13 December 2025

Syamsul Beraksi Lagi, Kali Ini Membidik Paman Usman Dilaporkan ke MKMK Kalian pasti masih ingat, eks Satpam, Syamsul Jahidin. Itu yang sukses memulangkan ribuan polisi kembali ke Markas. Si rambut mirip Gogon Srimulat ini beraksi lagi. Lewat pedang hukumnya ia melaporkan Anwar Usman atau terkenal dengan Paman Usman ke MKMK. Simak lagi narasinya sambil seruput Koptagul, wak! Berhubung negeri ini sedang dilanda bencana tanda tangan, tiba-tiba ada lagi yang ribut soal Paman Usman. Entah kenapa, dari sekian banyak paman di Indonesia, cuma satu yang selalu dijadikan “spotlight”seolah hidupnya dikutuk untuk terus tampil sebagai cameo wajib di drama hukum nasional. Kini, Paman Usman, nama panggung dari Hakim Konstitusi Anwar Usman, kembali digeret ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Yang ngelapor? Syamsul Jahidin, advokat yang tampaknya sedang menjalani fase “ingin tahu semua hal yang berbau Usmanologi”. Seakan kalau tidak mengadu ke MKMK sehari sekali, hidupnya hampa. Menurut Syamsul (bukan Samsul yang itu ya), Paman Usman ini punya hobi unik, dissenting opinion. Hobi yang, kalau dilihat dari luar, mirip orang yang sengaja melawan arus, bukan karena salah jalan, tapi karena prinsip “yang penting beda”. Syamsul membaca dissenting itu, lalu menyambung-nyambungkan seperti tukang puzzle yang baru belajar nyusun gambar, dan hasilnya, “Ini enggak logis sekali penolakannya.” Padahal di negeri ini, ketidaklogisan justru adalah salah satu bahan baku hukum tak tertulis. Kalau logis semua, rakyat pasti curiga. Menurut Syamsul, UU IKN dipangkas HGU-nya, dari yang awalnya bisa tembus 190 tahun, umur yang bahkan dinosaurus pun iri, jadi tidak seliar itu lagi. Sedangkan UU Polri membatasi jabatan polisi di jabatan sipil. Dua hal ini menurutnya sudah cukup serius untuk diuji via dissenting. Lalu Syamsul membandingkannya dengan Putusan 90, putusan yang membuka jalan untuk sang keponakan, yang nama lengkapnya sebenarnya “Gibran Rakabuming Raka.” Putusan itu keluar tanpa sidang pleno, seperti mie instan, cepat, praktis, dan penuh MSG politik. Kata Syamsul (bukan Samsul ya), ia ingin tahu, “Apakah ini tendensius pribadi atau pendapat hukum?”Pertanyaan ini, kalau ditarik ke filsafat Paman, berbunyi begini, “Apakah paman membela keponakan karena ia paman? Atau apakah paman membela keponakan karena sudah jadi hukum alam semesta, paman akan selalu menjadi paman?” Suatu dilema eksistensial yang Plato pun mungkin akan menyerah memikirkannya. Syamsul juga bilang MK dulu “cacat” waktu dipimpin Paman Usman. Ini seperti komentar netizen yang bilang, “MK kok kayak sinetron? Pemerannya makin lama makin aneh.” Syamsul memasukkan laporan itu ke MKMK hari ini. Ia menunggu hasilnya. Kita tahu, menunggu respons lembaga negara kadang seperti menunggu balasan pesan gebetan, kadang lama, kadang tidak dibalas, kadang tiba-tiba diblokir. Berdasarkan penelusuran serius, bukan dari WA grup keluarga, memang benar, Paman Usman dissenting di putusan IKN. Ia dissenting bareng Daniel Yusmic dan Arsul Sani. Tiga sekawan dissenting yang mungkin kalau dijadikan trio musik bisa dinamai “The Constitutional Boys”. Tapi….Untuk UU Polri, ternyata nama Paman Usman bahkan tidak masuk daftar dissenting. Yang dissenting justru Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah. So, Syamsul sebenarnya sedang marah pada impresi, bukan fakta. Tapi di negara ini, marah pada impresi adalah hak asasi. Bahkan sering jadi budaya. Drama ini sebenarnya menunjukkan, republik ini selalu punya satu tokoh utama yang disalahkan tiap musim. Tahun depan mungkin ganti orang. Tahun depannya lagi ganti lagi. Tapi Paman Usman punya “karisma walah-walah” yang membuatnya tidak pernah benar-benar keluar panggung. Di tengah bencana tanda tangan yang mengguncang Sumatera, persoalan Paman Usman muncul lagi. Seolah rakyat belum cukup pusing dengan tanda tangan palsu, tanda tangan tidak sah, tanda tangan menghilang, tanda tangan malaikat, dan tanda tangan yang tiba-tiba muncul kayak hantu di blanko APBD. Kalau kata Paman Usman, dalam imajinasi kita, begini, “Saya dissenting bukan karena ingin berbeda, tapi karena di dunia ini, kadang yang logis bukan yang benar, dan yang benar belum tentu logis.” Kalimat yang kalau dibacakan dengan suara berat bisa lolos jadi quote di Instagram motivasi. Akhirnya, kita hanya bisa berharap, semoga MKMK menemukan jawabannya. Semoga Syamsul tenang. Semoga negara ini tidak terus hidup dalam genre sarkasme politik. Semoga Paman Usman……bisa istirahat sebentar dari hiruk pikuk negeri yang terlalu mencintainya. Foto Ai hanya ilustrasi #camanewak Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

 Syamsul Beraksi Lagi, Kali Ini Membidik Paman Usman Dilaporkan ke MKMK



Kalian pasti masih ingat, eks Satpam, Syamsul Jahidin. Itu yang sukses memulangkan ribuan polisi kembali ke Markas. Si rambut mirip Gogon Srimulat ini beraksi lagi. Lewat pedang hukumnya ia melaporkan Anwar Usman atau terkenal dengan Paman Usman ke MKMK. Simak lagi narasinya sambil seruput Koptagul, wak!


Berhubung negeri ini sedang dilanda bencana tanda tangan, tiba-tiba ada lagi yang ribut soal Paman Usman. Entah kenapa, dari sekian banyak paman di Indonesia, cuma satu yang selalu dijadikan “spotlight”seolah hidupnya dikutuk untuk terus tampil sebagai cameo wajib di drama hukum nasional.


Kini, Paman Usman, nama panggung dari Hakim Konstitusi Anwar Usman, kembali digeret ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Yang ngelapor? Syamsul Jahidin, advokat yang tampaknya sedang menjalani fase “ingin tahu semua hal yang berbau Usmanologi”. Seakan kalau tidak mengadu ke MKMK sehari sekali, hidupnya hampa.


Menurut Syamsul (bukan Samsul yang itu ya), Paman Usman ini punya hobi unik, dissenting opinion. Hobi yang, kalau dilihat dari luar, mirip orang yang sengaja melawan arus, bukan karena salah jalan, tapi karena prinsip “yang penting beda”.


Syamsul membaca dissenting itu, lalu menyambung-nyambungkan seperti tukang puzzle yang baru belajar nyusun gambar, dan hasilnya, “Ini enggak logis sekali penolakannya.” Padahal di negeri ini, ketidaklogisan justru adalah salah satu bahan baku hukum tak tertulis. Kalau logis semua, rakyat pasti curiga.


Menurut Syamsul, UU IKN dipangkas HGU-nya, dari yang awalnya bisa tembus 190 tahun, umur yang bahkan dinosaurus pun iri, jadi tidak seliar itu lagi. Sedangkan UU Polri membatasi jabatan polisi di jabatan sipil. Dua hal ini menurutnya sudah cukup serius untuk diuji via dissenting.


Lalu Syamsul membandingkannya dengan Putusan 90, putusan yang membuka jalan untuk sang keponakan, yang nama lengkapnya sebenarnya “Gibran Rakabuming Raka.” Putusan itu keluar tanpa sidang pleno, seperti mie instan, cepat, praktis, dan penuh MSG politik.


Kata Syamsul (bukan Samsul ya), ia ingin tahu, “Apakah ini tendensius pribadi atau pendapat hukum?”Pertanyaan ini, kalau ditarik ke filsafat Paman, berbunyi begini, “Apakah paman membela keponakan karena ia paman? Atau apakah paman membela keponakan karena sudah jadi hukum alam semesta, paman akan selalu menjadi paman?”


Suatu dilema eksistensial yang Plato pun mungkin akan menyerah memikirkannya. Syamsul juga bilang MK dulu “cacat” waktu dipimpin Paman Usman. Ini seperti komentar netizen yang bilang, “MK kok kayak sinetron? Pemerannya makin lama makin aneh.”


Syamsul memasukkan laporan itu ke MKMK hari ini. Ia menunggu hasilnya. Kita tahu, menunggu respons lembaga negara kadang seperti menunggu balasan pesan gebetan, kadang lama, kadang tidak dibalas, kadang tiba-tiba diblokir.


Berdasarkan penelusuran serius, bukan dari WA grup keluarga, memang benar, Paman Usman dissenting di putusan IKN. Ia dissenting bareng Daniel Yusmic dan Arsul Sani. Tiga sekawan dissenting yang mungkin kalau dijadikan trio musik bisa dinamai “The Constitutional Boys”.


Tapi….Untuk UU Polri, ternyata nama Paman Usman bahkan tidak masuk daftar dissenting. Yang dissenting justru Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah. So, Syamsul sebenarnya sedang marah pada impresi, bukan fakta. Tapi di negara ini, marah pada impresi adalah hak asasi. Bahkan sering jadi budaya.


Drama ini sebenarnya menunjukkan, republik ini selalu punya satu tokoh utama yang disalahkan tiap musim. Tahun depan mungkin ganti orang. Tahun depannya lagi ganti lagi. Tapi Paman Usman punya “karisma walah-walah” yang membuatnya tidak pernah benar-benar keluar panggung.


Di tengah bencana tanda tangan yang mengguncang Sumatera, persoalan Paman Usman muncul lagi. Seolah rakyat belum cukup pusing dengan tanda tangan palsu, tanda tangan tidak sah, tanda tangan menghilang, tanda tangan malaikat, dan tanda tangan yang tiba-tiba muncul kayak hantu di blanko APBD.


Kalau kata Paman Usman, dalam imajinasi kita, begini, “Saya dissenting bukan karena ingin berbeda, tapi karena di dunia ini, kadang yang logis bukan yang benar, dan yang benar belum tentu logis.” Kalimat yang kalau dibacakan dengan suara berat bisa lolos jadi quote di Instagram motivasi.


Akhirnya, kita hanya bisa berharap, semoga MKMK menemukan jawabannya. Semoga Syamsul tenang. Semoga negara ini tidak terus hidup dalam genre sarkasme politik. Semoga Paman Usman……bisa istirahat sebentar dari hiruk pikuk negeri yang terlalu mencintainya.


Foto Ai hanya ilustrasi


#camanewak

Rosadi Jamani

Sumber : 

Ketua Satupena Kalbar

11 December 2025

Bibit Bebet Bobot. Ignatius Yogi Supardi (25 Juli 1929 – 15 September 2019) adalah seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat & diplomat Indonesia penganut agama Katholik yg memainkan peran penting dlm perjalanan militer Indonesia sejak masa revolusi, hingga kemudian dipercaya menduduki jabatan2 strategis di Departemen Pertahanan & Keamanan serta mewakili Indonesia sebagai Duta Besar di Jepang. Yogi lahir di Klaten, Jawa Tengah, ketika wilayah tersebut masih berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Pendidikan dasarnya ditempuh di Hollandsch-Inlandsche School, sebuah sekolah kolonial untuk penduduk pribumi yg berprestasi. Ia lulus pada tahun 1942, tepat ketika masa pendudukan Jepang dimulai & melanjutkan pendidikan setingkat SMP hingga selesai pada 1945. Di thn itulah , ibu saya juga lahir di Klaten sebagai putri dari pasangan R.Ayu Soedarti Martonagoro (buyut K.G.P.A.A.Mangkunagoro V) & dr.R.M.Soedjarwadi, trah K.G.P.A.A.Mangkunagoro II & pendiri R S J.D.dr.R M.Soedjarwadi di Wedi Klaten. Masa remajanya bertepatan dgn pergolakan nasional menuju kemerdekaan. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Yogi memilih jalan hidup sebagai tentara & mendaftar di Akademi Militer Yogya yg baru dibentuk pada 31 Oktober 1945. Dari 442 taruna angkatan pertama, hanya 196 yg akhirnya lulus—sebuah seleksi alam yg keras & menunjukkan komitmen Yogi terhadap dunia militer. Ia dilantik sebagai letnan dua pada 28 November 1948 dlm sebuah upacara di Istana Negara. Sejak masa pendidikannya, Yogi sudah terlibat dlm tugas2 nyata. Pada 1945 ia ikut merebut senjata dari pasukan Jepang & pada 1946 ditempatkan di Front Bandung Utara. Setelah resmi menjadi perwira, ia bergabung dgn Divisi Diponegoro di Magelang & turut serta dlm penumpasan Peristiwa Madiun 1948. Usai konflik, ia dikirim ke Yogyakarta untuk menghadapi agresi militer Belanda. Pada 1949, ia dipindahkan ke Sumatra Selatan sebagai perwira penghubung antara TNI & tentara Belanda dlm masa transisi politik & keamanan. Tugas ini mengasah kemampuannya dlm diplomasi lapangan & koordinasi antar-militer. Tahun 1952, Yogi menyelesaikan pendidikan di Sekolah Artileri di India & kembali ke Indonesia dgn kenaikan pangkat menjadi letnan satu. Ia kemudian mengabdi sebagai instruktur di pendidikan artileri selama empat tahun sebelum ditugaskan ke luar negeri. Pada 4 Agustus 1956, ia menjadi asisten atase militer Indonesia di London, sebuah posisi yg memperkenalkannya pada dunia hubungan pertahanan internasional. Setelah beberapa tahun, ia dipindahkan ke Manila untuk tugas serupa. Sekembalinya ke Indonesia pada 1960, Yogi dipercaya memimpin Pendidikan Artileri Pusat. Ia kemudian ditunjuk sebagai Komandan Brigade Artileri Kostrad & terus naik melalui struktur organisasi Kostrad. Pada 1968–1969, ia menjalani pendidikan di Lemhannas, yg memperluas perspektif strategis & geopolitiknya. Pada awal 1970-an, Yogi menjabat Wakil Asisten V (Litbang) Kepala Staf Angkatan Darat. Ia juga terlibat dlm penyusunan rencana regenerasi perwira TNI, terutama dlm mengatur transisi antara Angkatan 1945 & generasi pascaperang. Ia menekankan pentingnya mempertahankan nilai perjuangan kemerdekaan melalui peran para perwira senior di Departemen Pertahanan. Pada 1972, ia diangkat menjadi Panglima Kodam IX/Udayana di Bali. Dua tahun kemudian, ia menjabat sebagai Komandan Sekolah Staf & Komando Gabungan (Seskogab), tempat ia mengembangkan pendidikan strategis bagi para perwira menengah. Mulai 21 Januari 1976, Yogi menjabat Asisten Politik, Strategi & Perencanaan Umum Panglima ABRI. Posisi ini membuatnya terlibat dlm proses perumusan kebijakan pertahanan nasional. Pada 1980, ia ditunjuk sebagai Kepala Staf Administrasi Departemen Pertahanan & Keamanan & tiga tahun kemudian diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan & Keamanan, jabatan birokratis tertinggi di kementerian tersebut. Ia menjabat hingga 10 Oktober 1987. Selama masa jabatannya, struktur organisasi departemen mengalami perubahan sehingga sebagian kewenangan dialihkan kepada Panglima ABRI. Kendati demikian, Yogi tetap berperan sebagai pejabat kunci dlm koordinasi administrasi pertahanan negara. Setelah pensiun dari dinas militer aktif, Yogi diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jepang pada 31 Agustus 1987. Selama empat tahun masa baktinya, ia mengembangkan hubungan bilateral Indonesia–Jepang terutama dlm bidang pertahanan, ekonomi & kebudayaan. Ia mengakhiri masa tugas pada 16 Mei 1991. Setelah kembali ke Tanah Air, Yogi tetap aktif dlm berbagai kegiatan organisasi veteran. Ia menjadi anggota dewan penasihat Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Ia juga menghadiri berbagai acara reuni, termasuk pertemuan lulusan Akademi Militer Yogya tahun 1948 pada 1993 bersama sejumlah tokoh nasional. Yogi menikah dgn Olga Wahyu pada 25 Desember 1955. Pasangan ini dikaruniai tiga anak: dua putra dan satu putri. Putri bungsunya, Prisca Marina, menikah dgn K.G.P.A.A Mangkunagoro IX & menerima gelar permaisuri sebagai : Gusti Kangjeng Putri Mangkunagoro IX. Sebagai bagian dari hubungan keluarga bangsawan Mangkunegaran, Yogi memperoleh gelar kehormatan sebagai : Kangjeng Pangeran Haryo Haryogi Mangun Winoto. Menurut keterangan dari mas Danang Lawu Sulistiyono, Olga Wahyu yg juga bernama lain : Kangjeng Bandoro Raden Ayu Josephine, adalah salah satu wayahdalem (cucu) dari S.I.S.K. Susuhunan Pakubuwono XI yg menjadikannya juga keponakan dari S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono XII. Josephine adalah nama baptis Olga Wahyu. Sedangkan adik kandung S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono XII :G.K.R.Kedhaton menikah dgn kerabat ibu saya Tragedi menimpa keluarga ini pada 2007 ketika Olga Wahyu menjadi salah satu korban kecelakaan Garuda Indonesia Penerbangan 200 di Yogyakarta. Selain K.B.R.Ayu Josephine Olga Wahyu, yg menjadi korban kecelakaan tersebut salah satunya adalah Prof.Dr.H.Koesnadi Hardjasoemantri SH.ML adalah Rektor Universitas Gajah Mada . Oom Koesnadi menikah dgn tante Nina, salah satu kerabat ibu saya. Ignatius Yogi Supardi meninggal dunia pada 15 September 2019 di RSPAD Gatot Soebroto di usia 90 thn. Beliau dimakamkan dgn upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta, pada 18 September 2019 & dipimpin oleh Pangdam Diponegoro.

 Bibit Bebet Bobot.


Ignatius Yogi Supardi (25 Juli 1929 – 15 September 2019) adalah seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat & diplomat Indonesia penganut agama Katholik yg memainkan peran penting dlm perjalanan militer Indonesia sejak masa revolusi, hingga kemudian dipercaya menduduki jabatan2 strategis di Departemen Pertahanan & Keamanan serta mewakili Indonesia sebagai Duta Besar di Jepang.



Yogi lahir di Klaten, Jawa Tengah, ketika wilayah tersebut masih berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Pendidikan dasarnya ditempuh di Hollandsch-Inlandsche School, sebuah sekolah kolonial untuk penduduk pribumi yg berprestasi. Ia lulus pada tahun 1942, tepat ketika masa pendudukan Jepang dimulai & melanjutkan pendidikan setingkat SMP hingga selesai pada 1945. 

Di thn itulah , ibu saya juga lahir di Klaten sebagai putri dari pasangan R.Ayu Soedarti Martonagoro (buyut K.G.P.A.A.Mangkunagoro V) & dr.R.M.Soedjarwadi, trah K.G.P.A.A.Mangkunagoro II & pendiri R S J.D.dr.R M.Soedjarwadi di Wedi  Klaten.


Masa remajanya bertepatan dgn pergolakan nasional menuju kemerdekaan. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Yogi memilih jalan hidup sebagai tentara & mendaftar di Akademi Militer Yogya yg baru dibentuk pada 31 Oktober 1945. Dari 442 taruna angkatan pertama, hanya 196 yg akhirnya lulus—sebuah seleksi alam yg keras & menunjukkan komitmen Yogi terhadap dunia militer. Ia dilantik sebagai letnan dua pada 28 November 1948 dlm sebuah upacara di Istana Negara.


Sejak masa pendidikannya, Yogi sudah terlibat dlm tugas2 nyata. Pada 1945 ia ikut merebut senjata dari pasukan Jepang & pada 1946 ditempatkan di Front Bandung Utara. Setelah resmi menjadi perwira, ia bergabung dgn Divisi Diponegoro di Magelang & turut serta dlm penumpasan Peristiwa Madiun 1948. Usai konflik, ia dikirim ke Yogyakarta untuk menghadapi agresi militer Belanda.


Pada 1949, ia dipindahkan ke Sumatra Selatan sebagai perwira penghubung antara TNI & tentara Belanda dlm masa transisi politik & keamanan. Tugas ini mengasah kemampuannya dlm diplomasi lapangan & koordinasi antar-militer.


Tahun 1952, Yogi menyelesaikan pendidikan di Sekolah Artileri di India & kembali ke Indonesia dgn kenaikan pangkat menjadi letnan satu. Ia kemudian mengabdi sebagai instruktur di pendidikan artileri selama empat tahun sebelum ditugaskan ke luar negeri.


Pada 4 Agustus 1956, ia menjadi asisten atase militer Indonesia di London, sebuah posisi yg memperkenalkannya pada dunia hubungan pertahanan internasional. Setelah beberapa tahun, ia dipindahkan ke Manila untuk tugas serupa.


Sekembalinya ke Indonesia pada 1960, Yogi dipercaya memimpin Pendidikan Artileri Pusat. Ia kemudian ditunjuk sebagai Komandan Brigade Artileri Kostrad & terus naik melalui struktur organisasi Kostrad. Pada 1968–1969, ia menjalani pendidikan di Lemhannas, yg memperluas perspektif strategis & geopolitiknya.


Pada awal 1970-an, Yogi menjabat Wakil Asisten V (Litbang) Kepala Staf Angkatan Darat. Ia juga terlibat dlm penyusunan rencana regenerasi perwira TNI, terutama dlm mengatur transisi antara Angkatan 1945 & generasi pascaperang. Ia menekankan pentingnya mempertahankan nilai perjuangan kemerdekaan melalui peran para perwira senior di Departemen Pertahanan.


Pada 1972, ia diangkat menjadi Panglima Kodam IX/Udayana di Bali. Dua tahun kemudian, ia menjabat sebagai Komandan Sekolah Staf & Komando Gabungan (Seskogab), tempat ia mengembangkan pendidikan strategis bagi para perwira menengah.


Mulai 21 Januari 1976, Yogi menjabat Asisten Politik, Strategi & Perencanaan Umum Panglima ABRI. Posisi ini membuatnya terlibat dlm proses perumusan kebijakan pertahanan nasional.


Pada 1980, ia ditunjuk sebagai Kepala Staf Administrasi Departemen Pertahanan & Keamanan & tiga tahun kemudian diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan & Keamanan, jabatan birokratis tertinggi di kementerian tersebut. Ia menjabat hingga 10 Oktober 1987.


Selama masa jabatannya, struktur organisasi departemen mengalami perubahan sehingga sebagian kewenangan dialihkan kepada Panglima ABRI. Kendati demikian, Yogi tetap berperan sebagai pejabat kunci dlm koordinasi administrasi pertahanan negara.


Setelah pensiun dari dinas militer aktif, Yogi diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jepang pada 31 Agustus 1987. Selama empat tahun masa baktinya, ia mengembangkan hubungan bilateral Indonesia–Jepang terutama dlm bidang pertahanan, ekonomi & kebudayaan. Ia mengakhiri masa tugas pada 16 Mei 1991.


Setelah kembali ke Tanah Air, Yogi tetap aktif dlm berbagai kegiatan organisasi veteran. Ia menjadi anggota dewan penasihat Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Ia juga menghadiri berbagai acara reuni, termasuk pertemuan lulusan Akademi Militer Yogya tahun 1948 pada 1993 bersama sejumlah tokoh nasional.


Yogi menikah dgn Olga Wahyu pada 25 Desember 1955. Pasangan ini dikaruniai tiga anak: dua putra dan satu putri. Putri bungsunya, Prisca Marina, menikah dgn K.G.P.A.A Mangkunagoro IX & menerima gelar permaisuri sebagai : Gusti Kangjeng Putri Mangkunagoro IX. Sebagai bagian dari hubungan keluarga bangsawan Mangkunegaran, Yogi memperoleh gelar kehormatan sebagai : Kangjeng Pangeran Haryo Haryogi Mangun Winoto.

Menurut keterangan dari mas Danang Lawu Sulistiyono, Olga Wahyu yg juga bernama lain : Kangjeng Bandoro Raden Ayu Josephine, adalah salah satu wayahdalem (cucu) dari S.I.S.K. Susuhunan Pakubuwono XI yg menjadikannya juga keponakan dari S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono XII.

Josephine adalah nama baptis Olga Wahyu. Sedangkan adik kandung S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono XII :G.K.R.Kedhaton menikah dgn kerabat ibu saya 


Tragedi menimpa keluarga ini pada 2007 ketika Olga Wahyu menjadi salah satu korban kecelakaan Garuda Indonesia Penerbangan 200 di Yogyakarta.

Selain K.B.R.Ayu Josephine Olga Wahyu,  yg menjadi korban kecelakaan tersebut salah satunya adalah Prof.Dr.H.Koesnadi Hardjasoemantri SH.ML adalah Rektor Universitas Gajah Mada . Oom Koesnadi menikah dgn tante Nina, salah satu kerabat ibu saya. 


Ignatius Yogi Supardi meninggal dunia pada 15 September 2019 di RSPAD Gatot Soebroto di usia 90 thn. Beliau dimakamkan dgn upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta, pada 18 September 2019 & dipimpin oleh Pangdam Diponegoro.

Ketika kabar wafatnya Mami Corry disampaikan, suara Syamsuri Abdul Majid bergetar. “Mami Corry meninggal dunia… Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucapnya menahan tangis. Di rumah duka, ia bergerak dengan sigap—mengatur pemakaman, memastikan setiap detail tertata, dan berbicara tentang Corry dengan kedalaman yang hanya dimiliki orang yang pernah berjalan lama di sisinya. Penampilannya tetap khas: kaos hitam, celana loreng, baret hitam, rambut dan janggut dicat merah. Matanya sesekali menyala sedih, namun ia tetap memimpin shalat jenazah, memanggul keranda, dan ikut menurunkan jenazah Corry ke liang lahat bersama anak-anak Kahar Muzakkar. Cara mereka memandang Syamsuri seolah menyiratkan kedekatan yang lebih dari sekadar hubungan pertemanan biasa. Setelah pemakaman, Syamsuri berbicara serius dengan putra-putra Kahar, lalu pergi bersama para pengawalnya—semua berpenampilan serupa dengannya. Banyak yang pulang dari TPU Parung Bingung hari itu dengan satu pertanyaan yang tidak pernah benar-benar padam: Mengapa Syamsuri berduka seperti seorang suami yang kehilangan? Beberapa bulan kemudian, tahun 2004 juga, Syamsuri Abdul Majid wafat—meninggalkan kepergian yang sunyi dan misteri yang tetap bertahan hingga kini. Dua kematian dalam tahun yang sama. Dua nama yang tak terpisahkan sejak masa hutan belantara Sulawesi. Dan pertanyaan yang terus berbisik di antara mereka yang menyaksikan semuanya: Apakah Syamsuri hanyalah Syamsuri? Ataukah ia seseorang yang sejarahnya tak pernah benar-benar mati?

 Ketika kabar wafatnya Mami Corry disampaikan, suara Syamsuri Abdul Majid bergetar. “Mami Corry meninggal dunia… Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucapnya menahan tangis. Di rumah duka, ia bergerak dengan sigap—mengatur pemakaman, memastikan setiap detail tertata, dan berbicara tentang Corry dengan kedalaman yang hanya dimiliki orang yang pernah berjalan lama di sisinya.


Penampilannya tetap khas: kaos hitam, celana loreng, baret


hitam, rambut dan janggut dicat merah. Matanya sesekali menyala sedih, namun ia tetap memimpin shalat jenazah, memanggul keranda, dan ikut menurunkan jenazah Corry ke liang lahat bersama anak-anak Kahar Muzakkar. Cara mereka memandang Syamsuri seolah menyiratkan kedekatan yang lebih dari sekadar hubungan pertemanan biasa.


Setelah pemakaman, Syamsuri berbicara serius dengan putra-putra Kahar, lalu pergi bersama para pengawalnya—semua berpenampilan serupa dengannya. Banyak yang pulang dari TPU Parung Bingung hari itu dengan satu pertanyaan yang tidak pernah benar-benar padam:


Mengapa Syamsuri berduka seperti seorang suami yang kehilangan?


Beberapa bulan kemudian, tahun 2004 juga, Syamsuri Abdul Majid wafat—meninggalkan kepergian yang sunyi dan misteri yang tetap bertahan hingga kini.


Dua kematian dalam tahun yang sama. Dua nama yang tak terpisahkan sejak masa hutan belantara Sulawesi.


Dan pertanyaan yang terus berbisik di antara mereka yang menyaksikan semuanya:


Apakah Syamsuri hanyalah Syamsuri?

Ataukah ia seseorang yang sejarahnya tak pernah benar-benar mati?

Schouwburg Gedong Pelem dan Bioscoop Globe; Tempat Vergadering Penting di Magelang Masa Kolonial Dunia perbioskopan di Kota Magelang sejatinya sudah sangat meriah sejak masa kolonial dulu. Gedung-gedung bioskop yang merangkap sebagai gedung pertunjukan dan pertemuan tumbuh menjamur disepanjang dekade 1920an hingga 1930an. Diantara banyaknya Gedung pertunjukan (schowburg) dan bioskop yang pernah eksis adalah Bioscoop Globe atau Schowburg “Gedong Pelem”. Data paling awal yang menyebutkan mengenai keberadaan gedung tersebut dapat dilacak dari surat kabar-surat kabar yang terbit diawal dekade 1930. Berdasarkan laporan surat kabar yang terbit antara bulan Maret hingga Juni tahun 1930 menyebutkan adanya sebuah gedung bioskop dengan nama Biscoop Globe yang dipilih oleh Departement Angkatan Laut (Departement van Marine) untuk memutarkan filmnya kepada anggota organisasi konservatif berhaluan kanan, Varderlansche Club di Magelang. Dari pemberitaan surat kabar lainnya disebutkan pula bahawa gedung bioskop tersebut tidak hanya digunakan untuk menonton gambar hidup, melainkan juga aula dari Bioscoop Globe juga pernah dipilih menjadi lokasi acara pementasan hiburan seperti tari-tarian Jawa, Pantun, Musik Hawaii dan musik keroncong serta drama Belanda untuk penggalangan amal yang dihadiri oleh para pejabat dan tokoh penting Magelang seperti, Mayor Jenderal Van Mourik dari Garnisun kota, Residen Van Pelt, Bupati R.A.A Danoesoegondo, dan Mayor Tionghoa, Liem Yoe Tiang. Menariknya, nama Bioscoop Globe kemudian seolah-olah menghilang dari surat kabar yang terbit mulai dari bulan Oktober tahun 1930 hingga akhir kuasa kolonial pada 1942. Nama “Gedong Pelem” kemudian lebih sering dipakai di media cetak pada periode ini. Selama kurang lebih 1 dasawarsa nama Gedong Pelem pernah menjadi lokasi berbagai macam pementasan seni dari banyak grup kesenian. Sebut saja, antara tahun 1930 - 1939 berbagai kelompok dan grup pementasan stambul, tonil dan teater termasyur pernah merambah lantai panggung gedung ini untuk menghibur ratusan warga Magelang. Diantaranya grup stambul Miss Riboet yang mahsyur dari Batavia, grup stambul dan kabaret Melayu "Taman Setia", pementasan wayang orang dari Persatuan Sanggar Tari dan Tonil Jawa "Srie Koentjoro", dan penampilan teater Eropa Orpheus Revue/ Theatre Company. Gedung Pelem juga tidak pernah absen menjadi lokasi pertemuan (vergadering) dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Kongres bertaraf nasional seperti kongres ke-7 Perhimpoenan Kaoem Verpleegster(gers), Vroedvrouwen Indonesia atau Perhimpunan Kaum Perawat dan Bidan Indonesia (PKVI) tahun 1939 yang membahas persoalan kebersihan publik, Kuliah umum dan pembahasan isu dikalangan umat Islam seperti pertemuan umum CPII (Komite Persatoean Islam Indonesia), bahkan juga isu - isu publik seperti protes penurunan traif listrik ANIEM pada masa krisis ekonomi global di tahun 1931. Gedong pelem bahkan pernah juga digunakan sebagai lokasi pengungsian korban erupsi Merapi di tahun 1930/1931 selama beberapa bulan. Ditengah fungsi sosialnya yang penting bagi masyarakat Magelang, Gedong Pelem tidak luput dari aksi bumi hangus pemuda dan TNI pada masa agresi Militer Belanda II pada Desember 1948. Gedong Pelem alias Bioscoop Globe baru dibuka kembali hampir setahun setelahnya pada November 1949 dan pasca peristiwa Magelang Kembali, masyarakat Magelang digratiskan untuk menonton film di Bioscoop Globe dalam rangka merayakan kembalinya Magelang kepangkuan ibu pertiwi. Nama Bioskop Globe konon pernah dirubah pada masa Orde Lama menjadi bioskop Ampera oleh Presiden Sukarno dan berubah menjadi bioskop Bhima pada masa Orde Baru. Sekarang jejak gedung Gedong Pelem alias Bioskop Globe sudah tidak bersisa lagi. Ia berubah menjadi sebuah gedung perbankan swasta yang hanya menyisakan kisah masa lalu dan kejayaannya saja. - Chandra Gusta Wisnuwardana -

 Schouwburg Gedong Pelem dan Bioscoop Globe; Tempat Vergadering Penting di Magelang Masa Kolonial



Dunia perbioskopan di Kota Magelang sejatinya sudah sangat meriah sejak masa kolonial dulu. Gedung-gedung bioskop yang merangkap sebagai gedung pertunjukan dan pertemuan tumbuh menjamur disepanjang dekade 1920an hingga 1930an. Diantara banyaknya Gedung pertunjukan (schowburg) dan bioskop yang pernah eksis adalah Bioscoop Globe atau Schowburg “Gedong Pelem”. Data paling awal yang menyebutkan mengenai keberadaan gedung tersebut dapat dilacak dari surat kabar-surat kabar yang terbit diawal dekade 1930. 



Berdasarkan laporan surat kabar yang terbit antara bulan Maret hingga Juni tahun 1930 menyebutkan adanya sebuah gedung bioskop dengan nama Biscoop Globe yang dipilih oleh Departement Angkatan Laut (Departement van Marine) untuk memutarkan filmnya kepada anggota organisasi konservatif berhaluan kanan, Varderlansche Club di Magelang. Dari pemberitaan surat kabar lainnya disebutkan pula bahawa gedung bioskop tersebut tidak hanya digunakan untuk menonton gambar hidup, melainkan juga aula dari Bioscoop Globe juga pernah dipilih menjadi lokasi acara pementasan hiburan seperti tari-tarian Jawa, Pantun, Musik Hawaii dan musik keroncong serta drama Belanda untuk penggalangan amal yang dihadiri oleh para pejabat dan tokoh penting Magelang seperti, Mayor Jenderal Van Mourik dari Garnisun kota, Residen Van Pelt, Bupati R.A.A Danoesoegondo, dan Mayor Tionghoa, Liem Yoe Tiang. 



Menariknya, nama Bioscoop Globe kemudian seolah-olah menghilang dari surat kabar yang terbit mulai dari bulan Oktober tahun 1930 hingga akhir kuasa kolonial pada 1942. Nama “Gedong Pelem” kemudian lebih sering dipakai di media cetak pada periode ini. Selama kurang lebih 1 dasawarsa nama Gedong Pelem pernah menjadi lokasi berbagai macam pementasan seni dari banyak grup kesenian. Sebut saja, antara tahun 1930 - 1939 berbagai kelompok dan grup pementasan stambul, tonil dan teater termasyur pernah merambah lantai panggung gedung ini untuk menghibur ratusan warga Magelang. Diantaranya grup stambul Miss Riboet yang mahsyur dari Batavia, grup stambul dan kabaret Melayu "Taman Setia", pementasan wayang orang dari Persatuan Sanggar Tari dan Tonil Jawa "Srie Koentjoro", dan penampilan teater Eropa Orpheus Revue/ Theatre Company. 


Gedung Pelem juga tidak pernah absen menjadi lokasi pertemuan (vergadering) dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Kongres bertaraf nasional seperti kongres ke-7 Perhimpoenan Kaoem Verpleegster(gers), Vroedvrouwen Indonesia atau Perhimpunan Kaum Perawat dan Bidan Indonesia (PKVI) tahun 1939 yang membahas persoalan kebersihan publik, Kuliah umum dan pembahasan isu dikalangan umat Islam seperti pertemuan umum CPII (Komite Persatoean Islam Indonesia), bahkan juga isu - isu publik seperti protes penurunan traif listrik ANIEM pada masa krisis ekonomi global di tahun 1931. Gedong pelem bahkan pernah juga digunakan sebagai lokasi pengungsian korban erupsi Merapi di tahun 1930/1931 selama beberapa bulan.


Ditengah fungsi sosialnya yang penting bagi masyarakat Magelang, Gedong Pelem tidak luput dari aksi bumi hangus pemuda dan TNI pada masa agresi Militer Belanda II pada Desember 1948. Gedong Pelem alias Bioscoop Globe baru dibuka kembali hampir setahun setelahnya pada November 1949 dan pasca peristiwa Magelang Kembali, masyarakat Magelang digratiskan untuk menonton film di Bioscoop Globe dalam rangka merayakan kembalinya Magelang kepangkuan ibu pertiwi.


Nama Bioskop Globe konon pernah dirubah pada masa Orde Lama menjadi bioskop Ampera oleh Presiden Sukarno dan berubah menjadi bioskop Bhima pada masa Orde Baru. Sekarang jejak gedung Gedong Pelem alias Bioskop Globe sudah tidak bersisa lagi. Ia berubah menjadi sebuah gedung perbankan swasta yang hanya menyisakan kisah masa lalu dan kejayaannya saja. 


- Chandra Gusta Wisnuwardana -

10 December 2025

Ekspedisi Magellan Berlayar Mengelilingi Dunia, Gugur di Ujung Harapan Angin Samudra Atlantik berdesir ketika lima kapal besar milik Spanyol meninggalkan pelabuhan Sanlúcar de Barrameda tahun 1519. Di atas dek, Ferdinand Magellan memandang cakrawala dengan tatapan penuh tekad; tatapan seorang pria yang yakin bahwa dunia bisa ditaklukkan dengan keberanian dan kompas. “Akan kutemukan jalur barat ke Kepulauan Rempah,” ujarnya tegas. “Jika Tuhan mengizinkan, kita akan mengelilingi dunia.” Namun perjalanan itu bukan sekadar pelayaran, melainkan pertarungan melawan alam, pengkhianatan, dan takdir. Di tengah Atlantik, badai mengguncang kapal...gelombang setinggi rumah menelan perahu-perahu kecil seperti mainan. Di Selat yang kelak dinamai Selat Magellan, angin bersiul seperti ribuan setan, membuat para pelaut hampir menurunkan bendera dan menyerah. Bahkan salah satu penumpang kapal memberontak. “Kapten, kita tak bisa meneruskan! Ini gila!” teriak seorang perwira Spanyol. Magellan menatapnya dingin. “Lebih baik mati dalam petualangan daripada hidup sebagai pengecut!” Akhirnya, setelah ribuan mil lautan yang seakan tak berujung, mereka mencapai sebuah tempat yang akan mengubah sejarah; Samudra Pasifik. Tenang, luas, dan membius. Namun ketenangan itu menipu. Berbulan-bulan tanpa makanan membuat para awak kapal jatuh sakit, memakan kulit kayu dan tikus demi bertahan hidup. Tapi langkah takdir belum selesai. Ketika mereka mencapai Kepulauan Filipina, Magellan merasa dunia akhirnya terbuka baginya. Ia membangun persahabatan dengan penduduk setempat, membaptis raja-raja lokal, dan yakin ia hampir mencapai puncak kejayaannya. Namun di pulau Mactan, bayangan gelap menunggu... Pemimpin lokal bernama Lapu-Lapu menolak tunduk pada siapa pun. Bagi Magellan, itu hanya satu perlawanan kecil. Bagi sejarah, itulah titik balik. Pagi 27 April 1521, Magellan berdiri di pantai Mactan, memandang pasukan lawan yang jauh lebih banyak. “Kita maju,” katanya tenang. “Demi kehormatan!” Tapi air dangkal menghambat langkah, meriam tidak bisa dibawa, dan senjata Spanyol kalah jarak. Panah-panah meluncur. Tombak menghujam. Magellan tersungkur, pasir basah menempel di tangan dan wajahnya. Sebelum nafas terakhirnya pergi, ia menatap langit. Ia telah menyeberangi samudra-samudra besar, menemukan dunia baru… namun gugur di sebuah pulau kecil. Ironisnya, meski Magellan tak pernah kembali ke Spanyol, kapalnya Victoria melanjutkan perjalanan dan menjadi kapal pertama yang benar-benar mengelilingi dunia. Magellan tidak melihat akhir ekspedisinya, tetapi namanya menjadi abadi... pelayar yang hampir memeluk dunia, namun menyerahkan hidupnya pada sejarah di ujung Filipina.

 Ekspedisi Magellan

Berlayar Mengelilingi Dunia, Gugur di Ujung Harapan


Angin Samudra Atlantik berdesir ketika lima kapal besar milik Spanyol meninggalkan pelabuhan Sanlúcar de Barrameda tahun 1519.

Di atas dek, Ferdinand Magellan memandang cakrawala dengan tatapan penuh tekad; tatapan seorang pria yang yakin bahwa dunia bisa ditaklukkan dengan keberanian dan kompas.



“Akan kutemukan jalur barat ke Kepulauan Rempah,” ujarnya tegas. “Jika Tuhan mengizinkan, kita akan mengelilingi dunia.”


Namun perjalanan itu bukan sekadar pelayaran, melainkan pertarungan melawan alam, pengkhianatan, dan takdir.


Di tengah Atlantik, badai mengguncang kapal...gelombang setinggi rumah menelan perahu-perahu kecil seperti mainan. 

Di Selat yang kelak dinamai Selat Magellan, angin bersiul seperti ribuan setan, membuat para pelaut hampir menurunkan bendera dan menyerah.


Bahkan salah satu penumpang kapal memberontak.

“Kapten, kita tak bisa meneruskan! Ini gila!” teriak seorang perwira Spanyol.

Magellan menatapnya dingin.

“Lebih baik mati dalam petualangan daripada hidup sebagai pengecut!”


Akhirnya, setelah ribuan mil lautan yang seakan tak berujung, mereka mencapai sebuah tempat yang akan mengubah sejarah; Samudra Pasifik. Tenang, luas, dan membius.


Namun ketenangan itu menipu. 

Berbulan-bulan tanpa makanan membuat para awak kapal jatuh sakit, memakan kulit kayu dan tikus demi bertahan hidup. 

Tapi langkah takdir belum selesai.


Ketika mereka mencapai Kepulauan Filipina, Magellan merasa dunia akhirnya terbuka baginya. Ia membangun persahabatan dengan penduduk setempat, membaptis raja-raja lokal, dan yakin ia hampir mencapai puncak kejayaannya.


Namun di pulau Mactan, bayangan gelap menunggu...


Pemimpin lokal bernama Lapu-Lapu menolak tunduk pada siapa pun. 

Bagi Magellan, itu hanya satu perlawanan kecil. Bagi sejarah, itulah titik balik.


Pagi 27 April 1521, Magellan berdiri di pantai Mactan, memandang pasukan lawan yang jauh lebih banyak.

“Kita maju,” katanya tenang. “Demi kehormatan!”


Tapi air dangkal menghambat langkah, meriam tidak bisa dibawa, dan senjata Spanyol kalah jarak.


Panah-panah meluncur. Tombak menghujam.

Magellan tersungkur, pasir basah menempel di tangan dan wajahnya.


Sebelum nafas terakhirnya pergi, ia menatap langit.

Ia telah menyeberangi samudra-samudra besar, menemukan dunia baru… namun gugur di sebuah pulau kecil.


Ironisnya, meski Magellan tak pernah kembali ke Spanyol, kapalnya Victoria melanjutkan perjalanan dan menjadi kapal pertama yang benar-benar mengelilingi dunia.


Magellan tidak melihat akhir ekspedisinya, tetapi namanya menjadi abadi...

pelayar yang hampir memeluk dunia, namun menyerahkan hidupnya pada sejarah di ujung Filipina.

07 December 2025

YANG PERNAH DITOLAK PAK AR (Bagian 05: Menukar Agama dengan Materi) Sebagai pimpinan organisasi keagamaan, Pak AR sangat menjaga toleransi beragama. Baginya, keyakinan itu urusan hati, bukan kupon undian, bukan pula promo cuci gudang yang berlaku sampai tanggal sekian. Setiap orang bebas meyakini apa yang ia anggap benar, dan tugas pemuka agama adalah menjaga agar kebebasan itu tetap utuh, tak tercederai oleh godaan-godaan yang sifatnya lebih mirip diskon musiman daripada dakwah. Namun kebebasan memilih itu bukan berarti orang boleh “nyulik pelan-pelan” keyakinan orang lain dengan cara-cara yang tak perwira. Pak AR sangat menolak praktik menjebak orang untuk berpindah agama melalui pertolongan yang berbungkus iming-iming. Apalagi kalau iming-imingnya sangat duniawi: bantuan sembako, amplop, rumah sederhana, beasiswa, fasilitas serba wah pokoknya. Menurut Pak AR, itu bukan dakwah. Itu strategi marketing, dan marketing yang buruk pula. Apalagi kondisi mayoritas rakyat pada saat itu masih sulit secara ekonomi. Kalau sedang lapar, ditawari nasi bungkus lalu disuruh ganti keyakinan, ya jelas tak adil. Itu bukan ajakan spiritual, tapi jebakan ekonomi. Dan kalau sudah soal keberpihakan kepada wong cilik, Pak AR biasanya tak menunggu lama untuk bersuara. Bahkan kali ini ia menyampaikan kritik tersebut bukan kepada orang sembarangan, tetapi langsung kepada Paus Yohanes Paulus II, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, yang pada tahun 1989 berkunjung ke Indonesia dan singgah ke Yogyakarta. Pak AR tahu, kesempatan itu langka. Tidak setiap hari Yogyakarta kedatangan tamu setingkat kepala Vatikan. Maka meskipun sedang dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto, beliau tetap memikirkan umat dan menulis surat panjang lebar dalam bahasa Jawa halus (Kromo Inggil) agar pesannya sampai dengan cara yang santun tapi tegas. Surat itu diberi judul "Sugeng Rawuh, Sugeng Kondur" Selamat Datang, Selamat Jalan. Isinya 12 halaman, dicetak 2000 eksemplar, lengkap dengan gambar Pak AR. Surat itu kemudian disebarkan ke Akademi Kateketik, koran Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan berbagai komunitas Katolik. Bayangkan: surat halus, sopan, penuh unggah-ungguh Jawa tapi isinya menegur praktik dakwah yang menurut beliau tidak ksatria. Yang disebut Pak AR sebagai sikap “ngapusi”, menolong tapi dengan maksud tersembunyi. Bagi Pak AR, dakwah itu harus terang benderang, tidak boleh bersayap-sayap. Kalau mau mengajak, ajaklah dengan kejujuran. Jangan membuat orang miskin merasa berhutang budi lalu pelan-pelan digiring ke pintu keluar agamanya sendiri. Itulah sikap yang pernah ditolak Pak AR: menukar agama dengan materi. Sebuah sikap sederhana, tapi jelas. Dan justru karena itulah, beliau menjadi besar.

 YANG PERNAH DITOLAK PAK AR

(Bagian 05: Menukar Agama dengan Materi)



Sebagai pimpinan organisasi keagamaan, Pak AR sangat menjaga toleransi beragama. Baginya, keyakinan itu urusan hati, bukan kupon undian, bukan pula promo cuci gudang yang berlaku sampai tanggal sekian. Setiap orang bebas meyakini apa yang ia anggap benar, dan tugas pemuka agama adalah menjaga agar kebebasan itu tetap utuh, tak tercederai oleh godaan-godaan yang sifatnya lebih mirip diskon musiman daripada dakwah.


Namun kebebasan memilih itu bukan berarti orang boleh “nyulik pelan-pelan” keyakinan orang lain dengan cara-cara yang tak perwira. Pak AR sangat menolak praktik menjebak orang untuk berpindah agama melalui pertolongan yang berbungkus iming-iming. Apalagi kalau iming-imingnya sangat duniawi: bantuan sembako, amplop, rumah sederhana, beasiswa, fasilitas serba wah pokoknya.


Menurut Pak AR, itu bukan dakwah. Itu strategi marketing, dan marketing yang buruk pula. Apalagi kondisi mayoritas rakyat pada saat itu masih sulit secara ekonomi. Kalau sedang lapar, ditawari nasi bungkus lalu disuruh ganti keyakinan, ya jelas tak adil. Itu bukan ajakan spiritual, tapi jebakan ekonomi.


Dan kalau sudah soal keberpihakan kepada wong cilik, Pak AR biasanya tak menunggu lama untuk bersuara. Bahkan kali ini ia menyampaikan kritik tersebut bukan kepada orang sembarangan, tetapi langsung kepada Paus Yohanes Paulus II, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, yang pada tahun 1989 berkunjung ke Indonesia dan singgah ke Yogyakarta.


Pak AR tahu, kesempatan itu langka. Tidak setiap hari Yogyakarta kedatangan tamu setingkat kepala Vatikan. Maka meskipun sedang dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto, beliau tetap memikirkan umat dan menulis surat panjang lebar dalam bahasa Jawa halus (Kromo Inggil) agar pesannya sampai dengan cara yang santun tapi tegas.


Surat itu diberi judul "Sugeng Rawuh, Sugeng Kondur" Selamat Datang, Selamat Jalan. Isinya 12 halaman, dicetak 2000 eksemplar, lengkap dengan gambar Pak AR. Surat itu kemudian disebarkan ke Akademi Kateketik, koran Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan berbagai komunitas Katolik.


Bayangkan: surat halus, sopan, penuh unggah-ungguh Jawa tapi isinya menegur praktik dakwah yang menurut beliau tidak ksatria. Yang disebut Pak AR sebagai sikap “ngapusi”, menolong tapi dengan maksud tersembunyi.


Bagi Pak AR, dakwah itu harus terang benderang, tidak boleh bersayap-sayap. Kalau mau mengajak, ajaklah dengan kejujuran. Jangan membuat orang miskin merasa berhutang budi lalu pelan-pelan digiring ke pintu keluar agamanya sendiri.


Itulah sikap yang pernah ditolak Pak AR: menukar agama dengan materi. Sebuah sikap sederhana, tapi jelas. Dan justru karena itulah, beliau menjadi besar.

03 December 2025

Berburu badak di Borobudur. Candi Borobudur dibangun pada abad ke-9 pada masa Dinasti Syailendra. Dari Monuments de Tous les Peuples, terbitan tahun 1843.

 Berburu badak di Borobudur. Candi Borobudur dibangun pada abad ke-9 pada masa Dinasti Syailendra. Dari Monuments de Tous les Peuples, terbitan tahun 1843.




02 December 2025

PERTAPAAN KEMBANG SEMAMPIR Pertapaan Kembang Semampir atau Mbang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di dusun Mendhak Blimbing Desa Giri Sekar Kecamatan Panggang Kab Gunung kidul Yogyakarta. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan dalam rangka mencari Wahyu Ratu. Seperti dikisahkan dalam babad Mataram, bahwa didepan murid muridnya Sunan Kalijaga berkata kepada murid muridnya "Wahyu Ratu Tanah Jawa akan turun di Pegunungan Selatan ( Gunungkidul Yogyakarta) " Nah kepada Ki Ageng Pemanahan diperintahkan untuk bertapa di sebuah tempat yang ada bunga yg tergantung di atas ranting ( Kembang Semampir)

 PERTAPAAN KEMBANG SEMAMPIR



Pertapaan Kembang Semampir atau Mbang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di dusun Mendhak Blimbing Desa Giri Sekar Kecamatan Panggang Kab Gunung kidul Yogyakarta. 

 

Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan dalam rangka mencari Wahyu Ratu. 

Seperti dikisahkan dalam babad Mataram, bahwa didepan murid muridnya Sunan Kalijaga berkata kepada murid muridnya "Wahyu Ratu  Tanah Jawa akan turun di Pegunungan Selatan ( Gunungkidul Yogyakarta) " 


Nah kepada Ki Ageng Pemanahan diperintahkan untuk bertapa di sebuah tempat yang ada bunga yg tergantung di atas ranting ( Kembang Semampir)

PANGERAN SAMBERNYAWA Strategi "Perang Rakyat" di Nagari Brang Etan ​Pangeran Sambernyawa, yang kelak diakui sebagai Mangkunegara I, adalah salah satu tokoh militer paling ulung dalam sejarah Jawa abad ke-18. Perjuangannya melawan hegemoni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan elite Mataram tidak hanya mengandalkan keberanian, tetapi juga strategi militer yang brilian: Perang Gerilya atau yang beliau sebut "Perang Rakyat." Efektivitas strategi ini sangat bergantung pada kemampuan beliau mengkondisikan pasukan dan memilih medan tempur yang tepat, yaitu wilayah "nagari brang etan" (negeri sebelah timur). ​Arena Strategis: Nagari Brang Etan ​Secara geografis, nagari brang etan atau Mancanegara wetan adalah wilayah di timur ibu kota Mataram, membentang dari Karesidenan Madiun hingga timur jauh. Wilayah ini secara tradisional merupakan daerah pinggiran, sehingga kontrol pusat Mataram cenderung lemah, menjadikannya ideal sebagai basis perlawanan. ​Dalam konteks ini, wilayah bekas Kadipaten Jipang (yang mencakup Blora dan Bojonegoro) memegang peran strategis yang krusial. Meskipun secara umum berada di arah timur laut, lokasi Jipang yang diapit hutan jati lebat dan dilewati jalur vital Bengawan Solo menjadikannya bagian integral dari arena brang etan. Bagi Pangeran Sambernyawa, daerah Jipang adalah garis depan strategis untuk: 1. ​Mengganggu Komunikasi dan Logistik: Jalur dari Semarang menuju pedalaman Jawa sering melewati dekat wilayah Jipang. Menguasai atau setidaknya mengacaukan jalur ini memungkinkan pasukan Sambernyawa memotong suplai vital VOC dan Mataram, melemahkan musuh tanpa perlu pertempuran besar. 2. ​Pangkalan Gerilya: Hutan jati Jipang menyediakan tempat persembunyian, pangkalan sementara, dan sumber daya lokal yang melimpah. Wilayah ini menjadi salah satu "Basis Kekuatan" yang memungkinkan Sambernyawa berpindah-pindah (berpindah mancal) antara Madiun, Ngawi, Ponorogo, hingga Bojonegoro. ​Kondisioning Pasukan dalam Strategi "Perang Rakyat" ​Keberhasilan Pangeran Sambernyawa tidak terletak pada jumlah pasukannya, melainkan pada kondisioning atau penempaan mereka agar sesuai dengan tuntutan perang gerilya: - ​Mobilitas Tinggi dan Pangkalan Bergerak: Pasukan dikondisikan untuk bergerak cepat dan ringan. Konsep "markas permanen" digantikan oleh "pangkalan bergerak" yang didirikan di tempat-tempat terpencil brang etan dan segera ditinggalkan. Strategi ini menghindari pertempuran terbuka yang pasti akan dimenangkan oleh VOC yang bersenjata lebih modern. -​ Serangan Mendadak (Hit-and-Run): Pasukan dilatih untuk melakukan Serangan Mendadak, menyerbu pos-pos kecil atau konvoi logistik VOC, dan segera menghilang ke dalam hutan. Taktik ini menciptakan rasa ketidakpastian dan ketakutan yang konstan di pihak musuh, secara efektif menguras moral dan sumber daya mereka. - ​Integrasi dengan Rakyat: Esensi Perang Rakyat adalah dukungan total dari masyarakat setempat. Pasukan dikondisikan untuk diterima oleh desa-desa di brang etan, yang berfungsi sebagai mata-mata, penyedia logistik, dan tempat persembunyian. Wilayah seperti Jipang, yang notabene adalah daerah pinggiran, memberikan dukungan laskar rakyat yang kuat. - Beberapa orang dalam pasukan khusus tersebut yg sering dikenal sebagai "Bergodho Sekawan nDoso" dimana sebagiannya dimakamkan di Bumi Jipang - Bojonegoro Komposisi ini mencerminkan taktik "Dhedhemitan", "Weweludhan", dan "Jejemblungan" (sembunyi, menyerupai hantu, dan menghilang), yang merupakan inti dari strategi gerilya Sambernyawa. ​Pengakuan Eksistensi ​Perjuangan Pangeran Sambernyawa di nagari brang etan, termasuk wilayah Kadipaten Jipang dan sekitarnya, merupakan studi kasus klasik mengenai efektivitas perang gerilya. Dengan mengkondisikan pasukannya untuk memiliki mobilitas tinggi, menerapkan disiplin keras, dan membangun integrasi yang kuat dengan rakyat, beliau berhasil mempertahankan perlawanan selama bertahun-tahun. Strategi ini akhirnya memaksa VOC dan Mataram untuk mengakui eksistensinya melalui Perjanjian Salatiga (1757), mengukuhkan Sambernyawa sebagai pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Wilayah brang etan bukan hanya medan perang, tetapi merupakan laboratorium strategis yang membuktikan keampuhan kecerdasan militer Raden Mas Said. Semoga bermanfaat #NagariBrangEtan #PejanjianGiyanti #KadipatenJipang #NapaktilasPasukanJipang

 PANGERAN SAMBERNYAWA 

Strategi "Perang Rakyat" di Nagari Brang Etan



​Pangeran Sambernyawa, yang kelak diakui sebagai Mangkunegara I, adalah salah satu tokoh militer paling ulung dalam sejarah Jawa abad ke-18. Perjuangannya melawan hegemoni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan elite Mataram tidak hanya mengandalkan keberanian, tetapi juga strategi militer yang brilian: Perang Gerilya atau yang beliau sebut "Perang Rakyat." Efektivitas strategi ini sangat bergantung pada kemampuan beliau mengkondisikan pasukan dan memilih medan tempur yang tepat, yaitu wilayah "nagari brang etan" (negeri sebelah timur).


​Arena Strategis: Nagari Brang Etan


​Secara geografis, nagari brang etan atau Mancanegara wetan adalah wilayah di timur ibu kota Mataram, membentang dari Karesidenan Madiun hingga timur jauh. Wilayah ini secara tradisional merupakan daerah pinggiran, sehingga kontrol pusat Mataram cenderung lemah, menjadikannya ideal sebagai basis perlawanan.


​Dalam konteks ini, wilayah bekas Kadipaten Jipang (yang mencakup Blora dan Bojonegoro) memegang peran strategis yang krusial. Meskipun secara umum berada di arah timur laut, lokasi Jipang yang diapit hutan jati lebat dan dilewati jalur vital Bengawan Solo menjadikannya bagian integral dari arena brang etan. Bagi Pangeran Sambernyawa, daerah Jipang adalah garis depan strategis untuk:


1. ​Mengganggu Komunikasi dan Logistik: Jalur dari Semarang menuju pedalaman Jawa sering melewati dekat wilayah Jipang. Menguasai atau setidaknya mengacaukan jalur ini memungkinkan pasukan Sambernyawa memotong suplai vital VOC dan Mataram, melemahkan musuh tanpa perlu pertempuran besar.


2. ​Pangkalan Gerilya: Hutan jati Jipang menyediakan tempat persembunyian, pangkalan sementara, dan sumber daya lokal yang melimpah. Wilayah ini menjadi salah satu "Basis Kekuatan" yang memungkinkan Sambernyawa berpindah-pindah (berpindah mancal) antara Madiun, Ngawi, Ponorogo, hingga Bojonegoro.


​Kondisioning Pasukan dalam Strategi "Perang Rakyat"


​Keberhasilan Pangeran Sambernyawa tidak terletak pada jumlah pasukannya, melainkan pada kondisioning atau penempaan mereka agar sesuai dengan tuntutan perang gerilya:


- ​Mobilitas Tinggi dan Pangkalan Bergerak: Pasukan dikondisikan untuk bergerak cepat dan ringan. Konsep "markas permanen" digantikan oleh "pangkalan bergerak" yang didirikan di tempat-tempat terpencil brang etan dan segera ditinggalkan. Strategi ini menghindari pertempuran terbuka yang pasti akan dimenangkan oleh VOC yang bersenjata lebih modern.


-​ Serangan Mendadak (Hit-and-Run): Pasukan dilatih untuk melakukan Serangan Mendadak, menyerbu pos-pos kecil atau konvoi logistik VOC, dan segera menghilang ke dalam hutan. Taktik ini menciptakan rasa ketidakpastian dan ketakutan yang konstan di pihak musuh, secara efektif menguras moral dan sumber daya mereka.


- ​Integrasi dengan Rakyat: Esensi Perang Rakyat adalah dukungan total dari masyarakat setempat. Pasukan dikondisikan untuk diterima oleh desa-desa di brang etan, yang berfungsi sebagai mata-mata, penyedia logistik, dan tempat persembunyian. Wilayah seperti Jipang, yang notabene adalah daerah pinggiran, memberikan dukungan laskar rakyat yang kuat.


- Beberapa orang dalam pasukan khusus tersebut yg sering dikenal sebagai "Bergodho Sekawan nDoso" dimana sebagiannya dimakamkan di Bumi Jipang - Bojonegoro


Komposisi ini mencerminkan taktik "Dhedhemitan", "Weweludhan", dan "Jejemblungan" (sembunyi, menyerupai hantu, dan menghilang), yang merupakan inti dari strategi gerilya Sambernyawa.


​Pengakuan Eksistensi


​Perjuangan Pangeran Sambernyawa di nagari brang etan, termasuk wilayah Kadipaten Jipang dan sekitarnya, merupakan studi kasus klasik mengenai efektivitas perang gerilya. Dengan mengkondisikan pasukannya untuk memiliki mobilitas tinggi, menerapkan disiplin keras, dan membangun integrasi yang kuat dengan rakyat, beliau berhasil mempertahankan perlawanan selama bertahun-tahun. Strategi ini akhirnya memaksa VOC dan Mataram untuk mengakui eksistensinya melalui Perjanjian Salatiga (1757), mengukuhkan Sambernyawa sebagai pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Wilayah brang etan bukan hanya medan perang, tetapi merupakan laboratorium strategis yang membuktikan keampuhan kecerdasan militer Raden Mas Said.


Semoga bermanfaat


#NagariBrangEtan

#PejanjianGiyanti

#KadipatenJipang

#NapaktilasPasukanJipang

SENOPATI MANGGALAYUDA DARI KRATON SURAKARTA KGPH. Kusumoyudo memiliki nama kecil BRM. Lamdani. Ia putra Sri Susuhunan Pakubuwono IV. Ia lahir dari ibu RA. Retnodiningsih putri R. Tumenggung Mangkuyudo III. Ia memiliki wajah yang menawan seperti ayahnya. Ia memiliki sifat yang lembut dan halus budi bahasanya. Ia juga pribadi yang cerdas, tangkas, dan terampil. Ia bersahaja dan tidak membedakan seseorang berdasarkan pangkat dan golongan. KGPH. Kusumoyudo adalah pribadi yang humanis. Ia sangat mengutamakan sikap kasih sayang terhadap sesama. Sejak kecil KGPH. Kusumoyudo mendapatkan pengajaran dari kaum cendekia dan ulama keraton. Selain itu, ia juga mengasah kematangan dirinya dengan laku prihatin. Ia sering berkelana dan bertapa ke luar keraton hingga waktu lama. Ia meninggalkan hidup mewah di dalam keraton. Ia menyamar sebagai rakyat biasa, agar bisa merasakan kondisi kehidupan rakyatnya. KGPH. Kusumoyudo tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana dan berjiwa kesatria. Setelah dewasa, ia menikah dengan putri KGPH. Mangkubumi dan memiliki empat orang anak. Salah satu putrinya bernama BRA. Cokronagoro menikah dengan R. Cokrodiwiryo (putra kedua R. Ngabehi Reksodiwiryo). Pada saat Perang Jawa, KGPH. Kusumoyudo diangkat oleh Sri Susuhunan Pakubuwono VI menjadi panglima perang. Ia memiliki karier militer yang cemerlang, hingga berpangkat Letnan Kolonel. KGPH. Kusumoyudo memimpin hulptroepen (pasukan cadangan pribumi) dan bermarkas di tangsi militer Kedhung Kebo. Ia menunjuk R. Ngabehi Reksodiwiryo sebagai senopati pendamping. Ia bertugas sebagai penunjuk jalan dan memetakan wilayah, karena ia sangat memahami bentang alam di daerah Bagelen. Ia juga mampu memanfaatkan kedekatan pribadi dengan banyak kalangan di wilayah Bagelen. R. Ngabehi Reksodiwiryo sangat lihai dalam mengatur strategi perang. Hal ini dibuktikan saat terjadi pertempuran di Urut Sewu (pesisir pantai Jawa bagian selatan). Ketika itu, Urut Sewu menjadi lahan pertanian yang sangat subur. Saat ini, Urut Sewu masuk dalam wilayah Kabupaten Kebumen. Daerah ini merupakan tanah lungguh KGPH. Kusumoyudo di mancanagara bagian barat. KGPH. Kusumoyudo kemudian mengangkat R. Ngabehi Reksodiwiryo menjadi Bupati Tanggung dengan gelar KRT. Cokrojoyo. Wilayah kekuasaannya di sebelah Timur Sungai Bogowonto. KGPH. Kusumoyudo sangatlah dekat dengan R. Ngabehi Resodiwiryo. Mereka sudah lama saling mengenal dan menjadi teman seperjuangan. KGPH. Kusumoyudo sering meminjamkan pusakanya kepada R. Ngabehi Reksodiwiryo sebagai piyandel. Mereka menikahkan putra putrinya, untuk menjaga hubungan kekerabatan. Dari pernikahan ini lahir enam orang anak, yaitu RAA. Cokronagoro III, RA. Adikusumo, RM. Padmokusumo, RA. Suryoadikusumo, RM. Martokusumo, dan RM. Kusumoatmojo. KGPH. Kusumoyudo meninggal dunia pada saat menjenguk putrinya di Purworejo. Beliau dimakamkan di Desa Pangenrejo, Kecamatan Purworejo. Makam beliau berada di dalam Kompleks Batalyon Infanteri Mekanis Raider 412 di Jalan Kesatriyan, Purworejo. Yogyakarta, 28 Desember 2021 ========================= Selasa Pon, 23 Jumadilawal 1955 Tahun Alip Diambil dari tulisan Mas Hendy Purwo Prabowo

 SENOPATI MANGGALAYUDA DARI KRATON SURAKARTA



KGPH. Kusumoyudo memiliki nama kecil BRM. Lamdani. Ia putra Sri Susuhunan Pakubuwono IV. Ia lahir dari ibu RA. Retnodiningsih putri R. Tumenggung Mangkuyudo III. Ia memiliki wajah yang menawan seperti ayahnya. Ia memiliki sifat yang lembut dan halus budi bahasanya. Ia juga pribadi yang cerdas, tangkas, dan terampil. Ia bersahaja dan tidak membedakan seseorang berdasarkan pangkat dan golongan. KGPH. Kusumoyudo adalah pribadi yang humanis. Ia sangat mengutamakan sikap kasih sayang terhadap sesama.


Sejak kecil KGPH. Kusumoyudo mendapatkan pengajaran dari kaum cendekia dan ulama keraton. Selain itu, ia juga mengasah kematangan dirinya dengan laku prihatin. Ia sering berkelana dan bertapa ke luar keraton hingga waktu lama. Ia meninggalkan hidup mewah di dalam keraton. Ia menyamar sebagai rakyat biasa, agar bisa merasakan kondisi kehidupan rakyatnya. KGPH. Kusumoyudo tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana dan berjiwa kesatria. Setelah dewasa, ia menikah dengan putri KGPH. Mangkubumi dan memiliki empat orang anak. Salah satu putrinya bernama BRA. Cokronagoro menikah dengan R. Cokrodiwiryo (putra kedua R. Ngabehi Reksodiwiryo).


Pada saat Perang Jawa, KGPH. Kusumoyudo diangkat oleh Sri Susuhunan Pakubuwono VI menjadi panglima perang. Ia memiliki karier militer yang cemerlang, hingga berpangkat Letnan Kolonel. KGPH. Kusumoyudo memimpin hulptroepen (pasukan cadangan pribumi) dan bermarkas di tangsi militer Kedhung Kebo. Ia menunjuk R. Ngabehi Reksodiwiryo sebagai senopati pendamping. Ia bertugas sebagai penunjuk jalan dan memetakan wilayah, karena ia sangat memahami bentang alam di daerah Bagelen. Ia juga mampu memanfaatkan kedekatan pribadi dengan banyak kalangan di wilayah Bagelen.


R. Ngabehi Reksodiwiryo sangat lihai dalam mengatur strategi perang. Hal ini dibuktikan  saat terjadi pertempuran di Urut Sewu (pesisir pantai Jawa bagian selatan). Ketika itu, Urut Sewu menjadi lahan pertanian yang sangat subur. Saat ini, Urut Sewu masuk dalam wilayah Kabupaten Kebumen. Daerah ini merupakan tanah lungguh KGPH. Kusumoyudo di mancanagara bagian barat. KGPH. Kusumoyudo kemudian mengangkat R. Ngabehi Reksodiwiryo menjadi Bupati Tanggung dengan gelar KRT. Cokrojoyo. Wilayah kekuasaannya di sebelah Timur Sungai Bogowonto.


KGPH. Kusumoyudo sangatlah dekat dengan R. Ngabehi Resodiwiryo. Mereka sudah lama saling mengenal dan menjadi teman seperjuangan. KGPH. Kusumoyudo sering meminjamkan pusakanya kepada R. Ngabehi Reksodiwiryo sebagai piyandel. Mereka menikahkan putra putrinya, untuk menjaga hubungan kekerabatan. Dari pernikahan ini lahir enam orang anak, yaitu RAA. Cokronagoro III, RA. Adikusumo, RM. Padmokusumo, RA. Suryoadikusumo, RM. Martokusumo, dan RM. Kusumoatmojo. KGPH. Kusumoyudo meninggal dunia pada saat menjenguk putrinya di Purworejo. Beliau dimakamkan di Desa Pangenrejo, Kecamatan Purworejo. Makam beliau berada di dalam Kompleks Batalyon Infanteri Mekanis Raider 412 di Jalan Kesatriyan, Purworejo.


Yogyakarta, 28 Desember 2021

=========================

Selasa Pon, 23 Jumadilawal 1955 Tahun Alip


Diambil dari tulisan Mas Hendy Purwo Prabowo

RADEN RONGGO PRAWIRODIRJO III SEPUPU' DIPONEGORO PERANG MELAWAN DAENDELS PADA 1810 Tanggal 21 Desember 1810, Raden Ronggo masih terlihat gagah memimpin pasukan walau terjepit, ia menebas tombak yang ia pegang ke musuh yang ia dapat, beberapa serdadu Belanda terjengkang terkena sambaran tombak dari sepupu Pangeran Diponegoro ini. Disekelilingnya para pengikut dan prajuritnya juga sedang bertarung mati-matian dengan sampai akhirnya Raden Ronggo terdesak saat ia mengelak sabetan pedang membuat ia melompat dari kudanya lalu masih memegang tombak saktinya Kyai Blabar, sang Adipati Madiun ini masih melawan sekuat tenaga sampai sebuah tusukan pedang serdadu Belanda mengenai dadanya, terhuyung Raden Rangga mudur merasakan nyeri lukanya, saat itulah Leberfeld memerintahkan pasukannya menyerang Ronggo dan menghabisinya hingga meninggal. Itu adalah akhir dari perlawanan singkat dari Raden Ronggo Prawirodirjo III pada Gubernur Jendral Daendels yang memang membenci Raden Ronggo sejak lama. Namun perlawanan yang dilakukan oleh Mertua Pangeran Diponegoro ini akan menjadi penyemangat sang Pangeran Diponegoro 15 tahun kemudian. Siapa Raden Ronggo Prawirodirjo III? dia adalah penasehat Hamengkubuwono II atau Sultan Sepuh dan juga Adipati Wedono Mancanegara Maospati atau Madiun sekarang yang saat itu adalah wilayah Yogjakarta Hadiningrat. Ia dikenang rakyat Madiun sebagai pemimpin cerdas dan mengayomi rakyatnya hingga kesejahteraan warga Madiun meningkat walau usianya saat mulai memimpin masih muda yakni 31 tahun. Raden Ronggo adalah seorang yang cerdas saat memimpin Madiun antara tahun 1802-1810 walau usianya masih 31 tahun. Meski ia tinggal di Maospati tapi ia sering bolak balik ke Yogja karena dipercaya Sultan Hamengkubuwono II menjadi penasihat sampai menjadi Panglima tertinggi angkatan bersenjata Keraton Yogyakarta. Raden Ronggo terkenal pemberani sampai-sampai Daendels berkesimpulan orang yang satu ini harus segera disingkirkan. Menjelang kedatangan pasukan Inggris ke Jawa, Daendels sedang mempersiapkan menghadapi kedatangan mereka dengan membangun banyak benteng, pos militer juga yang terkenal adalah jalan raya Pos di Jawa dan semua itu membutuhkan bahan bangunan terutama kayu jati yang bagus. Kayu jati jati yang bagus kualitasnya justru di Madiun dimana Raden Ronggo Prawirodirjo III ini memimpin. Daendels menekan Sultan Hamengkubuwono II agar bisa mendapatkan Jati Madiun dengan murah tentunya maka ia membuat aturan agar kayu jati dari Madiun bisa Belanda ambil dengan murah, tentu saja Raden Ronggo tak terima maka ia meminta ijin pada Sultan Hamengkubuwono II untuk melawan Daendels. Karena merasa dirugikan dengan kebijakan Daendels, Raden Ronggo mengusulkan kepada Sultan Sepuh untuk menolak tuntutan tentang pengelolaan kayu jati tersebut. Minister Pieter Engelhard yang mengetahui usulan Raden Ronggo kemudian melaporkan kepada Daendels. Mendapat laporan itu Daendels berangkat ke Yogyakarta untuk menindas Sultan Hamengku Buwono II. Daendels membawa militer berkekuatan 7.000 pasukan menuju Vorstenlanden atau Daerah Timur jauh. Setibanya di Semarang Daendels menerima laporan dari Minister Kasunanan Surakarta van Braam bahwa Sunan Paku Buwono IV bersedia memenuhi tuntutan Daendels tentang pengelolaan kayu jati. Sikap Sunan ini dipandang Sultan Sepuh dan Raden Ronggo sebagai sebuah kelemahan ketika mendapat tekanan Daendels. Kondisi ini mengakibatkan mereka berdua tidak menyukai Sunan Paku Buwono IV. Saat situasi memanas pada 31 Januari 1810 terjadi peristiwa Ngabel-Sekedok. Peristiwa ini terjadi di Desa Ngebel dan Sekedok, wilayah milik Kasunanan Surakarta. Penduduk Ngebel dan Sekedok diserang oleh sejumlah orang bersenjata dari Madiun. Para penyerangnya menuduh bahwa penduduk Ngebel dan Sekedok telah melakukan penebangan kayu di wilayah Madiun (yang merupakan masuk Kesultanan Yogyakarta) tanpa izin. Akibat penyerangan itu penduduk Desa Ngebel tewas tiga orang. Mendengar peristiwa itu Sunan Paku Buwono IV melaporkan kepada Daendels melalui Minister van Braam. Atas inisiasi van Braam dibentuk komisi penyelidikan peristiwa itu yang terdiri dari tiga unsur yakni dari Kesultanan, Kasunanan, dan kolonial Belanda. Usulan van Braam disetujui oleh Sultan Sepuh sehingga Kesultanan mengirim Pangeran Dipokusumo, Sunan Paku Buwono IV menunjuk Tumenggung Arungbinang dan pemerintahan Kolonial Belanda mengirim Komandan militer di Surakarta Kapten Krijman. Dari hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa para penyerang berasal dari Madiun dan atas perintah Raden Ronggo. Pangeran Dipokusumo tidak dapat menerima kenyataan ini dan menyampaikannya kepada Sultan Sepuh. Sebaliknya, seperti mengetahui posisinya di atas angin Sunan Paku Buwono IV semakin legas menuntut kepada Minister van Braam agar Raden Ronggo segera dijatuhi hukuman dan Kesultanan Yogyakarta memberikan ganti rugi kepadanya. Mendapat laporan dari van Braam, Daendels kemudian membuat sepucuk surat kepada Sultan Sepuh dengan isi bahwa jika Ronggo tidak dihukum secara hukum kolonial maka Raja Yogyakarta itu akan mendapat risiko dimusuhi oleh Sunan Paku Buwono IV dan Daendels. Mendapat surat tersebut Sultan sangat murka. Sultan melihat bahwa aksi-aksi Sunan Surakarta itu telah membuat permusuhan antara dirinya dengan sang gubernur jenderal semakin tajam. Sultan Sepuh kemudian memanggil Ronggo dan bertanya duduk perkaranya. Ronggo memberikan jawaban bahwa orang-orangnya menyerang karena warganya di Madiun merasa marah kepada orang-orang Surakarta karena selama ini telah diperas oleh para pejabat Surakarta di Ponorogo. Ronggo juga menambahkan bahwa perlawanan rakyat Madiun tersebut merupakan penolakan terhadap kebijakan Daendels tentang penyetoran kayu-kayu jati di Madiun. Sultan Sepuh kemudian menyampaikan alasan penyerangan tersebut kepada Minister van Braam dan menyimpulkan bahwa Ronggo memang bersalah karena melakukan perintah penyerangan. Untuk itu Sultan Sepuh berjanji menyerahkan Ronggo kepada Daendels dan akan memenuhi kebijakan tentang penyetoran kayu jati. Setelah puas mendengar janji Sultan melalui van Braam maka Daendels kembali ke Batavia. Hari berikutnya Daendels mengirim perintah kepada van Braam agar Ronggo dibawa ke Bogor untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Perintah itu lalu berubah bukan di Bogor tetapi di Batavia karena pengikut Ronggo yang jumlahnya 1.000 tidak dapat ditampung di Bogor yang sempit itu. Untuk memberikan tekanan kepada Sultan Sepuh agar taat pada kolonial Belanda Daendels memerintahkan tentaranya yang berjumlah 2.000 serdadu Belanda bergerak di bawah pimpinan van Winckelmann di Semarang bergerak lewat Boyolali. Mendapat tekanan dari Daendels itu Sultan kemudian mengumpulkan orang-orangnya (bupati dan pangeran), termasuk Ronggo, untuk mengambil keputusan menyerahkan Ronggo atau tidak. Dalam pertemuan itu tidak satupun bupati dan pangeran yang menolak keberangkatan Ronggo ke Batavia. Artinya, dalam rapat tersebut secara aklamasi disetujui penyerahan Ronggo ke Batavia agar Kesultanan Yogyakarta selamat dari gempuran tentara Belanda. Situasi yang dihadapi Ronggo memang maju kena mundur juga kena. Apabila dia memenuhi perintah Sultan Sepuh untuk berangkat ke Batavia berarti menyerah dan membiarkan dijajah. Apalagi sudah sejak lama Ronggo menyadari bahwa Daendels menganggap dia orang yang berbahaya sehingga diinginkan kematiannya. Tetapi apabila Ronggo tidak memenuhi perintah Sultan Sepuh maka Sultan yang menderita karena harus mendapat tekanan keras dari Daendels. Akhirnya dalam rapat tersebut Ronggo menolak berangkat ke Batavia dan sebaliknya memohon restu kepada Sultan Hamengku Buwono II untuk kembali ke Madiun dan memulai perlawanan di daerahnya apabila kebijakan tentang penyetoran kayu jati tetap dilaksanakan. Jadi, dalam hal ini Ronggo tidak berniat melakukan perlawanan kepada Sultan Hamengku Buwono II yang juga mertuanya tetapi melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Daendels dan Sunan Surakarta yang selalu memihak Daendels. Pada 20 November 1810 Sultan Sepuh merestui Raden Ronggo, namun agar tidak diketahui oleh Minister Engelhard, Ronggo harus mengatakan bersedia ke Batavia kepada Engelhard keesokan harinya, yaitu tanggal 21 November 1810. Malam harinya Ronggo menemui Pangeran Notokusumo, Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat yang secara kebetulan mereka ada di tempat yang sama. Ronggo menyatakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi dengan kelicikan Patih Danurejo II yang selalu mengadu kepada pemerintah Belanda. Risikonya yakni ditangkap dihukum mati atau dibuang. Untuk itu pilihannya mati melawan Daendels kalau bisa mati bersama-sama dengan Daendels. Dalam pertemuan yang penuh mengharukan itu Ronggo mengatakan bahwa ia akan bergerilya di Mancanegara Timur untuk melawan tentara Daendels dan menghancurkan pasukan Sunan Surakarta. Tidak lupa Ronggo berpesan kepada mereka untuk merusak semua jembatan yang menuju kearah Madiun. Ronggo juga berpesan agar menjaga istana Yogyakarta dan Sultan Sepuh. Ia juga memohon agar menyampaikan semua ini kepada Sultan Sepuh agar Sultan mendukung perlawanannya. Ronggo kemudian meminta bantuan kepada Tumenggung Sumodiningrat agar menyiapkan kuda untuk kepergiannya ke Madiun bersama pengikutnya. Pada 20 November 1810 Ronggo berangkat bersama 300 pengikutnya. Jalur yang ditempuh seolah-olah akan menuju ke Batavia dengan mengambil arah ke Kemloko (perbatasan antara Tempel dan Pisangan) namun kemudian Ronggo berbalik arah menuju Maospati (Madiun) melewati Klaten terus ke Surakarta tanpa memberitahu kepada Sultan maupun Patih Danurejo II. Dalam perjalanan tersebut Ronggo dan anak buahnya melakukan pembakaran di desa-desa yang masuk wilayah Kasunanan Surakarta sebagai pelampiasan kemarahannya kepada Sunan Surakarta yang selama ini dianggap merongrong wibawa Kesultanan Yogyakarta. Pada pukul 03.30 dini hari 21 November 1810, Engelhard dibangunkan dari tidurnya dengan kabar bahwa Ronggo berangkat ke Madiun dengan 300 orang pengikutnya. Meskipun ia segera menulis surat kepada asisten residen Surakarta agar Pangeran Prangwedono (Mangkunegara II) dan Sunan mencegat rombongan Ronggo tetapi sudah terlambat karena Ronggo sudah melewati Delanggu. Dalam perangnya melawan Daendels Ronggo menyerukan ajakan untuk melawan pemerintah Belanda kepada semua rakyat di Mancanegara Timur dan masyarakat Cina. Banyak orang Cina yang membantu perjuangan Ronggo. Ia bahkan menobatkan diri menjadi Susuhunan Prabu ing Alogo dan patihnya Tumenggung Sumonegoro (bupati Nganjuk) sebagai panglima perang dengan gelar Panembahan Pangeran Adipati Surya Jayapurasa. Agar mendapat dukungan penuh dari para bupati, pada saat bersamaan dia juga memberi gelar pangeran kepada 14 bupati bawahannya. Untuk memperluas dukungan dari para bupati di tanah Jawa, Ronggo juga mengirimkan surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara dan para bupati di Mancanegara Timur wilayahnya. Isi surat edaran itu berupa himbauan agar seluruh bupati di wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan Kssunanan Surakarta mengakui Ronggo sebagai Sultan Madiun dengan gelar Susuhunan Prabu ing Alogo dan membantu perjuangannya melawan kolonial Belanda. Untuk memadamkan perlawanan Ronggo van membentuk pasukan Belanda di bawah Letnan Paulus dan Sunan Surakarta menyiapkan prajuritnya di bawah pimpinan Tumenggung Sosrodipuro yang diikuti oleh legiun Mangkunegaran. Pasukan gabungan itu siap berangkat dari Surakarta pada 1 Desember 1810 untuk memburu Ronggo di Madiun. Tanggal 2 Desember 1810 Marsekal Daendels membentuk tentara yang beranggotakan 3.000 serdadu infanteri yang bergerak dari Semarang. Ekspedisi tentara tersebut kemudian diikuti 2 eskadron kavaleri dan 2 kompi meriam yang ditarik kuda dengan anggota 200 orang prajurit setiap kompi yang bergerak dari Batavia, Sultan Sepuh menerima surat dari Daendels lewat Engelhard yang isinya perintah membantu perburuan Ronggo, sehingga Sultan juga menyiapkan prajurit di bawah Tumenggung Purwodipuro dan Tumenggung Sindunegoro. Pada 5 Desember 1810 pasukan gabungan bergerak menuju Madiun. Pertempuran pertama terjadi pada 7 Desember 1810 di Maospati. Dalam pertempuran pertama itu pasukan Daendels gagal sehingga Letnan Paulus mengirim surat kepada Minister Engelhard yang mengabarkan bahwa pasukan Kesultanan di bawah Tumenggung Purwodipuro tidak serius memburu Ronggo. Engelhard kemudian mengingatkan kepada Sultan untuk menambah prajurit dan mengganti panglimanya. Sultan kemudian mengirim Pangeran Adinegoro yang dibantu oleh Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sastrowidjaya, dan Raden Tirtodiwirdjo. Tumenggung Purwodipuro, karena enggan melawan Ronggo dan mempermalukan Sultan, dipecat dari jabatannya sebagai bupati dalem. Dalam ekspedisi ini wilayah Madiun belum terjamah sehingga gagal dikuasai. Pertempuran hanya terjadi di Ngawi dan Magetan. Ekspedisi kedua ini juga mengalami kegagalan. Pada 7 Desember 1810 setelah Dipokusumo diangkat Sultan Sepuh menjadi panglima perang Kesultanan Yogyakarta dengan dibantu pasukan yang dipimpin Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld pertempuran dahsyat terjadi. Dalam pertempuran itu pasukan Dipokusumo berhasil mengalahkan pasukan Ronggo dan malam harinya Istana Maospati berhasil diduduki tanpa perlawanan. Dipokusumo menduduki istana itu sampai 3 hari karena memang pusat pemerintahan Ronggo dipindahkan ke Istana Wonosari, Madiun. Tanggal 11 Desember 1810 Istana Wonosari juga dapat diduduki pasukan Dipokusumo. Pada 12 Desember 1810 seluruh wilayah Madiun dapat dikuasai oleh pasukan gabungan. Raden Ronggo yang disertai 3 bupati mundur ke arah timur sampai di Kertosono. Pada 17 Desember 1810 pasukan Leberfeld dihadang oleh pasukan Raden Ronggo di Desa Sekaran (Kertosono) sehingga terjadi pertempuran dahsyat. Dalam pertempuran ini istri dan anaknya Ronggo tertangkap. Dari orang-orang yang tertangkap itu diketahui bahwa pasukan Ronggo tinggal 150 orang sehingga makin lama makin melemah. Hingga pada seperti tertulis diatas, Adipati gagah yang disebut oleh Pangeran Diponegoro "Agul-agul Mataram" ini gugur dengan gagah. Diponegoro dalam babad nya mengatakan bahwa Raden Ronggo adalah idolanya yang disebutnya sebagai "Bantengnya Keraton Yogyakarta". Sumber Buku Geger Sepoy Beny Rusmawan

 RADEN RONGGO PRAWIRODIRJO III

SEPUPU' DIPONEGORO PERANG MELAWAN DAENDELS PADA 1810



Tanggal 21 Desember 1810, Raden Ronggo masih terlihat gagah memimpin pasukan walau terjepit, ia menebas tombak yang ia pegang  ke musuh yang ia dapat, beberapa serdadu Belanda terjengkang terkena sambaran tombak dari sepupu Pangeran Diponegoro ini. Disekelilingnya para pengikut dan prajuritnya juga sedang bertarung mati-matian dengan sampai akhirnya Raden Ronggo terdesak saat ia mengelak sabetan pedang membuat ia melompat dari kudanya lalu masih memegang tombak saktinya Kyai Blabar, sang Adipati Madiun ini masih melawan sekuat tenaga sampai sebuah tusukan pedang serdadu Belanda mengenai dadanya, terhuyung Raden Rangga mudur merasakan nyeri lukanya, saat itulah Leberfeld memerintahkan pasukannya menyerang Ronggo dan menghabisinya hingga meninggal.


Itu adalah akhir dari perlawanan singkat dari Raden Ronggo Prawirodirjo III pada Gubernur Jendral Daendels yang memang membenci Raden Ronggo sejak lama. Namun perlawanan yang dilakukan oleh Mertua Pangeran Diponegoro ini akan menjadi penyemangat sang Pangeran Diponegoro 15 tahun kemudian.


Siapa Raden Ronggo Prawirodirjo III? dia adalah penasehat Hamengkubuwono II atau Sultan Sepuh dan juga Adipati Wedono Mancanegara Maospati atau Madiun sekarang yang saat itu adalah wilayah Yogjakarta Hadiningrat.


Ia dikenang rakyat Madiun sebagai pemimpin cerdas dan mengayomi rakyatnya hingga kesejahteraan warga Madiun meningkat walau usianya saat mulai memimpin masih muda yakni 31 tahun.


Raden Ronggo adalah seorang yang cerdas saat memimpin Madiun antara tahun 1802-1810 walau usianya masih 31 tahun. Meski ia tinggal di Maospati tapi ia sering bolak balik ke Yogja karena dipercaya Sultan Hamengkubuwono II menjadi penasihat sampai menjadi Panglima tertinggi angkatan bersenjata Keraton Yogyakarta.


Raden Ronggo terkenal pemberani sampai-sampai Daendels berkesimpulan orang yang satu ini harus segera disingkirkan.


Menjelang kedatangan pasukan Inggris ke Jawa, Daendels sedang mempersiapkan menghadapi kedatangan mereka dengan membangun banyak benteng, pos militer juga yang terkenal adalah jalan raya Pos di Jawa dan semua itu membutuhkan bahan bangunan terutama kayu jati yang bagus. Kayu jati jati yang bagus kualitasnya justru di Madiun dimana Raden Ronggo Prawirodirjo III ini memimpin.


Daendels menekan Sultan Hamengkubuwono II agar bisa mendapatkan Jati Madiun dengan murah tentunya maka ia membuat aturan agar kayu jati dari Madiun bisa Belanda ambil dengan murah, tentu saja Raden Ronggo tak terima maka ia meminta ijin pada Sultan Hamengkubuwono II untuk melawan Daendels.


Karena merasa dirugikan dengan kebijakan Daendels, Raden Ronggo mengusulkan kepada Sultan Sepuh untuk menolak tuntutan tentang pengelolaan kayu jati tersebut. Minister Pieter Engelhard yang mengetahui usulan Raden Ronggo kemudian melaporkan kepada Daendels. Mendapat laporan itu Daendels berangkat ke Yogyakarta untuk menindas Sultan Hamengku Buwono II. Daendels membawa militer berkekuatan 7.000 pasukan menuju Vorstenlanden atau Daerah Timur jauh.


Setibanya di Semarang Daendels menerima laporan dari Minister Kasunanan Surakarta van Braam bahwa Sunan Paku Buwono IV bersedia memenuhi tuntutan Daendels tentang pengelolaan kayu jati. Sikap Sunan ini dipandang Sultan Sepuh dan Raden Ronggo sebagai sebuah kelemahan ketika mendapat tekanan Daendels. Kondisi ini mengakibatkan mereka berdua tidak menyukai Sunan Paku Buwono IV.


Saat situasi memanas pada 31 Januari 1810 terjadi peristiwa Ngabel-Sekedok. Peristiwa ini terjadi di Desa Ngebel dan Sekedok, wilayah milik Kasunanan Surakarta. Penduduk Ngebel dan Sekedok diserang oleh sejumlah orang bersenjata dari Madiun. Para penyerangnya menuduh bahwa penduduk Ngebel dan Sekedok telah melakukan penebangan kayu di wilayah Madiun (yang merupakan masuk Kesultanan Yogyakarta) tanpa izin. Akibat penyerangan itu penduduk Desa Ngebel tewas tiga orang. 


Mendengar peristiwa itu Sunan Paku Buwono IV melaporkan kepada Daendels melalui Minister van Braam. Atas inisiasi van Braam dibentuk komisi penyelidikan peristiwa itu yang terdiri dari tiga unsur yakni dari Kesultanan, Kasunanan, dan kolonial Belanda. Usulan van Braam disetujui oleh Sultan Sepuh sehingga Kesultanan mengirim Pangeran Dipokusumo, Sunan Paku Buwono IV menunjuk Tumenggung Arungbinang dan pemerintahan Kolonial Belanda mengirim Komandan militer di Surakarta Kapten Krijman.


Dari hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa para penyerang berasal dari Madiun dan atas perintah Raden Ronggo.


Pangeran Dipokusumo tidak dapat menerima kenyataan ini dan menyampaikannya kepada Sultan Sepuh. Sebaliknya, seperti mengetahui posisinya di atas angin Sunan Paku Buwono IV semakin legas menuntut kepada Minister van Braam agar Raden Ronggo segera dijatuhi hukuman dan Kesultanan Yogyakarta memberikan ganti rugi kepadanya. 


Mendapat laporan dari van Braam, Daendels kemudian membuat sepucuk surat kepada Sultan Sepuh dengan isi bahwa jika Ronggo tidak dihukum secara hukum kolonial maka Raja Yogyakarta itu akan mendapat risiko dimusuhi oleh Sunan Paku Buwono IV dan Daendels. Mendapat surat tersebut Sultan sangat murka. Sultan melihat bahwa aksi-aksi Sunan Surakarta itu telah membuat permusuhan antara dirinya dengan sang gubernur jenderal semakin tajam.


Sultan Sepuh kemudian memanggil Ronggo dan bertanya duduk perkaranya. Ronggo memberikan jawaban bahwa orang-orangnya menyerang karena warganya di Madiun merasa marah


kepada orang-orang Surakarta karena selama ini telah diperas oleh para pejabat Surakarta di Ponorogo. Ronggo juga menambahkan bahwa perlawanan rakyat Madiun tersebut merupakan penolakan terhadap kebijakan Daendels tentang penyetoran kayu-kayu jati di Madiun. Sultan Sepuh kemudian menyampaikan alasan penyerangan tersebut kepada Minister van Braam dan menyimpulkan bahwa Ronggo memang bersalah karena melakukan perintah penyerangan. Untuk itu Sultan Sepuh berjanji menyerahkan Ronggo kepada Daendels dan akan memenuhi kebijakan tentang penyetoran kayu jati. Setelah puas mendengar janji Sultan melalui van Braam maka Daendels kembali ke Batavia.


Hari berikutnya Daendels mengirim perintah kepada van Braam agar Ronggo dibawa ke Bogor untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Perintah itu lalu berubah bukan di Bogor tetapi di Batavia karena pengikut Ronggo yang jumlahnya 1.000 tidak dapat ditampung di Bogor yang sempit itu.


Untuk memberikan tekanan kepada Sultan Sepuh agar taat pada kolonial Belanda Daendels memerintahkan tentaranya yang berjumlah 2.000 serdadu Belanda bergerak di bawah pimpinan van Winckelmann di Semarang bergerak lewat Boyolali. 


Mendapat tekanan dari Daendels itu Sultan kemudian mengumpulkan orang-orangnya (bupati dan pangeran), termasuk Ronggo, untuk mengambil keputusan menyerahkan Ronggo atau tidak. Dalam pertemuan itu tidak satupun bupati dan pangeran yang menolak keberangkatan Ronggo ke Batavia. Artinya, dalam rapat tersebut secara aklamasi disetujui penyerahan Ronggo ke Batavia agar Kesultanan Yogyakarta selamat dari gempuran tentara Belanda.


Situasi yang dihadapi Ronggo memang maju kena mundur juga kena. Apabila dia memenuhi perintah Sultan Sepuh untuk berangkat ke Batavia berarti menyerah dan membiarkan dijajah. Apalagi sudah sejak lama Ronggo menyadari bahwa Daendels menganggap dia orang yang berbahaya sehingga diinginkan kematiannya. Tetapi apabila Ronggo tidak memenuhi perintah Sultan Sepuh maka Sultan yang menderita karena harus mendapat tekanan keras dari Daendels.


Akhirnya dalam rapat tersebut Ronggo menolak berangkat ke Batavia dan sebaliknya memohon restu kepada Sultan Hamengku Buwono II untuk kembali ke Madiun dan memulai perlawanan di daerahnya apabila kebijakan tentang penyetoran kayu jati tetap dilaksanakan. Jadi, dalam hal ini Ronggo tidak berniat melakukan perlawanan kepada Sultan Hamengku Buwono II yang juga mertuanya tetapi melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Daendels dan Sunan Surakarta yang selalu memihak Daendels.


Pada 20 November 1810 Sultan Sepuh merestui Raden Ronggo, namun agar tidak diketahui oleh Minister Engelhard, Ronggo harus mengatakan bersedia ke Batavia kepada Engelhard keesokan harinya, yaitu tanggal 21 November 1810. Malam harinya Ronggo menemui Pangeran Notokusumo, Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat yang secara kebetulan mereka ada di tempat yang sama. 


Ronggo menyatakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi dengan kelicikan Patih Danurejo II yang selalu mengadu kepada pemerintah Belanda. Risikonya yakni ditangkap dihukum mati atau dibuang. Untuk itu pilihannya mati melawan Daendels kalau bisa mati bersama-sama dengan Daendels.


Dalam pertemuan yang penuh mengharukan itu Ronggo mengatakan bahwa ia akan bergerilya di Mancanegara Timur untuk melawan tentara Daendels dan menghancurkan pasukan Sunan Surakarta. Tidak lupa Ronggo berpesan kepada mereka untuk merusak semua jembatan yang menuju kearah Madiun. Ronggo juga berpesan agar menjaga istana Yogyakarta dan Sultan Sepuh. Ia juga memohon agar menyampaikan semua ini kepada Sultan Sepuh agar Sultan mendukung perlawanannya. Ronggo kemudian meminta bantuan kepada Tumenggung Sumodiningrat agar menyiapkan kuda untuk kepergiannya ke Madiun bersama pengikutnya.


Pada 20 November 1810 Ronggo berangkat bersama 300 pengikutnya. Jalur yang ditempuh seolah-olah akan menuju ke Batavia dengan mengambil arah ke Kemloko (perbatasan antara Tempel dan Pisangan) namun kemudian Ronggo berbalik arah menuju Maospati (Madiun) melewati Klaten terus ke Surakarta tanpa memberitahu kepada Sultan maupun Patih Danurejo II. Dalam perjalanan tersebut Ronggo dan anak buahnya melakukan pembakaran di desa-desa yang masuk wilayah Kasunanan Surakarta sebagai pelampiasan kemarahannya kepada Sunan Surakarta yang selama ini dianggap merongrong wibawa Kesultanan Yogyakarta.


Pada pukul 03.30 dini hari 21 November 1810, Engelhard dibangunkan dari tidurnya dengan kabar bahwa Ronggo berangkat ke Madiun dengan 300 orang pengikutnya. Meskipun ia segera menulis surat kepada asisten residen Surakarta agar Pangeran Prangwedono (Mangkunegara II) dan Sunan mencegat rombongan Ronggo tetapi sudah terlambat karena Ronggo sudah melewati Delanggu.


Dalam perangnya melawan Daendels Ronggo menyerukan ajakan untuk melawan pemerintah Belanda kepada semua rakyat di Mancanegara Timur dan masyarakat Cina. Banyak orang Cina yang membantu perjuangan Ronggo.  Ia bahkan menobatkan diri menjadi Susuhunan Prabu ing Alogo dan patihnya Tumenggung Sumonegoro (bupati Nganjuk) sebagai panglima perang dengan gelar Panembahan Pangeran Adipati Surya Jayapurasa. Agar mendapat dukungan penuh dari para bupati, pada saat bersamaan dia juga memberi gelar pangeran kepada 14 bupati bawahannya. 


Untuk memperluas dukungan dari para bupati di tanah Jawa, Ronggo juga mengirimkan surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara dan para bupati di Mancanegara Timur wilayahnya. Isi surat edaran itu berupa himbauan agar seluruh bupati di wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan Kssunanan Surakarta mengakui Ronggo sebagai Sultan Madiun dengan gelar Susuhunan Prabu ing Alogo dan membantu perjuangannya melawan kolonial Belanda.


Untuk memadamkan perlawanan Ronggo van membentuk pasukan Belanda di bawah Letnan Paulus dan Sunan Surakarta menyiapkan prajuritnya di bawah pimpinan Tumenggung Sosrodipuro yang diikuti oleh legiun Mangkunegaran. Pasukan gabungan itu siap berangkat dari Surakarta pada 1 Desember 1810 untuk memburu Ronggo di Madiun.


Tanggal 2 Desember 1810 Marsekal Daendels membentuk tentara yang beranggotakan 3.000 serdadu infanteri yang bergerak dari Semarang. Ekspedisi tentara tersebut kemudian diikuti 2 eskadron kavaleri dan 2 kompi meriam yang ditarik kuda dengan anggota 200 orang prajurit setiap kompi yang bergerak dari Batavia, Sultan Sepuh menerima surat dari Daendels lewat Engelhard yang isinya perintah membantu perburuan Ronggo, sehingga Sultan juga menyiapkan prajurit di bawah Tumenggung Purwodipuro dan Tumenggung Sindunegoro.


Pada 5 Desember 1810 pasukan gabungan bergerak menuju Madiun. Pertempuran pertama terjadi pada 7 Desember 1810 di Maospati. Dalam pertempuran pertama itu pasukan Daendels gagal sehingga Letnan Paulus mengirim surat kepada Minister Engelhard yang mengabarkan bahwa pasukan Kesultanan di bawah Tumenggung Purwodipuro tidak serius memburu Ronggo. Engelhard kemudian mengingatkan kepada Sultan untuk menambah prajurit dan mengganti panglimanya. Sultan kemudian mengirim Pangeran Adinegoro yang dibantu oleh Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sastrowidjaya, dan Raden Tirtodiwirdjo. 


Tumenggung Purwodipuro, karena enggan melawan Ronggo dan mempermalukan Sultan, dipecat dari jabatannya sebagai bupati dalem. Dalam ekspedisi ini wilayah Madiun belum terjamah sehingga gagal dikuasai. Pertempuran hanya terjadi di Ngawi dan Magetan. Ekspedisi kedua ini juga mengalami kegagalan.


Pada 7 Desember 1810 setelah Dipokusumo diangkat Sultan Sepuh menjadi panglima perang Kesultanan Yogyakarta dengan dibantu pasukan yang dipimpin Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld pertempuran dahsyat terjadi. Dalam pertempuran itu pasukan Dipokusumo berhasil mengalahkan pasukan Ronggo dan malam harinya Istana Maospati berhasil diduduki tanpa perlawanan.


Dipokusumo menduduki istana itu sampai 3 hari karena memang pusat pemerintahan Ronggo dipindahkan ke Istana Wonosari, Madiun. Tanggal 11 Desember 1810 Istana Wonosari juga dapat diduduki pasukan Dipokusumo. 


Pada 12 Desember 1810 seluruh wilayah Madiun dapat dikuasai oleh pasukan gabungan. Raden Ronggo yang disertai 3 bupati mundur ke arah timur sampai di Kertosono. Pada 17 Desember 1810 pasukan Leberfeld dihadang oleh pasukan Raden Ronggo di Desa Sekaran (Kertosono) sehingga terjadi pertempuran dahsyat. Dalam pertempuran ini istri dan anaknya Ronggo tertangkap. Dari orang-orang yang tertangkap itu diketahui bahwa pasukan Ronggo tinggal 150 orang sehingga makin lama makin melemah.


Hingga pada seperti tertulis diatas, Adipati gagah yang disebut oleh Pangeran Diponegoro "Agul-agul Mataram" ini gugur dengan gagah.


Diponegoro dalam babad nya mengatakan bahwa Raden Ronggo adalah idolanya yang disebutnya sebagai "Bantengnya Keraton Yogyakarta".


Sumber Buku Geger Sepoy 


Sumber : Beny Rusmawan

01 December 2025

Lukisan Pangeran Diponegoro dalam pengasingan di Sulawesi yang sedang membaca kitab tasawuf. Di belakangnya duduk istri resminya, Raden Ayu Retnaningsih. Di lantai duduk salah satu putranya. Diponegoro (Mustahar; Antawirya; 11 November 1785 – 8 Januari 1855), juga dikenal sebagai Dipanegara, adalah seorang pangeran Jawa yang menentang penjajahan Belanda. Ia memainkan peran penting dalam Perang Jawa (1825–1830). Pada tahun 1830, Belanda mengasingkannya ke Makassar di Sulawesi, sekarang Sulawesi. Gambar dari Leiden Codex Orientalis diterjemahkan dari Bahasa Belanda

 Lukisan Pangeran Diponegoro dalam pengasingan di Sulawesi yang sedang membaca kitab tasawuf. Di belakangnya duduk istri resminya, Raden Ayu Retnaningsih. Di lantai duduk salah satu putranya.

Diponegoro (Mustahar; Antawirya; 11 November 1785 – 8 Januari 1855), juga dikenal sebagai Dipanegara, adalah seorang pangeran Jawa yang menentang penjajahan Belanda. Ia memainkan peran penting dalam Perang Jawa (1825–1830). Pada tahun 1830, Belanda mengasingkannya ke Makassar di Sulawesi, sekarang Sulawesi. 



Gambar dari Leiden Codex Orientalis

diterjemahkan dari Bahasa Belanda


Sumber ITD

Ketika Tembok Bicara Detik-Detik Pangeran Diponegoro Menjebol Dinding Tegalrejo” Di tengah senja yang merayap pelan pada 20 Juli 1825, kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo berubah menjadi lautan kepungan. Asap dari rumah-rumah yang dibakar pasukan Belanda menyesaki udara, sementara teriakan prajurit dan dentingan senjata semakin mendekat. Di dalam rumah yang semakin panas dan sesak, Pangeran Diponegoro berdiri tegak. Sorot matanya tajam, bukan oleh rasa takut, tetapi oleh kemarahan—karena semua ini bermula dari penghinaan: Belanda menancapkan patok pembangunan jalan di atas makam leluhurnya. “Sudah saatnya kita pergi,” ujar Pangeran dengan nada tegas. Ia tahu… jika tetap tinggal, seluruh keluarganya akan binasa. Tetapi semua pintu telah dijaga. Semua jalan keluar telah ditutup. Hanya ada satu pilihan: menciptakan jalan mereka sendiri. Dengan tekad yang mengeras seperti batu, Pangeran Diponegoro menempatkan tangannya pada dinding rumah. Ada yang mengatakan ia menghantamnya dengan kekuatan penuh. Ada pula cerita bahwa kuda kesayangannya, Kyai Gentayu, ikut menerjang tembok itu. Versi lain menyebutkan para pengikutnya membantu merobohkan dinding itu dari dalam. Yang pasti, suara retakan menggema—disusul runtuhan batu bata yang berserakan di tanah. Dinding itu jebol. Dan dari celah itu, secercah harapan muncul. Pangeran Diponegoro segera memimpin keluarganya keluar melewati lubang tersebut. Di luar sana, jalan menuju hutan dan perbukitan Bantul menanti. Mereka bergerak cepat menuju Gua Selarong, tempat sunyi yang kelak menjadi markas perlawanan terbesar dalam sejarah Jawa. Di dalam kegelapan goa, Diponegoro bermeditasi, merenung, dan menyusun strategi. Dari tembok yang dijebol itulah dimulai babak baru: Perang Diponegoro — perang besar yang mengguncang Jawa selama lima tahun. Dan hari ini, lubang tembok itu tetap berdiri sebagai saksi bisu… bahwa seorang ksatria lebih memilih melawan daripada tunduk atas penghinaan terhadap leluhurnya. --- 📝 Penutup & Koreksi Fakta Kisah menjebol dinding memiliki beberapa versi dalam tradisi lisan dan catatan sejarah, sehingga tidak ada versi tunggal yang sepenuhnya disepakati. Ada yang menyebutkan dilakukan dengan tangan kosong, dengan kuda Kyai Gentayu, atau dibantu para laskar. Semua versi sepakat bahwa tindakan itu adalah titik awal pelarian Pangeran Diponegoro menuju Gua Selarong, sebelum meletusnya Perang Jawa. #PangeranDiponegoro #PerangDiponegoro #SejarahIndonesia #Tegalrejo #GuaSelarong #PerangJawa #SejarahNusantara #PahlawanNasional #HistoryID #KontenSejarah #Diponegoro #IndonesiaHeritage #LegacyOfJava #FaktaSejarah

 Ketika Tembok Bicara

Detik-Detik Pangeran Diponegoro Menjebol Dinding Tegalrejo” 



Di tengah senja yang merayap pelan pada 20 Juli 1825, kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo berubah menjadi lautan kepungan. Asap dari rumah-rumah yang dibakar pasukan Belanda menyesaki udara, sementara teriakan prajurit dan dentingan senjata semakin mendekat.


Di dalam rumah yang semakin panas dan sesak, Pangeran Diponegoro berdiri tegak. Sorot matanya tajam, bukan oleh rasa takut, tetapi oleh kemarahan—karena semua ini bermula dari penghinaan: Belanda menancapkan patok pembangunan jalan di atas makam leluhurnya.


“Sudah saatnya kita pergi,” ujar Pangeran dengan nada tegas.

Ia tahu… jika tetap tinggal, seluruh keluarganya akan binasa.


Tetapi semua pintu telah dijaga. Semua jalan keluar telah ditutup.

Hanya ada satu pilihan: menciptakan jalan mereka sendiri.


Dengan tekad yang mengeras seperti batu, Pangeran Diponegoro menempatkan tangannya pada dinding rumah. Ada yang mengatakan ia menghantamnya dengan kekuatan penuh. Ada pula cerita bahwa kuda kesayangannya, Kyai Gentayu, ikut menerjang tembok itu. Versi lain menyebutkan para pengikutnya membantu merobohkan dinding itu dari dalam.


Yang pasti, suara retakan menggema—disusul runtuhan batu bata yang berserakan di tanah.

Dinding itu jebol. Dan dari celah itu, secercah harapan muncul.


Pangeran Diponegoro segera memimpin keluarganya keluar melewati lubang tersebut. Di luar sana, jalan menuju hutan dan perbukitan Bantul menanti. Mereka bergerak cepat menuju Gua Selarong, tempat sunyi yang kelak menjadi markas perlawanan terbesar dalam sejarah Jawa.


Di dalam kegelapan goa, Diponegoro bermeditasi, merenung, dan menyusun strategi.

Dari tembok yang dijebol itulah dimulai babak baru:

Perang Diponegoro — perang besar yang mengguncang Jawa selama lima tahun.


Dan hari ini, lubang tembok itu tetap berdiri sebagai saksi bisu…

bahwa seorang ksatria lebih memilih melawan daripada tunduk atas penghinaan terhadap leluhurnya.


---


📝 Penutup & Koreksi Fakta


Kisah menjebol dinding memiliki beberapa versi dalam tradisi lisan dan catatan sejarah, sehingga tidak ada versi tunggal yang sepenuhnya disepakati. Ada yang menyebutkan dilakukan dengan tangan kosong, dengan kuda Kyai Gentayu, atau dibantu para laskar. Semua versi sepakat bahwa tindakan itu adalah titik awal pelarian Pangeran Diponegoro menuju Gua Selarong, sebelum meletusnya Perang Jawa.

Sumber : Tri Prawiro Mintardjo

#PangeranDiponegoro #PerangDiponegoro #SejarahIndonesia #Tegalrejo #GuaSelarong

#PerangJawa #SejarahNusantara #PahlawanNasional #HistoryID #KontenSejarah

#Diponegoro #IndonesiaHeritage #LegacyOfJava #FaktaSejarah

Di masa kejayaan Gang Dolly, Surabaya, hidup seorang perempuan bernama Sumiarsih, kelahiran Jombang tahun 1948. Ia dikenal cantik, pandai bicara, dan cepat meniti jalan di dunia malam. Sejak tahun 1975, Sumiarsih bersama suaminya Djais Adi Prayitno, ia membuka dua wisma: Happy Home dan Sumber Rezeki, tempat puluhan wanita muda dij4j4kan untuk pelanggan kelas atas. Uang mengalir deras setiap malam, hingga namanya disegani di antara para mucikari. Ia dijuluki Mami Rose, ratu di balik pintu remang Dolly yang selalu penuh pengunjung. Namun hidup mewah itu membawa Sumiarsih ke jalan berbahaya. Salah satu langganannya, Letkol Marinir Purwanto, menawarkan kerja sama bisnis dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan, Sumiarsih wajib menyetorkan Rp 25 juta, dan jika terlambat, dendanya bisa mencapai dua puluh persen. Awalnya berjalan dengan lancar, tapi ketika razia yang dilakukan pemerintahan.. membuat Dolly sepi, setoran mulai tersendat dan utang menumpuk. Purwanto mulai marah, menekan, bahkan mengirim orang-orangnya untuk mengobrak-abrik wisma milik Sumiarsih. Puncaknya terjadi saat Purwanto mengajukan syarat yang tak masuk akal. Ia menawari penghapusan utang, asal Sumiarsih mau menyerahkan putrinya sendiri, Rose Mey Wati, yang saat itu sudah bersuami dengan seorang anggota polisi. Permintaan itu membuat Sumiarsih hancur, malu, dan marah. Ia merasa terdesak, terhina, dan tak punya jalan keluar. Malam itu, ia mengumpulkan keluarganya di Wisma Happy Home.suaminya Prayitno, anak laki-lakinya Sugeng, menantunya Adi Saputro, serta dua orang kerabat, Daim dan Nanok. Di ruang sempit itu, mereka menyusun rencana pembunuhan. Tanggal 13 Agustus 1988, sekitar pukul 11 siang, mereka datang ke rumah Purwanto di Dukuh Kupang Timur, Surabaya. Awalnya diterima baik oleh istri Purwanto, (Sunarsih), tapi begitu lengah, Sunarsih dan dua anaknya langsung dih4ntam dengan alu besi. Satu persatu korban t3was di tangan mereka. Sore harinya, ketika Purwanto pulang dari kantor, ia pun diserang tanpa sempat melawan. Lima nyawa melayang sore itu tubuh mereka diseret, dimasukkan ke mobil Daihatsu Taft, dan dibawa ke hutan Songgoriti, Batu, Malang, sebelum akhirnya mobil itu dijungkirkan ke jurang 200 meter. Keesokan paginya, seorang pencari kayu menemukan mobil dan jasad-jasad itu. Awalnya dikira kecelakaan, tapi hasil forensik menemukan kejanggalan semua korban sudah m3ninggal sebelum mobil jatuh ke jurang. Polisi menelusuri sidik jari, hingga mengarah pada nama Sumiarsih dan Prayitno. Satu per satu pelaku ditangkap dan diadili. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman m4ti kepada empat orang: Sumiarsih, Sugeng, Prayitno, dan Adi Saputro, sementara Nanok dan Daim dijatuhi hukuman seumur hidup. Adi Saputro dieksekusi pertama kali tahun 1992, Prayitno meninggal di tahanan tahun 2001 sebelum dit3mbak m4ti. Setelah dua puluh tahun mendekam di penjara wanita Malang, Sumiarsih dan anaknya Sugeng akhirnya menjalani eksekusi. Dini hari 19 Juli 2008, dua regu Brimob Polda Jawa Timur bersiap di lapangan t3mbak. Enam peluru menembus tubuh Sugeng terlebih dahulu, disusul ibunya yang berdiri tenang beberapa meter di sebelahnya. Keduanya dinyatakan t3was pukul 00.20, jenazah dibawa ke RSUD Soetomo Surabaya, lalu dimakamkan di TPU Samaan, Malang. Hanya satu orang keluarga yang hadir yaitu Rose Mey Wati, putri yang dulu menjadi alasan utama tragedi berdarah itu. Kini nama Sumiarsih tinggal cerita kelam dalam sejarah Surabaya. dari gemerlap Dolly hingga liang tanah sunyi, perjalanannya mencerminkan sisi gelap ambisi dan keputusasaan manusia. Ia pernah disembah di dunia malam, tapi mati sebagai terpidana paling kejam tahun 1980-an #truecrime #creepy #kasuskriminal #tragedi #fakta

 Di masa kejayaan Gang Dolly, Surabaya,

hidup seorang perempuan bernama Sumiarsih, kelahiran Jombang tahun 1948. Ia dikenal cantik, pandai bicara, dan cepat meniti jalan di dunia malam.

Sejak tahun 1975, Sumiarsih bersama suaminya Djais Adi Prayitno, ia membuka dua wisma:

Happy Home dan Sumber Rezeki, tempat puluhan wanita muda dij4j4kan untuk pelanggan kelas atas. Uang mengalir deras setiap malam, hingga namanya disegani di antara para mucikari.

Ia dijuluki Mami Rose, ratu di balik pintu remang Dolly yang selalu penuh pengunjung.




Namun hidup mewah itu membawa Sumiarsih ke jalan berbahaya. Salah satu langganannya, Letkol Marinir Purwanto, 

menawarkan kerja sama bisnis dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan, Sumiarsih wajib menyetorkan Rp 25 juta,

dan jika terlambat, dendanya bisa mencapai dua puluh persen. 


Awalnya berjalan dengan lancar, tapi ketika razia yang dilakukan pemerintahan.. membuat Dolly sepi, setoran mulai tersendat dan utang menumpuk.

Purwanto mulai marah, menekan, bahkan mengirim orang-orangnya

untuk mengobrak-abrik wisma milik Sumiarsih.


Puncaknya terjadi saat Purwanto mengajukan syarat yang tak masuk akal.

Ia menawari penghapusan utang, asal Sumiarsih mau menyerahkan putrinya sendiri, Rose Mey Wati, yang saat itu sudah bersuami dengan seorang anggota polisi. Permintaan itu membuat Sumiarsih hancur, malu, dan marah.

Ia merasa terdesak, terhina, dan tak punya jalan keluar. Malam itu, ia mengumpulkan keluarganya di Wisma Happy Home.suaminya Prayitno, anak laki-lakinya Sugeng, menantunya Adi Saputro, serta dua orang kerabat, Daim dan Nanok. Di ruang sempit itu, mereka menyusun rencana pembunuhan.


Tanggal 13 Agustus 1988, sekitar pukul 11 siang, mereka datang ke rumah Purwanto di Dukuh Kupang Timur, Surabaya. Awalnya diterima baik oleh istri Purwanto, (Sunarsih), tapi begitu lengah, Sunarsih dan dua anaknya langsung dih4ntam dengan alu besi. 

Satu persatu korban t3was di tangan mereka.


 Sore harinya, ketika Purwanto pulang dari kantor, ia pun diserang tanpa sempat melawan. Lima nyawa melayang sore itu tubuh mereka diseret, dimasukkan ke mobil Daihatsu Taft, 

dan dibawa ke hutan Songgoriti, Batu, Malang, sebelum akhirnya mobil itu dijungkirkan ke jurang 200 meter.


Keesokan paginya, seorang pencari kayu menemukan mobil dan jasad-jasad itu.

Awalnya dikira kecelakaan, tapi hasil forensik menemukan kejanggalan

semua korban sudah m3ninggal sebelum mobil jatuh ke jurang. Polisi menelusuri sidik jari, hingga mengarah pada nama Sumiarsih dan Prayitno. Satu per satu pelaku ditangkap dan diadili. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman m4ti kepada empat orang: Sumiarsih, Sugeng, Prayitno, dan Adi Saputro, 

sementara Nanok dan Daim dijatuhi hukuman seumur hidup. Adi Saputro dieksekusi pertama kali tahun 1992,

Prayitno meninggal di tahanan tahun 2001 sebelum dit3mbak m4ti.


Setelah dua puluh tahun mendekam di penjara wanita Malang, Sumiarsih dan anaknya Sugeng akhirnya menjalani eksekusi. Dini hari 19 Juli 2008, dua regu Brimob Polda Jawa Timur bersiap di lapangan t3mbak. Enam peluru menembus tubuh Sugeng terlebih dahulu, disusul ibunya yang berdiri tenang beberapa meter di sebelahnya.

Keduanya dinyatakan t3was pukul 00.20, jenazah dibawa ke RSUD Soetomo Surabaya, lalu dimakamkan di TPU Samaan, Malang. Hanya satu orang keluarga yang hadir yaitu Rose Mey Wati,

putri yang dulu menjadi alasan utama tragedi berdarah itu.


Kini nama Sumiarsih tinggal cerita kelam dalam sejarah Surabaya. dari gemerlap Dolly hingga liang tanah sunyi,

perjalanannya mencerminkan sisi gelap ambisi dan keputusasaan manusia.

Ia pernah disembah di dunia malam, tapi mati sebagai terpidana paling kejam tahun 1980-an


#truecrime

#creepy

#kasuskriminal

#tragedi

#fakta

Eksekusi dan mutilasi pelaku kriminal di Jawa,1807 Sebuah lukisan cat air yang cukup spektakuler karya seorang seniman yang namanya tidak diketahui. Gambar tersebut menggambarkan seorang Hakim Belanda, berpakaian hitam, dikelilingi oleh enam pejabat Jawa (salah satunya kemungkinan adalah penguasa sebuah Kabupaten pesisir di Jawa Timur Laut) yang menyaksikan eksekusi empat penjahat. Dua tahanan, berpakaian putih, yang merupakan warna kematian, diikat ke tiang sementara para algojo bersiap untuk menghabisi mereka dengan 'keris' seremonial. Di paling kiri, seorang penjahat terbaring mati, sementara di latar depan tengah, seorang pelaku kejahatan Jawa lainnya sedang diikat dan tampaknya siap untuk dipotong anggota tubuhnya, sebuah hukuman yang umum dijatuhkan kepada para pelaku kriminal. Di latar belakang, anggota pengawal upacara berdiri siaga dengan tombak tegak, sementara orang Belanda dan pejabat Jawa menyaksikan tontonan tersebut. Salah satu orang Jawa mengambil 'sireh' (sirih) dari pelayannya yang cacat. Para pelayan berdiri di belakang sambil memegang payung. Gambar tersebut pasti memiliki makna khusus bagi Raffles sebagai bukti jenis hukuman mati yang dijatuhkan sebelum kedatangan Inggris di Jawa, dan lebih khusus lagi sebelum Lord Minto mengeluarkan proklamasinya pada 11 September 1811 yang menghapuskan penyiksaan dan mutilasi. Image: British Library.

Eksekusi dan mutilasi pelaku kriminal di Jawa,1807



Sebuah lukisan cat air yang cukup spektakuler karya seorang seniman yang namanya tidak diketahui. Gambar tersebut menggambarkan seorang Hakim Belanda, berpakaian hitam, dikelilingi oleh enam pejabat Jawa (salah satunya kemungkinan adalah penguasa sebuah Kabupaten pesisir di Jawa Timur Laut) yang menyaksikan eksekusi empat penjahat. 

Dua tahanan, berpakaian putih, yang merupakan warna kematian, diikat ke tiang sementara para algojo bersiap untuk menghabisi mereka dengan 'keris' seremonial. Di paling kiri, seorang penjahat terbaring mati, sementara di latar depan tengah, seorang pelaku kejahatan Jawa lainnya sedang diikat dan tampaknya siap untuk dipotong anggota tubuhnya, sebuah hukuman yang umum dijatuhkan kepada para pelaku kriminal. 

Di latar belakang, anggota pengawal upacara berdiri siaga dengan tombak tegak, sementara orang Belanda dan pejabat Jawa menyaksikan tontonan tersebut. Salah satu orang Jawa mengambil 'sireh' (sirih) dari pelayannya yang cacat. Para pelayan berdiri di belakang sambil memegang payung. 

Gambar tersebut pasti memiliki makna khusus bagi Raffles sebagai bukti jenis hukuman mati yang dijatuhkan sebelum kedatangan Inggris di Jawa, dan lebih khusus lagi sebelum Lord Minto mengeluarkan proklamasinya pada 11 September 1811 yang menghapuskan penyiksaan dan mutilasi. 


Image: British Library. 

RADEN NGABEHI RONGGOWARSITO Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah Pujangga Kesusastraan Jawa Klasik dari Kraton Surakarta. Beliau terlahir dengan nama Bagus Burhan pada hari Senin Legi tanggal 15 Maret 1802 di Dalem Yosodipuran Surakarta. Beliau wafat pada Rabu Pon tanggal 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun dan dimakamkan di Desa Palar, Trucuk Klaten. Sejak usia 2 tahun hingga 12 tahun Bagus Burhan diasuh oleh kakeknya Raden Ngabehi Yosodipuro II Menginjak usia 12 tahun, pada tahun 1813 Bagus Burhan dikirim oleh kakeknya belajar ke pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo. Pesantren Gebang Tinatar diasuh oleh seorang guru kenamaan pada masanya yaitu Kyai Ageng Kasan Besari. Pada waktu awal belajar di Gebang Tinatar Bagus Burhan kurang tekun mengaji dan mempelajari bahasa Arab dan cenderung nakal, tetapi berkat bimbingan Kyai Kasan Besari, Bagus Burhan bisa meninggalkan sifat kenakalannya dan meningkatkan kemampuan rohaninya. Setelah selesai belajar di Pesantren Gebang Tinatar, tahun 1815 Bagus Burhan kembali ke Dalem Yosodipuran Surakarta dan diasuh kembali oleh kakeknya R Ng Yosodipuro II. Oleh kakeknya diajarkan seni budaya dan kesusastraan Jawa. Selain itu Bagus Burhan juga berguru kepada Gusti Pangeran Buminata, adik dari Sunan Pakubuwana IV. Beliau belajar ilmu kanuragan dan jaya kawijayan. Setelah selesai berguru, tahun 1819 oleh Gusti Pangeran Buminata Bagus Burhan diabdikan ke Kraton Surakarta sebagai juru tulis, mengingat saat itu Gusti Buminata menjabat sebagai Kepala Administrasi Kraton Surakarta. Setahun menjadi juru tulis, tahun 1820 Sunan Pakubuwana IV wafat. Pada usia 19 tahun, Bagus Burhan dinikahkan dengan Raden Ayu Gombak putri dari Bupati Kediri KRA Cakraningrat cucu dari Sunan Pakubuwana III juga putra dari Gusti Pangeran Buminata. Pernikahan dilaksanakan tanggal 19 November 1821 di Dalem Buminatan perayaan dilakukan 5 hari di Dalem Buminatan dan 5 hari di Dalem Yosodipuran. 30 hari kemudian kedua mempelai diboyong ke Kediri. Setelah beberapa hari tinggal di Kadipaten Kediri, Bagus Burhan memohon ijin untuk melanjutkan menuntut ilmu ditempat lain. Meski dengan berat hati Mertua dan Istri beliau mengijinkan Bagus Burhan untuk mengembara menuntut ilmu dan pengalaman hidup selagi masih muda. Pengembaraan Bagus Burhan diawali di Ngadiluwih, disana tinggal seorang pertapa bernama Ki Tunggul Wulung. Seorang pertapa yang bijaksana dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi. Bagus Burhan banyak menimba ilmu dari beliau hingga berkat kecerdasan ketekunan dan ketrampilan mempelajari ilmu kemudian oleh Ki Tunggul Wulung, Bagus Burhan disarankan berguru kepada Ki Ajar Wirakanta di Banyuwangi. Setelah belajar di Padepokan Ki Wirakanta, Bagus Burhan melanjutkan belajar ketempat guru Ki Wirakanta yaitu Ki Ajar Sidalaku di Tabanan Bali.Setelah selesai belajar di Tabanan, Bagus Burhan kembali pulang ke Kediri menemui istrinya yang telah ditinggalkan 7 bulan lamanya. Tidak lama tinggal di Kediri, beliau dipanggil oleh Gusti Buminata untuk pulang ke Surakarta karena beliau masih punya tanggung jawab sebagai juru tulis Kraton Surakarta. Kemudian berkat usaha Gusti Buminata, Bagus Burhan diangkat sebagai Abdi Dalem Carik di Kepatihan tertanggal 28 Oktober 1822. Atas jabatan barunya beliau mendapat nama gelar Ronggo Pujangga Anom. Tahun 1826 Ronggo Pujangga Anom dinaikkan pangkatnya menjadi Mantri Carik Kadipaten Anom dengan gelar Mas Ngabehi Surataka. Ketika RT Sastranegara ayahanda beliau ditangkap Belanda dan dibawa ke Batavia, Bagus Burhan diangkat menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai Abdi Dalem Panewu Sedasa hingga tahun 1844 dengan nama gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito. Kemudian ketika kakeknya wafat, atas usulan Gusti Buminata, Bagus Burhan menggantikan kedudukan kakeknya sebagai Pujangga Kraton Surakarta dengan gelar Kliwon Carik pada tanggal 14 September 1845 masih dengan nama gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito. Ternyata pada masa masa itu Raden Ngabehi Ronggowarsito mengalami cobaan yang silih berganti. Setelah wafatnya sang ayahanda di Batavia kemudian meninggalnya sang kakek, tahun 1847 beliau kehilangan putra kesayangannya yang meninggal dalam usia 10 tahun. Tidak beberapa lama Gusti Buminata yang sudah beliau anggap sebagai ayahandanya juga wafat. Tahun 1848 istri beliay RAy Gombak juga wafat dalam usia 47 tahun. Tahun 1852 ibundanya juga wafat. Tahun 1852 Raden Ngabehi Ronggowarsito menikah dengan putri Bupati Wonosobo. Silsilah Raden Ngabehi Ronggowarsito: Silsilah dari garis Ayah: Sultan Hadiwijaya menikah dengan putri Sultan Trenggana berputra: 1. Pangeran Adipati Benawa (Sultan Prabuwijaya), berputra: 2. Pangeran Emas, adipati di Pajang, berputra: 3. Pangeran Arya Prabuwijaya (Panembahan Raden), berputra: 4. Pangeran Arya Wiramanggala (Kajoran), berputra: 5. Pangeran Adipati Wiramanggala di Cengkalsewu, menantu Sinuhun Seda Tegalarum, berputra: 6. Pangeran Arya Danupaya di Cengkal Sewu, berputra: 7. Raden Tumenggung Padmanagara di Pekalongan, berputra: 8. Raden Ngabei Yasadipura I, berputra: 9. Raden Tumenggung Sastranagara (Yasadipura II atau Ronggowarsito I), berputra: 10. Raden Ngabehi Mas Pajang Swara (Ronggowarsito II), berputra: 11. Raden Ngabehi Ronggowarsito III (makam di Palar). Silsilah garis Ibu: 1. Sultan Trenggana menurunkan 2. Pangeran Tg Mangkurat menurunkan 3. Pangeran Tg Sujanapura menurunkan 4. RT Wongsoboyo menurunkan 5. Ki Ageng Wongsotaruna menurunkan 6. Ki Ageng Nayataruna menurunkan 7. Raden Ng Suradirja menurunkan 8. Raden Ngt Sastranegara / Ronggowarsito II menurunkan 9. Raden Ngabehi Ronggowarsito Garwa R Ngabehi Ronggowarsito 1. RAy Gombak, trah Sunan PB III & KGPAA MNI Menurunkan: 1. RM Panji Yosokusumo 2. RM Natawijaya 3. RM Ngabehi Sontodikoro 4. RM Ronggo Cakra Pranata 5. RAy Joyo Darsono 6. RAy Yoso Pranoto Beberapa karya sastra Raden Ngabehi Ronggowarsito: 1. Serat Jaya Baya 2. Serat Kalatidha 3. Serat Pustaka Raja Purwa 4. Serat Paramayoga 5. Serat Djoko Lodang 6. Serat Cemporet 7. Serat Wirid Hidayat Jati 8. Serat Witaradya 9. Serat Jiptasara 10 Serat Wedharaga 11. Serat Pamoring Kawula Gusti 12. Suluk Sukma Lelana 13. Aji Pamasa 14. Suluk Seloka Jiwa Serat Kalatidha: Amenangi jaman edan Ewuh aya ing pambudi Melu edan nora tahan Yen tan melu anglakoni Boya keduman melik Kaliren Wekasanipun Dilalah kersa Allah Begja-begjane kang lali Luwih begja kang eling lan waspada Serat Djoko Lodang ,pupuh Gambuh : Wong alim-alim pulasan Njaba putih njero kuning Ngulama mangsah maksiat Madat madon minum main Kaji-kaji ambataning Dulban kethu putih mamprung Wadon nir wadorina Prabaweng salaka rukmi Kabeh-kabeh mung marono tingalira "Banyak orang berlagak sok alim (penuh kepalsuan), luarnya “putih” dalamnya “kuning”, banyak ulama gemar maksiat. Suka mabuk, main perempuan, dan berjudi. Yang sudah naik haji pun rusak moral dan kelakuannya. Perempuan kehilangan kewanitaannya, karena mengejar harta benda. Harta benda menjadi tujuan hidup semua orang." Oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat

 RADEN NGABEHI RONGGOWARSITO



Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah Pujangga Kesusastraan Jawa Klasik dari Kraton Surakarta.

Beliau terlahir dengan nama Bagus Burhan pada hari Senin Legi tanggal 15 Maret 1802 di Dalem Yosodipuran Surakarta. Beliau wafat pada Rabu Pon  tanggal 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun dan dimakamkan di Desa Palar, Trucuk Klaten.

Sejak usia 2 tahun hingga 12 tahun Bagus Burhan diasuh oleh kakeknya Raden Ngabehi Yosodipuro II

Menginjak usia 12 tahun, pada tahun 1813 Bagus Burhan dikirim oleh kakeknya belajar ke pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo. Pesantren Gebang Tinatar diasuh oleh seorang guru kenamaan pada masanya yaitu Kyai Ageng Kasan Besari. Pada waktu awal belajar di Gebang Tinatar Bagus Burhan kurang tekun mengaji dan mempelajari bahasa Arab dan cenderung nakal, tetapi berkat bimbingan Kyai Kasan Besari, Bagus Burhan bisa meninggalkan sifat kenakalannya dan meningkatkan kemampuan rohaninya. Setelah selesai belajar di Pesantren Gebang Tinatar, tahun 1815 Bagus Burhan kembali ke Dalem Yosodipuran Surakarta dan diasuh kembali oleh kakeknya R Ng Yosodipuro II. Oleh kakeknya diajarkan seni budaya dan kesusastraan Jawa.

Selain itu Bagus Burhan juga berguru kepada Gusti Pangeran Buminata, adik dari Sunan Pakubuwana IV. Beliau belajar ilmu kanuragan dan jaya kawijayan. Setelah selesai berguru, tahun 1819 oleh Gusti Pangeran Buminata Bagus Burhan diabdikan ke Kraton Surakarta sebagai juru tulis, mengingat saat itu Gusti Buminata menjabat sebagai Kepala Administrasi Kraton Surakarta. Setahun menjadi juru tulis, tahun 1820 Sunan Pakubuwana IV wafat.

Pada usia 19 tahun, Bagus Burhan dinikahkan dengan Raden Ayu Gombak putri dari Bupati Kediri KRA Cakraningrat cucu dari Sunan Pakubuwana III juga putra dari Gusti Pangeran Buminata. Pernikahan dilaksanakan tanggal 19 November 1821 di Dalem Buminatan perayaan dilakukan 5 hari di Dalem Buminatan dan 5 hari di Dalem Yosodipuran. 30 hari kemudian kedua mempelai diboyong ke Kediri. Setelah beberapa hari tinggal di Kadipaten Kediri, Bagus Burhan memohon ijin untuk melanjutkan menuntut ilmu ditempat lain. Meski dengan berat hati Mertua dan Istri beliau mengijinkan Bagus Burhan untuk mengembara menuntut ilmu dan pengalaman hidup selagi masih muda. 

Pengembaraan Bagus Burhan diawali di Ngadiluwih, disana tinggal seorang pertapa bernama Ki Tunggul Wulung. Seorang pertapa yang bijaksana dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi. Bagus Burhan banyak menimba ilmu dari beliau hingga berkat kecerdasan ketekunan dan ketrampilan mempelajari ilmu kemudian oleh Ki Tunggul Wulung, Bagus Burhan disarankan berguru kepada Ki Ajar Wirakanta di Banyuwangi. Setelah belajar di Padepokan Ki Wirakanta, Bagus Burhan melanjutkan belajar ketempat guru Ki Wirakanta yaitu Ki Ajar Sidalaku di Tabanan Bali.Setelah selesai belajar di Tabanan, Bagus Burhan kembali pulang ke Kediri menemui istrinya yang telah ditinggalkan 7 bulan lamanya. Tidak lama tinggal di Kediri, beliau dipanggil oleh Gusti Buminata untuk pulang ke Surakarta karena beliau masih punya tanggung jawab sebagai juru tulis Kraton Surakarta. Kemudian berkat usaha Gusti Buminata, Bagus Burhan diangkat sebagai Abdi Dalem Carik di Kepatihan tertanggal 28 Oktober 1822. Atas jabatan barunya beliau mendapat nama gelar Ronggo Pujangga Anom. Tahun 1826 Ronggo Pujangga Anom dinaikkan pangkatnya menjadi Mantri Carik Kadipaten Anom dengan gelar Mas Ngabehi Surataka.

Ketika RT Sastranegara ayahanda beliau ditangkap Belanda dan dibawa ke Batavia, Bagus Burhan diangkat menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai Abdi Dalem Panewu Sedasa hingga tahun 1844 dengan nama gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito. Kemudian ketika kakeknya wafat, atas usulan Gusti Buminata, Bagus Burhan menggantikan kedudukan kakeknya sebagai Pujangga Kraton Surakarta dengan gelar Kliwon Carik pada tanggal 14 September 1845 masih dengan nama gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Ternyata pada masa masa itu Raden Ngabehi Ronggowarsito mengalami cobaan yang silih berganti. Setelah wafatnya sang ayahanda di Batavia kemudian meninggalnya sang kakek, tahun 1847 beliau kehilangan putra kesayangannya yang meninggal dalam usia 10 tahun. Tidak beberapa lama Gusti Buminata yang sudah beliau anggap sebagai ayahandanya juga wafat. Tahun 1848 istri beliay RAy Gombak juga wafat dalam usia 47 tahun. Tahun 1852 ibundanya juga wafat. 

Tahun 1852 Raden Ngabehi Ronggowarsito menikah dengan putri Bupati Wonosobo.


Silsilah Raden Ngabehi Ronggowarsito:


Silsilah dari garis Ayah:


Sultan Hadiwijaya  menikah dengan putri Sultan Trenggana berputra:

1. Pangeran Adipati Benawa (Sultan Prabuwijaya), berputra:

2. Pangeran Emas, adipati di Pajang, berputra:

3. Pangeran Arya Prabuwijaya (Panembahan Raden), berputra:

4. Pangeran Arya Wiramanggala (Kajoran), berputra:

5. Pangeran Adipati Wiramanggala di Cengkalsewu, menantu Sinuhun Seda Tegalarum, berputra:

6. Pangeran Arya Danupaya di Cengkal Sewu, berputra:

7. Raden Tumenggung Padmanagara di Pekalongan, berputra:

8. Raden Ngabei Yasadipura I, berputra:

9. Raden Tumenggung Sastranagara (Yasadipura II atau Ronggowarsito I), berputra:

10. Raden Ngabehi Mas Pajang Swara (Ronggowarsito II), berputra:

11. Raden Ngabehi Ronggowarsito III (makam di Palar).


Silsilah garis Ibu:

1. Sultan Trenggana menurunkan

2. Pangeran Tg Mangkurat menurunkan

3. Pangeran Tg Sujanapura  menurunkan 

4. RT Wongsoboyo menurunkan 

5. Ki Ageng Wongsotaruna menurunkan 

6. Ki Ageng Nayataruna menurunkan 

7. Raden  Ng Suradirja menurunkan  

8. Raden  Ngt Sastranegara / Ronggowarsito II menurunkan

9. Raden Ngabehi Ronggowarsito


Garwa R Ngabehi Ronggowarsito

1. RAy Gombak, trah Sunan PB III & KGPAA MNI

Menurunkan:

1. RM Panji Yosokusumo

2. RM Natawijaya

3. RM Ngabehi Sontodikoro

4. RM Ronggo Cakra Pranata

5. RAy Joyo Darsono

6. RAy Yoso Pranoto


Beberapa karya sastra Raden Ngabehi Ronggowarsito:

1. Serat Jaya Baya

2. Serat Kalatidha

3. Serat Pustaka Raja Purwa

4. Serat Paramayoga

5. Serat Djoko Lodang

6. Serat Cemporet

7. Serat Wirid Hidayat Jati

8. Serat Witaradya

9. Serat Jiptasara

10 Serat Wedharaga

11. Serat Pamoring Kawula Gusti

12. Suluk Sukma Lelana

13. Aji Pamasa

14. Suluk Seloka Jiwa


Serat Kalatidha:

Amenangi jaman edan

Ewuh aya ing pambudi

Melu edan nora tahan

Yen tan melu anglakoni

Boya keduman melik

Kaliren Wekasanipun

Dilalah kersa Allah

Begja-begjane kang lali

Luwih begja kang eling lan waspada


Serat Djoko Lodang ,pupuh Gambuh :

Wong alim-alim pulasan

Njaba putih njero kuning

Ngulama mangsah maksiat

Madat madon minum main

Kaji-kaji ambataning

Dulban kethu putih mamprung

Wadon nir wadorina

Prabaweng salaka rukmi

Kabeh-kabeh mung marono tingalira


"Banyak orang berlagak sok alim (penuh kepalsuan), luarnya “putih” dalamnya “kuning”, banyak ulama gemar maksiat. Suka mabuk, main perempuan, dan berjudi. Yang sudah naik haji pun rusak moral dan kelakuannya. Perempuan kehilangan kewanitaannya, karena mengejar harta benda. Harta benda menjadi tujuan hidup semua orang."


Oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat

ASTANA LAWEYAN KOMPLEK MAKAM KI AGENG HENIS Komplek makam tersebut terletak di Kampung Belukan Laweyan Surakarta. Jadi terkadang ada yang menyebutnya Astana Laweyan. Komplek makam tersebut awal mulanya adalah rumah tinggal sekaligus padepokan seorang Pembesar Kraton Pajang yaitu Ki Ageng Henis. Di area komplek makam masih ada tanah yang dulunya digunakan sebagai tempat sholat dan meditasi Ki Ageng Henis. Ki Ageng Henis adalah putra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Henis adalah Ayahanda Ki Ageng Pemanahan. Di dalam komplek tersebut banyak dimakamkan tokoh tokoh Mataram juga keluarga dari Kraton Kasunanan Surakarta. Yang dimakamkan disana antara lain : A. Gedhong Utama 1. Kangjeng Pangeran Kusumadilaga. 2. Garwa Kusumadilagan. 3. Raden Mas Manjung, putra Sultan Pajang. 4. Nyai Ageng Pandhanaran. 5. Kiyai Ageng Henis. 6. Nyai Ageng Pathi. 7. Kiyai Ageng Ngerang III 8. Nyai Ageng Ngerang III 9. Kangjeng Gusti Pangeran Arya Prabu Wijaya, putra Dalem Ingkang Sinuhun kaping IX. 10. Nyai Ageng Saba ( Ibunda Ki Juru Mertani ) 11. Ingkang Sinuhun Pakubuwana II. 12. KGPH Mangkubumi ( Putra Sunan PB III ) 13. Nyai Ageng Suwakul(Putri Ki Ageng Henis) 14. Kangjeng Pangeran Suryapura. 15 - 17. Tidak diketahui. 18. Gusti Sudarmaji, putra dalem Ingkang Sinuhun kaping IX. 19 - 32. Tidak diketahui. 33. Raden Ayu Gedhong. 34 - 36. Tidak diketahui. 37. Kangjeng Pangeran Kali Abu. 38. Garwanipun Kangjeng Pangeran Kali Abu. 39. BRAy Adipati Anom Garwa Sinuhun PB IV 40 - 44. Tidak diketahui. 45. Raden Arya Partahudaya. 46 - 48. Tidak diketahui. 49. Kangjeng Pangeran Kusumayuda. 50. Raden Tumenggung Sasrasebrata. 51 - 52. Tidak diketahui. 53. Kangjeng Pangeran Wijil. 54 - 65. Tidak diketahui. 66. Raden Ayu Cakrawijaya. 67. Kiyai Ageng Ros. 68. Raden Ayu Sasradiningrat. 69 - 71. Tidak diketahui. 72. Kiyai Ageng Kata-kate. 73 - 91. Tidak diketahui. 92. Raden Ayu Natabrata. 93 - 96. Tidak diketahui. 97. Raden Ayu Purwadiningrat, putra Jurumartanen kaping I. 98 - 99. Tidak diketahui. 100. Raden Ayu Tirtawijaya. 101. Raden Ayu Sasrawijaya, putra Padmanagaran. 102 - 114. Tidak diketahui. 115. Kangjeng Pangeran Panji Satriyan 116 - 125. Tidak diketahui. 126. Raden Ayu Pringgalaya. 127 - 129. Tidak diketahui. 130. Kiyai Ageng Plembah. 131 - 156. Tidak diketahui. 157. Kangjeng Pangeran Adikusuma 158 - 161. Tidak diketahui 162. Raden Ayu Suryadipura, putra Ngadikusuman, wayah dalem Sinuhun Pakubuwana IV. 163. Tidak diketahui. 164. Natadilagan. 165 - 170. Tidak diketahui. 171. Rahaden Asmaraningsih. 172 - 173. Tidak diketahui. 174. Raden Mas Panji Ranukusuma, putra Kangjeng Pangeran Cakrakusuma 175 - 186. Tidak diketahui. 187. Raden Ayu Sasrasebrata. 188 - 189. Tidak diketahui. 190. Kangjeng Pangeran Bondhan. 191. Tidak diketahui. 192. Raden Retna Pandhansari, ingkang bibi Kangjeng Pangeran Arya Panular. 193 - 194. Tidak diketahui. 195. Raden Ayu Adikusuma. 196 - 216. Tidak diketahui. 217. Raden Ayu Pangeran Panji Kasatriyan, garwa nem. 218 - 225. Tidak diketahui. 226. Raden Riya Atmaja, putra Panularan. 227 - 256. Tidak diketahui. 257. Raden Mas Arya Wiraatmaja, putra Panularan. 258 - 263. Tidak diketahui. 264. Kangjeng Ratu Dipati. 265 - 281. Tidak diketahui. 282. Bandara Raden Ayu Kusumabrata, putra Pangeran Adipati Sumayuda. 283 - 301. Tidak diketahui. 302. Raden Dirjadipura. 303 - 368. Tidak diketahui. 369. Raden Mas Suryakusuma 370 - 394. Tidak diketahui. 395. Raden Ayu Sasrakusuma, Garwa Ampil Sinuhun PB V, Beliau Ibu Sinuhun PB VI. 396 - 400. Tidak diketahui. B. Gedhong II 1. Tidak diketahui. 2. Raden Mas Kudatilarsa. 3 - 5. Tidak diketahui. 6. RadEn Ajeng Sukari. 7 - 18. Tidak diketahui. 19. Raden Mas Panji Puspadirja. 20 - 50. Tidak diketahui. 51. Raden Mas Arya Mangkuwinata, putra Mangkubumen kaping I. 52. Raden Ayu Wiryadiningrat. 53 - 112. Tidak diketahui. 113. Ngabei Puspadiwongsa. 114 - 126. Tidak diketahui. 127. Raden Mas Panji Partadipura. 128 - 138. Tidak diketahui. 139. Raden Tumenggung Jayengrana. 140 - 189. Tidak diketahui. 190. Bok Ajeng Bei Puspadiwongsa. 191. Tidak diketahui. 192. Mas Ayu Puspaningsih, garwa ampil Purbanagaran. 193 - 197. Tidak diketahui. 198. Raden Ngabei Wiryadipura. 199. Raden Suma, kalangenan Panularan kaping I. 200 - 207. Tidak diketahui. 208. Raden Tirtadiwirya. 209 - 215. Tidak diketahui. 216. Raden Nganten Wongsadikrama 217. Nyai Tumenggung Secanama. 218 - 232. Tidak diketahui. C. Gedhong III. 1 - 9. Tidak diketahui. 10. KPH Purbanagara, putra KGPAA MN I 11. Kangjeng Pangeran Pamenang. 12 - 15. Tidak diketahui. 16. Raden Mas Panji Tejakusuma. 17. Raden Mas Arya Jayengtilam. 18. Tidak diketahui. 19. Raden Ayu Tumenggung Mangkuyuda kaping I. 20. Raden Ayu Pringgawinata. 21 - 26. Tidak diketahui. 27. Raden Ajeng Kenil, putra Sindusenan. 28. Tidak diketahui. 29. Bandara Mayor Panji Kartawinata. 30 - 31. Tidak diketahui. 32. Bok Jeng Daya, ing Mangkuprajan. 33 - 34. Tidak diketahui. 35. Kangjeng Ratu Pakubuwana, garwa dalem Sinuhun Pakubuwana VIII. 36. Raden Tumenggung Tondhanagara. 37. Garwa Tondhanagaran. 38. Bandara Raden Ajeng Siti Amamah, putra Sinuhun Pakubuwana IX. 39. Kangjeng Pangeran Adikusuma, putra Sinuhun Pakubuwana IX. 40. Raden Ayu Werdiningrum, ampil dalem Sinuhun Pakubuwana IX. 41. Tidak diketahui. 42. Raden Among Karpa, palihan dalem Sinuhun Pakubuwana VI. 43. Raden Atmawiraga. 44 - 48. Tidak diketahui. 49. Raden Mas Arya Suryamarjaya. 50. Raden Panji Purbatenaya. 51 - 54. Tidak diketahui. 55. Raden Mas Arya Jayaningrat. 56 - 57. Tidak diketahui. 58. Raden Mas Arya Singacakra. 59 - 61. Tidak diketahui. 62. Kangjeng Pangeran Singasari kaping II. 63 - 67. Tidak diketahui. 68. Raden Mayor Surawinata. 69. Tidak diketahui. 70. Raden Ayu Jayakusuma kaping II. 71 - 83. Tidak diketahui. 84. Bandara Raden Ajeng Pregiwati, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X. 85. Bandara Raden Ajeng Kusmardinah, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X. 86. Tidak diketahui. 87. Bandara Raden Ajeng Kusmartaniyah, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X. 88 - 90. Tidak diketahui. 91. Raden Ayu Arya Kusuma, putra Purbanagaran. 92. Tidak diketahui. 93. Raden Tumenggung Tirtakusuma, putra Tirtanatan. 94. Ngabei Kertayuda ping I, Jimat Lawiyan. 95. Raden Panji Jayengrana, Panaraga. 96. Ngabei Kêrtamênggala ping II, Jimat Lawiyan. 97. Tidak diketahui. 98. Mas Ajeng Dipayuda, embanipun Kangjeng Ratu Kadhaton. 99 - 105. Tidak diketahui. 106. Raden Ayu Martanaya. 107 - 110.Tidak diketahui. 111. Raden Ayu Tumenggung Suradipraja. 112. Raden Tumenggung Sasradipura, putranipun Raden Tumenggung Wirapraja. 113 - 116. Tidak diketahui. 117. Raden Ayu Suradimeja. 118 - 120. Tidak diketahui. 121. Raden Ayu Sewakusuma. 122. Tidak diketahui. 123. Raden Ayu Sumadirja, ingkang ibu Raden Tumenggung Kartanagara. 124 - 127. Tidak diketahui. 128. Raden Nganten Cakradimeja. 129. Raden Rongga Atmasudigbya. 130. Tidak diketahui. 31. Raden Riya Kusuma, putra Mangkubumen kaping II. 132. Raden Ayu Riya Kusuma. 133 - 134. Tidak diketahui. 135. Arjapati. 136 - 137. Tidak diketahui. 138. Bandara Raden Mas Munandar, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X. 139 - 143. Tidak diketahui. 144. Raden Ngabei Purbasentana. 145. Bandara Raden Ayu Arya Blater. 146. Raden Atmasuwignya. 147. Raden Ayu Atmasuwignya. 148. Bok Bei Reksadirja sepuh. 149. Ngabei Reksadirja. 150. Raden Nganten Mangunjaya. 151. Raden Atmasentana. 152. Raden Nganten Atmasentana. 153 - 155. Tidak diketahui. 156. Nyai emban Trunamenggala. 157 - 158. Tidak diketahui. 159. Raden Ngabei Sastrakusuma. 160 - 164. Tidak diketahui. 165. Raden Ayu Tumenggung Wirapraja. 166 - 169. Tidak diketahui. 170. Raden Tumenggung Kartanagara 170 - 175. Tidak diketahui. 176. Raden Ayu Purbasetaka. 177. Raden Ayu Tirtapraja. 178. Nyai Ajeng Martadika. 179 - 181. Tidak diketahui. 182. Mas Ajeng Tirtadirja. 183. Raden Ajeng Rebo. 184. Tidak diketahui. 185. Raden Ayu Tumenggung Sumanagara, ing Samarata. 186 - 191. Tidak diketahui. 192. Raden Ayu Purbadiwirya, putra Panularan. 193. Raden Ayu Tirtaatmaja, putra Panularan. 194. Nyai Mas Ayu Wardaya. 195. Nyai Wirakusuma. 196 - 197. Tidak diketahui. 198. Wanengsukendra. 199 - 208. Tidak diketahui. 209. Raden Panji Wiraatmaja. 210. Raden Mas Panji Kusumawijaya. 211. Raden Ngabei Wirakusuma. 212. Kangjeng Pangeran Sontakusuma kaping II. 213 - 218. Tidak diketahui. 219. Raden Panji Wiraatmaja. 220 - 222. Tidak diketahui. 223. Raden Ngabei Sastrareja. 224 - 227. Tidak diketahui. 228. Raden Nganten Jayadimurti. 229. Tidak diketahui. 230. Bok Atmareja. 231. Raden Atmareja. 232 - 241. Tidak diketahui. 242. Mas Nitimenggala. 243 - 249. Tidak diketahui. 250. Bokmas Nitimenggala. 251. Rongga Surameja. 252. Raden Mas Panji Natawijaya. 253. Garwa Natawijayan. 254 - 255. Tidak diketahui. 256. Ngabei Yudajaya. 257 - 262. Tidak diketahui. 263. Raden Panji Cakrapranata. 264 - 265. Tidak diketahui. 266. Nitireja. 267 - 269. Tidak diketahui. 270. Mas Tandho. 271 - 275. Tidak diketahui. 276. Raden Nganten Mayor Jayawinata 277 - 282. Tidak diketahui. 283. Raden Panji Jayengkusuma. 284 - 288. Tidak diketahui. 289. Raden Lurah Atmarujita. 290 - 295. Tidak diketahui. 296. Mas Ajeng Wirasewaya, selir Panularan. 297. Raden Ayu Tumenggung Dirjakusuma, putra Sumabratan. 298 - 302. Tidak diketahui. 303. Raden Ayu Singatanaya. 304 - 324. Tidak diketahui. 325. Raden Ayu Jayakusuma. 326 - 329. Tidak diketahui 330. Raden Mas Riya Jayeng Subrata. 331 - 339. Tidak diketahui. 340. Raden Retnaningsih. 341. Tidak diketahui. 342. Bok Bei Kartapradata. 343. Raden Atmawiraga kaping III. 344 - 350. Tidak diketahui. 351. Ngabei Resawijaya. 352. Raden Ayu Sastradipura. 353. Tidak diketahui. 354. Mas Wiryareja. 355 - 364. Tidak diketahui. 365. Den Mas Beyo. 366 - 370. Tidak diketahui. 371. Raden Ajeng Satari. 372 - 375. Tidak diketahui. 376. Nyai Andonpinilih. 377 - 387. Tidak diketahui. 388. Rongga Karyawecana. 389. Tidak diketahui. 390. Nyai Itun. 391 - 393. Tidak diketahui. 394. Raden Mas Wiryasubrata. 395. Tidak diketahui. 396. Mas Ajeng Ranadimeja. 397. Raden Mas Panji Ranudipura. 398 - 404. Tidak diketahui. 405. Raden Lurah Puspawinata. 406 - 425. Tidak diketahui. 426. Raden Nganten Puspasonta. 427 - 433. Tidak diketahui. 434. Mas Ayu Selaresmi. 435 - 439. Tidak diketahui. 440. Raden Ayu Mangkudiwirya. 441 - 447. Tidak diketahui. 448. Raden Ayu Sumapranata. 449 - 454. Tidak diketahui. 455. Kyai Andonpinilih. 456 - 465. Tidak diketahui. D. Gedhong IV. 1. Bandara Raden Mas Sutrena, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X. 2. Ngabei Kartapradata. 3. Tidak diketahui. 4. Kangjeng Pangeran Pringgakusuma. 5. Kangjeng Pangeran Pringgalaya, wayah dalem Sinuhun Pakubuwana IX, putra Pakuningrat. 6. Ngabei Wiryawigata. 7. Raden Nganten Jaksapradata. 8. Raden Ayu Atmamarmadi. 9. Raden Mas Waluya. 10. Raden Mas Panji Mangkudilaga. 11. Raden Mas Panji Wiryakusuma. 12. Raden Mas Panji Tejakusuma. 13. Raden Ayu Pringgawidagda. 14. Raden Ayu Mayor Prawiranata. 15. Raden Mas Panji Mangkutaruna. 16 - 23. Tidak diketahui. 24. Raden Ayu Setrawijaya, putra Sumabratan kaping II. 25 - 35. Tidak diketahui. 36. Raden Mas Panji Jayengasmara. 37. Raden Mas Panji Dipadarsana. 38. Raden Mas Kapitan Jayengtilam. 39. Raden Ayu Sumaatmaja. 40. Raden Mas Panji Tejatenaya. 41 - 44. Tidak diketahui. 45. Raden Mayor Apanji Jayawinata. 46 - 48. Tidak diketahui. 49. Raden Ayu Purwadarsana, putra Kusumabratan. 50. Kangjeng Pangeran Kusumabrata kaping II. 51. Raden Mas Mayor Arjawinata. 52. Tidak diketahui. 53. Raden Ayu Karyaatmaja. 54. Tidak diketahui. 55. Raden Mayor Jayawinata kaping III. 56. Tidak diketahui. E. Cepuri Bangsal. 1. Nyai Adipati Sedhahmirah. 2. Tidak diketahui. 3. Danuwinatan. 4. Nayawindu. NB: Mohon maaf jika daftar nama yang dimakamkan disana masih kurang lengkap. Semoga kami bisa melengkapi.

 ASTANA LAWEYAN

KOMPLEK MAKAM KI AGENG HENIS



Komplek makam tersebut terletak di Kampung Belukan Laweyan Surakarta. Jadi terkadang ada yang menyebutnya Astana Laweyan.


Komplek makam tersebut awal mulanya adalah rumah tinggal sekaligus padepokan seorang Pembesar Kraton Pajang yaitu Ki Ageng Henis.

Di area komplek makam masih ada tanah yang dulunya digunakan sebagai tempat sholat dan meditasi Ki Ageng Henis.


Ki Ageng Henis adalah putra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Henis adalah Ayahanda Ki Ageng Pemanahan.


Di dalam komplek tersebut banyak dimakamkan tokoh tokoh Mataram juga keluarga dari Kraton Kasunanan Surakarta.


Yang dimakamkan disana antara lain :


A. Gedhong Utama

1. Kangjeng Pangeran Kusumadilaga.

2. Garwa Kusumadilagan.

3. Raden Mas Manjung, putra Sultan Pajang.

4. Nyai Ageng Pandhanaran.

5. Kiyai Ageng Henis.

6. Nyai Ageng Pathi.

7. Kiyai Ageng Ngerang III

8. Nyai Ageng Ngerang III

9. Kangjeng Gusti Pangeran Arya Prabu Wijaya, putra Dalem Ingkang Sinuhun kaping IX.

10. Nyai Ageng Saba ( Ibunda Ki Juru Mertani )

11. Ingkang Sinuhun Pakubuwana II.

12. KGPH Mangkubumi ( Putra Sunan PB III )

13. Nyai Ageng Suwakul(Putri Ki Ageng Henis)

14. Kangjeng Pangeran Suryapura.

15 - 17. Tidak diketahui.

18. Gusti Sudarmaji, putra dalem Ingkang Sinuhun kaping IX.

19 - 32. Tidak diketahui.

33. Raden Ayu Gedhong.

34 - 36. Tidak diketahui.

37. Kangjeng Pangeran Kali Abu.

38. Garwanipun Kangjeng Pangeran Kali Abu.

39. BRAy Adipati Anom Garwa Sinuhun PB IV

40 - 44. Tidak diketahui.

45. Raden Arya Partahudaya.

46 - 48. Tidak diketahui.

49. Kangjeng Pangeran Kusumayuda.

50. Raden Tumenggung Sasrasebrata.

51 - 52. Tidak diketahui.

53. Kangjeng Pangeran Wijil.

54 - 65. Tidak diketahui.

66. Raden Ayu Cakrawijaya.

67. Kiyai Ageng Ros.

68. Raden Ayu Sasradiningrat.

69 - 71. Tidak diketahui.

72. Kiyai Ageng Kata-kate.

73 - 91. Tidak diketahui.

92. Raden Ayu Natabrata.

93 - 96. Tidak diketahui.

97. Raden Ayu Purwadiningrat, putra Jurumartanen kaping I.

98 - 99. Tidak diketahui.

100. Raden Ayu Tirtawijaya.

101. Raden Ayu Sasrawijaya, putra Padmanagaran.

102 - 114. Tidak diketahui.

115. Kangjeng Pangeran Panji Satriyan

116 - 125. Tidak diketahui.

126. Raden Ayu Pringgalaya.

127 - 129. Tidak diketahui.

130. Kiyai Ageng Plembah.

131 - 156. Tidak diketahui.

157. Kangjeng Pangeran Adikusuma

158 - 161. Tidak diketahui

162. Raden Ayu Suryadipura, putra Ngadikusuman, wayah dalem Sinuhun Pakubuwana IV.

163. Tidak diketahui.

164. Natadilagan.

165 - 170. Tidak diketahui.

171. Rahaden Asmaraningsih.

172 - 173. Tidak diketahui.

174. Raden Mas Panji Ranukusuma, putra Kangjeng Pangeran Cakrakusuma

175 - 186. Tidak diketahui.

187. Raden Ayu Sasrasebrata.

188 - 189. Tidak diketahui.

190. Kangjeng Pangeran Bondhan.

191. Tidak diketahui.

192. Raden Retna Pandhansari, ingkang bibi Kangjeng Pangeran Arya Panular.

193 - 194. Tidak diketahui.

195. Raden Ayu Adikusuma.

196 - 216. Tidak diketahui.

217. Raden Ayu Pangeran Panji Kasatriyan, garwa nem.

218 - 225. Tidak diketahui.

226. Raden Riya Atmaja, putra Panularan.

227 - 256. Tidak diketahui.

257. Raden Mas Arya Wiraatmaja, putra Panularan.

258 - 263. Tidak diketahui.

264. Kangjeng Ratu Dipati.

265 - 281. Tidak diketahui.

282. Bandara Raden Ayu Kusumabrata, putra Pangeran Adipati Sumayuda.

283 - 301. Tidak diketahui.

302. Raden Dirjadipura.

303 - 368. Tidak diketahui.

369. Raden Mas Suryakusuma

370 - 394. Tidak diketahui.

395. Raden Ayu Sasrakusuma, Garwa Ampil Sinuhun PB V, Beliau Ibu Sinuhun PB VI.

396 - 400. Tidak diketahui.


B. Gedhong II

1. Tidak diketahui.

2. Raden Mas Kudatilarsa.

3 - 5. Tidak diketahui.

6. RadEn Ajeng Sukari.

7 - 18. Tidak diketahui.

19. Raden Mas Panji Puspadirja.

20 - 50. Tidak diketahui.

51. Raden Mas Arya Mangkuwinata, putra Mangkubumen kaping I.

52. Raden Ayu Wiryadiningrat.

53 - 112. Tidak diketahui.

113. Ngabei Puspadiwongsa.

114 - 126. Tidak diketahui.

127. Raden Mas Panji Partadipura.

128 - 138. Tidak diketahui.

139. Raden Tumenggung Jayengrana.

140 - 189. Tidak diketahui.

190. Bok Ajeng Bei Puspadiwongsa.

191. Tidak diketahui.

192. Mas Ayu Puspaningsih, garwa ampil Purbanagaran.

193 - 197. Tidak diketahui.

198. Raden Ngabei Wiryadipura.

199. Raden Suma, kalangenan Panularan kaping I.

200 - 207. Tidak diketahui.

208. Raden Tirtadiwirya.

209 - 215. Tidak diketahui.

216. Raden Nganten Wongsadikrama

217. Nyai Tumenggung Secanama.

218 - 232. Tidak diketahui.


C. Gedhong III.

1 - 9. Tidak diketahui.

10. KPH Purbanagara, putra KGPAA MN I

11. Kangjeng Pangeran Pamenang.

12 - 15. Tidak diketahui.

16. Raden Mas Panji Tejakusuma.

17. Raden Mas Arya Jayengtilam.

18. Tidak diketahui.

19. Raden Ayu Tumenggung Mangkuyuda kaping I.

20. Raden Ayu Pringgawinata.

21 - 26. Tidak diketahui.

27. Raden Ajeng Kenil, putra Sindusenan.

28. Tidak diketahui.

29. Bandara Mayor Panji Kartawinata.

30 - 31. Tidak diketahui.

32. Bok Jeng Daya, ing Mangkuprajan.

33 - 34. Tidak diketahui.

35. Kangjeng Ratu Pakubuwana, garwa dalem Sinuhun Pakubuwana VIII.

36. Raden Tumenggung Tondhanagara.

37. Garwa Tondhanagaran.

38. Bandara Raden Ajeng Siti Amamah, putra Sinuhun Pakubuwana IX.

39. Kangjeng Pangeran Adikusuma, putra Sinuhun Pakubuwana IX.

40. Raden Ayu Werdiningrum, ampil dalem Sinuhun Pakubuwana IX.

41. Tidak diketahui.

42. Raden Among Karpa, palihan dalem Sinuhun Pakubuwana VI.

43. Raden Atmawiraga.

44 - 48. Tidak diketahui.

49. Raden Mas Arya Suryamarjaya.

50. Raden Panji Purbatenaya.

51 - 54. Tidak diketahui.

55. Raden Mas Arya Jayaningrat.

56 - 57. Tidak diketahui.

58. Raden Mas Arya Singacakra.

59 - 61. Tidak diketahui.

62. Kangjeng Pangeran Singasari kaping II.

63 - 67. Tidak diketahui.

68. Raden Mayor Surawinata.

69. Tidak diketahui.

70. Raden Ayu Jayakusuma kaping II.

71 - 83. Tidak diketahui.

84. Bandara Raden Ajeng Pregiwati, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X.

85. Bandara Raden Ajeng Kusmardinah, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X.

86. Tidak diketahui.

87. Bandara Raden Ajeng Kusmartaniyah, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X.

88 - 90. Tidak diketahui.

91. Raden Ayu Arya Kusuma, putra Purbanagaran.

92. Tidak diketahui.

93. Raden Tumenggung Tirtakusuma, putra Tirtanatan.

94. Ngabei Kertayuda ping I, Jimat Lawiyan.

95. Raden Panji Jayengrana, Panaraga.

96. Ngabei Kêrtamênggala ping II, Jimat Lawiyan.

97. Tidak diketahui.

98. Mas Ajeng Dipayuda, embanipun Kangjeng Ratu Kadhaton.

99 - 105. Tidak diketahui.

106. Raden Ayu Martanaya.

107 - 110.Tidak diketahui.

111. Raden Ayu Tumenggung Suradipraja.

112. Raden Tumenggung Sasradipura, putranipun Raden Tumenggung Wirapraja.

113 - 116. Tidak diketahui.

117. Raden Ayu Suradimeja.

118 - 120. Tidak diketahui.

121. Raden Ayu Sewakusuma.

122. Tidak diketahui.

123. Raden Ayu Sumadirja, ingkang ibu Raden Tumenggung Kartanagara.

124 - 127. Tidak diketahui.

128. Raden Nganten Cakradimeja.

129. Raden Rongga Atmasudigbya.

130. Tidak diketahui.

31. Raden Riya Kusuma, putra Mangkubumen kaping II.

132. Raden Ayu Riya Kusuma.

133 - 134. Tidak diketahui.

135. Arjapati.

136 - 137. Tidak diketahui.

138. Bandara Raden Mas Munandar, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X.

139 - 143. Tidak diketahui.

144. Raden Ngabei Purbasentana.

145. Bandara Raden Ayu Arya Blater.

146. Raden Atmasuwignya.

147. Raden Ayu Atmasuwignya.

148. Bok Bei Reksadirja sepuh.

149. Ngabei Reksadirja.

150. Raden Nganten Mangunjaya.

151. Raden Atmasentana.

152. Raden Nganten Atmasentana.

153 - 155. Tidak diketahui.

156. Nyai emban Trunamenggala.

157 - 158. Tidak diketahui.

159. Raden Ngabei Sastrakusuma.

160 - 164. Tidak diketahui.

165. Raden Ayu Tumenggung Wirapraja.

166 - 169. Tidak diketahui.

170. Raden Tumenggung Kartanagara

170 - 175. Tidak diketahui.

176. Raden Ayu Purbasetaka.

177. Raden Ayu Tirtapraja.

178. Nyai Ajeng Martadika.

179 - 181. Tidak diketahui.

182. Mas Ajeng Tirtadirja.

183. Raden Ajeng Rebo.

184. Tidak diketahui.

185. Raden Ayu Tumenggung Sumanagara, ing Samarata.

186 - 191. Tidak diketahui.

192. Raden Ayu Purbadiwirya, putra Panularan.

193. Raden Ayu Tirtaatmaja, putra Panularan.

194. Nyai Mas Ayu Wardaya.

195. Nyai Wirakusuma.

196 - 197. Tidak diketahui.

198. Wanengsukendra.

199 - 208. Tidak diketahui.

209. Raden Panji Wiraatmaja.

210. Raden Mas Panji Kusumawijaya.

211. Raden Ngabei Wirakusuma.

212. Kangjeng Pangeran Sontakusuma kaping II.

213 - 218. Tidak diketahui.

219. Raden Panji Wiraatmaja.

220 - 222. Tidak diketahui.

223. Raden Ngabei Sastrareja.

224 - 227. Tidak diketahui.

228. Raden Nganten Jayadimurti.

229. Tidak diketahui.

230. Bok Atmareja.

231. Raden Atmareja.

232 - 241. Tidak diketahui.

242. Mas Nitimenggala.

243 - 249. Tidak diketahui.

250. Bokmas Nitimenggala.

251. Rongga Surameja.

252. Raden Mas Panji Natawijaya.

253. Garwa Natawijayan.

254 - 255. Tidak diketahui.

256. Ngabei Yudajaya.

257 - 262. Tidak diketahui.

263. Raden Panji Cakrapranata.

264 - 265. Tidak diketahui.

266. Nitireja.

267 - 269. Tidak diketahui.

270. Mas Tandho.

271 - 275. Tidak diketahui.

276. Raden Nganten Mayor Jayawinata

277 - 282. Tidak diketahui.

283. Raden Panji Jayengkusuma.

284 - 288. Tidak diketahui.

289. Raden Lurah Atmarujita.

290 - 295. Tidak diketahui.

296. Mas Ajeng Wirasewaya, selir Panularan.

297. Raden Ayu Tumenggung Dirjakusuma, putra Sumabratan.

298 - 302. Tidak diketahui.

303. Raden Ayu Singatanaya.

304 - 324. Tidak diketahui.

325. Raden Ayu Jayakusuma.

326 - 329. Tidak diketahui

330. Raden Mas Riya Jayeng Subrata.

331 - 339. Tidak diketahui.

340. Raden Retnaningsih.

341. Tidak diketahui.

342. Bok Bei Kartapradata.

343. Raden Atmawiraga kaping III.

344 - 350. Tidak diketahui.

351. Ngabei Resawijaya.

352. Raden Ayu Sastradipura.

353. Tidak diketahui.

354. Mas Wiryareja.

355 - 364. Tidak diketahui.

365. Den Mas Beyo.

366 - 370. Tidak diketahui.

371. Raden Ajeng Satari.

372 - 375. Tidak diketahui.

376. Nyai Andonpinilih.

377 - 387. Tidak diketahui.

388. Rongga Karyawecana.

389. Tidak diketahui.

390. Nyai Itun.

391 - 393. Tidak diketahui.

394. Raden Mas Wiryasubrata.

395. Tidak diketahui.

396. Mas Ajeng Ranadimeja.

397. Raden Mas Panji Ranudipura.

398 - 404. Tidak diketahui.

405. Raden Lurah Puspawinata.

406 - 425. Tidak diketahui.

426. Raden Nganten Puspasonta.

427 - 433. Tidak diketahui.

434. Mas Ayu Selaresmi.

435 - 439. Tidak diketahui.

440. Raden Ayu Mangkudiwirya.

441 - 447. Tidak diketahui.

448. Raden Ayu Sumapranata.

449 - 454. Tidak diketahui.

455. Kyai Andonpinilih.

456 - 465. Tidak diketahui.


D. Gedhong  IV.

1. Bandara Raden Mas Sutrena, putra dalem Sinuhun Pakubuwana X.

2. Ngabei Kartapradata.

3. Tidak diketahui.

4. Kangjeng Pangeran Pringgakusuma.

5. Kangjeng Pangeran Pringgalaya, wayah dalem Sinuhun Pakubuwana IX, putra Pakuningrat.

6. Ngabei Wiryawigata.

7. Raden Nganten Jaksapradata.

8. Raden Ayu Atmamarmadi.

9. Raden Mas Waluya.

10. Raden Mas Panji Mangkudilaga.

11. Raden Mas Panji Wiryakusuma.

12. Raden Mas Panji Tejakusuma.

13. Raden Ayu Pringgawidagda.

14. Raden Ayu Mayor Prawiranata.

15. Raden Mas Panji Mangkutaruna.

16 - 23. Tidak diketahui.

24. Raden Ayu Setrawijaya, putra Sumabratan kaping II.

25 - 35. Tidak diketahui.

36. Raden Mas Panji Jayengasmara.

37. Raden Mas Panji Dipadarsana.

38. Raden Mas Kapitan Jayengtilam.

39. Raden Ayu Sumaatmaja.

40. Raden Mas Panji Tejatenaya.

41 - 44. Tidak diketahui.

45. Raden Mayor Apanji Jayawinata.

46 - 48. Tidak diketahui.

49. Raden Ayu Purwadarsana, putra Kusumabratan.

50. Kangjeng Pangeran Kusumabrata kaping II.

51. Raden Mas Mayor Arjawinata.

52. Tidak diketahui.

53. Raden Ayu Karyaatmaja.

54. Tidak diketahui.

55. Raden Mayor Jayawinata kaping III. 56. Tidak diketahui.


E. Cepuri Bangsal.

1. Nyai Adipati Sedhahmirah.

2. Tidak diketahui.

3. Danuwinatan.

4. Nayawindu.


NB: Mohon maaf jika daftar nama yang dimakamkan disana masih kurang lengkap.

Semoga kami bisa melengkapi.

27 November 2025

PANGERAN PURBAYA Berawal dari munculnya " Wahyu Gagak Emprit " akhirnya Ki Ageng Pemanahan mengambil jalan tengah yaitu menjodohkan Danang Sutawijaya putranya dengan Niken Purwasari / Rara Lembayung putri dari Ki Ageng Giring III. Akhirnya pernikahan antara Niken Purwasari & Danang Sutawijaya pun berlangsung meski sebenarnya Danang Sutawijaya tidak tertarik dengan Niken Purwasari.Pernikahan berlangsung di rumah Ki Ageng Giring III. Beberapa minggu setelah pernikahan, Danang Sutawijaya meninggalkan istrinya kembali ke Pajang. Sebelum kembali beliau meninggalkan sebuah keris tanpa warangka. Sembilan bulan tlah berlalu, Niken Purwasari melahirkan jabang bayi laki laki yang diberi nama Jaka Umbaran. Jaka Umbaran tumbuh besar dalam asuhan kakeknya Ki Ageng Giring III dan Ibunya Rara Lembayung. Hingga pada suatu hari Jaka Umbaran menanyakan siapa Bapaknya? Ibunya dan kakeknya sebenarnya tidak mau menjelaskan tapi karena desakan putranya akhirnya dengan berat hati Ibunya menjawab bahwa Bapaknya adalah seorang pembesar di Kotagedhe. Singkat cerita berangkatlah Jaka Umbaran ke Kotagedhe untuk menemui Bapaknya. Jaka Umbaran berangkat dengan membawa bukti sebilah keris tanpa warangka peninggalan Bapaknya. Sesampai di Kotagedhe akhirnya Jaka Umbaran bisa bertemu dengan Bapaknya yaitu Danang Sutawijaya yg sekarang menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati. Tetapi Bapaknya tidak begitu saja menerima Jaka Umbaran sebagai putranya. Panembahan Senopati meminta Jaka Umbaran untuk pulang dan mengajukan syarat bahwa keris tersebut harus diberi warangka yang bernama Kayu Purwasari. Sesampai di Sodo Gunungkidul, Jaka Umbaran menceritakan syarat yg diminta Bapaknya kepada Ibu dan kakeknya. Kejadiannya cepat sekali, Rara Lembayung langsung mengambil keris yang dibawa putranya dan ditusukkan ke perut Rara Lembayung. Rara Lembayung mengorbankan diri demi putranya. Karena yang dimaksud warangka oleh Panembahan Senopati adalah dirinya. Sebelum wafat Rara Lembayung berpesan kepada putranya untuk memakamkan beliau ditempat yang mulia. Setelah wafat Rara Lembayung dimakamkan di Sodo Paliyan. Meski sangat bersedih karena kehilangan Ibunya , Beberapa hari kemudian Jaka Umbaran kembali ke Kotagedhe dan bertemu dengan Bapaknya serta menceritakan tentang Ibunya yang meninggal secara tragis. Panembahan Senopati terdiam sesaat tidak menyangka jika Rara Lembayung mengorbankan dirinya demi putra mereka. Panembahan Senopati kemudian memeluk putranya dan meminta maaf atas kesalahan Beliau. Akhirnya Panembahan Senopati menerima Jaka Umbaran sebagai putranya dan memberi nama Raden Purbaya atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Purbaya. Dan kepada Niken Purwasari istrinya, beliau memberi gelar Anumerta " Kangdjeng Ratu Giring " Pangeran Purbaya selama di Kraton mendapat latihan Kanuragan dan ilmu agama serta Ilmu kehidupan lainnya. Beberapa kali Pangeran Purbaya ikut Bapaknya perang melawan musuh salah satu perang melawan Panembahan Raden Madiun yg kemudian dikenal dengan " Bedhah Madiun " Meskipun Pangeran Purbaya terlahir sebagai putra sulung Panembahan Senopati tetapi tidak terpilih sebagai pengganti Bapaknya sebagai Raja Mataram selanjutnya. Namun demikian kelak keturunannya generasi ke lima menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I. Pada suatu hari Pangeran Purbaya teringat akan pesan Ibunya untuk dikuburkan ditempat yang mulia. Kemudian Pangeran Purbaya kembali ke Sodo Paliyan Gunungkidul dan menggali makam Ibunya dan memasukkan tulang belulang Ibunya dan memasukkan ke dalam peti dan berusaha mencari tempat yang dimaksud Ibunya. Setelah melewati beberapa desa dan hutan pada suatu malam Beliau melihat cahaya terang yang berjalan dari langit, diikutinya cahaya terang tersebut hingga akhirnya jatuh dan hilang disebuah tempat. Pangeran Purbaya yakin bahwa tempat jatuhnya cahaya tersebut adalah tempat yang dimaksud Ibunya dulu. Akhirnya peti berisi tulang belulang Ibunya kemudian dimakamkan ditempat tersebut dan tempat tersebut beliau beri nama " Wot Galeh " Al Fatihah kagem Kangdjeng Ratu Giring dan Pangeran Purbaya Ditulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat.

 PANGERAN PURBAYA



Berawal dari munculnya " Wahyu Gagak Emprit " akhirnya Ki Ageng Pemanahan mengambil jalan tengah yaitu menjodohkan Danang Sutawijaya putranya dengan Niken Purwasari / Rara Lembayung putri dari Ki Ageng Giring III. Akhirnya pernikahan antara Niken Purwasari & Danang Sutawijaya pun berlangsung meski sebenarnya Danang Sutawijaya tidak tertarik dengan Niken Purwasari.Pernikahan berlangsung di rumah Ki Ageng Giring III.


Beberapa minggu setelah pernikahan, Danang Sutawijaya meninggalkan istrinya kembali ke Pajang. Sebelum kembali beliau meninggalkan sebuah keris tanpa warangka.


Sembilan bulan tlah berlalu, Niken Purwasari melahirkan jabang bayi laki laki yang diberi nama Jaka Umbaran. Jaka Umbaran tumbuh besar dalam asuhan kakeknya Ki Ageng Giring III dan Ibunya Rara Lembayung.

Hingga pada suatu hari Jaka Umbaran menanyakan siapa Bapaknya? Ibunya dan kakeknya sebenarnya tidak mau menjelaskan tapi karena desakan putranya akhirnya dengan berat hati Ibunya menjawab bahwa Bapaknya adalah seorang pembesar di Kotagedhe.

Singkat cerita berangkatlah Jaka Umbaran ke Kotagedhe untuk menemui Bapaknya. Jaka Umbaran berangkat dengan membawa bukti sebilah keris tanpa warangka peninggalan Bapaknya. Sesampai di Kotagedhe akhirnya Jaka Umbaran bisa bertemu dengan Bapaknya yaitu Danang Sutawijaya yg sekarang menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati. Tetapi Bapaknya tidak begitu saja menerima Jaka Umbaran sebagai putranya. Panembahan Senopati meminta Jaka Umbaran untuk pulang dan mengajukan syarat bahwa keris tersebut harus diberi warangka yang bernama Kayu Purwasari.


Sesampai di Sodo Gunungkidul, Jaka Umbaran menceritakan syarat yg diminta Bapaknya kepada Ibu dan kakeknya.

Kejadiannya cepat sekali, Rara Lembayung langsung mengambil keris yang dibawa putranya dan ditusukkan ke perut Rara Lembayung. Rara Lembayung mengorbankan diri demi putranya. Karena yang dimaksud warangka oleh Panembahan Senopati adalah dirinya. Sebelum wafat Rara Lembayung berpesan kepada putranya untuk memakamkan beliau ditempat yang mulia.

Setelah wafat Rara Lembayung dimakamkan di Sodo Paliyan.

Meski sangat bersedih karena kehilangan Ibunya , Beberapa hari kemudian Jaka  Umbaran kembali ke Kotagedhe dan bertemu dengan Bapaknya serta menceritakan tentang  Ibunya yang meninggal secara tragis. Panembahan Senopati terdiam sesaat tidak menyangka jika Rara Lembayung mengorbankan dirinya demi putra mereka. Panembahan Senopati kemudian memeluk putranya dan meminta maaf atas kesalahan Beliau. Akhirnya Panembahan Senopati menerima Jaka Umbaran sebagai putranya dan memberi nama Raden Purbaya atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Purbaya. Dan kepada Niken Purwasari istrinya, beliau memberi gelar Anumerta " Kangdjeng Ratu Giring "


Pangeran Purbaya selama di Kraton mendapat latihan Kanuragan dan ilmu agama serta Ilmu kehidupan lainnya. Beberapa kali Pangeran Purbaya ikut Bapaknya perang melawan musuh salah satu perang melawan Panembahan Raden Madiun yg kemudian dikenal dengan " Bedhah Madiun "


Meskipun Pangeran Purbaya terlahir sebagai putra sulung Panembahan Senopati tetapi tidak terpilih sebagai pengganti Bapaknya sebagai Raja Mataram selanjutnya. Namun demikian kelak keturunannya generasi ke lima menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I.


Pada suatu hari Pangeran Purbaya teringat akan pesan Ibunya untuk dikuburkan ditempat yang mulia. Kemudian Pangeran Purbaya kembali ke Sodo Paliyan Gunungkidul dan menggali makam Ibunya dan memasukkan tulang belulang Ibunya dan memasukkan ke dalam peti dan berusaha mencari tempat yang dimaksud Ibunya.

Setelah melewati beberapa desa dan hutan pada suatu malam Beliau melihat cahaya terang yang berjalan dari langit, diikutinya cahaya terang tersebut hingga akhirnya jatuh dan hilang disebuah tempat. Pangeran Purbaya yakin bahwa tempat jatuhnya cahaya tersebut adalah tempat yang dimaksud Ibunya dulu. Akhirnya peti berisi tulang belulang Ibunya kemudian dimakamkan ditempat tersebut dan tempat tersebut beliau beri nama " Wot Galeh " 


Al Fatihah kagem Kangdjeng Ratu Giring dan Pangeran Purbaya


Ditulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat.

Dokentasi momen langka interaksi langsung antara otoritas militer Britania, Brigadier A.W.S. Mallaby (sebelum kematiannya), dan seorang komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya pada Oktober 1945, karena foto tersebut akan menjadi bukti visual langka dari momen gencatan senjata yang sangat krusial sebelum Pertempuran 10 November 1945. sumber sejarah yang luar biasa untuk memahami kompleksitas Oktober 1945 di Surabaya. Foto ini memvisualisasikan saat-saat terakhir gencatan senjata melalui diplomasi non-verbal yang dipancarkan oleh dua tokoh utama. Analisis menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menunjukkan perdamaian (sentuhan tangan, posisi duduk yang sejajar), kontras latar belakang antara otoritas asing (Mallaby) dan kekuatan revolusioner yang didukung rakyat (TKR) sudah memperlihatkan konflik yang tak terhindarkan. #foto #november10 #sejarahkemerdekaan #haripahlawan #kotasurabaya

 Dokentasi momen langka interaksi langsung antara otoritas militer Britania, Brigadier A.W.S. Mallaby (sebelum kematiannya), dan seorang komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya pada Oktober 1945, karena foto tersebut akan menjadi bukti visual langka dari momen gencatan senjata yang sangat krusial sebelum Pertempuran 10 November 1945.

sumber sejarah yang luar biasa untuk memahami kompleksitas Oktober 1945 di Surabaya. 


Foto ini memvisualisasikan saat-saat terakhir gencatan senjata melalui diplomasi non-verbal yang dipancarkan oleh dua tokoh utama. Analisis menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menunjukkan perdamaian (sentuhan tangan, posisi duduk yang sejajar), kontras latar belakang antara otoritas asing (Mallaby) dan kekuatan revolusioner yang didukung rakyat (TKR) sudah memperlihatkan konflik yang tak terhindarkan.



Sumber : Wukir Mahendra

#foto #november10 #sejarahkemSumber : Eerdekaan #haripahlawan #kotasurabaya

Iklan Anggur Branak di surat kabar tahun 1942.. '' Orang Bunting dilarang minum''😁. Source : Pandji Poestaka 9/2602

 Iklan Anggur Branak di surat kabar tahun 1942..

'' Orang Bunting dilarang minum''




Source : Pandji Poestaka 9/2602