31 October 2025

Detik-detik penangkapan Tommy Soeharto pada 2001 yang ketika itu adalah buronan polisi nomor 1 Setelah setahun lebih jadi buronan, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto akhirnya tertangkap oleh Tim Khusus Reserse Polda Metro Jaya, Rabu, 28 November 2001, pukul 16.05. Berita besar ini kontan jadi perbincangan hangat masyarakat. Begitu kabar ini tersiar, ratusan wartawan langsung memadati ruang briefing yang tak begitu luas di lantai bawah Gedung Reserse Polda Metro Jaya. Mereka berdesak-desakan menunggu jumpa pers yang akan dilakukan Polda Metro Jaya. Setelah menunggu sekian lama, muncullah Kapolda Metro Jaya (saat itu) Irjen Sofjan Jacoeb memberi keterangan didampingi Kadispen Polda Metro Jaya (saat itu) Kombes Drs. Anton Bachrul Alam, S.H. Duduk di antara mereka, Tommy Soeharto yang malam itu mengenakan kaus putih dan celana biru. Tommy tampak klimis tanpa kumis. Anak lelaki bungsu mantan presiden Soeharto yang kabur sejak 4 November 2000 ini tampak berusaha tenang. Suasana sangat riuh karena wartawan foto dan elektronik berusaha mendapatkan momen yang bagus. Banyak di antara mereka yang terpaksa berdiri di atas kursi. Sekitar pukul 19.10 acara dimulai. "Keberhasilan polisi tak lepas dari ketekunan tim khusus (timsus) yang bertugas menangkap Tommy," ujar Sofjan. Selama dua bulan terakhir, polisi menajamkan usahanya untuk melacak keberadaan Tommy dengan menggunakan penyadap telepon yang disewa polisi. Dari hasil penyadapan, diketahui Tommy berada di Jakarta. “Tapi tempatnya selalu berpindah-pindah setiap beberapa jam. Beberapa daerah kami awasi secara khusus, seperti Menteng, Pejaten, dan Bintaro,” tambah Sofjan. Selama hampir dua minggu sebelum tertangkap, papar Sofjan, Tommy diketahui berada di Bintaro. Tepatnya di Jalan Maleo II no 9 Blok JB, Bintaro Jaya, di rumah milik Ny. Rossanna Hasan. "Begitu kami tahu lokasi persisnya, sejak 10 hari lalu lokasi tersebut kami awasi terus dengan ketat. Terutama dua hari menjelang penangkapan," tambahnya. Agar lebih dekat ke sasaran, polisi juga melakukan pembuntutan, penyelidikan, sampai penyamaran. Salah satu anggota tim, sempat pula menyamar menjadi sopir taksi untuk bisa mengawasi rumah itu. Begitu sudah diyakini benar bahwa Tommy yang ada di rumah itu, "Delapan anggota tim masuk ke dalam rumah. Lima di antaranya masuk ke dalam kamar nomor tiga di lantai satu dan menodongkan pistol ke arah Tommy yang tengah tidur. Sedangkan anggota yang lain menunggu di luar rumah," jelas Sofjan. Tommy kemudian langsung dibawa menuju Polda Metro Jaya dengan pengawalan ketat. "Polisi tidak menemukan kesulitan saat menangkap Tommy. Dia kooperatif, kok. Tommy juga langsung menyerah, tidak mengadakan perlawanan. Jadi, bukan menyerahkan diri, melainkan ditangkap," tegas Anton dalam kesempatan sama. Semula, petugas menyangka Tommy membawa senjata api. Nyatanya, tutur Anton, tidak ditemukan senjata ataupun granat di rumah tersebut. "Yang ada adalah sejumlah uang dalam mata uang rupiah, dolar Singapura, dan Amerika, sebuah laptop kecil berisi alamat dan nomor telepon, pakaian, serta lima telepon genggam yang semuanya diakui milik Tommy. Semuanya kami sita," ujar Anton. Tuduhan yang ditimpakan pada Tommy tidak main-main. Ada tiga kasus yang serentak dituduhkan padanya. Yaitu kepemilikan senjata api, pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, dan pengeboman di beberapa tempat. Dari ketiganya, yang diutamakan saat itu adalah kasus pembunuhan hakim agung. Baru kemudian kasus-kasus lainnya. Antara kasus satu dengan kasus yang lain akan ditangani oleh tim yang berbeda. Untuk kasus pembunuhan Syafiuddin, Tommy dikenai tuduhan melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati. Sedangkan untuk kasus kepemilikan senjata api, Tommy dituduh melanggar Undang-undang Darurat no 12 tahun 1951, juga dengan ancaman hukuman mati. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034237989/mengenang-kembali-perjuangan-polisi-menangkap-tommy-soeharto-pada-2001-lalu-ada-yang-menyamar-jadi-sopir-taksi #tommysoeharto #polisi #penangkapan

 Detik-detik penangkapan Tommy Soeharto pada 2001 yang ketika itu adalah buronan polisi nomor 1



Setelah setahun lebih jadi buronan, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto akhirnya tertangkap oleh Tim Khusus Reserse Polda Metro Jaya, Rabu, 28 November 2001, pukul 16.05. Berita besar ini kontan jadi perbincangan hangat masyarakat.


Begitu kabar ini tersiar, ratusan wartawan langsung memadati ruang briefing yang tak begitu luas di lantai bawah Gedung Reserse Polda Metro Jaya. Mereka berdesak-desakan menunggu jumpa pers yang akan dilakukan Polda Metro Jaya.


Setelah menunggu sekian lama, muncullah Kapolda Metro Jaya (saat itu) Irjen Sofjan Jacoeb memberi keterangan didampingi Kadispen Polda Metro Jaya (saat itu) Kombes Drs. Anton Bachrul Alam, S.H. Duduk di antara mereka, Tommy Soeharto yang malam itu mengenakan kaus putih dan celana biru.


Tommy tampak klimis tanpa kumis. Anak lelaki bungsu mantan presiden Soeharto yang kabur sejak 4 November 2000 ini tampak berusaha tenang.


Suasana sangat riuh karena wartawan foto dan elektronik berusaha mendapatkan momen yang bagus. Banyak di antara mereka yang terpaksa berdiri di atas kursi. Sekitar pukul 19.10 acara dimulai. "Keberhasilan polisi tak lepas dari ketekunan tim khusus (timsus) yang bertugas menangkap Tommy," ujar Sofjan.


Selama dua bulan terakhir, polisi menajamkan usahanya untuk melacak keberadaan Tommy dengan menggunakan penyadap telepon yang disewa polisi. Dari hasil penyadapan, diketahui Tommy berada di Jakarta.


“Tapi tempatnya selalu berpindah-pindah setiap beberapa jam. Beberapa daerah kami awasi secara khusus, seperti Menteng, Pejaten, dan Bintaro,” tambah Sofjan.


Selama hampir dua minggu sebelum tertangkap, papar Sofjan, Tommy diketahui berada di Bintaro. Tepatnya di Jalan Maleo II no 9 Blok JB, Bintaro Jaya, di rumah milik Ny. Rossanna Hasan. "Begitu kami tahu lokasi persisnya, sejak 10 hari lalu lokasi tersebut kami awasi terus dengan ketat. Terutama dua hari menjelang penangkapan," tambahnya.


Agar lebih dekat ke sasaran, polisi juga melakukan pembuntutan, penyelidikan, sampai penyamaran. Salah satu anggota tim, sempat pula menyamar menjadi sopir taksi untuk bisa mengawasi rumah itu.


Begitu sudah diyakini benar bahwa Tommy yang ada di rumah itu, "Delapan anggota tim masuk ke dalam rumah. Lima di antaranya masuk ke dalam kamar nomor tiga di lantai satu dan menodongkan pistol ke arah Tommy yang tengah tidur. Sedangkan anggota yang lain menunggu di luar rumah," jelas Sofjan.


Tommy kemudian langsung dibawa menuju Polda Metro Jaya dengan pengawalan ketat. "Polisi tidak menemukan kesulitan saat menangkap Tommy. Dia kooperatif, kok. Tommy juga langsung menyerah, tidak mengadakan perlawanan. Jadi, bukan menyerahkan diri, melainkan ditangkap," tegas Anton dalam kesempatan sama.


Semula, petugas menyangka Tommy membawa senjata api. Nyatanya, tutur Anton, tidak ditemukan senjata ataupun granat di rumah tersebut.


"Yang ada adalah sejumlah uang dalam mata uang rupiah, dolar Singapura, dan Amerika, sebuah laptop kecil berisi alamat dan nomor telepon, pakaian, serta lima telepon genggam yang semuanya diakui milik Tommy. Semuanya kami sita," ujar Anton.


Tuduhan yang ditimpakan pada Tommy tidak main-main. Ada tiga kasus yang serentak dituduhkan padanya. Yaitu kepemilikan senjata api, pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, dan pengeboman di beberapa tempat.


Dari ketiganya, yang diutamakan saat itu adalah kasus pembunuhan hakim agung. Baru kemudian kasus-kasus lainnya. Antara kasus satu dengan kasus yang lain akan ditangani oleh tim yang berbeda.


Untuk kasus pembunuhan Syafiuddin, Tommy dikenai tuduhan melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati. Sedangkan untuk kasus kepemilikan senjata api, Tommy dituduh melanggar Undang-undang Darurat no 12 tahun 1951, juga dengan ancaman hukuman mati.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034237989/mengenang-kembali-perjuangan-polisi-menangkap-tommy-soeharto-pada-2001-lalu-ada-yang-menyamar-jadi-sopir-taksi


#tommysoeharto #polisi #penangkapan

30 October 2025

Tiga Jam Penuh Darah, Saat Keraton Yogyakarta Diserbu Inggris Lebih dari dua abad lalu, peristiwa akbar berdarah-darah berlangsung di jantung Kasultanan Yogyakarta. Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan. Pasukan Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang dipimpin Kolonel RR Gillespie pada 20 Juni 1812 selama tiga jam penuh menggempur Keraton, meruntuhkan bentengnya, menaklukkan Sultan HB II, menjarah rayah harta karun seisi istana, termasuk keputren. Akhir dari episode muram masa HB II ini adalah dinaiktahtakannya secara paksa sang Putra Mahkota menjadi Sultan HB III. Keberhasilan invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta inipun menandai kemerosotan kasultanan sejak didirikan Pangeran Mangkubumi pada 6 November 1755. Setelah 57 tahun berdiri megah sebagai kerajaan baru yang kokoh dan tidak tertundukkan, Keraton Yogyakarta remuk. Sebagian besar penyebab karena maraknya intrik internal. Ayah dan anak berebut tahta, yang secara maksimal ditunggangi para agresor dan kolonial. Perkubuan antarkeluarga kerajaan menambah pelik situasi. Sesudah serbuan Inggris dan naiknya Sultan HB III menjadi titik awal pergolakan nan panjang, sangat berdarah, menguras emosi dan segala sumber daya di pihak Jawa maupun Belanda nantinya. HB III adalah ayah kandung Pangeran Diponegoro. Tiga belas tahun berikutnya, pangeran yang saleh dan sederhana ini akan memimpin Perang Jawa, pertempuran dahsyat nan panjang yang tercatat dalam sejarah pendudukan Belanda. * Detik-detik Serbuan Inggris ke Kraton Yogyakarta Invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta yang dimulai 18 Juni 1812. Plengkung Wijilan, salah satu titik serbuan paling dahsyat saat pasukan Raffles menggempur Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Di dekat lokasi ini dulunya terdapat gerbang Poncosuro, pintu menuju Kadipaten, kediaman Putra Mahkota dan Pangeran Ontowiryo (Pangeran Diponegoro). Serbuan tentu tidak berlangsung mendadak. Ada banyak peristiwa yang mendahului kejadian ini, baik perundingan-perundingan dengan pihak Inggris maupun lobi-lobi melibatkan para petinggi kerajaan. Bahkan jauh sebelumnya, Sultan HB II membuat kesepakatan rahasia dengan Sunan Paku Buwono IV yang bertahta di Kasunanan Surakarta, terkait bagaimana mereka akan menghadapi kehadiran agresor asing (Inggris). Inti kesepakatan itu, jika Inggris menyerang Kasultanan Yogyakarta, pasukan Kasunanan Surakarta akan membantu dari belakang. Kelak, kesepakatan itu hanya jadi tulisan di atas kertas. Ketika prajurit Gillespie mengobrak-abrik istana Sultan, pasukan Surakarta hanya berdiam diri, menonton dari jauh berharap akan ada keuntungan politik bagi mereka. Sultan HB II atau Sultan Sepuh dan pengikut setianya bertarung sendirian hingga akhirnya takluk dan dihinakan. Pangeran Notokusumo yang terhitung adik Sultan Sepuh, semula dipercaya akan satu barisan. Jelang penyerbuan ia membelot ke pihak Inggris, memasuki benteng (Vrederburg) yang jadi basis pasukan penyerbu ketika itu. Dentuman meriam Inggris pertama kali pecah mengarah ke sisi timur laut benteng keraton, menandai awal serangan pada sore hari, 18 Juni 1812. Dua jam sebelum tembakan meriam, Raffles mengirimkan surat ultimatum ke Sultan HB II agar menyerah. Penerjemah Karesidenan Semarang CF Krijgsman diutus untuk menyampaikan surat ancaman. Sultan HB II, Putra Mahkota, ditemani Tumenggung Sumodinigrat dan Pangeran Mangkudiningrat menerima utusan Raffles di pendopo Srimanganti. Sultan menolak ultimatum Raffles, begitu juga Putra Mahkota. Penolakan itu memberi sinyal perlawanan dan perang besar akan segera berkobar. Sultan pada waktu itu menitip pesan ke utusan Raffles agar Notokusumo menjawab alasannya mengapa berkhianat. Hujan tembakan artileri Raffles dari arah benteng (Vredeburg) dan kubu-kubu mereka di tempat yang sekarang jadi Taman Pintar berlangsung hingga malam dan tembus ke hari berikutnya, Jumat, 19 Juni 1812. Serangan itu rupanya menggentarkan para kaum bangsawan. Banyak yang menyelinap pergi dari istana, mengungsi ke tempat-tempat di luar kota, hingga ke Imogiri. Segelintir saja yang bersiap sepenuh hati berjuang melawan. Sikap cari selamat para bangsawan istana ini menurunkan moral para prajurit dan pengikutnya yang berjuang di garis depan. Kawasan Kauman dan sekitarnya yang terletak di barat alun-alun, rusak terkena sambaran api dan tembakan meriam. Kadipaten, yang berlokasi di sebelah timur keraton, tempat tinggal Putra Mahkota dan Pangeran Diponegoro, mengalami kerusakan hebat. Gerbangnya tinggal menunggu waktu dijebol pasukan penyerbu. Bantuan kekuatan untuk mencegah jatuhnya Kadipaten tak kunjung datang. Bombardir berlangsung terus hingga terhenti pada Jumat pukul 9 malam. Penghuni istana menyangka serangan Inggris berakhir. Masa-masa kritis juga terjadi di kediaman Sultan yang dikawal prajurit Srikandi. Sabtu, 20 Juni 1812 sekitar pukul 2 dini hari, dua tembakan meriam menggelegar. Dua jam kemudian, pasukan infantri Inggris, Sepoy (India), Legiun Prangwedono, dan pengikut Notokusumo, bergerak maju mendekati benteng keraton. Tangga-tangga bambu digotong dan dipakai untuk memanjat dinding benteng. Kapiten Cina Tan Jing Sing (Secodiningrat) andil banyak pada bagian ini, dan membuktikan persekongkolannya dengan pihak penyerbu. Kadipaten, tempat tinggal Putra Mahkota, jadi sasaran utama. Gerbangnya diledakkan oleh pasukan artileri berkuda Madras, tingkap-tingkapnya direbut serdadu Sepoy. Meriam keraton dibalikkan mengarah ke dalam benteng dan pasukan yang mempertahankannya. Pagi itu gerbang Poncosuro di sisi timur laut keraton jebol. Serangan ke Kadipaten ini dipimpin Letkol Alexander McLeod. Dilihat dari sketsa peta saat penyerbuan sekarang lokasinya di Plengkung Wijilan ke arah timur (Jalan Ibu Ruswo). Serangan serentak itu juga menyebabkan gudang mesiu keraton di pojok timur laut benteng meledak, menimbulkan kerugian besar dan korban jiwa di pihak penyerang maupun yang bertahan. Mayor William Thorn melukiskan kesulitan menembus pertahanan keraton. Sekeliling benteng saat itu ada paritnya, dan bentengnya pun tebal. Tidak mudah dihancurkan. Pertempuran jarak dekat berlangsung sengit, menggunakan tombak, panah, senapan musket, granat, dan mortar. Serangan memutar juga dilakukan ke sisi selatan memutari benteng dengan target menjebol gerbang utama di selatan alun-alun. Pasukan yang menggempur area ini dipimpin Letnan Dewar. Mereka menghadapi perlawanan gigih pasukan Tumenggung Sumodiningrat. Menantu Sultan itu akhirnya tewas hingga perlawanan terakhir. Tubuhnya dicincang. Alun-alun Selatan dikuasai penyerbu yang terus melakukan pembersihan ke segala arah. Sisi timur, utara, barat dan selatan sudah dibanjiri pasukan Inggris dan penyokongnya. Jatuhnya Kadipaten di tangan pasukan Letkol McLeod membuat Putra Mahkota menyelamatkan diri ke sisi barat keraton. Semula ia berusaha berlindung ke kediaman Sultan, namun tempatnya sudah terkunci dan dijaga ketat pengawalnya. Putra Mahkota dan Diponegoro bergerak ke gerbang barat keraton, tempat mereka akhirnya bertemu pasukan penakluk, menyerah, dan diperlakukan terhina. Diponegoro terluka ketika keris pusakanya disita. Lokasi pertemuan itu diperkirakan di sekitar Pasar Ngasem atau Tamansari. Pasukan yang menemukan Putra Mahkota dan Diponegoro dipimpin Mayor Dennis H Dalton, didampingi Sekretaris Residen Yogyakarta John Deans dan Kapiten Cina Tan Jing Sing. Mereka kemudian dibawa ke Wisma Residen (sekarang Gedung Agung). Kedatangan Putra Mahkota di Wisma Residen disambut dingin. Pangeran Notokusumo, atau pamannya yang membelot, hanya memandangi kemenakannya itu tanpa bertegur sapa. Saat itu jarum jam menunjuk angka tujuh pagi. Berita tertangkapnya Putra Mahkota membuat raja syok. Sultan akhirnya memerintahkan bendera putih dikibarkan, dan prajuritnya meletakkan senjata. Penyerahan damai ini diharapkan meredam kemarahan penyerbu. Kolonel Gillespie memasuki kedaton, dan masih menghadapi sejumlah kecil perlawanan yang berpusat di komplek Masjid Suronatan di sebelah barat pendopo Srimanganti. Di tempat inilah Sultan dan pengikutnya bersiap menyerahkan diri ke Gillespie. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Tiga Jam Penuh Darah, Saat Keraton Yogyakarta Diserbu Inggris

Lebih dari dua abad lalu, peristiwa akbar berdarah-darah berlangsung di jantung Kasultanan Yogyakarta. Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan.



Pasukan Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang dipimpin Kolonel RR Gillespie pada 20 Juni 1812 selama tiga jam penuh menggempur Keraton, meruntuhkan bentengnya, menaklukkan Sultan HB II, menjarah rayah harta karun seisi istana, termasuk keputren.


Akhir dari episode muram masa HB II ini adalah dinaiktahtakannya secara paksa sang Putra Mahkota menjadi Sultan HB III.


Keberhasilan invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta inipun menandai kemerosotan kasultanan sejak didirikan Pangeran Mangkubumi pada 6 November 1755.


Setelah 57 tahun berdiri megah sebagai kerajaan baru yang kokoh dan tidak tertundukkan, Keraton Yogyakarta remuk. Sebagian besar penyebab karena maraknya intrik internal.


Ayah dan anak berebut tahta, yang secara maksimal ditunggangi para agresor dan kolonial. Perkubuan antarkeluarga kerajaan menambah pelik situasi.


Sesudah serbuan Inggris dan naiknya Sultan HB III menjadi titik awal pergolakan nan panjang, sangat berdarah, menguras emosi dan segala sumber daya di pihak Jawa maupun Belanda nantinya. HB III adalah ayah kandung Pangeran Diponegoro.


Tiga belas tahun berikutnya, pangeran yang saleh dan sederhana ini akan memimpin Perang Jawa, pertempuran dahsyat nan panjang yang tercatat dalam sejarah pendudukan Belanda.


* Detik-detik Serbuan Inggris ke Kraton Yogyakarta

Invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta yang dimulai 18 Juni 1812. Plengkung Wijilan, salah satu titik serbuan paling dahsyat saat pasukan Raffles menggempur Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Di dekat lokasi ini dulunya terdapat gerbang Poncosuro, pintu menuju Kadipaten, kediaman Putra Mahkota dan Pangeran Ontowiryo (Pangeran Diponegoro).


Serbuan tentu tidak berlangsung mendadak. Ada banyak peristiwa yang mendahului kejadian ini, baik perundingan-perundingan dengan pihak Inggris maupun lobi-lobi melibatkan para petinggi kerajaan.


Bahkan jauh sebelumnya, Sultan HB II membuat kesepakatan rahasia dengan Sunan Paku Buwono IV yang bertahta di Kasunanan Surakarta, terkait bagaimana mereka akan menghadapi kehadiran agresor asing (Inggris).


Inti kesepakatan itu, jika Inggris menyerang Kasultanan Yogyakarta, pasukan Kasunanan Surakarta akan membantu dari belakang. Kelak, kesepakatan itu hanya jadi tulisan di atas kertas.


Ketika prajurit Gillespie mengobrak-abrik istana Sultan, pasukan Surakarta hanya berdiam diri, menonton dari jauh berharap akan ada keuntungan politik bagi mereka. Sultan HB II atau Sultan Sepuh dan pengikut setianya bertarung sendirian hingga akhirnya takluk dan dihinakan.


Pangeran Notokusumo yang terhitung adik Sultan Sepuh, semula dipercaya akan satu barisan. Jelang penyerbuan ia membelot ke pihak Inggris, memasuki benteng (Vrederburg) yang jadi basis pasukan penyerbu ketika itu.


Dentuman meriam Inggris pertama kali pecah mengarah ke sisi timur laut benteng keraton, menandai awal serangan pada sore hari, 18 Juni 1812. Dua jam sebelum tembakan meriam, Raffles mengirimkan surat ultimatum ke Sultan HB II agar menyerah.


Penerjemah Karesidenan Semarang CF Krijgsman diutus untuk menyampaikan surat ancaman. Sultan HB II, Putra Mahkota, ditemani Tumenggung Sumodinigrat dan Pangeran Mangkudiningrat menerima utusan Raffles di pendopo Srimanganti.


Sultan menolak ultimatum Raffles, begitu juga Putra Mahkota. Penolakan itu memberi sinyal perlawanan dan perang besar akan segera berkobar. Sultan pada waktu itu menitip pesan ke utusan Raffles agar Notokusumo menjawab alasannya mengapa berkhianat.


Hujan tembakan artileri Raffles dari arah benteng (Vredeburg) dan kubu-kubu mereka di tempat yang sekarang jadi Taman Pintar berlangsung hingga malam dan tembus ke hari berikutnya, Jumat, 19 Juni 1812.


Serangan itu rupanya menggentarkan para kaum bangsawan. Banyak yang menyelinap pergi dari istana, mengungsi ke tempat-tempat di luar kota, hingga ke Imogiri. Segelintir saja yang bersiap sepenuh hati berjuang melawan.


Sikap cari selamat para bangsawan istana ini menurunkan moral para prajurit dan pengikutnya yang berjuang di garis depan. Kawasan Kauman dan sekitarnya yang terletak di barat alun-alun, rusak terkena sambaran api dan tembakan meriam.


Kadipaten, yang berlokasi di sebelah timur keraton, tempat tinggal Putra Mahkota dan Pangeran Diponegoro, mengalami kerusakan hebat. Gerbangnya tinggal menunggu waktu dijebol pasukan penyerbu. Bantuan kekuatan untuk mencegah jatuhnya Kadipaten tak kunjung datang.


Bombardir berlangsung terus hingga terhenti pada Jumat pukul 9 malam. Penghuni istana menyangka serangan Inggris berakhir. Masa-masa kritis juga terjadi di kediaman Sultan yang dikawal prajurit Srikandi.


Sabtu, 20 Juni 1812 sekitar pukul 2 dini hari, dua tembakan meriam menggelegar. Dua jam kemudian, pasukan infantri Inggris, Sepoy (India), Legiun Prangwedono, dan pengikut Notokusumo, bergerak maju mendekati benteng keraton.


Tangga-tangga bambu digotong dan dipakai untuk memanjat dinding benteng. Kapiten Cina Tan Jing Sing (Secodiningrat) andil banyak pada bagian ini, dan membuktikan persekongkolannya dengan pihak penyerbu.


Kadipaten, tempat tinggal Putra Mahkota, jadi sasaran utama. Gerbangnya diledakkan oleh pasukan artileri berkuda Madras, tingkap-tingkapnya direbut serdadu Sepoy. Meriam keraton dibalikkan mengarah ke dalam benteng dan pasukan yang mempertahankannya.


Pagi itu gerbang Poncosuro di sisi timur laut keraton jebol. Serangan ke Kadipaten ini dipimpin Letkol Alexander McLeod. Dilihat dari sketsa peta saat penyerbuan sekarang lokasinya di Plengkung Wijilan ke arah timur (Jalan Ibu Ruswo).


Serangan serentak itu juga menyebabkan gudang mesiu keraton di pojok timur laut benteng meledak, menimbulkan kerugian besar dan korban jiwa di pihak penyerang maupun yang bertahan. Mayor William Thorn melukiskan kesulitan menembus pertahanan keraton.


Sekeliling benteng saat itu ada paritnya, dan bentengnya pun tebal. Tidak mudah dihancurkan. Pertempuran jarak dekat berlangsung sengit, menggunakan tombak, panah, senapan musket, granat, dan mortar.


Serangan memutar juga dilakukan ke sisi selatan memutari benteng dengan target menjebol gerbang utama di selatan alun-alun. Pasukan yang menggempur area ini dipimpin Letnan Dewar. Mereka menghadapi perlawanan gigih pasukan Tumenggung Sumodiningrat.


Menantu Sultan itu akhirnya tewas hingga perlawanan terakhir. Tubuhnya dicincang. Alun-alun Selatan dikuasai penyerbu yang terus melakukan pembersihan ke segala arah. Sisi timur, utara, barat dan selatan sudah dibanjiri pasukan Inggris dan penyokongnya.


Jatuhnya Kadipaten di tangan pasukan Letkol McLeod membuat Putra Mahkota menyelamatkan diri ke sisi barat keraton. Semula ia berusaha berlindung ke kediaman Sultan, namun tempatnya sudah terkunci dan dijaga ketat pengawalnya.


Putra Mahkota dan Diponegoro bergerak ke gerbang barat keraton, tempat mereka akhirnya bertemu pasukan penakluk, menyerah, dan diperlakukan terhina. Diponegoro terluka ketika keris pusakanya disita. Lokasi pertemuan itu diperkirakan di sekitar Pasar Ngasem atau Tamansari.


Pasukan yang menemukan Putra Mahkota dan Diponegoro dipimpin Mayor Dennis H Dalton, didampingi Sekretaris Residen Yogyakarta John Deans dan Kapiten Cina Tan Jing Sing. Mereka kemudian dibawa ke Wisma Residen (sekarang Gedung Agung).


Kedatangan Putra Mahkota di Wisma Residen disambut dingin. Pangeran Notokusumo, atau pamannya yang membelot, hanya memandangi kemenakannya itu tanpa bertegur sapa. Saat itu jarum jam menunjuk angka tujuh pagi.


Berita tertangkapnya Putra Mahkota membuat raja syok. Sultan akhirnya memerintahkan bendera putih dikibarkan, dan prajuritnya meletakkan senjata. Penyerahan damai ini diharapkan meredam kemarahan penyerbu.


Kolonel Gillespie memasuki kedaton, dan masih menghadapi sejumlah kecil perlawanan yang berpusat di komplek Masjid Suronatan di sebelah barat pendopo Srimanganti. Di tempat inilah Sultan dan pengikutnya bersiap menyerahkan diri ke Gillespie.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

29 October 2025

Kisah Ki Ageng Pengging yang Memilih Mati Daripada Menghadiri Pengukuhan Sultan Demak Penolakan Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga atas undangan pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro membuat penguasa baru tanah Jawa itu berang. Sebelumnya, Ki Ageng Pengging sudah tiga kali menolak datang ke Demak. Mulai beralasan menunggu kepulangan Kebo Kanigara, kakaknya yang bersemedi di Gunung Merapi, hingga berterus terang enggan datang. Penguasa Demak menganggap Pengging telah membangkang. Ia juga disangka tengah menyusun kekuatan untuk makar. Sebab bagaimanapun Pengging adalah cucu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang telah diruntuhkan Demak. Juga murid kinasih Syekh Siti Jenar, ulama penyebar Islam yang telah berselisih dengan Wali Songo dan dijatuhi hukuman mati. Yang tidak dimengerti oleh penguasa Demak, Ki Ageng Pengging sudah memutuskan menjauhi kekuasaan, termasuk melepas gelar kebangsawanan. Dari kehidupan priyayi agung beralih menjadi rakyat jelata dengan melakukan cara produksi lazimnya petani, yakni bercocok tanam. Karenanya ia menolak hadir dalam pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro, menggantikan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang mati muda. Ia memilih tenggelam dalam dzikir dan tafakur di langgarnya. Ki Ageng Pengging merupakan putra Raden Andayaningrat, panglima perang Majapahit yang menikah dengan Dewi Pembayun, putri sulung Prabu Brawijaya V. Dengan Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging terhitung saudara sepupu. Ki Ageng Pengging merasa hidupnya lebih tentram. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Demak. Ia memilih menanti kelahiran buah hati, yakni keturunan yang sudah lama ditunggunya. Bayi laki-laki itu diberi nama Mas Karebet atau dikenal Jaka Tingkir. Nama yang merujuk pada peristiwa yang terjadi saat proses kelahiran, yakni lahir di tengah-tengah berlangsungnya pagelaran wayang beber di mana Ki Ageng Pengging sebagai dalangnya. Mas Karebet yang kemudian diasuh Ki Ageng Tingkir, yakni saudara seperguruan Ki Ageng Pengging kelak menjadi Raja Pajang pertama yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Sampai Sunan Kudus datang sendiri mewakili Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging tetap bersikukuh menolak datang ke Demak. Ia tahu risikonya. Menolak keinginan raja sama halnya dengan makar. Dan hukuman bagi seorang pemberontak adalah mati. Ki Ageng Pengging meminta Sunan Kudus tidak ragu melaksanakan tugasnya, menjatuhkan hukuman mati. Sebelum eksekusi dilakukan, terjadi percakapan antara keduanya tentang rahasia hidup dan kematian. Sunan Kudus meminta Ki Ageng Pengging memperlihatkan ilmu seperti apa mati di dalam hidup. Ki Ageng Pengging yang terkenal sakti itu, hanya tersenyum. Sejurus kemudian, dimintanya Sunan Kudus menusukkan sebilah keris kecil ke sikunya. Tusukan itu membuat Ki Ageng Pengging tiba-tiba tergolek lemas, namun bibirnya tetap tersenyum. Dengan didahului salam, mata Ki Ageng Pengging terkatup rapat. Nafasnya berhenti. Nyawa ayah Jaka Tingkir itu telah melayang. Sejarah kembali terulang, di mana ayah Ki Ageng Pengging, yakni Andayaningrat tewas di tangan Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Kisah Ki Ageng Pengging yang Memilih Mati Daripada Menghadiri Pengukuhan Sultan Demak

Penolakan Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga atas undangan pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro membuat penguasa baru tanah Jawa itu berang.



Sebelumnya, Ki Ageng Pengging sudah tiga kali menolak datang ke Demak. Mulai beralasan menunggu kepulangan Kebo Kanigara, kakaknya yang bersemedi di Gunung Merapi, hingga berterus terang enggan datang.      


Penguasa Demak menganggap Pengging telah membangkang. Ia juga disangka tengah menyusun kekuatan untuk makar. Sebab bagaimanapun Pengging adalah cucu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang telah diruntuhkan Demak.


Juga murid kinasih Syekh Siti Jenar, ulama penyebar Islam yang telah berselisih dengan Wali Songo dan dijatuhi hukuman mati. Yang tidak dimengerti oleh penguasa Demak, Ki Ageng Pengging sudah memutuskan menjauhi kekuasaan, termasuk melepas gelar kebangsawanan.

Dari kehidupan priyayi agung beralih menjadi rakyat jelata dengan melakukan cara produksi lazimnya petani, yakni bercocok tanam.


Karenanya ia menolak hadir dalam pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro, menggantikan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang mati muda. Ia memilih tenggelam dalam dzikir dan tafakur di langgarnya.


Ki Ageng Pengging merupakan putra Raden Andayaningrat, panglima perang Majapahit yang menikah dengan Dewi Pembayun, putri sulung Prabu Brawijaya V. Dengan Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging terhitung saudara sepupu.


Ki Ageng Pengging merasa hidupnya lebih tentram. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Demak. Ia memilih menanti kelahiran buah hati, yakni keturunan yang sudah lama ditunggunya. Bayi laki-laki itu diberi nama Mas Karebet atau dikenal Jaka Tingkir.


Nama yang merujuk pada peristiwa yang terjadi saat proses kelahiran, yakni lahir di tengah-tengah berlangsungnya pagelaran wayang beber di mana Ki Ageng Pengging sebagai dalangnya.


Mas Karebet yang kemudian diasuh Ki Ageng Tingkir, yakni saudara seperguruan Ki Ageng Pengging kelak menjadi Raja Pajang pertama yang bergelar Sultan Hadiwijaya.


Sampai Sunan Kudus datang sendiri mewakili Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging tetap bersikukuh menolak datang ke Demak. Ia tahu risikonya. Menolak keinginan raja sama halnya dengan makar.


Dan hukuman bagi seorang pemberontak adalah mati. Ki Ageng Pengging meminta Sunan Kudus tidak ragu melaksanakan tugasnya, menjatuhkan hukuman mati.


Sebelum eksekusi dilakukan, terjadi percakapan antara keduanya tentang rahasia hidup dan kematian. Sunan Kudus meminta Ki Ageng Pengging memperlihatkan ilmu seperti apa mati di dalam hidup.


Ki Ageng Pengging yang terkenal sakti itu, hanya tersenyum. Sejurus kemudian, dimintanya Sunan Kudus menusukkan sebilah keris kecil ke sikunya. Tusukan itu membuat Ki Ageng Pengging tiba-tiba tergolek lemas, namun bibirnya tetap tersenyum.


Dengan didahului salam, mata Ki Ageng Pengging terkatup rapat. Nafasnya berhenti. Nyawa ayah Jaka Tingkir itu telah melayang. Sejarah kembali terulang, di mana ayah Ki Ageng Pengging, yakni Andayaningrat tewas di tangan Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

Makam Ki Ageng Enis, Leluhur Raja² Mataram Ki Ageng Enis dikenal juga sebagai Ki Ageng Laweyanbadalah seorang tokoh dari Sela yang hijrah ke Pengging. Ia dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan. Selama hidup di Laweyan ia pernah menjadi guru spiritual Jaka Tingkir saat belum naik takhta menjadi raja Pajang atau masih bernama Mas Karebet. Kemudian Ki Ageng Enis diangkat sebagai sesepuh atau penasihat oleh Jaka Tingkir setelah menjadi raja Pajang bergelar Sultan Adiwijaya. Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari Ki Ageng Sela, ibunya bernama Nyai Bicak/Nyai Ageng Sela (putri Sunan Ngerang). Ia memiliki enam saudara, di mana semua saudaranya adalah perempuan, yaitu: Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen dan Nyai Ageng Pakisdadu. Ki Ageng Enis menikah dengan Nyai Ageng Enis, dan berputra Ki Ageng Pamanahan. Putranya itu kemudian menikah dengan Nyai Sabinah. Dari hasil pernikahan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah, Ki Ageng Enis dikaruniai seorang cucu yang bernama Sutawijaya, dalam perjalanan kariernya menjadi raja pertama Mataram, bergelar Panembahan Senapati. Pengging dahulu dikenal sebagai peradaban Hindu, masuknya Islam di tanah Pengging tidak luput dari peran serta Ki Ageng Enis. Laweyan yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pengging (sebelum Pajang) masyarakat di sekitarnya masih menganut Hinduisme. Sejak saat itu Ki Ageng Enis mulai bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati). Pada akhir hayatnya Ki Ageng Enis meninggal dan dimakamkan di Pasarean Laweyan. Rumah tempat tinggal Ki Ageng Enis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Danang Sutawijaya. Kemudian Sutawijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Saloring Pasar, Sutawijaya pindah ke hutan Mentaok dan dalam perjalanannya kemudian mendirikan kerajaan Mataram Islam dan menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senapati. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Makam Ki Ageng Enis, Leluhur Raja² Mataram

Ki Ageng Enis dikenal juga sebagai Ki Ageng Laweyanbadalah seorang tokoh dari Sela yang hijrah ke Pengging. Ia dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan.



Selama hidup di Laweyan ia pernah menjadi guru spiritual Jaka Tingkir saat belum naik takhta menjadi raja Pajang atau masih bernama Mas Karebet.

Kemudian Ki Ageng Enis diangkat sebagai sesepuh atau penasihat oleh Jaka Tingkir setelah menjadi raja Pajang bergelar Sultan Adiwijaya.


Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari Ki Ageng Sela, ibunya bernama Nyai Bicak/Nyai Ageng Sela (putri Sunan Ngerang). Ia memiliki enam saudara, di mana semua saudaranya adalah perempuan,


yaitu: Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen dan Nyai Ageng Pakisdadu.


Ki Ageng Enis menikah dengan Nyai Ageng Enis, dan berputra Ki Ageng Pamanahan. Putranya itu kemudian menikah dengan Nyai Sabinah.


Dari hasil pernikahan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah, Ki Ageng Enis dikaruniai seorang cucu yang bernama Sutawijaya, dalam perjalanan kariernya menjadi raja pertama Mataram, bergelar Panembahan Senapati.


Pengging dahulu dikenal sebagai peradaban Hindu, masuknya Islam di tanah Pengging tidak luput dari peran serta Ki Ageng Enis.

Laweyan yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pengging (sebelum Pajang) masyarakat di sekitarnya masih menganut Hinduisme.


Sejak saat itu Ki Ageng Enis mulai bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati).


Pada akhir hayatnya Ki Ageng Enis meninggal dan dimakamkan di Pasarean Laweyan. Rumah tempat tinggal Ki Ageng Enis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Danang Sutawijaya.


Kemudian Sutawijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Saloring Pasar, Sutawijaya pindah ke hutan Mentaok dan dalam perjalanannya kemudian mendirikan kerajaan Mataram Islam dan menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senapati.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

27 October 2025

Mbah Fanani, seorang yang beradal dari Cirebon dikenal bertapa di Dieng, Wonosobo. Apakah beliau seorang wali Allah? Wallahu a'lam. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Qudsi, "Allah berfirman yang artinya: 'Para Wali-Ku itu ada di bawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq Hidayah-Nya.'" Syekh Ibnu Atha'illah Assakandari jua mengatakan dalam kitab Al-Hikam: "Mahasuci Allah yang menyembunyikan rahasia keistimewaan pada hamba pilihan-Nya dengan menampakkan sifat kemanusiaan, dan terlihat keagungan sifat Ketuhanan dengan nampaknya sifat penghambaan pada dirinya." Dengan demikian, kita tidak bisa menentukan dengan pasti siapa yang benar-benar wali Allah, karena hanya Allah yang mengetahui dengan pasti. Namun, kita bisa belajar dari kisah-kisah inspiratif para wali Allah dan mengambil pelajaran dari kehidupan mereka." Wallahu a'lam ---Semoga Bermanfaat 🍃 ______________________

 Mbah Fanani, seorang yang beradal dari Cirebon dikenal bertapa di Dieng, Wonosobo. Apakah beliau seorang wali Allah? 

Wallahu a'lam. 



Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Qudsi, "Allah berfirman yang artinya: 


'Para Wali-Ku itu ada di bawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq Hidayah-Nya.'"


Syekh Ibnu Atha'illah Assakandari jua mengatakan dalam kitab Al-Hikam:


"Mahasuci Allah yang menyembunyikan rahasia keistimewaan pada hamba pilihan-Nya dengan menampakkan sifat kemanusiaan, dan terlihat keagungan sifat Ketuhanan dengan nampaknya sifat penghambaan pada dirinya."


Dengan demikian, kita tidak bisa menentukan dengan pasti siapa yang benar-benar wali Allah, karena hanya Allah yang mengetahui dengan pasti. Namun, kita bisa belajar dari kisah-kisah inspiratif para wali Allah dan mengambil pelajaran dari kehidupan mereka."


Wallahu a'lam 


---Semoga Bermanfaat 🍃

______________________

KUSNI KASDUT‼️Dari Laskar Kemerdekaan Hingga Perampok Legendaris 'Robin Hood' Indonesia JAKARTA – Indonesia menutup lembaran gelap sejarah kriminalnya kemarin, Sabtu, 16 Februari 1980. Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut (51 tahun), tokoh kriminal kelas kakap yang pernah menggemparkan Tanah Air dengan serangkaian perampokan dan aksi pelarian heroik, harus tumbang di hadapan regu tembak setelah penolakan permohonan grasinya oleh Presiden Soeharto. Kisah hidup Kusni Kasdut, yang dijuluki "Si Kancil" karena kelicinan melarikan diri, adalah sebuah ironi tragis. Perjalanan hidupnya melukiskan garis tipis antara pahlawan revolusi dan bromocorah berdarah dingin. Fase I: Pejuang Kemerdekaan (1945–1949) Kusni Kasdut lahir di Blitar, Jawa Timur, pada Desember 1929, dari pasangan petani miskin. Masa mudanya dihabiskan di jalanan Malang. Ketika Proklamasi dikumandangkan, Kusni muda dengan nama asli Waluyo langsung bergabung dengan Laskar Rakyat yang berjuang di front Jawa Timur, termasuk dalam pertempuran sengit 10 November di Surabaya. Pengabdian Revolusi: Kusni tercatat bergabung dengan laskar yang berafiliasi dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Malang. Ia mahir dalam operasi intelijen dan pertempuran ekonomi, bahkan pernah merampok harta saudagar kaya yang hasilnya ia klaim digunakan untuk mendanai logistik revolusi. Luka Batin: Setelah Revolusi fisik usai, Kusni gagal diakui sebagai anggota resmi TNI (APRIS) karena cacat luka tembak di kaki. Rasa kecewa mendalam ini, ditambah kesulitan ekonomi pasca-perang, disinyalir menjadi titik balik kelam dalam hidupnya. Fase II: Dari Veteran Menjadi Bromocorah (1953–1961) Kekecewaan dan himpitan ekonomi mendorong Kusni terjun ke lembah hitam kriminalitas. Ia membentuk kelompok perampok yang ditakuti. Kasus Pertama Heboh (1953): Aksi kriminal pertamanya yang menggemparkan adalah perampokan dan pembunuhan seorang hartawan keturunan Arab, Ali Badjened, pada 11 Agustus 1953. Peristiwa ini membuat namanya menjadi buronan utama Kepolisian. Perampokan Museum Nasional (1961): Puncak kejahatan yang melambungkan nama Kusni ke tingkat legenda terjadi pada 31 Mei 1961. Bersama komplotannya, Kusni menyatroni Museum Gajah (Museum Nasional Jakarta) dengan menyamar sebagai polisi dan menaiki mobil jip. Mereka melumpuhkan penjaga dan berhasil menggondol 11 butir berlian permata koleksi museum yang tak ternilai harganya. Fase III: Delapan Kali Melarikan Diri dan Pertobatan (1969–1980) Setelah buron bertahun-tahun, Kusni akhirnya tertangkap di Semarang ketika berusaha menjual berlian hasil rampokan yang ukurannya mencurigakan. Vonis Mati: Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan vonis hukuman mati pada tahun 1969. Si Kancil Penjara: Selama penantian eksekusi, Kusni Kasdut mencatatkan sejarah kelam dengan berhasil kabur dari berbagai penjara sebanyak delapan kali (beberapa sumber menyebutkan total delapan). Pelarian terakhirnya pada 10 September 1979 dari Lapas Cipinang menjadi berita utama nasional sebelum akhirnya ditangkap kembali di Surabaya pada 17 Oktober 1979. Akhir Pertobatan: Selama dipenjara, Kusni Kasdut diketahui dibaptis menjadi Katolik dengan nama Ignatius. Ia banyak menghabiskan waktu dengan melukis, termasuk membuat lukisan gereja dari pelepah pisang. Namun, pertobatan dan permohonan grasi yang diajukannya kepada Presiden tidak dapat membatalkan putusan pengadilan atas kejahatan pembunuhan dan perampokan yang dilakukannya. Kusni Kasdut dieksekusi oleh regu tembak pada 16 Februari 1980. Sumber Referensi Utama: Arsip Berita Surat Kabar Nasional (misalnya Kompas, Tempo, Sinar Harapan) periode 1960–1980. Buku Biografi "Perjalanan Hidup Kusni Kasdut" oleh Saiful Rahim (1980). Laporan Kepolisian dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang tahun 1969. Catatan Sejarah Kriminal dan Revolusi Fisik di Indonesia.

 KUSNI KASDUT‼️Dari Laskar Kemerdekaan Hingga Perampok Legendaris 'Robin Hood' Indonesia



JAKARTA – Indonesia menutup lembaran gelap sejarah kriminalnya kemarin, Sabtu, 16 Februari 1980. Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut (51 tahun), tokoh kriminal kelas kakap yang pernah menggemparkan Tanah Air dengan serangkaian perampokan dan aksi pelarian heroik, harus tumbang di hadapan regu tembak setelah penolakan permohonan grasinya oleh Presiden Soeharto.


Kisah hidup Kusni Kasdut, yang dijuluki "Si Kancil" karena kelicinan melarikan diri, adalah sebuah ironi tragis. Perjalanan hidupnya melukiskan garis tipis antara pahlawan revolusi dan bromocorah berdarah dingin.


Fase I: Pejuang Kemerdekaan (1945–1949)

Kusni Kasdut lahir di Blitar, Jawa Timur, pada Desember 1929, dari pasangan petani miskin. Masa mudanya dihabiskan di jalanan Malang. Ketika Proklamasi dikumandangkan, Kusni muda dengan nama asli Waluyo langsung bergabung dengan Laskar Rakyat yang berjuang di front Jawa Timur, termasuk dalam pertempuran sengit 10 November di Surabaya.


Pengabdian Revolusi: Kusni tercatat bergabung dengan laskar yang berafiliasi dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Malang. Ia mahir dalam operasi intelijen dan pertempuran ekonomi, bahkan pernah merampok harta saudagar kaya yang hasilnya ia klaim digunakan untuk mendanai logistik revolusi.


Luka Batin: Setelah Revolusi fisik usai, Kusni gagal diakui sebagai anggota resmi TNI (APRIS) karena cacat luka tembak di kaki. Rasa kecewa mendalam ini, ditambah kesulitan ekonomi pasca-perang, disinyalir menjadi titik balik kelam dalam hidupnya.


Fase II: Dari Veteran Menjadi Bromocorah (1953–1961)

Kekecewaan dan himpitan ekonomi mendorong Kusni terjun ke lembah hitam kriminalitas. Ia membentuk kelompok perampok yang ditakuti.


Kasus Pertama Heboh (1953): Aksi kriminal pertamanya yang menggemparkan adalah perampokan dan pembunuhan seorang hartawan keturunan Arab, Ali Badjened, pada 11 Agustus 1953. Peristiwa ini membuat namanya menjadi buronan utama Kepolisian.


Perampokan Museum Nasional (1961): Puncak kejahatan yang melambungkan nama Kusni ke tingkat legenda terjadi pada 31 Mei 1961. Bersama komplotannya, Kusni menyatroni Museum Gajah (Museum Nasional Jakarta) dengan menyamar sebagai polisi dan menaiki mobil jip. Mereka melumpuhkan penjaga dan berhasil menggondol 11 butir berlian permata koleksi museum yang tak ternilai harganya.


Fase III: Delapan Kali Melarikan Diri dan Pertobatan (1969–1980)

Setelah buron bertahun-tahun, Kusni akhirnya tertangkap di Semarang ketika berusaha menjual berlian hasil rampokan yang ukurannya mencurigakan.


Vonis Mati: Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan vonis hukuman mati pada tahun 1969.


Si Kancil Penjara: Selama penantian eksekusi, Kusni Kasdut mencatatkan sejarah kelam dengan berhasil kabur dari berbagai penjara sebanyak delapan kali (beberapa sumber menyebutkan total delapan). Pelarian terakhirnya pada 10 September 1979 dari Lapas Cipinang menjadi berita utama nasional sebelum akhirnya ditangkap kembali di Surabaya pada 17 Oktober 1979.


Akhir Pertobatan: Selama dipenjara, Kusni Kasdut diketahui dibaptis menjadi Katolik dengan nama Ignatius. Ia banyak menghabiskan waktu dengan melukis, termasuk membuat lukisan gereja dari pelepah pisang. Namun, pertobatan dan permohonan grasi yang diajukannya kepada Presiden tidak dapat membatalkan putusan pengadilan atas kejahatan pembunuhan dan perampokan yang dilakukannya.


Kusni Kasdut dieksekusi oleh regu tembak pada 16 Februari 1980.


Sumber Referensi Utama:


Arsip Berita Surat Kabar Nasional (misalnya Kompas, Tempo, Sinar Harapan) periode 1960–1980.


Buku Biografi "Perjalanan Hidup Kusni Kasdut" oleh Saiful Rahim (1980).


Laporan Kepolisian dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang tahun 1969.


Catatan Sejarah Kriminal dan Revolusi Fisik di Indonesia.

26 October 2025

Silsilah Keluarga Jawa : Moyang ke-18. Mbah Trah Tumerah Moyang ke-17. Mbah Menya-menya Moyang ke-16. Mbah Menyaman Moyang ke-15. Mbah Ampleng Moyang ke-14. Mbah Cumpleng Moyang ke-13. Mbah Giyeng Moyang ke-12. Mbah Cendheng Moyang ke-11. Mbah Gropak Waton Moyang ke-10. Mbah Galih Asem Moyang ke-9. Mbah Debog Bosok Moyang ke-8. Mbah Gropak Sénthé Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg Moyang ke-5. Mbah Wareng Moyang ke-4. Mbah Canggah Moyang ke-3. Mbah Buyut Moyang ke-2. Simbah/ Éyang Moyang ke-1. Bapak/ Ibu Penyebutan KITA Keturunan ke-1. Anak Keturunan ke-2. Putu/ cucu Keturunan ke-3. Buyut/ cicit Keturunan ke-4. Canggah Keturunan ke-5. Wareng Keturunan ke-6. Udhek-Udhek Keturunan ke-7. Gantung Siwur Keturunan ke-8. Gropak Sénthé Keturunan ke-9. Debog Bosok Keturunan ke-10. Galih Asem Keturunan ke-11. Gropak waton Keturunan ke-12. Cendheng Keturunan ke-13. Giyeng Keturunan ke-14. Cumpleng Keturunan ke-15. Ampleng Keturunan ke-16. Menyaman Keturunan ke-17. Menya-menya Keturunan ke-18. Trah tumerah #filosofijawa #fp #fypjangkauanluas

 Silsilah Keluarga Jawa :



Moyang ke-18. Mbah Trah Tumerah

Moyang ke-17. Mbah Menya-menya

Moyang ke-16. Mbah Menyaman

Moyang ke-15. Mbah Ampleng

Moyang ke-14. Mbah Cumpleng

Moyang ke-13. Mbah Giyeng

Moyang ke-12. Mbah Cendheng

Moyang ke-11. Mbah Gropak Waton

Moyang ke-10. Mbah Galih Asem

Moyang ke-9. Mbah Debog Bosok

Moyang ke-8. Mbah Gropak Sénthé

Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur

Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg

Moyang ke-5. Mbah Wareng

Moyang ke-4. Mbah Canggah

Moyang ke-3. Mbah Buyut

Moyang ke-2. Simbah/ Éyang

Moyang ke-1. Bapak/ Ibu


Penyebutan KITA 


Keturunan ke-1. Anak

Keturunan ke-2. Putu/ cucu

Keturunan ke-3. Buyut/ cicit

Keturunan ke-4. Canggah

Keturunan ke-5. Wareng

Keturunan ke-6. Udhek-Udhek

Keturunan ke-7. Gantung Siwur

Keturunan ke-8. Gropak Sénthé

Keturunan ke-9. Debog Bosok

Keturunan ke-10. Galih Asem

Keturunan ke-11. Gropak waton

Keturunan ke-12. Cendheng

Keturunan ke-13. Giyeng

Keturunan ke-14. Cumpleng

Keturunan ke-15. Ampleng

Keturunan ke-16. Menyaman

Keturunan ke-17. Menya-menya

Keturunan ke-18. Trah tumerah


#filosofijawa #fp #fypjangkauanluas

Pembangunan jembatan kereta api di Hindia Belanda, kemungkinan pada jalur Djoekja-Magelang, c. 1880 - 1910 Sumber : Andre Owen

 Pembangunan jembatan kereta api di Hindia Belanda, kemungkinan pada jalur Djoekja-Magelang, c. 1880 - 1910



Sumber : Andre Owen

25 October 2025

TRAGEDI JENDERAL BINTANG SATU: Kisah Mustafa Sjarief Soepardjo, Pangkat Tertinggi dalam Pusaran G30S/PKI‼️ Sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S) menutup lembaran terakhirnya bagi salah satu tokoh utama. Brigadir Jenderal (Brigjen) Mustafa Sjarief Soepardjo, perwira Angkatan Darat (AD) dengan pangkat tertinggi yang terlibat langsung dalam makar G30S, telah dieksekusi mati oleh regu tembak. Kisahnya adalah potret tragis seorang jenderal berpengalaman yang terjebak dalam pusaran konflik ideologi dan strategi militer yang kacau. Profil: Jenderal Ahli Taktik dari Gombong Mustafa Sjarief Soepardjo, lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Maret 1923, memiliki rekam jejak militer yang cemerlang. Ia merupakan lulusan Sekolah Staf dan Komando di Quetta, Pakistan (Sumber: Tirto.id), dan dikenal sebagai ahli strategi militer. Puncak kariernya adalah ketika menjabat Panglima Komando Tempur II (Komput II) di Kalimantan Barat, memimpin 13 batalyon gabungan dalam kampanye Konfrontasi Ganyang Malaysia (Sumber: Merdeka.com). Pada September 1965, Soepardjo tiba di Jakarta atas panggilan mendadak dari Panglima Kolaga, Laksamana Madya Omar Dhani. Namun, alih-alih kembali ke posnya di Kalimantan, ia justru terjerumus dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang merencanakan "Gerakan 30 September". Dalam struktur Dewan Revolusi yang dibentuk sepihak, nama Brigjen Soepardjo dicatut sebagai Wakil Ketua, sebuah posisi di bawah perwira yang dua tingkat lebih rendah, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri. Peran Kunci di Malam Jahanam Keterlibatan Soepardjo memberikan bobot militer yang signifikan bagi G30S. Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, ia hadir di markas komando gerakan di Lubang Buaya/Halim Perdanakusuma. Perannya adalah sebagai perwira senior yang mengamati dan melaporkan perkembangan operasi penculikan kepada Presiden Soekarno yang berada di Halim. Namun, bukannya mendapat dukungan penuh, Presiden justru memerintahkan gerakan tersebut dihentikan (Sumber: Merdeka.com). Laporan dari berbagai sumber menyebutkan, kegagalan merespons perintah ini membuat Soepardjo tersadar akan kekalahan. "Kita Sudah Kalah," ucapnya, seperti dikutip dari kesaksiannya. Ia bahkan berupaya mengambil alih pimpinan dari Letkol Untung karena melihat gerakan itu tidak konsisten, tetapi usahanya ditolak oleh Sjam Kamaruzaman (Biro Khusus PKI) dan Untung (Sumber: Merdeka.com). 'Dokumen Soepardjo': Kritik Internal dari Seorang Loyalis Setelah gerakan itu dipatahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Soepardjo menghilang dan menjadi buronan utama. Dalam pelariannya, sekitar tahun 1966, ia menulis sebuah analisis strategi militer yang kini dikenal sebagai "Dokumen Soepardjo" (ditemukan di Museum TNI Satria Mandala dan dikutip oleh Tempo.co dan Liputan6.com). Dokumen ini menjadi kritik pedas dan jujur dari seorang pelaku. Poin-poin utama kegagalan G30S menurutnya antara lain: Rencana Dangkal: "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal," tulis Soepardjo. Fokus hanya pada penculikan tujuh jenderal tanpa rencana yang jelas bagaimana bertindak jika berhasil atau gagal (Sumber: Liputan6.com). Ketiadaan Komando Tunggal: Ia menyebut adanya tarik ulur antara kubu militer (Untung cs) dan Biro Khusus PKI (Sjam cs), yang menyebabkan tidak adanya garis komando yang ketat dan solid (Sumber: Tirto.id). Kekacauan Logistik: Soepardjo mencatat, pasukan mengalami kemacetan gerakan karena "tidak makan semenjak pagi, siang dan malam," menunjukkan buruknya persiapan operasional (Sumber: Tirto.id). Akhir Pelarian di Hari Raya Selama satu setengah tahun, Brigjen Soepardjo menjadi buronan yang paling sulit ditangkap oleh Operasi Kalong Kodam V/Jaya. Ia berpindah-pindah persembunyian, mulai dari Cilincing hingga ke kawasan Halim (Sumber: Historia.ID). Drama penangkapan Soepardjo berakhir pada dini hari 12 Januari 1967, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Tim Operasi Kalong yang dipimpin Kapten CPM Suroso berhasil mengepung sebuah rumah di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Setelah penggeledahan, Soepardjo ditemukan bersembunyi di atas loteng dan menyerahkan diri setelah diancam tembak (Sumber: Historia.ID, - Operasi Kalong). Pada tahun yang sama, ia diadili di Mahmilub dan divonis hukuman mati. Grasi yang diajukan kepada Presiden Soeharto ditolak. Saksi mata di Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimahi mengenang saat-saat terakhirnya. Sehari sebelum eksekusi, Soepardjo bertemu seluruh keluarganya. Pada pagi hari 16 Mei 1970 (meskipun ada sumber lain yang menyebut 18 Maret 1967, sumber Wikipedia dan Merdeka.com cenderung pada 16 Mei 1970), sebelum dibawa ke hadapan regu tembak, Soepardjo dikabarkan sempat mengumandangkan Adzan di dalam selnya, sebuah penutup kisah yang menyentuh hati para penghuni penjara (Sumber: Intisari Online, Wikipedia).

 TRAGEDI JENDERAL BINTANG SATU: Kisah Mustafa Sjarief Soepardjo, Pangkat Tertinggi dalam Pusaran G30S/PKI‼️



Sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S) menutup lembaran terakhirnya bagi salah satu tokoh utama. Brigadir Jenderal (Brigjen) Mustafa Sjarief Soepardjo, perwira Angkatan Darat (AD) dengan pangkat tertinggi yang terlibat langsung dalam makar G30S, telah dieksekusi mati oleh regu tembak. Kisahnya adalah potret tragis seorang jenderal berpengalaman yang terjebak dalam pusaran konflik ideologi dan strategi militer yang kacau.


Profil: Jenderal Ahli Taktik dari Gombong

Mustafa Sjarief Soepardjo, lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Maret 1923, memiliki rekam jejak militer yang cemerlang. Ia merupakan lulusan Sekolah Staf dan Komando di Quetta, Pakistan (Sumber: Tirto.id), dan dikenal sebagai ahli strategi militer. Puncak kariernya adalah ketika menjabat Panglima Komando Tempur II (Komput II) di Kalimantan Barat, memimpin 13 batalyon gabungan dalam kampanye Konfrontasi Ganyang Malaysia (Sumber: Merdeka.com).


Pada September 1965, Soepardjo tiba di Jakarta atas panggilan mendadak dari Panglima Kolaga, Laksamana Madya Omar Dhani. Namun, alih-alih kembali ke posnya di Kalimantan, ia justru terjerumus dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang merencanakan "Gerakan 30 September". Dalam struktur Dewan Revolusi yang dibentuk sepihak, nama Brigjen Soepardjo dicatut sebagai Wakil Ketua, sebuah posisi di bawah perwira yang dua tingkat lebih rendah, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri.


Peran Kunci di Malam Jahanam

Keterlibatan Soepardjo memberikan bobot militer yang signifikan bagi G30S. Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, ia hadir di markas komando gerakan di Lubang Buaya/Halim Perdanakusuma.


Perannya adalah sebagai perwira senior yang mengamati dan melaporkan perkembangan operasi penculikan kepada Presiden Soekarno yang berada di Halim. Namun, bukannya mendapat dukungan penuh, Presiden justru memerintahkan gerakan tersebut dihentikan (Sumber: Merdeka.com).


Laporan dari berbagai sumber menyebutkan, kegagalan merespons perintah ini membuat Soepardjo tersadar akan kekalahan. "Kita Sudah Kalah," ucapnya, seperti dikutip dari kesaksiannya. Ia bahkan berupaya mengambil alih pimpinan dari Letkol Untung karena melihat gerakan itu tidak konsisten, tetapi usahanya ditolak oleh Sjam Kamaruzaman (Biro Khusus PKI) dan Untung (Sumber: Merdeka.com).


'Dokumen Soepardjo': Kritik Internal dari Seorang Loyalis

Setelah gerakan itu dipatahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Soepardjo menghilang dan menjadi buronan utama. Dalam pelariannya, sekitar tahun 1966, ia menulis sebuah analisis strategi militer yang kini dikenal sebagai "Dokumen Soepardjo" (ditemukan di Museum TNI Satria Mandala dan dikutip oleh Tempo.co dan Liputan6.com).


Dokumen ini menjadi kritik pedas dan jujur dari seorang pelaku. Poin-poin utama kegagalan G30S menurutnya antara lain:


Rencana Dangkal: "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal," tulis Soepardjo. Fokus hanya pada penculikan tujuh jenderal tanpa rencana yang jelas bagaimana bertindak jika berhasil atau gagal (Sumber: Liputan6.com).


Ketiadaan Komando Tunggal: Ia menyebut adanya tarik ulur antara kubu militer (Untung cs) dan Biro Khusus PKI (Sjam cs), yang menyebabkan tidak adanya garis komando yang ketat dan solid (Sumber: Tirto.id).


Kekacauan Logistik: Soepardjo mencatat, pasukan mengalami kemacetan gerakan karena "tidak makan semenjak pagi, siang dan malam," menunjukkan buruknya persiapan operasional (Sumber: Tirto.id).


Akhir Pelarian di Hari Raya

Selama satu setengah tahun, Brigjen Soepardjo menjadi buronan yang paling sulit ditangkap oleh Operasi Kalong Kodam V/Jaya. Ia berpindah-pindah persembunyian, mulai dari Cilincing hingga ke kawasan Halim (Sumber: Historia.ID).


Drama penangkapan Soepardjo berakhir pada dini hari 12 Januari 1967, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Tim Operasi Kalong yang dipimpin Kapten CPM Suroso berhasil mengepung sebuah rumah di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Setelah penggeledahan, Soepardjo ditemukan bersembunyi di atas loteng dan menyerahkan diri setelah diancam tembak (Sumber: Historia.ID, - Operasi Kalong).


Pada tahun yang sama, ia diadili di Mahmilub dan divonis hukuman mati. Grasi yang diajukan kepada Presiden Soeharto ditolak.


Saksi mata di Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimahi mengenang saat-saat terakhirnya. Sehari sebelum eksekusi, Soepardjo bertemu seluruh keluarganya. Pada pagi hari 16 Mei 1970 (meskipun ada sumber lain yang menyebut 18 Maret 1967, sumber Wikipedia dan Merdeka.com cenderung pada 16 Mei 1970), sebelum dibawa ke hadapan regu tembak, Soepardjo dikabarkan sempat mengumandangkan Adzan di dalam selnya, sebuah penutup kisah yang menyentuh hati para penghuni penjara (Sumber: Intisari Online, Wikipedia).

24 October 2025

KAHAR MUZAKKAR SANG PATRIOT YANG AKHIRNYA MEMBERONTAK PADA NEGARA Nama Abdul Kahar Muzakkar terukir dalam sejarah Indonesia dengan tinta paradoks. Di satu sisi, ia adalah pejuang kemerdekaan yang gigih dari tanah Sulawesi. Di sisi lain, ia adalah simbol pemberontakan regional terlama yang pernah dihadapi republik muda. Kisahnya adalah studi kasus klasik tentang bagaimana idealisme kedaerahan, kekecewaan politik, dan realitas konsolidasi negara baru dapat berbenturan secara tragis. Perjalanan Kahar Muzakkar bukanlah hitam-putih. Ia adalah potret rumit seorang patriot yang merasa dikhianati, yang akhirnya memilih jalan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat yang turut ia perjuangkan. Bagian I: Api Perjuangan dari Luwu Lahir di Luwu, Sulawesi Selatan, pada tahun 1921, Kahar Muzakkar tumbuh dalam gejolak zaman. Ia dikenal sebagai sosok pemuda cerdas, karismatik, namun juga keras kepala. Pendidikan awalnya di sekolah Muhammadiyah membentuk pandangan keislamannya yang kuat. Ketika api revolusi kemerdekaan berkobar pasca-1945, Kahar tidak tinggal diam. Ia aktif dalam perjuangan gerilya melawan Belanda (NICA) di Sulawesi. Namanya mencuat sebagai pemimpin Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Ia piawai mengorganisasi laskar-laskar rakyat yang tersebar di pedalaman. Bagi para pengikutnya, Kahar adalah simbol perlawanan dan harga diri rakyat Sulawesi. Ia memimpin mereka dalam pertempuran sengit, menanamkan semangat jihad melawan penjajah. Dedikasinya pada kemerdekaan tak perlu diragukan; ia adalah patriot di garis depan. Bagian II: Titik Patah di Meja Reorganisasi Bentrokan fatal itu dimulai bukan dengan peluru, melainkan dengan birokrasi. Setelah pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)—yang kemudian menjadi RI—memulai program berat: rasionalisasi dan reorganisasi tentara. Semua laskar rakyat, termasuk yang dipimpin Kahar, harus dilebur ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di sinilah letak masalahnya. Kahar Muzakkar memimpin sekitar 10.000 gerilyawan yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Ia memiliki tuntutan yang jelas kepada Jakarta: Seluruh anggota KGSS harus diterima menjadi anggota APRIS. Mereka ingin dibentuk dalam satu brigade tersendiri, yakni Brigade Hasanuddin. Kahar Muzakkar sendiri yang harus menjadi komandan brigade tersebut, dengan pangkat Letnan Kolonel. Penolakan dari Jakarta Pemerintah pusat, yang dimotori oleh A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), menolak tuntutan tersebut. Bagi Jakarta, tentara profesional harus didasarkan pada standar pendidikan formal dan pelatihan militer standar (banyak perwira inti TNI saat itu berlatar belakang KNIL atau PETA), bukan sekadar pengalaman gerilya. Pemerintah hanya mau menerima anggota KGSS secara individual dan melalui seleksi ketat. Tawaran kompromi diajukan: Kahar ditawari pangkat Letnan Kolonel, namun ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jakarta, jauh dari pasukannya. Bagi Kahar, ini adalah penghinaan. Ia dan pasukannya merasa telah berjuang, berdarah-darah mengusir Belanda, namun kini disingkirkan oleh "tentara salon" di Jakarta yang tidak memahami pahitnya perang gerilya. Mereka merasa perjuangan mereka tidak dihargai. Bagian III: Dari Hutan ke Bendera DI/TII Merasa dikhianati dan tersingkir, Kahar Muzakkar membuat pilihan drastis. Pada April 1950, ia menolak tawaran Jakarta dan memutuskan "turun gunung"—atau lebih tepatnya, kembali ke hutan—bersama para pengikutnya yang setia. Awalnya, gerakan Kahar murni bersifat protes regional dan kekecewaan militer. Ia menuntut otonomi yang lebih besar bagi Sulawesi dan penghargaan atas jasa para gerilyawan. Namun, isolasi dan tekanan dari operasi militer pemerintah pusat mendorongnya ke arah yang lebih ideologis. Pada 7 Agustus 1953, Kahar Muzakkar mengambil langkah yang mengubah statusnya dari seorang "pejuang kecewa" menjadi "pemberontak". Ia memproklamasikan bahwa Sulawesi Selatan adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang sebelumnya telah diproklamasikan oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat. Gerakannya secara resmi bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kahar diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII. Perjuangan yang tadinya menuntut hak militer, kini berubah menjadi perjuangan ideologis untuk mendirikan negara berdasarkan syariat Islam, terpisah dari Republik Indonesia yang dianggapnya sekuler. Bagian IV: Perang Gerilya Panjang dan Akhir di Sungai Lasolo Pemberontakan DI/TII di bawah Kahar Muzakkar berlangsung sangat lama, bertahan selama 15 tahun (1950-1965). Ia menerapkan taktik gerilya yang brilian, memanfaatkan medan hutan dan pegunungan Sulawesi yang ia kuasai, serta dukungan kuat (seringkali di bawah paksaan) dari basis massa di pedesaan. Pemerintah pusat silih berganti melancarkan operasi militer (seperti Operasi Kilat dan Operasi Tumpas) untuk menaklukkannya, namun selalu gagal. Kahar licin seperti belut. Namun, kekuatan gerilya akhirnya terkikis. Perselisihan internal, tekanan militer TNI yang semakin intensif di bawah komando Jenderal M. Jusuf (yang ironisnya juga putra Sulawesi), dan kelelahan rakyat membuat ruang gerak Kahar semakin sempit. Pada 3 Februari 1965, dalam sebuah penyergapan Operasi Tumpas oleh Batalion 330/Kujang I dari Divisi Siliwangi, pelarian Kahar Muzakkar berakhir. Ia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Jasadnya dilaporkan diterbangkan ke Makassar untuk diidentifikasi sebelum dimakamkan di lokasi yang dirahasiakan oleh militer untuk mencegah makamnya dijadikan simbol perlawanan baru. Kematian Kahar menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Namun, kisahnya tetap menjadi memori kolektif yang kompleks: seorang pahlawan revolusi yang berbelok menjadi musuh negara, didorong oleh apa yang ia yakini sebagai pengkhianatan atas idealismenya. SUMBER DAN REFERENSI UTAMA Kisah ini disarikan dari berbagai catatan sejarah dan analisis akademik. Berikut adalah beberapa sumber kunci yang mengulas fenomena Kahar Muzakkar: Harvey, Barbara Sillars. (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965. Disertasi doktoral dari Cornell University ini dianggap sebagai studi paling komprehensif dan mendalam mengenai latar belakang sosial, budaya, dan politik pemberontakan Kahar Muzakkar. Gonggong, Anhar. (1992). Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak. Buku karya sejarawan Indonesia ini memberikan biografi mendetail mengenai perjalanan hidup Kahar, ditulis dari perspektif nasional. Van Dijk, Cornelis. (1981). Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Buku ini menempatkan gerakan Kahar Muzakkar dalam konteks pemberontakan DI/TII yang lebih luas di berbagai wilayah Indonesia (Jawa Barat, Aceh). Nasution, A.H. (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Memoar Jenderal Nasution memberikan perspektif dari pemerintah pusat mengenai kebijakan rasionalisasi APRIS yang menjadi pemicu awal konflik. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. (1994). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Kodam VII/Wirabuana. Catatan sejarah militer resmi ini merinci operasi-operasi penumpasan yang dilakukan TNI terhadap gerakan Kahar Muzakkar. Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Buku teks standar mengenai sejarah Indonesia modern ini menempatkan pemberontakan Kahar dalam konteks konsolidasi negara-bangsa pasca-kemerdekaan.

 KAHAR MUZAKKAR SANG PATRIOT YANG AKHIRNYA MEMBERONTAK PADA NEGARA


Nama Abdul Kahar Muzakkar terukir dalam sejarah Indonesia dengan tinta paradoks. Di satu sisi, ia adalah pejuang kemerdekaan yang gigih dari tanah Sulawesi. Di sisi lain, ia adalah simbol pemberontakan regional terlama yang pernah dihadapi republik muda. Kisahnya adalah studi kasus klasik tentang bagaimana idealisme kedaerahan, kekecewaan politik, dan realitas konsolidasi negara baru dapat berbenturan secara tragis.



Perjalanan Kahar Muzakkar bukanlah hitam-putih. Ia adalah potret rumit seorang patriot yang merasa dikhianati, yang akhirnya memilih jalan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat yang turut ia perjuangkan.


Bagian I: Api Perjuangan dari Luwu

Lahir di Luwu, Sulawesi Selatan, pada tahun 1921, Kahar Muzakkar tumbuh dalam gejolak zaman. Ia dikenal sebagai sosok pemuda cerdas, karismatik, namun juga keras kepala. Pendidikan awalnya di sekolah Muhammadiyah membentuk pandangan keislamannya yang kuat.


Ketika api revolusi kemerdekaan berkobar pasca-1945, Kahar tidak tinggal diam. Ia aktif dalam perjuangan gerilya melawan Belanda (NICA) di Sulawesi. Namanya mencuat sebagai pemimpin Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Ia piawai mengorganisasi laskar-laskar rakyat yang tersebar di pedalaman.


Bagi para pengikutnya, Kahar adalah simbol perlawanan dan harga diri rakyat Sulawesi. Ia memimpin mereka dalam pertempuran sengit, menanamkan semangat jihad melawan penjajah. Dedikasinya pada kemerdekaan tak perlu diragukan; ia adalah patriot di garis depan.


Bagian II: Titik Patah di Meja Reorganisasi

Bentrokan fatal itu dimulai bukan dengan peluru, melainkan dengan birokrasi. Setelah pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)—yang kemudian menjadi RI—memulai program berat: rasionalisasi dan reorganisasi tentara.


Semua laskar rakyat, termasuk yang dipimpin Kahar, harus dilebur ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di sinilah letak masalahnya.


Kahar Muzakkar memimpin sekitar 10.000 gerilyawan yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Ia memiliki tuntutan yang jelas kepada Jakarta:


Seluruh anggota KGSS harus diterima menjadi anggota APRIS.


Mereka ingin dibentuk dalam satu brigade tersendiri, yakni Brigade Hasanuddin.


Kahar Muzakkar sendiri yang harus menjadi komandan brigade tersebut, dengan pangkat Letnan Kolonel.


Penolakan dari Jakarta

Pemerintah pusat, yang dimotori oleh A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), menolak tuntutan tersebut. Bagi Jakarta, tentara profesional harus didasarkan pada standar pendidikan formal dan pelatihan militer standar (banyak perwira inti TNI saat itu berlatar belakang KNIL atau PETA), bukan sekadar pengalaman gerilya.


Pemerintah hanya mau menerima anggota KGSS secara individual dan melalui seleksi ketat. Tawaran kompromi diajukan: Kahar ditawari pangkat Letnan Kolonel, namun ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jakarta, jauh dari pasukannya.


Bagi Kahar, ini adalah penghinaan. Ia dan pasukannya merasa telah berjuang, berdarah-darah mengusir Belanda, namun kini disingkirkan oleh "tentara salon" di Jakarta yang tidak memahami pahitnya perang gerilya. Mereka merasa perjuangan mereka tidak dihargai.


Bagian III: Dari Hutan ke Bendera DI/TII

Merasa dikhianati dan tersingkir, Kahar Muzakkar membuat pilihan drastis. Pada April 1950, ia menolak tawaran Jakarta dan memutuskan "turun gunung"—atau lebih tepatnya, kembali ke hutan—bersama para pengikutnya yang setia.


Awalnya, gerakan Kahar murni bersifat protes regional dan kekecewaan militer. Ia menuntut otonomi yang lebih besar bagi Sulawesi dan penghargaan atas jasa para gerilyawan. Namun, isolasi dan tekanan dari operasi militer pemerintah pusat mendorongnya ke arah yang lebih ideologis.


Pada 7 Agustus 1953, Kahar Muzakkar mengambil langkah yang mengubah statusnya dari seorang "pejuang kecewa" menjadi "pemberontak". Ia memproklamasikan bahwa Sulawesi Selatan adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang sebelumnya telah diproklamasikan oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat.


Gerakannya secara resmi bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kahar diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII. Perjuangan yang tadinya menuntut hak militer, kini berubah menjadi perjuangan ideologis untuk mendirikan negara berdasarkan syariat Islam, terpisah dari Republik Indonesia yang dianggapnya sekuler.


Bagian IV: Perang Gerilya Panjang dan Akhir di Sungai Lasolo

Pemberontakan DI/TII di bawah Kahar Muzakkar berlangsung sangat lama, bertahan selama 15 tahun (1950-1965). Ia menerapkan taktik gerilya yang brilian, memanfaatkan medan hutan dan pegunungan Sulawesi yang ia kuasai, serta dukungan kuat (seringkali di bawah paksaan) dari basis massa di pedesaan.


Pemerintah pusat silih berganti melancarkan operasi militer (seperti Operasi Kilat dan Operasi Tumpas) untuk menaklukkannya, namun selalu gagal. Kahar licin seperti belut.


Namun, kekuatan gerilya akhirnya terkikis. Perselisihan internal, tekanan militer TNI yang semakin intensif di bawah komando Jenderal M. Jusuf (yang ironisnya juga putra Sulawesi), dan kelelahan rakyat membuat ruang gerak Kahar semakin sempit.


Pada 3 Februari 1965, dalam sebuah penyergapan Operasi Tumpas oleh Batalion 330/Kujang I dari Divisi Siliwangi, pelarian Kahar Muzakkar berakhir. Ia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Jasadnya dilaporkan diterbangkan ke Makassar untuk diidentifikasi sebelum dimakamkan di lokasi yang dirahasiakan oleh militer untuk mencegah makamnya dijadikan simbol perlawanan baru.


Kematian Kahar menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Namun, kisahnya tetap menjadi memori kolektif yang kompleks: seorang pahlawan revolusi yang berbelok menjadi musuh negara, didorong oleh apa yang ia yakini sebagai pengkhianatan atas idealismenya.


SUMBER DAN REFERENSI UTAMA

Kisah ini disarikan dari berbagai catatan sejarah dan analisis akademik. Berikut adalah beberapa sumber kunci yang mengulas fenomena Kahar Muzakkar:


Harvey, Barbara Sillars. (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965. Disertasi doktoral dari Cornell University ini dianggap sebagai studi paling komprehensif dan mendalam mengenai latar belakang sosial, budaya, dan politik pemberontakan Kahar Muzakkar.


Gonggong, Anhar. (1992). Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak. Buku karya sejarawan Indonesia ini memberikan biografi mendetail mengenai perjalanan hidup Kahar, ditulis dari perspektif nasional.


Van Dijk, Cornelis. (1981). Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Buku ini menempatkan gerakan Kahar Muzakkar dalam konteks pemberontakan DI/TII yang lebih luas di berbagai wilayah Indonesia (Jawa Barat, Aceh).


Nasution, A.H. (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Memoar Jenderal Nasution memberikan perspektif dari pemerintah pusat mengenai kebijakan rasionalisasi APRIS yang menjadi pemicu awal konflik.


Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. (1994). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Kodam VII/Wirabuana. Catatan sejarah militer resmi ini merinci operasi-operasi penumpasan yang dilakukan TNI terhadap gerakan Kahar Muzakkar.


Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Buku teks standar mengenai sejarah Indonesia modern ini menempatkan pemberontakan Kahar dalam konteks konsolidasi negara-bangsa pasca-kemerdekaan.

KISAH PILU PANGLIMA BATUR, PEMBERANI DAYAK ISLAM YANG DIKHIANATI OLEH AIR MATA KASIH SAYANG BANJARMASIN— Di jantung Pulau Borneo, dari pusaran air Sungai Barito yang keruh dan perkasa, bangkitlah seorang putra dusun dengan jiwa membara, Panglima Batur bin Barui (1852-1905). Kisahnya bukan sekadar catatan perang, melainkan sebuah tragedi heroik yang mengoyak hati, tentang kesetiaan seorang panglima Dayak-Bakumpai kepada tanah, agama, dan pemimpinnya, hingga titik darah penghabisan di tiang gantungan. Panglima Batur adalah ujung tombak dari Perang Barito, sebuah episode menyayat hati yang menjadi kelanjutan Perang Banjar (1859-1905). Bersama Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari, Batur bersumpah mempertahankan kedaulatan Banjar hingga napas terakhir. Benteng Manawing: Saksi Bisu Kesetiaan yang Hancur Panglima Batur, seorang panglima perang yang terkenal cerdik, pemberani, dan disegani, menjadikan Benteng Manawing sebagai pertahanan terakhir. Benteng kayu ini adalah harapan terakhir rakyat melawan serbuan Kompeni Belanda, yang dipimpin Letnan Christofel dengan pasukan Marsose berpengalaman dari Perang Aceh. Namun, takdir berkata lain. Pada Januari 1905, badai serangan yang tak seimbang menghantam Manawing. Panglima Batur, yang saat itu ditugaskan mencari bantuan mesiu ke Kesultanan Pasir, harus menelan pil pahit. Sekembalinya ia dari misi, Benteng Manawing telah musnah. Pilu tak terperikan membekap dadanya. Di antara puing-puing, ia mendapati kabar duka yang meruntuhkan semangatnya: Sultan Muhammad Seman, sang pemimpin agung, telah gugur tertembak sebagai kusuma bangsa. "Kesedihan yang mendalam, bukan hanya kehilangan pemimpin, tetapi rasa hampa karena pertahanan terakhir telah direnggut paksa," ujar sejarawan setempat (Sjamsuddin, Helius, Pegustian dan Temenggung, 2001). Jebakan Licik yang Memanfaatkan Hati Nurani Setelah gugurnya Sultan Seman, Panglima Batur menjadi satu-satunya pimpinan perjuangan yang tersisa, terlalu licin untuk ditangkap Belanda. Ia dikenal memiliki keteguhan hati baja, namun memiliki satu kelemahan fatal: mudah terharu dan bersedih melihat penderitaan orang-orang yang dicintainya, terutama keluarga dan anak buahnya. Kelemahan inilah yang menjadi senjata paling kejam di tangan Residen Belanda, van Wear. Belanda menyusun jebakan biadab. Mereka menangkap dan menyiksa keponakan Panglima Batur di Kampung Lemo. Pesan disampaikan: keponakan tersebut akan dibebaskan hanya jika sang Panglima bersedia datang untuk "berunding". Hati seorang panglima sejati, yang selama ini kebal peluru dan pantang menyerah, luluh oleh tangis keponakannya. Antara tugas suci dan jeritan kasih sayang keluarga, Panglima Batur memilih yang terakhir. Dengan langkah berat dan diiringi orang-orang sekampung yang berduka, ia berangkat ke Muara Teweh pada 24 Agustus 1905. Namun, janji "perundingan" itu hanyalah sebuah topeng penghinaan. Setibanya di sana, Panglima Batur langsung ditangkap sebagai tawanan. Permintaan Terakhir di Tiang Gantungan Setelah dua minggu ditawan dan diarak keliling Muara Teweh dan Banjarmasin, dipermalukan sebagai "pemberontak keras kepala," Panglima Batur dihadapkan ke pengadilan kolonial. Mahkamah Agung Batavia menjatuhkan hukuman yang paling keji: mati di tiang gantungan. Pagi buta tanggal 15 September 1905 (versi lain: 30 Mei 1906), di halaman penjara Banjarmasin, ribuan rakyat berdatangan, namun dilarang menyaksikan. Di tengah kesunyian mencekam itu, Panglima Batur menyampaikan permintaan terakhirnya: ia meminta dibacakan Dua Kalimah Syahadat. Permintaan seorang panglima Dayak yang teguh memeluk Islam itu disambut dengan keheningan khidmat. Ia menyambut tali gantungan dengan ketenangan luar biasa, seolah-olah tiang itu adalah pintu gerbang menuju kemuliaan abadi. Panglima Batur gugur sebagai martir, dimakamkan pertama kali di belakang Masjid Jami Banjarmasin, dan kemudian dipindahkan ke Kompleks Makam Pangeran Antasari, menyatu kembali dengan pemimpinnya (Sumber: Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906; Sjamsuddin, Helius, 2001). Kisah Panglima Batur adalah epitaf abadi tentang perjuangan, pengorbanan, dan harga yang harus dibayar demi harga diri bangsa. Ia adalah pahlawan dari Barito, yang kelemahan terbesarnya justru adalah kemanusiaannya yang tulus. SUMBER-SUMBER PENDUKUNG: Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka, 2001. Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906 (Dokumen Belanda). Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito 1900-1907: Perlawanan Panglima Batur. Banjar Aji, 2008. H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur di Kancah Perang Barito. Penerbit Mekar Surya, 2012. Arsip Sejarah Lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (lisan dan tulisan).

 KISAH PILU PANGLIMA BATUR, PEMBERANI DAYAK ISLAM YANG DIKHIANATI OLEH AIR MATA KASIH SAYANG



BANJARMASIN— Di jantung Pulau Borneo, dari pusaran air Sungai Barito yang keruh dan perkasa, bangkitlah seorang putra dusun dengan jiwa membara, Panglima Batur bin Barui (1852-1905). Kisahnya bukan sekadar catatan perang, melainkan sebuah tragedi heroik yang mengoyak hati, tentang kesetiaan seorang panglima Dayak-Bakumpai kepada tanah, agama, dan pemimpinnya, hingga titik darah penghabisan di tiang gantungan.


Panglima Batur adalah ujung tombak dari Perang Barito, sebuah episode menyayat hati yang menjadi kelanjutan Perang Banjar (1859-1905). Bersama Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari, Batur bersumpah mempertahankan kedaulatan Banjar hingga napas terakhir.


Benteng Manawing: Saksi Bisu Kesetiaan yang Hancur


Panglima Batur, seorang panglima perang yang terkenal cerdik, pemberani, dan disegani, menjadikan Benteng Manawing sebagai pertahanan terakhir. Benteng kayu ini adalah harapan terakhir rakyat melawan serbuan Kompeni Belanda, yang dipimpin Letnan Christofel dengan pasukan Marsose berpengalaman dari Perang Aceh.


Namun, takdir berkata lain. Pada Januari 1905, badai serangan yang tak seimbang menghantam Manawing. Panglima Batur, yang saat itu ditugaskan mencari bantuan mesiu ke Kesultanan Pasir, harus menelan pil pahit. Sekembalinya ia dari misi, Benteng Manawing telah musnah.


Pilu tak terperikan membekap dadanya. Di antara puing-puing, ia mendapati kabar duka yang meruntuhkan semangatnya: Sultan Muhammad Seman, sang pemimpin agung, telah gugur tertembak sebagai kusuma bangsa.


"Kesedihan yang mendalam, bukan hanya kehilangan pemimpin, tetapi rasa hampa karena pertahanan terakhir telah direnggut paksa," ujar sejarawan setempat (Sjamsuddin, Helius, Pegustian dan Temenggung, 2001).


Jebakan Licik yang Memanfaatkan Hati Nurani


Setelah gugurnya Sultan Seman, Panglima Batur menjadi satu-satunya pimpinan perjuangan yang tersisa, terlalu licin untuk ditangkap Belanda. Ia dikenal memiliki keteguhan hati baja, namun memiliki satu kelemahan fatal: mudah terharu dan bersedih melihat penderitaan orang-orang yang dicintainya, terutama keluarga dan anak buahnya.


Kelemahan inilah yang menjadi senjata paling kejam di tangan Residen Belanda, van Wear.


Belanda menyusun jebakan biadab. Mereka menangkap dan menyiksa keponakan Panglima Batur di Kampung Lemo. Pesan disampaikan: keponakan tersebut akan dibebaskan hanya jika sang Panglima bersedia datang untuk "berunding".


Hati seorang panglima sejati, yang selama ini kebal peluru dan pantang menyerah, luluh oleh tangis keponakannya. Antara tugas suci dan jeritan kasih sayang keluarga, Panglima Batur memilih yang terakhir. Dengan langkah berat dan diiringi orang-orang sekampung yang berduka, ia berangkat ke Muara Teweh pada 24 Agustus 1905.


Namun, janji "perundingan" itu hanyalah sebuah topeng penghinaan. Setibanya di sana, Panglima Batur langsung ditangkap sebagai tawanan.


Permintaan Terakhir di Tiang Gantungan


Setelah dua minggu ditawan dan diarak keliling Muara Teweh dan Banjarmasin, dipermalukan sebagai "pemberontak keras kepala," Panglima Batur dihadapkan ke pengadilan kolonial. Mahkamah Agung Batavia menjatuhkan hukuman yang paling keji: mati di tiang gantungan.


Pagi buta tanggal 15 September 1905 (versi lain: 30 Mei 1906), di halaman penjara Banjarmasin, ribuan rakyat berdatangan, namun dilarang menyaksikan. Di tengah kesunyian mencekam itu, Panglima Batur menyampaikan permintaan terakhirnya: ia meminta dibacakan Dua Kalimah Syahadat.


Permintaan seorang panglima Dayak yang teguh memeluk Islam itu disambut dengan keheningan khidmat. Ia menyambut tali gantungan dengan ketenangan luar biasa, seolah-olah tiang itu adalah pintu gerbang menuju kemuliaan abadi.


Panglima Batur gugur sebagai martir, dimakamkan pertama kali di belakang Masjid Jami Banjarmasin, dan kemudian dipindahkan ke Kompleks Makam Pangeran Antasari, menyatu kembali dengan pemimpinnya (Sumber: Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906; Sjamsuddin, Helius, 2001).


Kisah Panglima Batur adalah epitaf abadi tentang perjuangan, pengorbanan, dan harga yang harus dibayar demi harga diri bangsa. Ia adalah pahlawan dari Barito, yang kelemahan terbesarnya justru adalah kemanusiaannya yang tulus.


SUMBER-SUMBER PENDUKUNG:


Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka, 2001.


Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906 (Dokumen Belanda).


Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito 1900-1907: Perlawanan Panglima Batur. Banjar Aji, 2008.


H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur di Kancah Perang Barito. Penerbit Mekar Surya, 2012.


Arsip Sejarah Lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (lisan dan tulisan).

Presiden Soeharto menandatangani RAPBN 1969 pada 21 Mart 1969 sebagai awal dimulainya Repelita1. Dibentuknya tim ahli ekonomi yang mengarsiteki ekonomi orde baru yang sering di sebut 'Mafia Berkeley" yang terdiri dari Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli yang semuanya akademisi lulusan AS. Sedangkan Sumitro Joyohadikusumo ditugasi sebagai menteri perdagangan. Pada 1 April 1969 dimulainyah pelaksanaan Pelita I (1969–1974). Program kerja Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sarannya prioritasnya pembangunan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Dengan memprioritaskan pembangunan bidang pertanian untuk mencukupi kebutuhan makan rakyat. 📷Nostalgia era 80 an

 Presiden Soeharto menandatangani RAPBN 1969 pada 21 Mart 1969 sebagai awal dimulainya Repelita1. Dibentuknya tim ahli ekonomi yang mengarsiteki ekonomi orde baru yang sering di sebut 'Mafia Berkeley" yang terdiri dari  Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli yang semuanya akademisi lulusan AS. Sedangkan Sumitro Joyohadikusumo ditugasi sebagai menteri perdagangan. Pada 1 April 1969 dimulainyah  pelaksanaan Pelita I (1969–1974). Program kerja Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sarannya prioritasnya pembangunan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Dengan memprioritaskan pembangunan bidang pertanian untuk mencukupi kebutuhan makan rakyat.



📷Nostalgia era 80 an

23 October 2025

Rencana pembunuhan Soekarno, Untung & Soejono menolak, diam-diam Aidit/Syam jalan terus. Dalam Sidang Mahmilub terungkap rencana pembunuhan Soekarno oleh Latief & Sjam. Rencana ini ditolak oleh Mayor udara Soejono & Letkol Untung. Setelah terjadinya Debat panjang antara 4 pelaku G30spki ini, maka rencana pembunuhan Soekarno, tidak jadi dilakukan. Syam berkata akan melaporkan hal ini kepada Aidit(Ketua). Tapi Apa yg terjadi? Ternyata rencana pembunuhan terhadap Soekarno akan tetap dilakukan tanpa sepengetahuan Untung & Soejono. Ini terbukti Pada tanggal 2 Oktober 1965, setelah TNI menguasai halim, ditemukan bukti² lapangan, berikut rekaman pengakuan kader² pki di halim bahwa mereka diberi tugas untuk menghabisi Soekarno setelah G30spki berhasil. Jika dilihat dari rantai komando pki dan fakta di mahmilub hanya 3 nama yg mungkin memerintahkan rencana ini, yaitu aidit, syam atau bahkan Latief. Bukti² tgl 2 Oktober ini termasuk yg dibawa ke Istana Bogor oleh Soeharto, Yoga Sugomo dan ajudan dari kostrad untuk dilaporkan kepada Soekarno, tapi Soekarno menolak membahas bukti² rencana pembunuhan tersebut. Soekarno menyuruh Soebandrio dan Brigjen Sabur untuk membahasnya di ruang tunggu istana bogor, bukti² rencana pembunuhan ini akhirnya terkubur dalam sejarah karena tidak pernah dibuka kembali. Puluhan tahun kemudian sekitar tahun 2008/2009 dengan dibukanya Dokumen China, terlihat rencana penyingkiran Soekarno sebagai presiden oleh Pki itu memang nyata. Marsekal Chen-yi berpendapat " Bagi saya Pribadi, jika Soekarno dijatuhkan itu adalah hal yg baik, Soekarno memang bisa menjadi mediator kelompok sayap kanan (Anti Nasakom) dengan kelompok sayap kiri (PKI) tapi masa depan Indonesia tergantung dari Perlawanan bersenjata PKI, dan hal itu adalah yg paling penting." Dari sini Terlihat jelas bahwa sudah terbukti G30spki itu sebetulnya adalah KUDETA TERSELUBUNG PKI terhadap Soekarno, dengan memanfaatkan isu Dewan Jenderal dan bertujuan menjadikan Indonesia negara boneka komunis seperti Korut. (Lintangangrem 2025) Sumber : 1. Berkas Mahmilub Untung. 2. Memori Yoga Sugomo. 3. Surat Dokumen China. foto Repro Soekarno, aidit dan Brigjen Sugandhi kredit Foto ke Pemilik Aslinya.

 Rencana pembunuhan Soekarno, Untung & Soejono menolak, diam-diam Aidit/Syam jalan terus.



Dalam Sidang Mahmilub terungkap rencana pembunuhan Soekarno oleh Latief & Sjam.

Rencana ini ditolak oleh Mayor udara Soejono & Letkol Untung.

Setelah terjadinya Debat panjang antara 4 pelaku G30spki ini, maka rencana pembunuhan Soekarno, tidak jadi dilakukan.

Syam berkata akan melaporkan hal ini kepada Aidit(Ketua).

Tapi Apa yg terjadi? Ternyata rencana pembunuhan terhadap Soekarno akan tetap dilakukan tanpa sepengetahuan Untung & Soejono. 


Ini terbukti Pada tanggal 2 Oktober 1965, setelah TNI  menguasai halim, ditemukan bukti² lapangan, berikut rekaman pengakuan kader² pki di halim bahwa mereka diberi tugas untuk menghabisi Soekarno setelah G30spki berhasil.

Jika dilihat dari rantai komando pki dan fakta di mahmilub hanya 3 nama yg mungkin memerintahkan rencana ini, yaitu aidit, syam atau bahkan Latief.


Bukti² tgl 2 Oktober ini termasuk yg dibawa ke Istana Bogor oleh Soeharto, Yoga Sugomo dan ajudan dari kostrad untuk dilaporkan kepada Soekarno, tapi Soekarno menolak membahas bukti² rencana pembunuhan tersebut. 


Soekarno menyuruh Soebandrio dan Brigjen Sabur untuk membahasnya di ruang tunggu istana bogor, bukti² rencana pembunuhan ini akhirnya terkubur dalam sejarah karena tidak pernah dibuka kembali.

Puluhan tahun kemudian sekitar tahun 2008/2009 dengan dibukanya Dokumen China, terlihat rencana penyingkiran Soekarno sebagai presiden oleh Pki itu memang nyata.

Marsekal Chen-yi berpendapat 

" Bagi saya Pribadi, jika Soekarno dijatuhkan itu adalah hal yg baik, Soekarno memang bisa menjadi mediator kelompok sayap kanan (Anti Nasakom) dengan kelompok sayap kiri (PKI) tapi masa depan Indonesia tergantung dari Perlawanan bersenjata PKI, dan hal itu adalah yg paling penting."

Dari sini Terlihat jelas bahwa sudah terbukti G30spki itu sebetulnya adalah KUDETA TERSELUBUNG PKI terhadap Soekarno, dengan memanfaatkan isu Dewan Jenderal dan bertujuan menjadikan Indonesia negara boneka komunis seperti Korut.

(Lintangangrem 2025)


Sumber : 

1. Berkas Mahmilub Untung.

2. Memori Yoga Sugomo.

3. Surat Dokumen China.


foto Repro Soekarno, aidit dan Brigjen Sugandhi

kredit Foto ke Pemilik Aslinya.

22 October 2025

Kisah Kelaparan Panglima Besar Jendral Soedirman Saat Gerilya Di Tengah Hutan Hutan-hutan lebat di pedalaman Jawa menjadi saksi bisu perjuangan paling menentukan dalam sejarah republik ini. Antara tahun 1948 dan 1949, Belanda melancarkan Agresi Militer II, menangkap Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya di Yogyakarta. Ibu kota lumpuh, namun militer menolak menyerah. Di tengah kekacauan itu, satu komando tetap tegak: Jenderal Besar Soedirman. Meskipun paru-parunya hancur oleh TBC, Sang Panglima memutuskan untuk "tetap bersama rakyat". Dalam kondisi sakit parah, ia memimpin perang gerilya, ditandu keluar masuk hutan, menembus pegunungan, dan menyusuri desa-desa. Namun, musuh terbesar mereka seringkali bukanlah patroli Belanda, melainkan kelaparan. Perjalanan gerilya adalah perjalanan menahan lapar. Logistik terputus total. Pasukan kecil yang setia mendampingi Sang Jenderal harus bergantung sepenuhnya pada alam dan kemurahan hati rakyat desa—yang juga hidup dalam kemiskinan dan ketakutan. Beras adalah kemewahan yang tak terbayangkan. Seringkali, rombongan elite militer ini hanya mengandalkan gaplek (singkong kering) atau tiwul (olahan singkong) sebagai pengganjal perut. Bahkan tidak jarang, mereka harus berpuasa berhari-hari karena tidak ada lagi yang bisa dimakan. Dalam sebuah kesaksian yang dicatat sejarah, para prajurit pengawal merasa pilu melihat kondisi fisik panglima mereka. Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat menahan sakit dan lapar, namun matanya tak pernah kehilangan api. Di saat-saat paling kritis, ketika perut seluruh pasukan kosong dan keputusasaan mulai menjalar, Jenderal Soedirman justru menunjukkan keteguhan seorang pemimpin. Ia menolak perlakuan istimewa. "Jika prajurit makan gaplek, saya makan gaplek. Jika prajurit puasa, saya pun puasa," ujarnya. Ia sadar bahwa kelaparan adalah bagian dari sumpah prajurit, sebuah ujian iman. Baginya, penderitaan fisik itu adalah risiko perjuangan yang harus ditanggung bersama. Ia tidak memimpin dari istana yang nyaman, tetapi dari tandu yang reyot, berbagi nasib yang sama dengan prajurit dan rakyatnya. Kelaparan di hutan itu tidak mematahkan perjuangan mereka. Sebaliknya, itu menempa ikatan batin yang paling kuat antara TNI dan rakyat. Rakyat yang melihat pengorbanan pemimpin tertingginya rela berbagi butir beras terakhir mereka, meski nyawa taruhannya. Jenderal Soedirman membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak diukur dari kenyangnya perut, tetapi dari besarnya jiwa. Dan di tengah hutan-hutan Jawa yang sunyi, di antara derita TBC dan perut yang kosong, jiwa Sang Panglima Besar justru berkobar paling terang. Catatan Sumber (Dasar Penulisan Kisah) Kisah di atas dirangkum dari berbagai catatan sejarah dan biografi yang mendokumentasikan masa perang gerilya Jenderal Soedirman. Sumber-sumber utama yang menjadi rujukan meliputi: Buku: Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (2006) oleh Amrin Imran. Buku ini merinci kronologi perang gerilya, termasuk kondisi fisik Soedirman yang parah dan kesulitan logistik ekstrem yang dihadapi pasukannya di hutan. Buku: Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan (1960) oleh T.B. Simatupang. Sebagai salah satu perwira yang ikut bergerilya, T.B. Simatupang memberikan kesaksian tangan pertama mengenai kondisi sulit, termasuk kelangkaan pangan (mengandalkan singkong) dan bagaimana Jenderal Soedirman tetap memimpin meski dalam kondisi sakit. Buku: Soedirman: Seorang Prajurit, Seorang Jenderal, Seorang Pemimpin (1990) oleh Tim Dinas Sejarah TNI AD (Disjarahad). Publikasi resmi dari TNI AD ini mengonfirmasi rute gerilya dan tantangan logistik, termasuk bagaimana Jenderal Soedirman dan pasukannya seringkali harus menahan lapar atau hidup dari bahan makanan seadanya yang disumbangkan oleh rakyat desa. Artikel Sejarah: Berbagai artikel dari media sejarah terverifikasi (seperti Historia.id dan Arsip Nasional RI) yang mengulas tema "Perang Gerilya Jenderal Soedirman", yang secara konsisten menyebutkan kelangkaan pangan sebagai salah satu tantangan terbesar selama periode 1948-1949.

 Kisah Kelaparan Panglima Besar Jendral Soedirman Saat Gerilya Di Tengah Hutan



Hutan-hutan lebat di pedalaman Jawa menjadi saksi bisu perjuangan paling menentukan dalam sejarah republik ini. Antara tahun 1948 dan 1949, Belanda melancarkan Agresi Militer II, menangkap Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya di Yogyakarta. Ibu kota lumpuh, namun militer menolak menyerah.


Di tengah kekacauan itu, satu komando tetap tegak: Jenderal Besar Soedirman.


Meskipun paru-parunya hancur oleh TBC, Sang Panglima memutuskan untuk "tetap bersama rakyat". Dalam kondisi sakit parah, ia memimpin perang gerilya, ditandu keluar masuk hutan, menembus pegunungan, dan menyusuri desa-desa.


Namun, musuh terbesar mereka seringkali bukanlah patroli Belanda, melainkan kelaparan.


Perjalanan gerilya adalah perjalanan menahan lapar. Logistik terputus total. Pasukan kecil yang setia mendampingi Sang Jenderal harus bergantung sepenuhnya pada alam dan kemurahan hati rakyat desa—yang juga hidup dalam kemiskinan dan ketakutan.


Beras adalah kemewahan yang tak terbayangkan. Seringkali, rombongan elite militer ini hanya mengandalkan gaplek (singkong kering) atau tiwul (olahan singkong) sebagai pengganjal perut. Bahkan tidak jarang, mereka harus berpuasa berhari-hari karena tidak ada lagi yang bisa dimakan.


Dalam sebuah kesaksian yang dicatat sejarah, para prajurit pengawal merasa pilu melihat kondisi fisik panglima mereka. Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat menahan sakit dan lapar, namun matanya tak pernah kehilangan api.


Di saat-saat paling kritis, ketika perut seluruh pasukan kosong dan keputusasaan mulai menjalar, Jenderal Soedirman justru menunjukkan keteguhan seorang pemimpin. Ia menolak perlakuan istimewa.


"Jika prajurit makan gaplek, saya makan gaplek. Jika prajurit puasa, saya pun puasa," ujarnya.


Ia sadar bahwa kelaparan adalah bagian dari sumpah prajurit, sebuah ujian iman. Baginya, penderitaan fisik itu adalah risiko perjuangan yang harus ditanggung bersama. Ia tidak memimpin dari istana yang nyaman, tetapi dari tandu yang reyot, berbagi nasib yang sama dengan prajurit dan rakyatnya.


Kelaparan di hutan itu tidak mematahkan perjuangan mereka. Sebaliknya, itu menempa ikatan batin yang paling kuat antara TNI dan rakyat. Rakyat yang melihat pengorbanan pemimpin tertingginya rela berbagi butir beras terakhir mereka, meski nyawa taruhannya.


Jenderal Soedirman membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak diukur dari kenyangnya perut, tetapi dari besarnya jiwa. Dan di tengah hutan-hutan Jawa yang sunyi, di antara derita TBC dan perut yang kosong, jiwa Sang Panglima Besar justru berkobar paling terang.


Catatan Sumber (Dasar Penulisan Kisah)

Kisah di atas dirangkum dari berbagai catatan sejarah dan biografi yang mendokumentasikan masa perang gerilya Jenderal Soedirman. Sumber-sumber utama yang menjadi rujukan meliputi:


Buku: Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (2006) oleh Amrin Imran.


Buku ini merinci kronologi perang gerilya, termasuk kondisi fisik Soedirman yang parah dan kesulitan logistik ekstrem yang dihadapi pasukannya di hutan.


Buku: Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan (1960) oleh T.B. Simatupang.


Sebagai salah satu perwira yang ikut bergerilya, T.B. Simatupang memberikan kesaksian tangan pertama mengenai kondisi sulit, termasuk kelangkaan pangan (mengandalkan singkong) dan bagaimana Jenderal Soedirman tetap memimpin meski dalam kondisi sakit.


Buku: Soedirman: Seorang Prajurit, Seorang Jenderal, Seorang Pemimpin (1990) oleh Tim Dinas Sejarah TNI AD (Disjarahad).


Publikasi resmi dari TNI AD ini mengonfirmasi rute gerilya dan tantangan logistik, termasuk bagaimana Jenderal Soedirman dan pasukannya seringkali harus menahan lapar atau hidup dari bahan makanan seadanya yang disumbangkan oleh rakyat desa.


Artikel Sejarah: Berbagai artikel dari media sejarah terverifikasi (seperti Historia.id dan Arsip Nasional RI) yang mengulas tema "Perang Gerilya Jenderal Soedirman", yang secara konsisten menyebutkan kelangkaan pangan sebagai salah satu tantangan terbesar selama periode 1948-1949.

Potret saat Mayor Mokoginta melapor kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman, ketika pasukan Siliwangi sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 12 Februari 1948. Sumber : RapakaT

 Potret saat Mayor Mokoginta melapor kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman, ketika pasukan Siliwangi sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 12 Februari 1948.



Sumber : RapakaT

Potret Jenderal Sudirman berpose dengan Jenderal Mayor Djokusuyono, Laksamana Muda Nazir, Mayor Jenderal Sutomo, Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, dan Komodor S. Suryadarma pada 3 Juni 1947. Sumber : RapakaT

 Potret Jenderal Sudirman berpose dengan Jenderal Mayor Djokusuyono, Laksamana Muda Nazir, Mayor Jenderal Sutomo, Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, dan Komodor S. Suryadarma pada 3 Juni 1947.



Sumber : RapakaT

Mas Tirtodarmo Haryono (20 Januari 1924 – 1 Oktober 1965) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada peristiwa G30S. Ia dimakamkan di TMP Kalibata - Jakarta. Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Daigakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat. Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor. Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung Tentara jalan Cilacap Jakarta. , kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Masa Muda Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai pada zaman kuno. Pernah Gresik menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam di situ. Sampai sekarang keturunan Sunan Giri memakai gelar Mas di muka namanya. Pada tahun 1924 yang menjadi asisten wedana ( sekarang disebut camat ) di Kalitengah, Gresik, ialah Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia berangkat pindah ke Sidoarjo meskipun isterinya ( Ibu Patimah ) sudah mengandung tua. Tetapi dalam perjalanan ke Sidoarjo itu ibu Patimah merasa akan melahirkan kandungannya. Perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan dan mereka menuju ke rumah M.Harsono Tirtodarmo di Nieuw Holland Straat (sekarang Jalan Gatotan) di Surabaya. Di situ, pada tanggal 20 Januari 1924, ibu Patimah melahirkan puteranya yang ketiga yang diberi nama Haryono, lengkapnya M.T.Haryono. M.T. Haryono dilahirkan sebagai putra seorang Binnenlands Bestuur, "pemerintahan dalam negeri", disingkat "BB", salah satu bentuk birokrasi pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa. Kalangan BB pada waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa di antara pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hanya BB lah yang di samping kedudukan istimewanya biasanya juga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai di Perguruan Tinggi. Karena nasionalisme itu boleh dikata timbul dan berkembang di antara orang-orang terpelajar, maka tidaklah mengherankan kalau putra-putra orang-orang BB ini tidak sedikit yang menjadi penggerak dan pemimpin nasionalisme, misalnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, dr. Sutomo. Mr. Sartono, dan lain lain. Demikian halnya kelak dengan M.T. Haryono. Pada masa kecilnya M.T. Haryono hidup sebagai putra seorang jaksa di Sidoarjo. Ketika umur empat tahun ayahnya diangkat menjadi wedana di Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Di sinilah ia ketika umur enam tahun masuk sekolah di HIS 6 (Hollandsch-Inlandsche School = Sekolah Dasar) ia suka berteman dan bermain-main dengan anak-anak lainnya dan selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras ia sebagai pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian ia pada hakikatnya seorang pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian, atas tanggungan seorang Belanda guru ELS (Europeesche Lagere School: Sekolah Dasar Belanda) dan teman ayahnya, ia pindah ke kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada tahun 1937. Tamat dari ELS, M.T. Haryono meneruskan sekolahnya di HBS (Hogere Burgerschool: semacam SMP ditambah SMA yang disatukan dan hanya lima tahun, biasanya hanya untuk orang Belanda) di Bandung. Selama lima tahun ia harus berpisah dari orang tuanya dan menumpang pada orang lain di kota Bandung. Sebagai pemuda pelajar ia suka berolahraga. Ia suka atletik, tenis dan baseball. Hanya dalam masa libur ia pulang ke orang tuanya yang sejak tahun 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng, Mangetan, Madiun. M.T. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima tahun. Ia tamat dari HBS pada tahun l942 ketika Jepang masuk merebut dan menduduki Indonesia (Maret l942). Ketika GHS (Geneeskundige Hogeschool: Perguruan Tinggi Kedokteran) di Jakarta dibuka kembali oleh Jepang sebagai Ika Dai Gakko, maka M.T. Haryono masuk Perguruan Tinggi Kedokteran tersebut untuk meneruskan studinya. Ia memang ingin menjadi seorang dokter. Baru tiga tahun lamanya M.T. Haryono belajar di lka Dai Gakko ketika tiba-tiba Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. M.T. Haryono sebagai pemuda mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan. Segera menceburkan diri dalam kancah perjuangan militer. Hidup KekeluargaanMayor M.T. Haryono yang selama perjuangan bersenjata tidak sempat memikirkan tentang hal perkawinan, sekarang ingin membentuk hidup kekeluargaan yang diidam-idamkan. Ia telah menjatuhkan pilihannya kepada Mariatne Martokoesoemo, salah seorang anak dari Besar Martokoesoemo, seorang advokat pribumi pertama yang mendirikan kantor hukum di Indonesia, dan pernah menjabat menjadi Walikota Tegal, Bupati Tegal, dan Wakil Residen Pekalongan. Pertunangannya akan dirayakan pada tanggal 2 Juli 1950. Pada waktu itu Pemerintah memerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan pilihannya jatuh pada Mayor M.T. Haryono. Ini dapat dimengerti karena Mayor M.T. Haryono merupakan seorang terpelajar, fasih berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman dan berpengalaman dalam perundingan-perundingan dengan Belanda, terutama dalam KMB yang baru saja berlalu. Dalam bulan Juli 1950 itu ia diangkat menjadi Atase Militer dan harus sudah di posnya di Den Haag pada akhir bulan itu juga. Berhubung dengan keberangkatannya yang mendadak ini, maka hari pertunangannya pada tanggal 2 Juli 1950 itu diubah menjadi hari pernikahannya, dan pada tanggal 24 Juli 1950 mereka berangkat ke Negeri Belanda. Sebagai pengantin baru untuk sementara mereka hidup di gedung Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, ibu kota Negeri Belanda dan seolah-olah berbulan madu di luar negeri. Wataknya yang sederhana dan berhati-hati ditambah dengan jalan pikiranya yang praktis tidak membiarkan keluarganya hanyut dalam arus kemewahan yang waktu itu melanda kehidupan orang yang ingin disebutnya “kelas atas". Keluarganya tetap hidup sederhana, baik ketika di luar negeri maupun ketika mereka telah kembali ( 1954 ) di Indonesia. Rumahnya di Jalan Prambanan no. 8 Jakarta tidak mencerminkan rumah seorang "kelas atas" maupun seorang yang bermandikan kemewahan yang luar biasa. Rumah itu mencerminkan kesederhanaan yang bertanggung-jawab. Di rumah, M.T. Haryono suka menanam dan memelihara anggrek. Di samping rumahnya terdapat berderet-deret pot dengan aggrek yang beraneka ragam dan warna. Pemeliharaan anggrek memerlukan ketekunan dan kesabaran, kehalusan dan kasih sayang yang tidak sedikit. M.T. Haryono seorang pendiam, tetapi ini tidak berarti bahwa ia bersikap acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia menjabat Atase Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang kedua Haryanti Mirya, seorang puteri. Anak yang ketiga, Rianto Nurhadi, yang keempat, Adri Prambanto. dan yang kelima, Endah Marina, seorang puteri, Iahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keiuarga dan terutama anak-anaknya, M.T Haryono tidak pernah membawa senjata pulang dan menaruhnya di rumahnya. Sifat berhati-hati tidak pernah ditanggalka oleh M.T. Haryono. Demikian M.T. Haryono merupakan suami yang baik dan ayah yang bertanggung-jawab dalam keluarganya Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, anggota Tjakrabirawa, yang menyebut diri mereka adalah Gerakan 30 September, mendatangi rumah Haryono di Jalan Prambanan No 8. Istrinya terbangun oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa suaminya telah dipanggil oleh Presiden Sukarno. Mrs Haryono kembali ke kamar tidur mengunci pintu di belakangnya dan mengatakan suaminya apa yang terjadi. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak pergi dan memberitahu para pasukan untuk kembali pada pukul 8:00. Namun, Haryono curiga dan mematikan lampu memberitahu istrinya untuk pindah bersama anak-anak mereka ke kamar sebelah. Tjakrabirawa kemudian melepaskan tembakan melalui pintu kamar tidur terkunci dan Haryono melompat ke lantai. Ia bersembunyi untuk menunggu penyerang pertama yang masuk ke kamar tidur membawa kertas pembakaran untuk cahaya. Haryono mencoba untuk merebut senjata prajurit, namun gagal dan berlari keluar dari pintu dalam kebingungan. Dia ditembak mati oleh ledakan dari senjata, diseret melalui kebun, dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, markas pemberontak di selatan pinggiran Jakarta, Jenazahnya disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh lainnya. Seluruh mayat ditemukan pada 4 Oktober dan para jenderal diberi pemakaman kenegaraan. Haryono dimakamkan dengan rekan-rekannya di Taman Makam Pahlawan di Kalibata pada tanggal 5 Oktober. Pada hari yang sama, atas perintah Presiden Soekarno, ia secara anumerta dipromosikan dan menjadi Pahlawan Revolusi. Sumber wikipedia. Foto Mt Haryono terakhir dan zaman revolusi

 Mas Tirtodarmo Haryono (20 Januari 1924 – 1 Oktober 1965) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada peristiwa G30S. 






Ia dimakamkan di TMP Kalibata - Jakarta. Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Daigakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat. Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor. Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung Tentara jalan Cilacap Jakarta. , kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Masa Muda Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai pada zaman kuno. Pernah Gresik menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam di situ. Sampai sekarang keturunan Sunan Giri memakai gelar Mas di muka namanya. Pada tahun 1924 yang menjadi asisten wedana ( sekarang disebut camat ) di Kalitengah, Gresik, ialah Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia berangkat pindah ke Sidoarjo meskipun isterinya ( Ibu Patimah ) sudah mengandung tua. Tetapi dalam perjalanan ke Sidoarjo itu ibu Patimah merasa akan melahirkan kandungannya. Perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan dan mereka menuju ke rumah M.Harsono Tirtodarmo di Nieuw Holland Straat (sekarang Jalan Gatotan) di Surabaya. Di situ, pada tanggal 20 Januari 1924, ibu Patimah melahirkan puteranya yang ketiga yang diberi nama Haryono, lengkapnya M.T.Haryono. M.T. Haryono dilahirkan sebagai putra seorang Binnenlands Bestuur, "pemerintahan dalam negeri", disingkat "BB", salah satu bentuk birokrasi pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa. Kalangan BB pada waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa di antara pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hanya BB lah yang di samping kedudukan istimewanya biasanya juga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai di Perguruan Tinggi. Karena nasionalisme itu boleh dikata timbul dan berkembang di antara orang-orang terpelajar, maka tidaklah mengherankan kalau putra-putra orang-orang BB ini tidak sedikit yang menjadi penggerak dan pemimpin nasionalisme, misalnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, dr. Sutomo. Mr. Sartono, dan lain lain. Demikian halnya kelak dengan M.T. Haryono. Pada masa kecilnya M.T. Haryono hidup sebagai putra seorang jaksa di Sidoarjo. Ketika umur empat tahun ayahnya diangkat menjadi wedana di Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Di sinilah ia ketika umur enam tahun masuk sekolah di HIS 6 (Hollandsch-Inlandsche School = Sekolah Dasar) ia suka berteman dan bermain-main dengan anak-anak lainnya dan selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras ia sebagai pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian ia pada hakikatnya seorang pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian, atas tanggungan seorang Belanda guru ELS (Europeesche Lagere School: Sekolah Dasar Belanda) dan teman ayahnya, ia pindah ke kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada tahun 1937. Tamat dari ELS, M.T. Haryono meneruskan sekolahnya di HBS (Hogere Burgerschool: semacam SMP ditambah SMA yang disatukan dan hanya lima tahun, biasanya hanya untuk orang Belanda) di Bandung. Selama lima tahun ia harus berpisah dari orang tuanya dan menumpang pada orang lain di kota Bandung. Sebagai pemuda pelajar ia suka berolahraga. Ia suka atletik, tenis dan baseball. Hanya dalam masa libur ia pulang ke orang tuanya yang sejak tahun 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng, Mangetan, Madiun. M.T. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima tahun. Ia tamat dari HBS pada tahun l942 ketika Jepang masuk merebut dan menduduki Indonesia (Maret l942). Ketika GHS (Geneeskundige Hogeschool: Perguruan Tinggi Kedokteran) di Jakarta dibuka kembali oleh Jepang sebagai Ika Dai Gakko, maka M.T. Haryono masuk Perguruan Tinggi Kedokteran tersebut untuk meneruskan studinya. Ia memang ingin menjadi seorang dokter. Baru tiga tahun lamanya M.T. Haryono belajar di lka Dai Gakko ketika tiba-tiba Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. M.T. Haryono sebagai pemuda mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan. Segera menceburkan diri dalam kancah perjuangan militer. Hidup KekeluargaanMayor M.T. Haryono yang selama perjuangan bersenjata tidak sempat memikirkan tentang hal perkawinan, sekarang ingin membentuk hidup kekeluargaan yang diidam-idamkan. Ia telah menjatuhkan pilihannya kepada Mariatne Martokoesoemo, salah seorang anak dari Besar Martokoesoemo, seorang advokat pribumi pertama yang mendirikan kantor hukum di Indonesia, dan pernah menjabat menjadi Walikota Tegal, Bupati Tegal, dan Wakil Residen Pekalongan. Pertunangannya akan dirayakan pada tanggal 2 Juli 1950. Pada waktu itu Pemerintah memerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan pilihannya jatuh pada Mayor M.T. Haryono. Ini dapat dimengerti karena Mayor M.T. Haryono merupakan seorang terpelajar, fasih berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman dan berpengalaman dalam perundingan-perundingan dengan Belanda, terutama dalam KMB yang baru saja berlalu. Dalam bulan Juli 1950 itu ia diangkat menjadi Atase Militer dan harus sudah di posnya di Den Haag pada akhir bulan itu juga. Berhubung dengan keberangkatannya yang mendadak ini, maka hari pertunangannya pada tanggal 2 Juli 1950 itu diubah menjadi hari pernikahannya, dan pada tanggal 24 Juli 1950 mereka berangkat ke Negeri Belanda. Sebagai pengantin baru untuk sementara mereka hidup di gedung Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, ibu kota Negeri Belanda dan seolah-olah berbulan madu di luar negeri. Wataknya yang sederhana dan berhati-hati ditambah dengan jalan pikiranya yang praktis tidak membiarkan keluarganya hanyut dalam arus kemewahan yang waktu itu melanda kehidupan orang yang ingin disebutnya “kelas atas". Keluarganya tetap hidup sederhana, baik ketika di luar negeri maupun ketika mereka telah kembali ( 1954 ) di Indonesia. Rumahnya di Jalan Prambanan no. 8 Jakarta tidak mencerminkan rumah seorang "kelas atas" maupun seorang yang bermandikan kemewahan yang luar biasa. Rumah itu mencerminkan kesederhanaan yang bertanggung-jawab. Di rumah, M.T. Haryono suka menanam dan memelihara anggrek. Di samping rumahnya terdapat berderet-deret pot dengan aggrek yang beraneka ragam dan warna. Pemeliharaan anggrek memerlukan ketekunan dan kesabaran, kehalusan dan kasih sayang yang tidak sedikit. M.T. Haryono seorang pendiam, tetapi ini tidak berarti bahwa ia bersikap acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia menjabat Atase Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang kedua Haryanti Mirya, seorang puteri. Anak yang ketiga, Rianto Nurhadi, yang keempat, Adri Prambanto. dan yang kelima, Endah Marina, seorang puteri, Iahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keiuarga dan terutama anak-anaknya, M.T Haryono tidak pernah membawa senjata pulang dan menaruhnya di rumahnya. Sifat berhati-hati tidak pernah ditanggalka oleh M.T. Haryono. Demikian M.T. Haryono merupakan suami yang baik dan ayah yang bertanggung-jawab dalam keluarganya  Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, anggota Tjakrabirawa, yang menyebut diri mereka adalah Gerakan 30 September, mendatangi rumah Haryono di Jalan Prambanan No 8. Istrinya terbangun oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa suaminya telah dipanggil oleh Presiden Sukarno. Mrs Haryono kembali ke kamar tidur mengunci pintu di belakangnya dan mengatakan suaminya apa yang terjadi. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak pergi dan memberitahu para pasukan untuk kembali pada pukul 8:00. Namun, Haryono curiga dan mematikan lampu memberitahu istrinya untuk pindah bersama anak-anak mereka ke kamar sebelah. Tjakrabirawa kemudian melepaskan tembakan melalui pintu kamar tidur terkunci dan Haryono melompat ke lantai. Ia bersembunyi untuk menunggu penyerang pertama yang masuk ke kamar tidur membawa kertas pembakaran untuk cahaya. Haryono mencoba untuk merebut senjata prajurit, namun gagal dan berlari keluar dari pintu dalam kebingungan. Dia ditembak mati oleh ledakan dari senjata, diseret melalui kebun, dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, markas pemberontak di selatan pinggiran Jakarta, Jenazahnya disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh lainnya. Seluruh mayat ditemukan pada 4 Oktober dan para jenderal diberi pemakaman kenegaraan. Haryono dimakamkan dengan rekan-rekannya di Taman Makam Pahlawan di Kalibata pada tanggal 5 Oktober. Pada hari yang sama, atas perintah Presiden Soekarno, ia secara anumerta dipromosikan dan menjadi Pahlawan Revolusi. Sumber wikipedia. Foto Mt Haryono terakhir dan zaman revolusi




Penangkapan Kartosuwiryo di Gunung Geber oleh Yonif 328 Kujang II. Semdam SLW

 Penangkapan Kartosuwiryo di Gunung Geber oleh Yonif 328 Kujang II.



Semdam SLW

21 October 2025

Ciri Fisik Sultan Agung (menurut laporan utusan VOC, 1622–1624) Usia: sekitar 20–30 tahun ketika pertama kali bertemu utusan Belanda (berarti lahir sekitar 1593–1604). Tubuh: tegap, gagah, dan proporsional — digambarkan sebagai “berbadan bagus”. Kulit: lebih gelap dibandingkan rata-rata orang Jawa — mungkin menunjukkan ia sering di lapangan, atau karakter keturunan bangsawan pedesaan (bukan istana pesisir). Wajah: bulat dan tenang, hidung kecil, mulut agak lebar dan datar. Tatapan mata: tajam seperti singa, menunjukkan wibawa dan kekuasaan alami. Gaya berbicara: agak kasar menurut orang Belanda, mungkin karena ia menggunakan bahasa perintah yang tegas — gaya seorang prajurit dan pemimpin perang. 👑 Busana dan Atribut Kebangsawanan Penutup kepala: kuluk atau kopiah linen putih — menandakan kesalehan dan simbol Islamisasi kerajaan. Kain batik: putih biru, berasal dari daerahnya sendiri (kemungkinan batik Mataram klasik). Baju bludru hitam: berhias motif daun dan bunga keemasan — menggambarkan keagungan dan kemewahan. Keris: diselipkan di bagian depan — posisi yang khas bagi seorang raja/pemimpin tertinggi (berbeda dengan rakyat biasa yang menyelipkan di pinggang belakang). Sabuk emas: tanda status tertinggi di istana. Perhiasan: cincin bertatahkan intan berlian di beberapa jari. Merokok pipa: pipa berlapis perak, mungkin lambang kemewahan sekaligus ketenangan. 🧠 Kepribadian dan Ciri Kepemimpinan Tegas, berwibawa, dan tidak dapat diremehkan (menurut Van Surck & Eydhoven). Mempunyai dewan penasehat kuat, tapi tetap menjadi pusat keputusan mutlak. Ingin tahu dan haus ilmu, tanda kecerdasan politik dan spiritualitas tinggi. Disegani oleh rakyatnya — dengan kekuasaan yang luar biasa; gong kota bisa mengerahkan 200.000 pasukan bersenjata dalam setengah hari. Gaya kepemimpinannya mencerminkan perpaduan antara raja-ksatria dan pemimpin religius, sekaligus pembaharu yang memperluas kekuasaan hingga ke barat (Priangan) dan timur (Blambangan). 📷 Sumber :. fb Ismail Nurbuat

 

Ciri Fisik Sultan Agung (menurut laporan utusan VOC, 1622–1624)
Usia: sekitar 20–30 tahun ketika pertama kali bertemu utusan Belanda (berarti lahir sekitar 1593–1604).

Tubuh: tegap, gagah, dan proporsional — digambarkan sebagai “berbadan bagus”.

Kulit: lebih gelap dibandingkan rata-rata orang Jawa — mungkin menunjukkan ia sering di lapangan, atau karakter keturunan bangsawan pedesaan (bukan istana pesisir).

Wajah: bulat dan tenang, hidung kecil, mulut agak lebar dan datar.

Tatapan mata: tajam seperti singa, menunjukkan wibawa dan kekuasaan alami.

Gaya berbicara: agak kasar menurut orang Belanda, mungkin karena ia menggunakan bahasa perintah yang tegas — gaya seorang prajurit dan pemimpin perang.

👑 Busana dan Atribut Kebangsawanan

Penutup kepala: kuluk atau kopiah linen putih — menandakan kesalehan dan simbol Islamisasi kerajaan.

Kain batik: putih biru, berasal dari daerahnya sendiri (kemungkinan batik Mataram klasik).



Baju bludru hitam: berhias motif daun dan bunga keemasan — menggambarkan keagungan dan kemewahan.

Keris: diselipkan di bagian depan — posisi yang khas bagi seorang raja/pemimpin tertinggi (berbeda dengan rakyat biasa yang menyelipkan di pinggang belakang).

Sabuk emas: tanda status tertinggi di istana.

Perhiasan: cincin bertatahkan intan berlian di beberapa jari.

Merokok pipa: pipa berlapis perak, mungkin lambang kemewahan sekaligus ketenangan.

🧠 Kepribadian dan Ciri Kepemimpinan

Tegas, berwibawa, dan tidak dapat diremehkan (menurut Van Surck & Eydhoven).

Mempunyai dewan penasehat kuat, tapi tetap menjadi pusat keputusan mutlak.

Ingin tahu dan haus ilmu, tanda kecerdasan politik dan spiritualitas tinggi.

Disegani oleh rakyatnya — dengan kekuasaan yang luar biasa; gong kota bisa mengerahkan 200.000 pasukan bersenjata dalam setengah hari.

Gaya kepemimpinannya mencerminkan perpaduan antara raja-ksatria dan pemimpin religius, sekaligus pembaharu yang memperluas kekuasaan hingga ke barat (Priangan) dan timur (Blambangan).

📷
Sumber :. fb Ismail Nurbuat

20 October 2025

Pertempuran Gawok, Antara Pasukan P. Diponegoro Melawan Pasukan Belanda Pertempuran Gawok adalah pertempuran yang terjadi pada 15 Oktober 1826 selama berlangsungnya Perang Diponegoro, antara para pasukan tentara kolonial Belanda dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Pertempuran tersebut terjadi dekat desa Gawok, sebelah barat kota Surakarta. Dalam perjalanannya dari Yogyakarta, pasukan Diponegoro yang telah mengalahkan pasukan Belanda sebelumnya, bermaksud untuk menyerang markas militer Belanda di Surakarta. Dalam serangan tersebut, pasukan Diponegoro kalah dengan kehilangan banyak pasukan hingga kalah jumlah dan Belanda membalikkan keadaan pertempuran. Setelah pertempuran, pasukan Diponegoro beralih ke strategi perang gerilya. * Pendahuluan Pada pertengahan 1826, pasukan Diponegoro meraih serangkaian kemenangan dalam rangkaian pertempuran di sebelah utara Yogyakarta. Pasukan Diponegoro bertujuan untuk melancarkan serangan terhadap markas Belanda di bawah komando Jenderal Hendrik Merkus de Kock di kota Surakarta. Pasukan Diponegoro berhasil merebut kota Delanggu pada akhir Agustus 1826, lalu bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Kyai Maja. Kemudian setelahnya, Kyai Maja menyarankan Diponegoro untuk melancarkan operasi serangan lanjutan, sementara Pangeran Diponegoro merasa ragu karena perlawanan Belanda yang kuat di Delanggu. Oleh karenanya, hanya sedikit aksi pertempuran yang terjadi di sekitar Surakarta selama tiga minggu setelah pertempuran Delanggu. Pada waktu jeda tersebut, komando Belanda memerintahkan sejumlah pasukan yang tersebar di Yogyakarta dan Surakarta, untuk berkumpul di Surakarta. Sementara itu, pasukan bala bantuan juga mulai berdatangan dari Belanda. Aksi pertempuran kembali berlanjut pada akhir September dengan pertempuran kecil yang berlangsung selama dua minggu berikutnya, ketika pasukan Diponegoro mendekati Surakarta. Sekitar 12 Oktober, Diponegoro mendirikan kamp pasukan di Desa Gawok yang berjarak sekitar 13 km arah barat-barat daya kota Surakarta. * Kekuatan Pada akhir September, dua barisan pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta, telah berkumpul di dekat Desa Gawok dengan kekuatan sekitar 1,000 tentara. Pasukan ini kemudian diperkuat oleh 300 pasukan dari pihak Kasunanan Surakarta dan 150 tentara dari Panglima Belanda, Josephus Jacobus van Geen, ditambah anggota pasukan lokal setempat yang bersekutu dengan Belanda. Belanda melaporkan bahwa pasukan Diponegoro di Gawok berkekuatan sekitar 4,000 tentara. * Pertempuran Pada 15 Oktober, pertempuran dimulai sekitar pukul 4 pagi, ketika salah satu dari dua barisan pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel Frans David Cochius bertemu dengan pasukan Diponegoro di Dusun Baki, dekat Desa Gawok. Barisan Belanda lainnya di bawah komando Mayor Le Bron de Vexela, dengan cepat bergabung menuju medan pertempuran, karena menerima sinyal bala bantuan. Pasukan tersebut tiba di medan pertempuran, Sebelum serangan umum, Le Bron memerintahkan serangan dilakukan oleh satu kompi pasukan Ambon yang berhasil memukul mundur pasukan Diponegoro. Serangan balik yang dilakukan pasukan Diponegoro tidak membuahkan hasil, hingga dapat dihalau oleh pasukan Mangkunegaran dan dapat dikalahkan. Setelah kehilangan sejumlah pasukan, Pangeran Diponegoro mengubah strategi serangan dengan perang gerilya. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Pertempuran Gawok, Antara Pasukan P. Diponegoro Melawan Pasukan Belanda 

Pertempuran Gawok adalah pertempuran yang terjadi pada 15 Oktober 1826 selama berlangsungnya Perang Diponegoro, antara para pasukan tentara kolonial Belanda dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Pertempuran tersebut terjadi dekat desa Gawok, sebelah barat kota Surakarta.



Dalam perjalanannya dari Yogyakarta, pasukan Diponegoro yang telah mengalahkan pasukan Belanda sebelumnya, bermaksud untuk menyerang markas militer Belanda di Surakarta. Dalam serangan tersebut, pasukan Diponegoro kalah dengan kehilangan banyak pasukan hingga kalah jumlah dan Belanda membalikkan keadaan pertempuran. Setelah pertempuran, pasukan Diponegoro beralih ke strategi perang gerilya.


* Pendahuluan


Pada pertengahan 1826, pasukan Diponegoro meraih serangkaian kemenangan dalam rangkaian pertempuran di sebelah utara Yogyakarta. Pasukan Diponegoro bertujuan untuk melancarkan serangan terhadap markas Belanda di bawah komando Jenderal Hendrik Merkus de Kock di kota Surakarta.

Pasukan Diponegoro berhasil merebut kota Delanggu pada akhir Agustus 1826, lalu bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Kyai Maja. Kemudian setelahnya, Kyai Maja menyarankan Diponegoro untuk melancarkan operasi serangan lanjutan, sementara Pangeran Diponegoro merasa ragu karena perlawanan Belanda yang kuat di Delanggu.


Oleh karenanya, hanya sedikit aksi pertempuran yang terjadi di sekitar Surakarta selama tiga minggu setelah pertempuran Delanggu. Pada waktu jeda tersebut, komando Belanda memerintahkan sejumlah pasukan yang tersebar di Yogyakarta dan Surakarta, untuk berkumpul di Surakarta. Sementara itu, pasukan bala bantuan juga mulai berdatangan dari Belanda.


Aksi pertempuran kembali berlanjut pada akhir September dengan pertempuran kecil yang berlangsung selama dua minggu berikutnya, ketika pasukan Diponegoro mendekati Surakarta. Sekitar 12 Oktober, Diponegoro mendirikan kamp pasukan di Desa Gawok yang berjarak sekitar 13 km arah barat-barat daya kota Surakarta.


* Kekuatan


Pada akhir September, dua barisan pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta, telah berkumpul di dekat Desa Gawok dengan kekuatan sekitar 1,000 tentara. Pasukan ini kemudian diperkuat oleh 300 pasukan dari pihak Kasunanan Surakarta dan 150 tentara dari Panglima Belanda, Josephus Jacobus van Geen, ditambah anggota pasukan lokal setempat yang bersekutu dengan Belanda. Belanda melaporkan bahwa pasukan Diponegoro di Gawok berkekuatan sekitar 4,000 tentara.


* Pertempuran


Pada 15 Oktober, pertempuran dimulai sekitar pukul 4 pagi, ketika salah satu dari dua barisan pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel Frans David Cochius bertemu dengan pasukan Diponegoro di Dusun Baki, dekat Desa Gawok.

Barisan Belanda lainnya di bawah komando Mayor Le Bron de Vexela, dengan cepat bergabung menuju medan pertempuran, karena menerima sinyal bala bantuan.


Pasukan tersebut tiba di medan pertempuran, Sebelum serangan umum, Le Bron memerintahkan serangan dilakukan oleh satu kompi pasukan Ambon yang berhasil memukul mundur pasukan Diponegoro.

Serangan balik yang dilakukan pasukan Diponegoro tidak membuahkan hasil, hingga dapat dihalau oleh pasukan Mangkunegaran dan dapat dikalahkan. Setelah kehilangan sejumlah pasukan, Pangeran Diponegoro mengubah strategi serangan dengan perang gerilya.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

Penangkapan Kartosuwiryo di Gunung Geber oleh Yonif 328 Kujang II. Pangdam VI SLW, Brigjen Ibrahim Ajie duduk bersama Kartosuwiryo. Semdam SLW

 Penangkapan Kartosuwiryo di Gunung Geber oleh Yonif 328 Kujang II. Pangdam VI SLW, Brigjen Ibrahim Ajie duduk bersama Kartosuwiryo.



Semdam SLW

Balai Kota, di latar belakang Gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah, 1900 1940 Raadhuis, op de achtergrond de vulkaan Soembing, Magelang, Midden Java, 1900 1940 Sumber : Bintoro Hoepoedio

 Balai Kota, di latar belakang Gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah, 1900 1940


Raadhuis, op de achtergrond de vulkaan Soembing, Magelang, Midden Java, 1900 1940



Sumber : Bintoro Hoepoedio 

18 October 2025

👑 Raja-Raja Nusantara dengan Istri dan Selir Terbanyak 👑 Sejarah Nusantara mencatat beberapa raja yang terkenal tidak hanya karena kepemimpinan mereka tetapi juga karena jumlah istri dan selir yang mereka miliki. Berikut beberapa di antaranya: 1. Prabu Siliwangi - Kerajaan Pajajaran (1482-1521) - Memiliki hingga 151 istri dan selir. - Termasuk Nyai Rambut Kasih dan Nyai Subang Larang, ibu dari Sunan Gunung Jati. - Dikenal sebagai raja bijaksana, adil, dan berwibawa. 2. Pakubuwono X - Kerajaan Surakarta (1893-1939) - Memiliki 2 permaisuri dan 39 selir. - Memiliki 63 anak dari selir-selirnya, namun tidak dari permaisuri. - Dikenal sebagai raja modern, progresif, dan berjiwa sosial. 3. Prabu Brawijaya V - Kerajaan Majapahi (1468-1478) - Memiliki banyak istri dan selir, termasuk Siu Ban Ci dan Putri Champa. - Ayah dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. - Dikenal sebagai raja gagah berani tetapi tidak mampu mengatasi perpecahan internal. 4. Sultan Agung - Kesultanan Mataram (1613-1645) - Memiliki 4 permaisuri dan 40 selir. - Ayah dari Amangkurat I dan Pangeran Purbaya. - Dikenal sebagai raja visioner, religius, dan berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa. 5. Sri Baduga Maharaja - Kerajaan Sunda Galuh (1482-1521) - Memiliki 3 permaisuri dan 12 selir. - Ayah dari Ratu Dewata dan Ratu Mas Giri Kencana. - Dikenal sebagai raja bijaksana dan berwibawa. 📷 sc. fb sejarah nusantara indonesia

 👑 Raja-Raja Nusantara dengan Istri dan Selir Terbanyak 👑



Sejarah Nusantara mencatat beberapa raja yang terkenal tidak hanya karena kepemimpinan mereka tetapi juga karena jumlah istri dan selir yang mereka miliki. Berikut beberapa di antaranya:


1. Prabu Siliwangi

   - Kerajaan Pajajaran (1482-1521)

   - Memiliki hingga 151 istri dan selir.

   - Termasuk Nyai Rambut Kasih dan Nyai Subang Larang, ibu dari       Sunan Gunung Jati.

   - Dikenal sebagai raja bijaksana, adil, dan berwibawa.


2. Pakubuwono X

   - Kerajaan Surakarta (1893-1939)

   - Memiliki 2 permaisuri dan 39 selir.

   - Memiliki 63 anak dari selir-selirnya, namun tidak dari permaisuri.

   - Dikenal sebagai raja modern, progresif, dan berjiwa sosial.


3. Prabu Brawijaya V

   - Kerajaan Majapahi  (1468-1478)

   - Memiliki banyak istri dan selir, termasuk Siu Ban Ci dan Putri Champa.

   - Ayah dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.

   - Dikenal sebagai raja gagah berani tetapi tidak mampu mengatasi perpecahan internal.


4. Sultan Agung

   - Kesultanan Mataram (1613-1645)

   - Memiliki 4 permaisuri dan 40 selir.

   - Ayah dari Amangkurat I dan Pangeran Purbaya.

   - Dikenal sebagai raja visioner, religius, dan berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa.


5. Sri Baduga Maharaja

   - Kerajaan Sunda Galuh (1482-1521)

   - Memiliki 3 permaisuri dan 12 selir.

   - Ayah dari Ratu Dewata dan Ratu Mas Giri Kencana.

   - Dikenal sebagai raja bijaksana dan berwibawa.


📷

sc. fb sejarah nusantara indonesia

Jejak Prajurit Diponegoro di Ngipikrejo Kisah Sunyi dari Kalibawang Di sebuah dusun kecil bernama Ngipikrejo 2, di wilayah Banjararum, Kalibawang, Kulon Progo, berdiri sunyi sebuah kompleks makam tua yg dipercaya adalah makam para Prajurit Diponegoro. Di balik nisan-nisan sederhana itu, tersimpan kisah perjuangan para prajurit Pangeran Diponegoro yang gugur dalam Perang Jawa (1825–1830). Mereka bukan nama besar dalam sejarah, namun darah dan pengorbanan mereka turut mengalir dalam perjuangan bangsa. Kompleks makam ini berada tepat di samping Masjid Baiturrohmah, dijaga oleh warga setempat yang masih menghormati arwah para pejuang, meski zaman perlahan melupakan jejak langkah mereka. Kini, makam tua itu menjadi saksi bisu perjuangansebuah peninggalan yang layak diteliti, dirawat, dan diingat, agar semangat perlawanan itu tak hilang bersama waktu. 📜 Penutup Koreksi: Jika kelak Anda berkunjung ke Ngipikrejo, berhentilah sejenak di kompleks makam tua ini. Heningkan cipta, dan ingatlah—kemerdekaan yang kita nikmati hari ini lahir dari pengorbanan mereka yang tak dikenal namanya. Gambar ilustrasi, Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi dan mohon untuk dikoreksi bersama. Terimakasih🙏 #PangeranDiponegoro #PerangJawa #KulonProgoHeritage #SejarahJawa #JejakPerjuangan #WisataSejarah #Ngipikrejo #Kalibawang #WarisanBudaya #NapakTilasDiponegoro

 Jejak Prajurit Diponegoro di Ngipikrejo

 Kisah Sunyi dari Kalibawang


Di sebuah dusun kecil bernama Ngipikrejo 2, di wilayah Banjararum, Kalibawang, Kulon Progo, berdiri sunyi sebuah kompleks makam tua yg dipercaya adalah makam para Prajurit Diponegoro. Di balik nisan-nisan sederhana itu, tersimpan kisah perjuangan para prajurit Pangeran Diponegoro yang gugur dalam Perang Jawa (1825–1830).





Mereka bukan nama besar dalam sejarah, namun darah dan pengorbanan mereka turut mengalir dalam perjuangan bangsa.

Kompleks makam ini berada tepat di samping Masjid Baiturrohmah, dijaga oleh warga setempat yang masih menghormati arwah para pejuang, meski zaman perlahan melupakan jejak langkah mereka.


Kini, makam tua itu menjadi saksi bisu perjuangansebuah peninggalan yang layak diteliti, dirawat, dan diingat, agar semangat perlawanan itu tak hilang bersama waktu.


📜 Penutup Koreksi:

Jika kelak Anda berkunjung ke Ngipikrejo, berhentilah sejenak di kompleks makam tua ini.

Heningkan cipta, dan ingatlah—kemerdekaan yang kita nikmati hari ini lahir dari pengorbanan mereka yang tak dikenal namanya.


Gambar ilustrasi, 

Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi dan mohon untuk dikoreksi bersama. 

Terimakasih🙏

Sumber : Tri Pawiro Mintardjo

#PangeranDiponegoro #PerangJawa #KulonProgoHeritage #SejarahJawa #JejakPerjuangan #WisataSejarah #Ngipikrejo #Kalibawang #WarisanBudaya #NapakTilasDiponegoro




Willibrordus Surendra Broto Rendra, dikenal sebagai W.S. Rendra, lahir di Solo 7 November 1935 dan meninggal di Depok 6 Agustus 2009. Pelopor teater modern Indonesia ini juga dikenal sebagai penyair, dramawan, budayawan, dan aktivis lingkungan. Pendidikannya dimulai di Seminari Sukabumi, dilanjutkan di Universitas Gajah Mada (Sastra Inggris), lalu di Institut Kesenian Jakarta. Karya-karyanya yang menantang rezim Orde Baru membuatnya dipenjara pada 1978–1979, namun ia tetap vokal menolak kekerasan, korupsi, dan kerusakan lingkungan hingga akhir hayatnya. Sumber : Muhammad Salim Akbar

 Willibrordus Surendra Broto Rendra, dikenal sebagai W.S. Rendra, lahir di Solo 7 November 1935 dan meninggal di Depok 6 Agustus 2009. Pelopor teater modern Indonesia ini juga dikenal sebagai penyair, dramawan, budayawan, dan aktivis lingkungan. Pendidikannya dimulai di Seminari Sukabumi, dilanjutkan di Universitas Gajah Mada (Sastra Inggris), lalu di Institut Kesenian Jakarta. Karya-karyanya yang menantang rezim Orde Baru membuatnya dipenjara pada 1978–1979, namun ia tetap vokal menolak kekerasan, korupsi, dan kerusakan lingkungan hingga akhir hayatnya.



Sumber : Muhammad Salim Akbar

16 October 2025

Keris ini milik Stadtholder Willem IV (1711-1751). Ini menjadikannya benda tertua di Indonesia milik keluarga Van Oranje yang masih dilestarikan. Senjata tersebut kemungkinan menjadi milik VOC di Sulawesi Selatan sebagai hadiah atau rampasan perang dan selanjutnya dibawa ke Belanda. Meskipun keris aslinya berasal dari Jawa, keris juga ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia. Khususnya di Sulawesi Selatan, karena besi yang mengandung nikel untuk bilahnya banyak ditemukan di sini. Seni menempa keris tersebar mulai dari Kerajaan Hindu Majapahit yang pengaruhnya terutama berasal dari Jawa Timur pada abad ke-14. Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan juga termasuk dalam wilayah pengaruh Majapahit. Gowa diislamkan pada pertengahan abad ke-16. Beberapa motif pada keris ini masih menunjukkan pengaruh Hindu Majapahit, seperti gambar Garuda yang berdiri pada sarungnya dan sosok Bima pada gagangnya. 4,5 × 9 × 46cm (lemmet) 51 × 11 × 5cm (kris+schede) Sumber : NMVW

 Keris ini milik Stadtholder Willem IV (1711-1751). Ini menjadikannya benda tertua di Indonesia milik keluarga Van Oranje yang masih dilestarikan. Senjata tersebut kemungkinan menjadi milik VOC di Sulawesi Selatan sebagai hadiah atau rampasan perang dan selanjutnya dibawa ke Belanda.



Meskipun keris aslinya berasal dari Jawa, keris juga ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia. Khususnya di Sulawesi Selatan, karena besi yang mengandung nikel untuk bilahnya banyak ditemukan di sini. 


Seni menempa keris tersebar mulai dari Kerajaan Hindu Majapahit yang pengaruhnya terutama berasal dari Jawa Timur pada abad ke-14. Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan juga termasuk dalam wilayah pengaruh Majapahit. Gowa diislamkan pada pertengahan abad ke-16. Beberapa motif pada keris ini masih menunjukkan pengaruh Hindu Majapahit, seperti gambar Garuda yang berdiri pada sarungnya dan sosok Bima pada gagangnya.


4,5 × 9 × 46cm (lemmet)

51 × 11 × 5cm (kris+schede)

Sumber : NMVW

Pada tahun 525 SM, Raja Cambyses II dari Persia memimpin pasukan besar untuk menaklukkan Mesir. Dalam waktu singkat, ia berhasil merebut tanah para Firaun dan menjadikan Mesir bagian dari Kekaisaran Persia. Kemenangan ini membuatnya semakin ambisius untuk menaklukkan seluruh wilayah yang dianggap sakral dan berpengaruh. Suatu hari, ia mendengar tentang Kuil Amun di oasis Siwa, sebuah tempat suci yang sangat dihormati bangsa Mesir. Dipenuhi rasa ingin menundukkan segalanya, Cambyses mengirim sekitar 50.000 tentaranya untuk menyeberangi padang pasir barat guna menghancurkan kuil tersebut. Namun, setelah mereka bergerak jauh ke dalam gurun, badai pasir dahsyat tiba-tiba menerjang. Pasukan Persia terperangkap dalam badai selama berhari-hari. Akibatnya, mereka tersesat dan seluruh pasukan lenyap tanpa jejak. Tidak ada satu pun yang kembali. Hingga kini, hilangnya pasukan itu tetap menjadi salah satu misteri terbesar dalam sejarah Mesir Kuno, dan oasis Siwa tetap berdiri sebagai simbol kekuatan spiritual yang tak tertaklukkan. #fakta #sejarah

 Pada tahun 525 SM, Raja Cambyses II dari Persia memimpin pasukan besar untuk menaklukkan Mesir. Dalam waktu singkat, ia berhasil merebut tanah para Firaun dan menjadikan Mesir bagian dari Kekaisaran Persia. Kemenangan ini membuatnya semakin ambisius untuk menaklukkan seluruh wilayah yang dianggap sakral dan berpengaruh.



Suatu hari, ia mendengar tentang Kuil Amun di oasis Siwa, sebuah tempat suci yang sangat dihormati bangsa Mesir. Dipenuhi rasa ingin menundukkan segalanya, Cambyses mengirim sekitar 50.000 tentaranya untuk menyeberangi padang pasir barat guna menghancurkan kuil tersebut. Namun, setelah mereka bergerak jauh ke dalam gurun, badai pasir dahsyat tiba-tiba menerjang.


Pasukan Persia terperangkap dalam badai selama berhari-hari. Akibatnya, mereka tersesat dan seluruh pasukan lenyap tanpa jejak. Tidak ada satu pun yang kembali. Hingga kini, hilangnya pasukan itu tetap menjadi salah satu misteri terbesar dalam sejarah Mesir Kuno, dan oasis Siwa tetap berdiri sebagai simbol kekuatan spiritual yang tak tertaklukkan.


#fakta #sejarah