare Schakelschool Makassar, namanya dibubuhi kata "Andi" di depan. Muhayyang Daeng Ngawing, yang kala itu menjabat sebagai kepala sekolah, menjelaskan bahwa penggunaan gelar ini bertujuan untuk memisahkan keturunan bangsawan dari orang biasa. Pemberian gelar "Andi" ini pertama kali diperkenalkan oleh B.F. Matthews, seorang misionaris Belanda yang juga kepala sekolah OSVIA. Bersama Colliq Pujie, Matthews adalah pelopor penulisan Sureq I Lagaligo, karya sastra legendaris Bugis-Makassar. Matthews memiliki ambisi besar—ia ingin menerapkan sistem Standen Stelsel di Sulawesi Selatan, seperti yang ada di Jawa. Maka, gelar "Andi" diberikan kepada semua bangsawan terdidik yang nantinya akan dipersiapkan untuk mengisi jabatan penting di pemerintahan kolonial Belanda. Sejak saat itu, para keturunan bangsawan mulai menyematkan gelar "Andi" di depan nama mereka, dan gelar ini bertahan hingga Indonesia merdeka, menjadi simbol status yang diwariskan turun-temurun. Strata Sosial dalam Masyarakat Bugis dan Makassar Sulawesi Selatan dikenal dengan keragaman etnisnya—terdapat suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, dan Sa’dan. Namun, suku Bugis dan Makassar menjadi mayoritas di wilayah ini, masing-masing dengan sistem strata sosial yang kaya akan tradisi. Di masyarakat Bugis, terdapat tiga strata sosial utama: Arung (bangsawan tertinggi), Ata (budak yang kini tak lagi berlaku), dan To Maradeka (masyarakat umum). Sementara di suku Makassar, ada empat strata sosial, yaitu Ata, Daeng (kalangan pengusaha), Karaeng (raja atau bangsawan), dan Kare (tokoh religius). Gelar kebangsawanan yang muncul dari kedua suku ini beragam, antara lain: Arung, Besse, Baso, Daeng, Datu, Karaeng, Opu, Petta, Sombayya, dan Tenri. Semua gelar ini memiliki akar sejarah dan makna yang mendalam, menunjukkan kekayaan budaya dan kebesaran kerajaan di Sulawesi Selatan. Namun, gelar "Andi" kini menjadi salah satu yang paling dikenali, bukan hanya karena status kebangsawanan yang diwakilinya, tapi juga karena sejarah panjang di balik pembentukannya—sebuah warisan kolonial yang akhirnya melekat kuat dalam identitas budaya Bugis-Makassar. FB. Cinema Indonesian

 GELAR 'ANDI': WARISAN KOLONIAL ATAU SIMBOL KEBANGSAWANAN BUGIS-MAKASSAR?"


Apakah Anda pernah mendengar nama "Andi" di awal nama seseorang? Atau mungkin Anda memiliki teman dengan nama yang diawali oleh gelar ini? Di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, gelar "Andi" bukanlah sekadar hiasan di depan nama—itu bisa menjadi simbol kebangsawanan, terutama saat dihubungkan dengan nominal Uang Panai’. Bagi sebagian besar masyarakat, apabila seorang perempuan Bugis memiliki gelar "Andi", maka Uang Panai’ yang harus disiapkan pun harus lebih tinggi dari biasanya.



Namun, di balik tradisi yang telah begitu mendarah daging ini, ada sebuah kenyataan tersembunyi yang mungkin belum banyak diketahui. Gelar "Andi" sebenarnya bukanlah gelar kebangsawanan murni dari tradisi Bugis-Makassar. Lantas, bagaimana gelar ini muncul dan menjadi begitu penting?


Asal-Usul Gelar "Andi" dalam Sejarah Bugis-Makassar


Sejarah mencatat bahwa gelar "Andi" bukan berasal dari dalam adat Bugis-Makassar itu sendiri, melainkan hasil intervensi dari seorang misionaris Belanda di awal abad ke-20. Gelar ini mulai dikenal sekitar 100 tahun yang lalu, serupa dengan pemberian gelar "Haji" bagi umat Islam pada masa kolonial.


Prof. Mattulada, seorang antropolog dari Unhas, menelusuri asal muasal gelar ini pada masa penjajahan Belanda. Di tahun 1930-an, setiap siswa yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat HIS atau sekolah pamong praja, harus menyertakan “stamboom” atau daftar silsilah keluarga bangsawan mereka. Dalam proses ini, gelar "Andi" digunakan untuk mengidentifikasi siswa yang berasal dari keluarga bangsawan, membedakannya dari masyarakat umum.


Kisah seorang tokoh terkenal, Andi Matalatta, mengukuhkan sejarah ini. Pada tahun 1929, saat ia hendak melanjutkan sekolahnya di Openbare Schakelschool Makassar, namanya dibubuhi kata "Andi" di depan. Muhayyang Daeng Ngawing, yang kala itu menjabat sebagai kepala sekolah, menjelaskan bahwa penggunaan gelar ini bertujuan untuk memisahkan keturunan bangsawan dari orang biasa.


Pemberian gelar "Andi" ini pertama kali diperkenalkan oleh B.F. Matthews, seorang misionaris Belanda yang juga kepala sekolah OSVIA. Bersama Colliq Pujie, Matthews adalah pelopor penulisan Sureq I Lagaligo, karya sastra legendaris Bugis-Makassar. Matthews memiliki ambisi besar—ia ingin menerapkan sistem Standen Stelsel di Sulawesi Selatan, seperti yang ada di Jawa. Maka, gelar "Andi" diberikan kepada semua bangsawan terdidik yang nantinya akan dipersiapkan untuk mengisi jabatan penting di pemerintahan kolonial Belanda.


Sejak saat itu, para keturunan bangsawan mulai menyematkan gelar "Andi" di depan nama mereka, dan gelar ini bertahan hingga Indonesia merdeka, menjadi simbol status yang diwariskan turun-temurun.


Strata Sosial dalam Masyarakat Bugis dan Makassar


Sulawesi Selatan dikenal dengan keragaman etnisnya—terdapat suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, dan Sa’dan. Namun, suku Bugis dan Makassar menjadi mayoritas di wilayah ini, masing-masing dengan sistem strata sosial yang kaya akan tradisi.


Di masyarakat Bugis, terdapat tiga strata sosial utama: Arung (bangsawan tertinggi), Ata (budak yang kini tak lagi berlaku), dan To Maradeka (masyarakat umum). Sementara di suku Makassar, ada empat strata sosial, yaitu Ata, Daeng (kalangan pengusaha), Karaeng (raja atau bangsawan), dan Kare (tokoh religius).


Gelar kebangsawanan yang muncul dari kedua suku ini beragam, antara lain: Arung, Besse, Baso, Daeng, Datu, Karaeng, Opu, Petta, Sombayya, dan Tenri. Semua gelar ini memiliki akar sejarah dan makna yang mendalam, menunjukkan kekayaan budaya dan kebesaran kerajaan di Sulawesi Selatan.


Namun, gelar "Andi" kini menjadi salah satu yang paling dikenali, bukan hanya karena status kebangsawanan yang diwakilinya, tapi juga karena sejarah panjang di balik pembentukannya—sebuah warisan kolonial yang akhirnya melekat kuat dalam identitas budaya Bugis-Makassar.


FB. Cinema Indonesian