16 June 2025

“Raja Willem III mengunjungi ayah Jenderal Köhler, yang terbunuh di Aceh, 1873 Raja Willem III mengunjungi ayah dari Jenderal Johan HR Köhler, yang terbunuh di Aceh, 18 Mei 1873. Raja bersama dua perwira di rumah sang ayah, yang ditemani oleh tiga anak laki-laki (cucu laki-laki) dan seorang wanita (janda?). Köhler terbunuh pada tanggal 14 April 1873 di Mesigit (masjid) selama Ekspedisi Aceh Pertama. ——— Cc: Adi Fa #sejarahaceh #acehpungo

 “Raja Willem III mengunjungi ayah Jenderal Köhler, yang terbunuh di Aceh, 1873



Raja Willem III mengunjungi ayah dari Jenderal Johan HR Köhler, yang terbunuh di Aceh, 18 Mei 1873. Raja bersama dua perwira di rumah sang ayah, yang ditemani oleh tiga anak laki-laki (cucu laki-laki) dan seorang wanita (janda?). Köhler terbunuh pada tanggal 14 April 1873 di Mesigit (masjid) selama Ekspedisi Aceh Pertama.

———

Cc: Adi Fa


#sejarahaceh #acehpungo

Wayang Orang atau Pangeran Mankoe Negoro, Surakarta (Solo) , Ca;1880 _________ @Sorotan @Publik @Semuaorang

 Wayang Orang atau Pangeran Mankoe Negoro, Surakarta (Solo) , Ca;1880


_________



@Sorotan

@Publik

@Semuaorang

Cinta Terlarang di Keraton Yogyakarta: Kisah Nyi Ageng Serang Muda Di lereng perbukitan Serang, Jawa Tengah, sekitar tahun 1752, lahirlah seorang anak perempuan dari keturunan bangsawan Mataram. Namanya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Sejak kecil, hidupnya tak biasa. Ayahnya, Pangeran Notodiningrat, bukan hanya seorang adipati, tapi juga keturunan langsung dari Sunan Kalijaga. Di usianya yang masih belia, saat anak perempuan lain belajar menari atau menumbuk padi, Raden Ajeng sudah akrab dengan peta-peta jalur perang dan strategi pertempuran. Ia belajar menggunakan tombak, keris, bahkan mengatur barisan prajurit desa. Semua itu diwariskan dari sang kakek buyut, Ki Ageng Serang, pemimpin karismatik Mataram pada zamannya. * Cinta di Balik Dinding Keraton Ketika beranjak remaja, kecantikan dan kecerdasannya tersiar hingga ke telinga Keraton Yogyakarta. Suatu waktu, ia dipanggil ke keraton dan di sanalah benih cinta tumbuh. Seorang bangsawan keraton terpikat kepadanya. Sayangnya, hubungan itu terlarang. Selain perbedaan umur yang jauh, situasi politik di dalam keraton pun tak kondusif. Hubungan itu harus dijalani sembunyi-sembunyi, karena bisa mengancam posisi keluarga keduanya. Di balik kemewahan keraton, Raden Ajeng mulai merasakan kegelisahan. Ia melihat ketidakadilan. Rakyat menderita karena pajak dan kekuasaan kolonial yang makin mencengkeram. Sementara para bangsawan lebih sibuk memperebutkan kekuasaan daripada memikirkan rakyat. Raden Ajeng sadar, cinta asmara yang dikejarnya tak sebanding dengan cinta kepada rakyatnya. * Meninggalkan Cinta, Memilih Rakyat Dalam sebuah malam sunyi, ditemani suara kentongan ronda dan desir angin di halaman keraton, Raden Ajeng membuat keputusan paling berat dalam hidupnya. Ia meninggalkan keraton, meninggalkan cinta terlarang itu, dan kembali ke Desa Serang. Di sana, ia menggalang kekuatan rakyat. Ia menikahi Pangeran Kusumowijoyo, seorang bangsawan lokal yang juga pejuang, bukan demi status, tapi sebagai bagian dari perjuangan menyatukan rakyat. * Berperang di Usia Senja Tahun 1825, Perang Diponegoro pecah. Saat itu, usianya telah lebih dari 70 tahun. Tapi semangatnya tak pernah padam. Di usia senjanya, Nyi Ageng Serang memimpin sendiri pasukan rakyat. Karena tak lagi bisa berjalan jauh, ia memimpin dari atas tandu. Di sinilah ia menunjukkan strategi legendaris: "Daun Lumbu". Pasukannya berkamuflase di ladang talas, menutupi tubuh mereka dengan daun lebar, menyergap pasukan Belanda yang tak menyangka ada serangan dari arah itu. Taktik ini beberapa kali berhasil membuat tentara kolonial kewalahan. * Akhir Hidup yang Terhormat Setelah bertahun-tahun berperang, di tahun 1828, Nyi Ageng Serang wafat di usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bukit Beku, Kulon Progo, Yogyakarta. Ia dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tapi juga sebagai perempuan yang rela mengorbankan cinta pribadi demi cintanya kepada rakyat dan tanah air. Pada 13 Desember 1974, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuknya. Namanya abadi dalam catatan sejarah Indonesia. Sumber Referensi: - Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta - Kompas : Kisah Nyi Ageng Serang, Pahlawan Perempuan dari Yogyakarta - Wikipedia Indonesia: Nyi Ageng Serang - Buku Perempuan-Perempuan Perkasa Nusantara (2019) 📸 Foto Sudah di Restorasi Berwarna Nyi Ageng Serang (Sumber: Dinas Kebudayaan Yogyakarta) #NyiAgengSerang #PahlawanNasional #SejarahIndonesia #PerempuanPejuang #PerangDiponegoro #CeritaTempoDulu #KeratonYogyakarta #EmansipasiPerempuan #PahlawanWanita

 Cinta Terlarang di Keraton Yogyakarta: Kisah Nyi Ageng Serang Muda


Di lereng perbukitan Serang, Jawa Tengah, sekitar tahun 1752, lahirlah seorang anak perempuan dari keturunan bangsawan Mataram. Namanya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Sejak kecil, hidupnya tak biasa. Ayahnya, Pangeran Notodiningrat, bukan hanya seorang adipati, tapi juga keturunan langsung dari Sunan Kalijaga.



Di usianya yang masih belia, saat anak perempuan lain belajar menari atau menumbuk padi, Raden Ajeng sudah akrab dengan peta-peta jalur perang dan strategi pertempuran. Ia belajar menggunakan tombak, keris, bahkan mengatur barisan prajurit desa. Semua itu diwariskan dari sang kakek buyut, Ki Ageng Serang, pemimpin karismatik Mataram pada zamannya.


* Cinta di Balik Dinding Keraton


Ketika beranjak remaja, kecantikan dan kecerdasannya tersiar hingga ke telinga Keraton Yogyakarta. Suatu waktu, ia dipanggil ke keraton dan di sanalah benih cinta tumbuh. Seorang bangsawan keraton terpikat kepadanya. Sayangnya, hubungan itu terlarang. Selain perbedaan umur yang jauh, situasi politik di dalam keraton pun tak kondusif. Hubungan itu harus dijalani sembunyi-sembunyi, karena bisa mengancam posisi keluarga keduanya.


Di balik kemewahan keraton, Raden Ajeng mulai merasakan kegelisahan. Ia melihat ketidakadilan. Rakyat menderita karena pajak dan kekuasaan kolonial yang makin mencengkeram. Sementara para bangsawan lebih sibuk memperebutkan kekuasaan daripada memikirkan rakyat.


Raden Ajeng sadar, cinta asmara yang dikejarnya tak sebanding dengan cinta kepada rakyatnya.


* Meninggalkan Cinta, Memilih Rakyat


Dalam sebuah malam sunyi, ditemani suara kentongan ronda dan desir angin di halaman keraton, Raden Ajeng membuat keputusan paling berat dalam hidupnya. Ia meninggalkan keraton, meninggalkan cinta terlarang itu, dan kembali ke Desa Serang.


Di sana, ia menggalang kekuatan rakyat. Ia menikahi Pangeran Kusumowijoyo, seorang bangsawan lokal yang juga pejuang, bukan demi status, tapi sebagai bagian dari perjuangan menyatukan rakyat.


* Berperang di Usia Senja


Tahun 1825, Perang Diponegoro pecah. Saat itu, usianya telah lebih dari 70 tahun. Tapi semangatnya tak pernah padam. Di usia senjanya, Nyi Ageng Serang memimpin sendiri pasukan rakyat. Karena tak lagi bisa berjalan jauh, ia memimpin dari atas tandu. Di sinilah ia menunjukkan strategi legendaris: "Daun Lumbu".


Pasukannya berkamuflase di ladang talas, menutupi tubuh mereka dengan daun lebar, menyergap pasukan Belanda yang tak menyangka ada serangan dari arah itu. Taktik ini beberapa kali berhasil membuat tentara kolonial kewalahan.


* Akhir Hidup yang Terhormat


Setelah bertahun-tahun berperang, di tahun 1828, Nyi Ageng Serang wafat di usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bukit Beku, Kulon Progo, Yogyakarta. Ia dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tapi juga sebagai perempuan yang rela mengorbankan cinta pribadi demi cintanya kepada rakyat dan tanah air.


Pada 13 Desember 1974, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuknya. Namanya abadi dalam catatan sejarah Indonesia.


Sumber Referensi:

- Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta

- Kompas : Kisah Nyi Ageng Serang, Pahlawan Perempuan dari Yogyakarta

- Wikipedia Indonesia: Nyi Ageng Serang

- Buku Perempuan-Perempuan Perkasa Nusantara (2019)


📸 Foto Sudah di Restorasi Berwarna Nyi Ageng Serang (Sumber: Dinas Kebudayaan Yogyakarta)


#NyiAgengSerang #PahlawanNasional #SejarahIndonesia #PerempuanPejuang #PerangDiponegoro #CeritaTempoDulu #KeratonYogyakarta #EmansipasiPerempuan #PahlawanWanita

Inilah budaya jawa asli yang sudah di tinggalkan oleh penerusnya jawa di masa sekarang. Tampak para wanita jawa saling berlomba makan kutu di daerah JOGJA sekitahan tahun 1920. Pada masa itu makan kutu jadi cemilan bagi wanita jawa mengingat makanan lain tidak ada karna penjajahan belanda, jika pun mereka mau makanan yang lebih layak harus jadi pemuas napsu belanda. Sungguh kasian jawa di masa lalu. Sekarang mereka sudah kaya dan berkuasa menjadi penjajah jilid ke 2 dengan halus alam pulau jajahan nya

 Inilah budaya jawa asli yang sudah di tinggalkan oleh penerusnya jawa di masa sekarang.



   Tampak para wanita jawa saling berlomba makan kutu di daerah JOGJA sekitahan tahun 1920. Pada masa itu makan kutu jadi cemilan bagi wanita jawa mengingat makanan lain tidak ada karna penjajahan belanda, jika pun mereka mau makanan yang lebih layak harus jadi pemuas napsu belanda. Sungguh kasian jawa di masa lalu. Sekarang mereka sudah kaya dan berkuasa menjadi penjajah jilid ke 2 dengan halus alam pulau jajahan nya

15 June 2025

Potret penyabung Ayam pada jaman Hindia Belanda, sekitar tahun 1925.

 Potret penyabung Ayam pada jaman Hindia Belanda, sekitar tahun 1925.



Rekap Pejuang seroja yang gugur dari tahun 1975 S.D 1999, Al-fatihah. Sumber tiktok aspers99 #seroja #opsseroja #timortimur #timtim #dili #timorleste #pejuang #veteran #veteranseroja #abri #tni #tniad #tnial #tniau #polri

 Rekap Pejuang seroja yang gugur dari tahun 1975 S.D 1999, Al-fatihah. 



Sumber tiktok aspers99


#seroja #opsseroja #timortimur #timtim #dili #timorleste #pejuang #veteran #veteranseroja #abri #tni #tniad #tnial #tniau #polri

Peristiwa nahas itu terjadi pada Senin, 24 Agustus 1981 silam. Kecelakaan adu banteng itu melibatkan Mitsubishi Colt Station atau Colt T berwarna merah dari arah Magelang dengan Bus Sumber Waras rombongan pengantin dari arah jogja. Kondisi jalan di Blondo, Magelang, yang itu masih sempit membuat tabrakan kedua kendaraan itu tak terelakkan, Akibat kejadian itu, Colt T itu rusak parah sedangkan bus jatuh ke Sungai Elo. Dalam tragedi itu total 35 orang tew*s, 32 orang luka berat, dan 20 orang luka ringan. Dari korban meninggal, 7 di antaranya merupakan penumpang Colt T yang total berpenumpang 14 orang. setelah kejadian kecelakaan maut itu berjarak 200 meter dari lokasi dibangun sebuah monumen untuk menghormati para korban. Colt warna merah yang terlibat kecelakaan pun dipajang sebagai pengingat agar pengendara berhati-hati. Kini monumen itu sudah tidak ada , dibongkar untuk pelebaran jalan . #peristiwa #foto #blondo #kecelakaan #tragedi #pilu #fbpro #postinganberanda #kisah #cerita #facebook #narasi

 Peristiwa nahas itu terjadi pada Senin, 24 Agustus 1981 silam. Kecelakaan adu banteng itu melibatkan Mitsubishi Colt Station atau Colt T berwarna merah dari arah Magelang dengan Bus Sumber Waras rombongan pengantin dari arah jogja.



Kondisi jalan di Blondo, Magelang, yang itu masih sempit membuat tabrakan kedua kendaraan itu tak terelakkan, Akibat kejadian itu, Colt T itu rusak parah sedangkan bus jatuh ke Sungai Elo.


Dalam tragedi itu total 35 orang tew*s, 32 orang luka berat, dan 20 orang luka ringan. Dari korban meninggal, 7 di antaranya merupakan penumpang Colt T yang total berpenumpang 14 orang.


setelah kejadian kecelakaan maut itu berjarak 200 meter dari lokasi dibangun sebuah monumen untuk menghormati para korban. Colt warna merah yang terlibat kecelakaan pun dipajang sebagai pengingat agar pengendara berhati-hati.


Kini monumen itu sudah tidak ada , dibongkar untuk pelebaran jalan .


#peristiwa #foto #blondo #kecelakaan #tragedi #pilu #fbpro #postinganberanda #kisah #cerita #facebook #narasi

SEKEDAR PENGETAHUAN GURKHA, SIKH DAN INDIA REGULER DALAM KETENTARAAN INGGRIS Perbedaan Satuan Gurkha, tentara Sikh dan India reguler dalam ketentaraan Inggris Kemarin saya baca postingan tentang photo satuan tentara Inggris yang berasal dari India. Yang masih salah kaprah adalah banyak orang kita menyebut semua pasukan Inggris yang memakai sorban itu dengan sebutan Gurkha padahal salah. Ini sedikit rincian mereka Gurkha Gurkha juga dieja gorkha (Bahasa Nepal : गोर्खा), adalah orang-orang dari Nepal yang mengambil namanya dari orang suci Hindu abad ke-18, Guru Gorakhnath. Gurkha dikenal terutama karena keberanian dan kekuatannya dalam Brigade Gurkha dalam Angkatan Darat Britania Raya serta Angkatan Darat India. Mereka juga terkenal karena pisau khas mereka yang disebut kukri. orang Nepal itu yg di sebut Gurkha dan yg jarang orang tahu bukan hanya Inggris yang memakai jasa orang Nepal atau Gurkha dalam angkatan bersenjata nya. Selain Inggris ada Singapura, Brunei, Malaysia juga Thailand. 49th Indian Infantry Brigade ”The Fighting Cock” Nah ini bertugas dipulau Jawa dan dalam bulan November 1945 berhadapan dengan arek arek Surabaya yang kelak kita kenal sebagai Pertempuran 10 November. Bulan desember akhir 1945 mereka di pindahkan ke Jakarta. Nah pasukan ini sebagian besar adalah muslim dan berasal dari India bagian utara yang kemudian hari menjadi negara Pakistan. Satuan Sikh Ini yang menjadi salah kaprahnya orang Indonesia, orang orang India yang beragam Sikh ini yang memakai ubel ubel. Dalam aturan ketentaraan Inggris memang di bolehkah seorang Sikh tetap memakai ubel ubel walau dia dalam ketentaraan. Jadi personil tentara Inggris asal Sikh ini lah yg sering di sebut " Gurkha " oleh bangsa kita. Semoga berguna. Dari berbagai sumber Beny Rusmawan

 SEKEDAR PENGETAHUAN

GURKHA, SIKH DAN INDIA REGULER DALAM KETENTARAAN INGGRIS 


Perbedaan Satuan Gurkha, tentara Sikh dan India reguler dalam ketentaraan Inggris



Kemarin saya baca postingan tentang photo satuan tentara Inggris yang berasal dari India. 


Yang masih salah kaprah adalah banyak orang kita menyebut semua pasukan Inggris yang memakai sorban itu dengan sebutan Gurkha padahal salah.


Ini sedikit rincian mereka 


Gurkha

Gurkha juga dieja gorkha (Bahasa Nepal : गोर्खा), adalah orang-orang dari Nepal yang mengambil namanya dari orang suci Hindu abad ke-18, Guru Gorakhnath. Gurkha dikenal terutama karena keberanian dan kekuatannya dalam Brigade Gurkha dalam Angkatan Darat Britania Raya serta Angkatan Darat India. Mereka juga terkenal karena pisau khas mereka yang disebut kukri.


orang Nepal itu yg di sebut Gurkha dan yg jarang orang tahu bukan hanya Inggris yang memakai jasa orang Nepal atau Gurkha dalam angkatan bersenjata nya. 


Selain Inggris ada Singapura,  Brunei,  Malaysia juga Thailand.


49th Indian Infantry Brigade ”The Fighting Cock”

Nah ini bertugas dipulau Jawa dan dalam bulan November 1945 berhadapan dengan arek arek Surabaya yang kelak kita kenal sebagai Pertempuran 10 November.  


Bulan desember akhir 1945 mereka di pindahkan ke Jakarta. 


Nah pasukan ini sebagian  besar adalah muslim dan berasal dari India bagian utara yang kemudian hari menjadi negara Pakistan.


Satuan Sikh 

Ini yang menjadi salah kaprahnya orang Indonesia,  orang orang India yang beragam Sikh ini yang memakai ubel ubel. Dalam aturan ketentaraan Inggris memang di bolehkah seorang Sikh tetap memakai ubel ubel walau dia dalam ketentaraan.


Jadi personil tentara Inggris asal Sikh ini lah yg sering di sebut " Gurkha " oleh bangsa kita.


Semoga berguna.


Dari berbagai sumber


Beny Rusmawan

Ketika Janji Tak Ditepati: Daud Beureueh dan Pemberontakan DI/TII di Aceh Dia bukan pemberontak biasa. Daud Beureueh adalah tokoh karismatik, pejuang kemerdekaan, dan Gubernur Militer Aceh yang pernah berkuasa penuh atas wilayahnya. Namun pada 20 September 1953, ia memilih jalan berbeda: mengangkat senjata melawan negara yang dulu ia perjuangkan. Daud kecewa. Ia merasa dikhianati oleh Bung Karno. Pada 1948, ia pernah bertemu langsung dengan Presiden dan mendapat janji: rakyat Aceh akan diberi kebebasan menjalankan syariat Islam setelah perang usai. Namun realita berkata lain. Indonesia ditegaskan sebagai negara nasional berideologi Pancasila—bukan negara Islam. Merasa dibohongi, Daud Beureueh pun mantap bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosoewirjo. Dari tanah Rencong, ia memulai perlawanan berdarah yang berlangsung bertahun-tahun. Ini adalah cerita tentang janji, keyakinan, dan perlawanan. Tentang seorang tokoh yang memilih jalan pedang demi menuntut apa yang diyakininya sebagai hak rakyat Aceh. 📅 20 September 1953 📍 Aceh ⚔️ Daud Beureueh & DI/TII #DaudBeureueh #DI/TII #SejarahIndonesia #PemberontakanAceh #BungKarno #Aceh #TEMPODOELOE

 Ketika Janji Tak Ditepati: Daud Beureueh dan Pemberontakan DI/TII di Aceh


Dia bukan pemberontak biasa. Daud Beureueh adalah tokoh karismatik, pejuang kemerdekaan, dan Gubernur Militer Aceh yang pernah berkuasa penuh atas wilayahnya.



Namun pada 20 September 1953, ia memilih jalan berbeda: mengangkat senjata melawan negara yang dulu ia perjuangkan.


Daud kecewa. Ia merasa dikhianati oleh Bung Karno. Pada 1948, ia pernah bertemu langsung dengan Presiden dan mendapat janji: rakyat Aceh akan diberi kebebasan menjalankan syariat Islam setelah perang usai.


Namun realita berkata lain. Indonesia ditegaskan sebagai negara nasional berideologi Pancasila—bukan negara Islam.


Merasa dibohongi, Daud Beureueh pun mantap bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosoewirjo. Dari tanah Rencong, ia memulai perlawanan berdarah yang berlangsung bertahun-tahun.


Ini adalah cerita tentang janji, keyakinan, dan perlawanan. Tentang seorang tokoh yang memilih jalan pedang demi menuntut apa yang diyakininya sebagai hak rakyat Aceh.


📅 20 September 1953

📍 Aceh

⚔️ Daud Beureueh & DI/TII


#DaudBeureueh #DI/TII #SejarahIndonesia #PemberontakanAceh #BungKarno #Aceh #TEMPODOELOE

Gunung Gendol di Salam, Magelang, memang merupakan sisa gunung api purba yang berusia sekitar 3,4 juta tahun. Lebih tua dari Gunung Merapi yang aktif saat ini dan lebih muda dari gunung api purba menoreh , Gunung Gendol adalah bukti aktivitas vulkanik di Jawa Tengah di masa lampau. Penelitian dengan metode K-Ar pada batuan perbukitan Gendol memberikan usia sekitar 3,4 juta tahun yang lalu. Di sebelah barat gunung Gendol Tanah nya di keruk Sebagai Material Pembangunan Jalan Tol Semarang - Yogyakarta. #foto #geopark #geosite #gununggendol #fbpro #jangkauanluas #fakta

 Gunung Gendol di Salam, Magelang, memang merupakan sisa gunung api purba yang berusia sekitar 3,4 juta tahun. Lebih tua dari Gunung Merapi yang aktif saat ini dan lebih muda dari gunung api purba menoreh , Gunung Gendol adalah bukti aktivitas vulkanik di Jawa Tengah di masa lampau. Penelitian dengan metode K-Ar pada batuan perbukitan Gendol memberikan usia sekitar 3,4 juta tahun yang lalu. 



Di sebelah barat gunung Gendol Tanah nya di keruk Sebagai Material Pembangunan Jalan Tol Semarang - Yogyakarta. 


Sumber : Wukir Mahendra


#foto #geopark #geosite #gununggendol #fbpro #jangkauanluas #fakta

Magelang - Prasasti Tukmas terletak di wilayah dataran tinggi, lebih tepatnya di lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. kota Magelang akan terlihat dari ketinggian di Kecamatan Grabag. Ini karena Kota Magelang terletak lebih rendah dari ketinggian Grabag, dan pandangan dari ketinggian Grabag akan memungkinkan Anda untuk melihat kota Magelang yang dahulu merupakan bagian dari danau purba, dulu Sungai Progo selatan berhulu di danau purba di sekitar kawasan Borobudur dan Aliran air sungai-sungai disebelah Utara seperti Pabelan, Elo, dan Progo yang saat ini bertemu, dulunya bermuara di danau tersebut. Namun, seiring waktu danau tersebut mengering secara alami, sehingga aliran sungai-sungai tersebut berubah dan sekarang bermuara di pantai selatan. Mungkin inilah yang di gambarkan dalam prasasti tuk mas. kwacit parwwatasānujātā kwacic chilawaluka nirggateyam kwacit prakirņna śubhasitatoya sam- prasutam — .. — waganga Terjemahan (Mata air) yang airnya jernih dan dingin ini dan yang keluar Dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunganya tunjung putih Serta mengalir ke sana –sini Setelah menjadi satu lalu mengalir seperti sungai Gangga. #foto #fbpro #magelanghits #wisatamagelang #prasastitukmas #danaupurba #sejarah #jawakuno

 Magelang - Prasasti Tukmas terletak di wilayah dataran tinggi, lebih tepatnya di lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. 



kota Magelang akan terlihat dari ketinggian di Kecamatan Grabag. Ini karena Kota Magelang terletak lebih rendah dari ketinggian Grabag, dan pandangan dari ketinggian Grabag akan memungkinkan Anda untuk melihat kota Magelang yang dahulu merupakan bagian dari danau purba, dulu Sungai Progo selatan berhulu di danau purba di sekitar kawasan Borobudur dan Aliran air sungai-sungai disebelah Utara  seperti Pabelan, Elo, dan Progo yang saat ini bertemu, dulunya bermuara di danau tersebut. Namun, seiring waktu danau tersebut mengering secara alami, sehingga aliran sungai-sungai tersebut berubah dan sekarang bermuara di pantai selatan.

Mungkin inilah yang di gambarkan dalam prasasti tuk mas.


kwacit parwwatasānujātā

kwacic chilawaluka nirggateyam

kwacit prakirņna śubhasitatoya sam-

prasutam — .. — waganga


Terjemahan

(Mata air) yang airnya jernih dan dingin ini dan yang keluar

Dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunganya tunjung putih

Serta mengalir ke sana –sini

Setelah menjadi satu lalu mengalir seperti sungai Gangga.

Sumber : Wukir Mahendra

#foto #fbpro #magelanghits #wisatamagelang #prasastitukmas #danaupurba  #sejarah #jawakuno

13 June 2025

Waktu Pesawat Woyla Dibajak Teroris Reporter: Petrik Matanasi 28 Maret 2018 Waktu Pesawat Woyla Dibajak Teroris Pada 28 Februari 1981, Garuda DC-9 Woyla dibajak saat menuju Medan. Pesawat itu dipaksa untuk mendarat di Bangkok. tirto.id - Dari bandara lawas Talang Betutu, dekat Bandara Sultan Mahmud Badaruddin saat ini, Garuda DC-9 Woyla dengan nomor penerbangan 206 hendak bertolak menuju Bandara Polonia, Medan. Sabtu, 28 Februari 1981, pesawat yang berangkat dari Jakarta itu transit di Kota Palembang. Di antara para penumpang itu ada Wendy Muhammad Zein dan kawan-kawannya. Mereka terlibat penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, dua minggu sebelumnya. Sekitar pukul 10.10, setelah melewati Pekanbaru, pesawat Woyla dibajak. Para pembajak memaksa agar Woyla, yang mengangkut 48 penumpang, diterbangkan ke Srilanka. Kapten pilot Herman Rante mengatakan bahwa bahan bakar tak akan cukup jika Woyla harus melintasi bagian utara Samudera Hindia. Para pembajak menerima penjelasan tersebut. “Melihat kenyataan itu akhirnya Mahrizal (salah seorang pembajak) setuju terbang ke Penang,” demikian keterangan dalam Memori Jenderal Yoga (1990: 307), yang disusun ‎B. Wiwoho dan ‎Bandjar Chaeruddin. "Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia," kata Mahrizal. Para pembajak itu terlihat profesional. Mereka menuntut beberapa hal, di antaranya: pembebasan 80 tahanan yang disebut anggota dari Komando Jihad; uang tebusan 1,5 juta dolar AS; pengusiran orang-orang Israel dari Indonesia; dan pencopotan Adam Malik sebagai wakil presiden. Ketika pesawat mengisi bahan bakar di Bandara Bayan Lepas, Penang, para pembajak meminta peta dan makan. Seorang nenek berusia 76 tahun bernama Hulda Panjaitan Boru Tobing, yang terus-terusan menangis, diturunkan di Penang. Dari Penang, para pembajak memaksa pilot untuk terbang menuju Bandara Don Mueang, Bangkok. Di Cijantung, Jakarta Timur, markas besar Kopassandha (nama saat itu untuk Kopassus), Letkol Sintong Panjaitan tengah memulihkan kakinya yang cedera saat menerima kabar pembajakan pesawat Woyla. Sintong saat itu menjabat Asisten Operasi Kopassandha. Perwira kelahiran Tapanuli Utara berusia 41 tahun ini menerima telepon dari Komandan Jenderal Kopassandha Brigjen Yogie Suwardi Memed. Saat itu, elite tempur Angkatan Darat tersebut belum punya kesatuan penanggulangan teror, atau lebih dikenal Detasemen Khusus 81 (Sat-81). Kesatuan ini baru dibentuk setahun berikutnya, diisi para prajurit terbaik dari seluruh personel TNI. “Sintong, kau saya tunjuk memimpin operasi pembebasan sandera," ujar Brigjen Yogie, seperti tertulis dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009: 260-262). "Cari anggotamu dan rencanakan dengan baik.” Sintong pun segera menyiapkan anggotanya. Ia mengerahkan 30 personel. Seandainya saat itu Kapten Luhut Panjaitan (lulusan Akabri 1970) tidak sedang latihan anti-teror di Grenzschutzgruppe 9 (GSG-9/ Densus Anti-teror) di Jerman Barat, sangat mungkin Panjaitan yang lebih junior ini diajak Panjaitan senior ke tim penyergap. Tapi pasukan di bawah Sintong tak langsung naik pesawat. Mereka latihan dulu di Bandara Kemayoran. “Dalam latihan itu, teknisi dari Garuda mengajari kami cara memasuki pesawat saat tertutup, sehingga kami mengetahui dari pintu-pintu mana kami bisa masuk. Selain itu juga cara-cara membuka pesawat," ujar Subagyo Hadi Siswoyo dalam Subagyo H.S.: Kasad dari Piyungan (2004: 83-84), yang disusun Carmelia Sukmawati. Pasukan pembebasan sandera itu tak memakai senapan serbu M-16 buatan Colt Amerika , tapi senapan mesin ringan MP5 buatan Heckler & Koch dari Jerman Barat. Sintong selalu ragu dengan senjata baru, sebelum ia mencobanya. Ia ingat pengalaman pertama kali memakai AR-15 (versi sipil M-16) yang macet sewaktu pembersihan komunis di Jawa Tengah. Ia khawatir MP5 yang baru dipakai itu macet. Setelah berdebat ringan dengan Letjen L.B. "Benny" Moerdani (saat itu Asisten Intelijen Hankam sekaligus Kepala BAIS), Sintong dan pasukannya diizinkan mencoba menembakkan senjata itu. Terbuktilah, senapan anti-teror itu macet. Mereka harus meminta bawahannya agar mengambil peluru-peluru baru dari Tebet. Setelah peluru-peluru itu tiba, senapan MP5 dan pelurunya dicoba lagi dan sukses. Maka, pesawat DC-10 Sumatera siap membawa mereka ke Bangkok setelah dua hari mereka berlatih. Operasi Penyergapan Dinihari, 30 Maret 1981, DC-10 Sumatera mendarat di Don Mueang. Sebelum menyerbu, pasukan yang disiapkan Sintong Panjaitan itu berlatih lagi, dengan pesawat DC-9 Digul milik Garuda. Semula pasukan hendak menyerbu lewat pintu kiri depan dan belakang, tetapi Sintong mengubahnya lewat pintu darurat dekat sayap. Hendro Subroto, yang menyusun buku biografi Sintong Panjaitan (2009: 280-283), mengisahkan kronologi penyergapan pesawat Woyla. Subtim perintis 1 disiapkan menyerbu lewat pintu kiri pesawat, yang dipimpin oleh Kapten Untung Suroso. Dua orang disiapkan untuk membuka pintu dan menahan karet darurat dekat pintu pesawat. Sesudahnya regu ini menyergap ke kokpit. Subtim perintis 2 dikerahkan untuk mendobrak pintu darurat sebelah kiri, yang dipimpin oleh Letnan Dua Rusmin AT. Dua personel akan memegang tangga. Subtim perintis 3 datang dari tangga belakang, yang dipimpin oleh calon perwira (Capa) Ahmad Kirang. Ia akan diikuti dua penyergap lain, disertai seorang personel yang membuka tangga hidrolik pesawat. Subtim perintis 4 bertugas mengevakuasi sandera dan korban terluka. Terakhir, subtim perintis 5 akan mengamankan dan mengawasi area operasi. Mayor Subagyo H.S. disiapkan siaga dengan senapan M16A1. Ia akan menembak ban pesawat jika pesawat bergerak pergi. Hari sudah malam setelah anak buah Sintong itu berlatih. Sintong, yang melihat anak buahnya kelelahan, berkata tegas: “Matikan lampu, terus tidur!” Setelah satu jam, tepat pukul satu dinihari, 31 Maret 1981, pasukannya diminta terjaga. “Lakukan persiapan," kata Sintong. "Kita jadi melaksanakan penyerbuan.” Semula rencana penyergapan pukul 04.30 pagi, tapi dimajukan pukul 03.00 waktu setempat. Jam segitu diperkirakan para pembajak tertidur. Dengan VW Combi, pasukan penyergap menuju arah pesawat. Mereka berjalan santai, tanpa mengendap-endap, dari arah belakang pesawat alias sudut mati pandang bagi pembajak. "Like a Sunday picnic," kata wartawan Thailand—bak piknik akhir pekan, mereka bilang. Tanpa halangan, pesawat bisa dicapai diam-diam. Sewaktu Kapten Untung Suroso melapor pasukannya siap, saat itu masih pukul 02.40. Sintong pun segera memberi perintah lewat walkie talkie: “Masuk! Masuk!” Lima menit kemudian, pintu kiri depan pesawat dibuka dan karet bisa ditahan. Kemudian dua penyerbu masuk. Setelahnya, giliran subtim lain memasuki pesawat lewat pintu darurat di bagian tengah kabin. Lalu disusul pintu belakang. Dalam hitungan menit, pembajak berhasil dilumpuhkan. Namun, seorang personel Kopassandha Capa Ahmad Kirang dan kapten pilot Herman Ranthe terbunuh. Pihak intel militer Indonesia mengabarkan kepada dunia: pembajakan Woyla berhasil dilumpuhkan.

 Waktu Pesawat Woyla Dibajak Teroris

Reporter: Petrik Matanasi


28 Maret 2018


Waktu Pesawat Woyla Dibajak Teroris

Pada 28 Februari 1981, Garuda DC-9 Woyla dibajak saat menuju Medan. Pesawat itu dipaksa untuk mendarat di Bangkok.

    


tirto.id - Dari bandara lawas Talang Betutu, dekat Bandara Sultan Mahmud Badaruddin saat ini, Garuda DC-9 Woyla dengan nomor penerbangan 206 hendak bertolak menuju Bandara Polonia, Medan. Sabtu, 28 Februari 1981, pesawat yang berangkat dari Jakarta itu transit di Kota Palembang.


Di antara para penumpang itu ada Wendy Muhammad Zein dan kawan-kawannya. Mereka terlibat penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, dua minggu sebelumnya.


Sekitar pukul 10.10, setelah melewati Pekanbaru, pesawat Woyla dibajak. Para pembajak memaksa agar Woyla, yang mengangkut 48 penumpang, diterbangkan ke Srilanka. 


Kapten pilot Herman Rante mengatakan bahwa bahan bakar tak akan cukup jika Woyla harus melintasi bagian utara Samudera Hindia. Para pembajak menerima penjelasan tersebut. 


“Melihat kenyataan itu akhirnya Mahrizal (salah seorang pembajak) setuju terbang ke Penang,” demikian keterangan dalam Memori Jenderal Yoga (1990: 307), yang disusun ‎B. Wiwoho dan ‎Bandjar Chaeruddin. 


"Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia," kata Mahrizal. 


Para pembajak itu terlihat profesional. Mereka menuntut beberapa hal, di antaranya: pembebasan 80 tahanan yang disebut anggota dari Komando Jihad; uang tebusan 1,5 juta dolar AS; pengusiran orang-orang Israel dari Indonesia; dan pencopotan Adam Malik sebagai wakil presiden.


Ketika pesawat mengisi bahan bakar di Bandara Bayan Lepas, Penang, para pembajak meminta peta dan makan. Seorang nenek berusia 76 tahun bernama Hulda Panjaitan Boru Tobing, yang terus-terusan menangis, diturunkan di Penang. Dari Penang, para pembajak memaksa pilot untuk terbang menuju Bandara Don Mueang, Bangkok. 


Di Cijantung, Jakarta Timur, markas besar Kopassandha (nama saat itu untuk Kopassus), Letkol Sintong Panjaitan tengah memulihkan kakinya yang cedera saat menerima kabar pembajakan pesawat Woyla.


Sintong saat itu menjabat Asisten Operasi Kopassandha. Perwira kelahiran Tapanuli Utara berusia 41 tahun ini menerima telepon dari Komandan Jenderal Kopassandha Brigjen Yogie Suwardi Memed. 


Saat itu, elite tempur Angkatan Darat tersebut belum punya kesatuan penanggulangan teror, atau lebih dikenal Detasemen Khusus 81 (Sat-81). Kesatuan ini baru dibentuk setahun berikutnya, diisi para prajurit terbaik dari seluruh personel TNI.


“Sintong, kau saya tunjuk memimpin operasi pembebasan sandera," ujar Brigjen Yogie, seperti tertulis dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009: 260-262). "Cari anggotamu dan rencanakan dengan baik.”  


Sintong pun segera menyiapkan anggotanya. Ia mengerahkan 30 personel. Seandainya saat itu Kapten Luhut Panjaitan (lulusan Akabri 1970) tidak sedang latihan anti-teror di Grenzschutzgruppe 9 (GSG-9/ Densus Anti-teror) di Jerman Barat, sangat mungkin Panjaitan yang lebih junior ini diajak Panjaitan senior ke tim penyergap.


Tapi pasukan di bawah Sintong tak langsung naik pesawat. Mereka latihan dulu di Bandara Kemayoran. 


“Dalam latihan itu, teknisi dari Garuda mengajari kami cara memasuki pesawat saat tertutup, sehingga kami mengetahui dari pintu-pintu mana kami bisa masuk. Selain itu juga cara-cara membuka pesawat," ujar Subagyo Hadi Siswoyo dalam Subagyo H.S.: Kasad dari Piyungan (2004: 83-84), yang disusun Carmelia Sukmawati.


Pasukan pembebasan sandera itu tak memakai senapan serbu M-16 buatan Colt Amerika , tapi senapan mesin ringan MP5 buatan Heckler & Koch dari Jerman Barat. Sintong selalu ragu dengan senjata baru, sebelum ia mencobanya. 


Ia ingat pengalaman pertama kali memakai AR-15 (versi sipil M-16) yang macet sewaktu pembersihan komunis di Jawa Tengah. Ia khawatir MP5 yang baru dipakai itu macet. Setelah berdebat ringan dengan Letjen L.B. "Benny" Moerdani (saat itu Asisten Intelijen Hankam sekaligus Kepala BAIS), Sintong dan pasukannya diizinkan mencoba menembakkan senjata itu. 


Terbuktilah, senapan anti-teror itu macet. Mereka harus meminta bawahannya agar mengambil peluru-peluru baru dari Tebet. Setelah peluru-peluru itu tiba, senapan MP5 dan pelurunya dicoba lagi dan sukses. Maka, pesawat DC-10 Sumatera siap membawa mereka ke Bangkok setelah dua hari mereka berlatih.


Operasi Penyergapan


Dinihari, 30 Maret 1981, DC-10 Sumatera mendarat di Don Mueang. Sebelum menyerbu, pasukan yang disiapkan Sintong Panjaitan itu berlatih lagi, dengan pesawat DC-9 Digul milik Garuda. Semula pasukan hendak menyerbu lewat pintu kiri depan dan belakang, tetapi Sintong mengubahnya lewat pintu darurat dekat sayap.


Hendro Subroto, yang menyusun buku biografi Sintong Panjaitan (2009: 280-283), mengisahkan kronologi penyergapan pesawat Woyla. 


Subtim perintis 1 disiapkan menyerbu lewat pintu kiri pesawat, yang dipimpin oleh Kapten Untung Suroso. Dua orang disiapkan untuk membuka pintu dan menahan karet darurat dekat pintu pesawat. Sesudahnya regu ini menyergap ke kokpit. 


Subtim perintis 2 dikerahkan untuk mendobrak pintu darurat sebelah kiri, yang dipimpin oleh Letnan Dua Rusmin AT. Dua personel akan memegang tangga. Subtim perintis 3 datang dari tangga belakang, yang dipimpin oleh calon perwira (Capa) Ahmad Kirang. Ia akan diikuti dua penyergap lain, disertai seorang personel yang membuka tangga hidrolik pesawat. 


Subtim perintis 4 bertugas mengevakuasi sandera dan korban terluka. Terakhir, subtim perintis 5 akan mengamankan dan mengawasi area operasi. Mayor Subagyo H.S. disiapkan siaga dengan senapan M16A1. Ia akan menembak ban pesawat jika pesawat bergerak pergi.


Hari sudah malam setelah anak buah Sintong itu berlatih. Sintong, yang melihat anak buahnya kelelahan, berkata tegas: “Matikan lampu, terus tidur!” Setelah satu jam, tepat pukul satu dinihari, 31 Maret 1981, pasukannya diminta terjaga.


“Lakukan persiapan," kata Sintong. "Kita jadi melaksanakan penyerbuan.” 


Semula rencana penyergapan pukul 04.30 pagi, tapi dimajukan pukul 03.00 waktu setempat. Jam segitu diperkirakan para pembajak tertidur. 


Dengan VW Combi, pasukan penyergap menuju arah pesawat. Mereka berjalan santai, tanpa mengendap-endap, dari arah belakang pesawat alias sudut mati pandang bagi pembajak. "Like a Sunday picnic," kata wartawan Thailand—bak piknik akhir pekan, mereka bilang.


Tanpa halangan, pesawat bisa dicapai diam-diam. Sewaktu Kapten Untung Suroso melapor pasukannya siap, saat itu masih pukul 02.40. Sintong pun segera memberi perintah lewat walkie talkie: “Masuk! Masuk!”


Lima menit kemudian, pintu kiri depan pesawat dibuka dan karet bisa ditahan. Kemudian dua penyerbu masuk. Setelahnya, giliran subtim lain memasuki pesawat lewat pintu darurat di bagian tengah kabin. Lalu disusul pintu belakang. Dalam hitungan menit, pembajak berhasil dilumpuhkan. Namun, seorang personel Kopassandha Capa Ahmad Kirang dan kapten pilot Herman Ranthe terbunuh. 


Pihak intel militer Indonesia mengabarkan kepada dunia: pembajakan Woyla berhasil dilumpuhkan.

12 June 2025

DIPONEGORO DAN DUA MATAHARI ADIPATI Putri Adipati Padangan putri Adipati Panolan Dalam buku tulisan Ki Roni Sadewo yang berjudul Perjuangan Pangeran Diponegoro 'Antara Nasionalisme, Spiritualisme dan Budaya' bercerita tentang sepak terjang Diponegoro dan mendata siapakah para istri dan anak anak Pangeran Diponegoro. Kami hadir dikediaman Ki Roni Sodewo selaku mantan Ketua Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (PATRA PADI) - di Kulonprogo, Yogyakarta untuk memastikan silsilah yang kami peroleh di keluarga Ngasinan - Padangan yang menyambung kepada Pangeran Diponegoro. kami konfirmasi kepada beliau tentang hal ini, ternyata bener Jipang Kepadangan itu sama dengan jipang padangan. Menurut beliau, diceritakan Raden Ayu Ratnaningsih itu dari kecil ikut Diponegoro, karen istrinya yang bernama, RA Maduretno terhitung masih sepupu Ratnaningsih, dan sebelum dinikahi P Diponegoro, Ratnaningsih adalah pasukan Srikandi Ratnaningsih Adalah Putri dari Raden Tumenggung Sumoprawiro - mantan Adipati Madiun yang pindah menjabat menjadi Adipati Jipang Padangan. Dalan catatan Belanda disebutkan kekaguman terhadap pasukan wanita 'Srikandi' ini. Yang pasti Ratnaningsih itu prajurit wanita yg tangguh, aura nya disegani orang Belanda, ada catatan perwira Belanda yg memuji dan menghormati beliau sebagai istri Pangeran Diponegoro. Dari peristiwa sejarah ini, dalam kurun waktu yang hampir bersamaan Pangeran Diponegoro menjadi sosok penting di Padangan dan Cepu, Raden Ontowiryo / Pangeran Diponegoro menikahi dua putri Adipati. 1. RA. Ratnaningsih - Putri Adipati Padangan 2. RA. Retnokusumo - Putri Adipati Panolan Lalu selanjutnya siapakah Raden Ayu Retnokusumo yang merupakan anak dari Adipati Panolan ini, siapakah Adipati Panolan dan keturunan siapakah? Kabar lama tentang perjalanan dari Jogjakarta menuju Cepu ( 10 Juni 2022 ) Pemerhati sejarah dan budaya Temmy Setiawan

 DIPONEGORO DAN DUA MATAHARI ADIPATI

Putri Adipati Padangan

putri Adipati Panolan


Dalam buku tulisan Ki Roni Sadewo yang berjudul Perjuangan Pangeran Diponegoro 'Antara Nasionalisme, Spiritualisme dan Budaya' bercerita tentang sepak terjang Diponegoro dan mendata siapakah para istri dan anak anak Pangeran Diponegoro. 



Kami hadir dikediaman Ki Roni Sodewo selaku mantan Ketua Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (PATRA PADI)  - di Kulonprogo, Yogyakarta untuk memastikan silsilah yang kami peroleh di keluarga Ngasinan - Padangan yang menyambung kepada Pangeran Diponegoro. 


kami konfirmasi kepada beliau tentang hal ini,  ternyata bener Jipang Kepadangan itu sama dengan jipang padangan. Menurut beliau, diceritakan Raden Ayu Ratnaningsih itu dari kecil ikut Diponegoro, karen  istrinya yang bernama, RA Maduretno terhitung masih sepupu Ratnaningsih, dan sebelum dinikahi P Diponegoro, Ratnaningsih adalah pasukan Srikandi


Ratnaningsih Adalah Putri dari Raden Tumenggung Sumoprawiro - mantan Adipati Madiun yang pindah menjabat menjadi Adipati Jipang Padangan.


Dalan catatan Belanda disebutkan kekaguman terhadap pasukan wanita 'Srikandi' ini. Yang pasti Ratnaningsih itu prajurit wanita yg tangguh, aura nya disegani orang Belanda, ada catatan perwira Belanda yg memuji dan menghormati beliau sebagai istri Pangeran Diponegoro.


Dari peristiwa sejarah ini, dalam kurun waktu yang hampir bersamaan Pangeran Diponegoro menjadi sosok penting di Padangan dan Cepu, 


Raden Ontowiryo / Pangeran Diponegoro menikahi dua putri Adipati. 

1. RA. Ratnaningsih - Putri Adipati Padangan

2. RA. Retnokusumo - Putri Adipati Panolan


Lalu selanjutnya siapakah Raden Ayu Retnokusumo yang merupakan anak dari Adipati Panolan ini, siapakah Adipati Panolan dan keturunan siapakah?


Kabar lama tentang perjalanan dari Jogjakarta menuju Cepu ( 10 Juni 2022 ) 


Pemerhati sejarah dan budaya

Temmy Setiawan

TUGU JOGJA awalnya dikenal sebagai Tugu Golong Gilig, dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Tugu ini memiliki nilai simbolis yang kuat, menghubungkan tiga titik penting: Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Setelah mengalami kerusakan akibat gempa dan terbengkalai, tugu ini direnovasi dan dibangun kembali oleh pemerintah Belanda pada tahun 1889. Tugu Pal Putih kemudian diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada 3 Oktober 1889. Tugu Jogja dengan bentuk kotak dan sudut meruncing ini menjadi simbol persatuan antara raja dan rakyat, serta menjadi ikon kota Yogyakarta. Tugu ini menjadi ICONIC kota Jogjakarta, sehingga menjadi salah satu spot foto yang menarik bagi wisatawan. #Jogja #Yogyakarta #Merapi #merapiuncover #merapinews Source : babegini

 TUGU JOGJA

awalnya dikenal sebagai Tugu Golong Gilig, dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755.



Tugu ini memiliki nilai simbolis yang kuat, menghubungkan tiga titik penting: Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi.


Setelah mengalami kerusakan akibat gempa dan terbengkalai, tugu ini direnovasi dan dibangun kembali oleh pemerintah Belanda pada tahun 1889. 

Tugu Pal Putih kemudian diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada 3 Oktober 1889. 


Tugu Jogja dengan bentuk kotak dan sudut meruncing ini menjadi simbol persatuan antara raja dan rakyat, serta menjadi ikon kota Yogyakarta. 


Tugu ini menjadi ICONIC kota Jogjakarta, sehingga menjadi salah satu spot foto yang menarik bagi wisatawan. 


#Jogja #Yogyakarta #Merapi #merapiuncover #merapinews

Source : babegini

10 June 2025

Jenazah Musso, Pemimpin Pemberontakan PKI Madiun, di RS Ponorogo (31 Oktober 1948) Setelah pemberontakan di Madiun gagal, Musso bersama Amir Sjarifuddin dan pentolan PKI lain melarikan diri ke Ponorogo. Musso berselisih dengan Amir dan memisahkan diri ke arah selatan dengan hanya dikawal dua orang, sementara Amir melanjutkan pelariannya ke Pacitan. Pada tanggal 31 Oktober 1948, Musso dihentikan oleh dua orang keamanan desa ketika berjalan kaki di Desa Balong. Pihak keamanan desa curiga dengan penampilan Musso yang bersih. Musso melawan ketika dimintai surat-surat dan menembak petugas yang memeriksanya, lalu kabur setelah merampas sebuah sepeda. Musso kemudian merampas sebuah delman dan bersama pengawalnya, mereka kabur sementara tentara mengejarnya. Dalam kejar-kejaran terjadi saling tembak hingga kuda delman tertembak. Musso kemudian memberhentikan sebuah mobil dengan menodongkan pistol. Kali ini Musso bernasib sial, mobil yang ia rampas tidak bisa hidup dan ia berlari ke arah desa. Ia masuk ke sebuah rumah dan bersembunyi di dalam kamar mandi, sementara pasukan TNI yang dipimpin Kapten Sumadi telah mengepung. Pengepungan tersebut tidak bermaksud menembak mati Musso, melainkan menangkapnya hidup-hidup. Musso diminta untuk menyerah, tapi ia tetap bersikukuh melawan. Tentara pun memberondong kamar mandi dan Musso tewas bersimbah darah. Mayatnya sempat dibawa ke RS Ponorogo dan dipertontonkan sebelum kemudian dibakar. *** Sumber: KITLV *** #musso #muso #pki #komunis #pemberontakanpki #pkimadiun #1948 #ponorogo #sejarah #sejarahindonesia

 Jenazah Musso, Pemimpin Pemberontakan PKI Madiun, di RS Ponorogo (31 Oktober 1948)


Setelah pemberontakan di Madiun gagal, Musso bersama Amir Sjarifuddin dan pentolan PKI lain melarikan diri ke Ponorogo. Musso berselisih dengan Amir dan memisahkan diri ke arah selatan dengan hanya dikawal dua orang, sementara Amir melanjutkan pelariannya ke Pacitan.



Pada tanggal 31 Oktober 1948, Musso dihentikan oleh dua orang keamanan desa ketika berjalan kaki di Desa Balong. Pihak keamanan desa curiga dengan penampilan Musso yang bersih. Musso melawan ketika dimintai surat-surat dan menembak petugas yang memeriksanya, lalu kabur setelah merampas sebuah sepeda.


Musso kemudian merampas sebuah delman dan bersama pengawalnya, mereka kabur sementara tentara mengejarnya. Dalam kejar-kejaran terjadi saling tembak hingga kuda delman tertembak. Musso kemudian memberhentikan sebuah mobil dengan menodongkan pistol. Kali ini Musso bernasib sial, mobil yang ia rampas tidak bisa hidup dan ia berlari ke arah desa.


Ia masuk ke sebuah rumah dan bersembunyi di dalam kamar mandi, sementara pasukan TNI yang dipimpin Kapten Sumadi telah mengepung. Pengepungan tersebut tidak bermaksud menembak mati Musso, melainkan menangkapnya hidup-hidup. Musso diminta untuk menyerah, tapi ia tetap bersikukuh melawan. Tentara pun memberondong kamar mandi dan Musso tewas bersimbah darah. Mayatnya sempat dibawa ke RS Ponorogo dan dipertontonkan sebelum kemudian dibakar.


***

Sumber: KITLV


***

#musso #muso #pki #komunis #pemberontakanpki #pkimadiun #1948 #ponorogo #sejarah #sejarahindonesia

Inilah 5 tokoh pribumi yang disebut jadi antek penjajah Belanda, dicap pengkhianat bangsa Selama masa penjajahan, ada sejumlah tokoh pribumi yang memilih menjadi antek penjajah Belanda. Sederet tokoh pribumi itu bekerja di angkatan bersenjata kompeni Belanda sampai mendapat pangkat tinggi. Tak ayal, sejarah menulisnya sebagai pengkhianat lantaran membantu Belanda menyerbu daerah-derah di Nusantara. Berikut sederet tokoh pribumi yang menjadi antek kompeni Belanda selama masa penjajahan. 1. Kapitan Jonker Kapitan Jonker adalah orang Ambon, tokoh pribumi yang mengabdi kepada VOC sampai tewas pada 1689 M. Ia merupakan pemimpin kelompok pasukan Maluku, di mana bertugas membantu peperangan VOC. Tercatat, Kapitan Jongker membatu VOC dalam perang di Sumatera, Timur Jawa, Banten, terakhir melawan pasukan Trunojoyo (1675-1682) M. Selama membantu VOC, Kapitan Jongker dibantu pangikutnya yang berasal dari Maluku, Bugis, Mardijker. 2. Arung Palakka Tokoh Arung Palakka, Sultan Bone (1672-1696) M selalu menjadi kontroversi dalam sejarah. Sebab dicap sebagai penghianat karena membantu VOC. Kendati bagi orang Bugis, Arung Palakka merupakan pahlawan lantaran berjasa memerdekakan rakyat Bugis dari kekausaan Kerajaan Gowa. Arung Palakka telah membantu VOC untuk merebut kota Makassar, pasukan Minangkabau. Kerja samanya dengan kompeni nyaris hampir setengah abad di wilayahnya. 3. Tololiu Hermanus Willem Dotulong Tokoh ini merupakan pemimpin pasukan yang berhasil membasmi tentara Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Tak hanya membantu VOC dalam perang Jawa, ia juga diduga membantunya dalam perang Tondano (1808-1809) M. Tololiu Dotulong merupakan pemimpin pasukan Tulungan dari Karesidenan Manado, di mana membawahi 1242 pasukan. Sosok Tololiu Dotulong, lahir di Kema, Maluku pada tahun 12 Januari 1795 M dan meninggal pada 18 November 1888 M di Sonder. 4. Jesajas Pongoh Jesajas Pongoh lahir di Airmadidi, Manado Sulawesi-Utara pada 7 Mei 1878 M. ia adalah seorang Sersan KNIL. Karier militernya, Jesajas Pongoh membantu kolonial Belanda dalam pertempuran pada Perang Aceh periode II (1896-1900) M. Berkat jasanya dalam perang Aceh, kerajaan Belanda mengganjar Jesaja Pongoh kehormatan tertinggi Ridder Willems-Orde kelas 3. Selanjutnya, pangkat Jesajas Pongoh diangkat menjadi sersan kelas satu pada tanggal 26 September 1921 M. 5. Raden Ario Majang Koro Kolonel Raden Ario Majang Koro lahir pada tahun 1832 di Bangkalan, Madura. Ia merupakan keturunan bangsawan Madura. Dalam kariernya, Raden Ario membantu pasukan Belanda dalam perang di Bali pada tahun 1849 M dan perang Aceh pada tahun 1875 M. Tak hanya itu, ia disebut membantu pula dalam ekspedisi di wilayah Barat Borneo (1850-1854 M) dan Lombok pada tahun 1894 M. Berkat jasanya, ia menerima medali kehormatan Ridder Militaire Willems Orde Vierde Klasse, tingkat empat. * Abror Subhi https://www.hops.id/unik/29410867641/inilah-5-tokoh-pribumi-yang-disebut-jadi-antek-penjajah-belanda-dicap-pengkhianat-bangsa-gegara-ini

 Inilah 5 tokoh pribumi yang disebut jadi antek penjajah Belanda, dicap pengkhianat bangsa

Selama masa penjajahan, ada sejumlah tokoh pribumi yang memilih menjadi antek penjajah Belanda. Sederet tokoh pribumi itu bekerja di angkatan bersenjata kompeni Belanda sampai mendapat pangkat tinggi.

Tak ayal, sejarah menulisnya sebagai pengkhianat lantaran membantu Belanda menyerbu daerah-derah di Nusantara.



Berikut sederet tokoh pribumi yang menjadi antek kompeni Belanda selama masa penjajahan.


1. Kapitan Jonker

Kapitan Jonker adalah orang Ambon, tokoh pribumi yang mengabdi kepada VOC sampai tewas pada 1689 M. Ia merupakan pemimpin kelompok pasukan Maluku, di mana bertugas membantu peperangan VOC.

Tercatat, Kapitan Jongker membatu VOC dalam perang di Sumatera, Timur Jawa, Banten, terakhir melawan pasukan Trunojoyo (1675-1682) M. Selama membantu VOC, Kapitan Jongker dibantu pangikutnya yang berasal dari Maluku, Bugis, Mardijker.


2. Arung Palakka

Tokoh Arung Palakka, Sultan Bone (1672-1696) M selalu menjadi kontroversi dalam sejarah. Sebab dicap sebagai penghianat karena membantu VOC. Kendati bagi orang Bugis, Arung Palakka merupakan pahlawan lantaran berjasa memerdekakan rakyat Bugis dari kekausaan Kerajaan Gowa. Arung Palakka telah membantu VOC untuk merebut kota Makassar, pasukan Minangkabau. Kerja samanya dengan kompeni nyaris hampir setengah abad di wilayahnya.


3. Tololiu Hermanus Willem Dotulong

Tokoh ini merupakan pemimpin pasukan yang berhasil membasmi tentara Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Tak hanya membantu VOC dalam perang Jawa, ia juga diduga membantunya dalam perang Tondano (1808-1809) M.

Tololiu Dotulong merupakan pemimpin pasukan Tulungan dari Karesidenan Manado, di mana membawahi 1242 pasukan. Sosok Tololiu Dotulong, lahir di Kema, Maluku pada tahun 12 Januari 1795 M dan meninggal pada 18 November 1888 M di Sonder.


4. Jesajas Pongoh

Jesajas Pongoh lahir di Airmadidi, Manado Sulawesi-Utara pada 7 Mei 1878 M. ia adalah seorang Sersan KNIL. Karier militernya, Jesajas Pongoh membantu kolonial Belanda dalam pertempuran pada Perang Aceh periode II (1896-1900) M. Berkat jasanya dalam perang Aceh, kerajaan Belanda mengganjar Jesaja Pongoh kehormatan tertinggi Ridder Willems-Orde kelas 3.

Selanjutnya, pangkat Jesajas Pongoh diangkat menjadi sersan kelas satu pada tanggal 26 September 1921 M.


5. Raden Ario Majang Koro

Kolonel Raden Ario Majang Koro lahir pada tahun 1832 di Bangkalan, Madura. Ia merupakan keturunan bangsawan Madura. Dalam kariernya, Raden Ario membantu pasukan Belanda dalam perang di Bali pada tahun 1849 M dan perang Aceh pada tahun 1875 M.

Tak hanya itu, ia disebut membantu pula dalam ekspedisi di wilayah Barat Borneo (1850-1854 M) dan Lombok pada tahun 1894 M.

Berkat jasanya, ia menerima medali kehormatan Ridder Militaire Willems Orde Vierde Klasse, tingkat empat.


* Abror Subhi 

https://www.hops.id/unik/29410867641/inilah-5-tokoh-pribumi-yang-disebut-jadi-antek-penjajah-belanda-dicap-pengkhianat-bangsa-gegara-ini

08 June 2025

Siti Oetari, Istri Pertama yang Tidak Pernah "Disentuh" Soekarno KOMPAS.com — Bagi Soekarno, Haji Oemar Said Tjokroaminoto merupakan seorang guru yang dihormati. Dari Tjokro, Soekarno belajar banyak mengenai politik dan pergerakan. Tjokroaminoto memang bisa dianggap sebagai poros pergerakan nasional saat itu. Sebagai salah satu pimpinan Sarekat Islam, sejumlah tokoh, seperti Agus Salim atau Samanhudi, bolak-balik menemui Tjokro. Tidak heran jika rumah kos milik Tjokro di Gang V Paneleh, Surabaya, kemudian menghasilkan tokoh pergerakan nasional. Selain Soekarno, rumah kos itu juga ditempati tokoh Partai Komunis Indonesia, seperti Musso, Semaoen dan Alimin, serta tokoh Negara Islam Indonesia, Kartosuwiryo. Akan tetapi, Tjokroaminoto bukan sekedar guru, melainkan mertua bagi Soekarno. Tinggal bertahun-tahun di rumah Tjokro membuat pria yang bernama kecil Kusno itu jatuh hati kepada putri sulung Tjokroaminoto, Siti Oetari Tjokroaminoto. Setelah sejumlah kisah romansa dijalani Soekarno dan Oetari, termasuk rayuan maut Soekarno, keduanya menikah pada 1921. Saat itu, Soekarno berusia 20 tahun, sedangkan Oetari 16 tahun. Tegang karena dasi Pernikahan Soekarno dengan Oetari dilakukan di rumah Tjokroaminoto. Meski Tjokro merupakan tokoh yang dikenal publik, pernikahan berlangsung sederhana dan dengan persiapan seadanya. Meski begitu, dikutip dari buku Istri-istri Soekarno (Reni Nuryanti dkk/2007), sempat terjadi ketegangan sebelum akad nikah berlangsung. Soekarno berdebat keras dengan penghulu. Masalahnya bisa dibilang sepele. Penghulu meminta Soekarno mengganti jas dan dasi yang dikenakan saat akad. Gaya pakaian Soekarno dianggap tidak sesuai dengan adat dan kebiasaan Islam pada masa itu. Soekarno marah. Dengan suara lantang, Soekarno menolak. Dia juga membentak penghulu dengan kata-kata tajam. "Tuan Kardi... saya menyadari bahwa dulunya mempelai hanya memakai pakaian Bumiputra, yaitu sarung. Tetapi, ini adalah cara lama, aturannya sekarang sudah diperbarui," kata Soekarno. Emosi membuat Soekarno terus mengeluarkan kata-kata tajam. Bahkan, Putra Sang Fajar itu mengancam membatalkan pernikahan. "Barangkali lebih baik tidak kita lanjutkan hal ini sekarang," ujar Soekarno. Protes terhadap perilaku Soekarno juga diperlihatkan imam masjid. Sejumlah tamu bahkan disebut meninggalkan ruangan karena enggan terlibat debat. Tetapi, Soekarno tetap pada pendiriannya. "Persetan tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan akan selalu memberontak. Saya tidak mau didikte di hari pernikahan saya," ujar Soekarno. Pernikahan itu kemudian tetap berlangsung setelah Soekarno menenangkan diri. Saat menenangkan diri itu, jari Soekarno terbakar saat menyalakan korek api ketika akan merokok untuk meredakan ketegangan. Soekarno pun memaknai itu sebagai sebuah firasat tidak baik dalam pernikahannya dengan Oetari. Tak "disentuh" Setelah menikah, hubungan Soekarno dengan Oetari tidak terlihat semakin mesra. Bahkan, Soekarno dan Oetari disebut tidak menikmati bulan madu. Firasat buruk Soekarno pada hari pernikahannya mulai terlihat nyata. Soekarno makin sibuk dengan aktivitas politiknya, termasuk ikut ke mana pun Tjokro pergi. Pria yang akan menjadi Presiden pertama Indonesia itu mulai berpidato menggantikan Tjokro, saat Tjokro berhalangan. Soekarno dianggap memahami pernikahannya dengan Oetari sebagai "kawin gantung". Salah satu alasan Soekarno, Oetari dianggap terlalu muda. Dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, kepada Cindy Adams, Soekarno bahkan mengatakan tidak pernah "menyentuh" Oetari. Siti Oetari tetap dijaganya dalam keadaan "suci". Namun, ini bukan berarti karena Soekarno tidak menyayangi Oetari. Saat Oetari sakit, Soekarno panik dan merawat Oetari sepenuh hati. Soekarno merasakan sayang, dan bukan birahi. "Berkali-kali aku mengelap tubuhnya yang panas dengan alkohol dari ujung kepala sampai ke ujung jari kakinya. Namun, tidak sekali pun aku menjamahnya," tutur Soekarno. Soekarno menyayangi Oetari karena menganggapnya seperti adik sendiri. "Kami tidur berdampingan di satu tempat tidur, tetapi secara jasmaniah kami sebagai kakak beradik," ucap Soekarno. Namun, pengakuan Soekarno itu diragukan penulis buku biografi Soekarno, Lambert Giebels. Menurut Giebels, Oetari yang secara fisik memiliki daya tarik dan masih muda tidak mungkin didiamkan Soekarno. "Bahwa apa yang dikatakan (Soekarno) pada otobiografi itu adalah penghinaan bagi Oetari yang manis dan menarik itu," ucap Giebels, dikutip dari buku Istri-istri Soekarno. Foto: Siti Oetari Tjokroaminoto dimasa Tua

 Siti Oetari, Istri Pertama yang Tidak Pernah "Disentuh" Soekarno



KOMPAS.com — Bagi Soekarno, Haji Oemar Said Tjokroaminoto merupakan seorang guru yang dihormati. Dari Tjokro, Soekarno belajar banyak mengenai politik dan pergerakan.


Tjokroaminoto memang bisa dianggap sebagai poros pergerakan nasional saat itu. Sebagai salah satu pimpinan Sarekat Islam, sejumlah tokoh, seperti Agus Salim atau Samanhudi, bolak-balik menemui Tjokro. 


Tidak heran jika rumah kos milik Tjokro di Gang V Paneleh, Surabaya, kemudian menghasilkan tokoh pergerakan nasional.


Selain Soekarno, rumah kos itu juga ditempati tokoh Partai Komunis Indonesia, seperti Musso, Semaoen dan Alimin, serta tokoh Negara Islam Indonesia, Kartosuwiryo.


Akan tetapi, Tjokroaminoto bukan sekedar guru, melainkan mertua bagi Soekarno. Tinggal bertahun-tahun di rumah Tjokro membuat pria yang bernama kecil Kusno itu jatuh hati kepada putri sulung Tjokroaminoto, Siti Oetari Tjokroaminoto.


Setelah sejumlah kisah romansa dijalani Soekarno dan Oetari, termasuk rayuan maut Soekarno, keduanya menikah pada 1921. Saat itu, Soekarno berusia 20 tahun, sedangkan Oetari 16 tahun.  


Tegang karena dasi


Pernikahan Soekarno dengan Oetari dilakukan di rumah Tjokroaminoto. Meski Tjokro merupakan tokoh yang dikenal publik, pernikahan berlangsung sederhana dan dengan persiapan seadanya.


Meski begitu, dikutip dari buku Istri-istri Soekarno (Reni Nuryanti dkk/2007), sempat terjadi ketegangan sebelum akad nikah berlangsung. Soekarno berdebat keras dengan penghulu.


Masalahnya bisa dibilang sepele. Penghulu meminta Soekarno mengganti jas dan dasi yang dikenakan saat akad. Gaya pakaian Soekarno dianggap tidak sesuai dengan adat dan kebiasaan Islam pada masa itu.


Soekarno marah. Dengan suara lantang, Soekarno menolak. Dia juga membentak penghulu dengan kata-kata tajam.


"Tuan Kardi... saya menyadari bahwa dulunya mempelai hanya memakai pakaian Bumiputra, yaitu sarung. Tetapi, ini adalah cara lama, aturannya sekarang sudah diperbarui," kata Soekarno.


Emosi membuat Soekarno terus mengeluarkan kata-kata tajam. Bahkan, Putra Sang Fajar itu mengancam membatalkan pernikahan.


"Barangkali lebih baik tidak kita lanjutkan hal ini sekarang," ujar Soekarno.


Protes terhadap perilaku Soekarno juga diperlihatkan imam masjid. Sejumlah tamu bahkan disebut meninggalkan ruangan karena enggan terlibat debat. Tetapi, Soekarno tetap pada pendiriannya.


"Persetan tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan akan selalu memberontak. Saya tidak mau didikte di hari pernikahan saya," ujar Soekarno.


Pernikahan itu kemudian tetap berlangsung setelah Soekarno menenangkan diri. Saat menenangkan diri itu, jari Soekarno terbakar saat menyalakan korek api ketika akan merokok untuk meredakan ketegangan.


Soekarno pun memaknai itu sebagai sebuah firasat tidak baik dalam pernikahannya dengan Oetari.


Tak "disentuh"


Setelah menikah, hubungan Soekarno dengan Oetari tidak terlihat semakin mesra. Bahkan, Soekarno dan Oetari disebut tidak menikmati bulan madu. Firasat buruk Soekarno pada hari pernikahannya mulai terlihat nyata.


Soekarno makin sibuk dengan aktivitas politiknya, termasuk ikut ke mana pun Tjokro pergi. Pria yang akan menjadi Presiden pertama Indonesia itu mulai berpidato menggantikan Tjokro, saat Tjokro berhalangan.


Soekarno dianggap memahami pernikahannya dengan Oetari sebagai "kawin gantung". Salah satu alasan Soekarno, Oetari dianggap terlalu muda.


Dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, kepada Cindy Adams, Soekarno bahkan mengatakan tidak pernah "menyentuh" Oetari. Siti Oetari tetap dijaganya dalam keadaan "suci".


Namun, ini bukan berarti karena Soekarno tidak menyayangi Oetari. Saat Oetari sakit, Soekarno panik dan merawat Oetari sepenuh hati. Soekarno merasakan sayang, dan bukan birahi.


"Berkali-kali aku mengelap tubuhnya yang panas dengan alkohol dari ujung kepala sampai ke ujung jari kakinya. Namun, tidak sekali pun aku menjamahnya," tutur Soekarno.


Soekarno menyayangi Oetari karena menganggapnya seperti adik sendiri.


"Kami tidur berdampingan di satu tempat tidur, tetapi secara jasmaniah kami sebagai kakak beradik," ucap Soekarno.


Namun, pengakuan Soekarno itu diragukan penulis buku biografi Soekarno, Lambert Giebels. Menurut Giebels, Oetari yang secara fisik memiliki daya tarik dan masih muda tidak mungkin didiamkan Soekarno.


"Bahwa apa yang dikatakan (Soekarno) pada otobiografi itu adalah penghinaan bagi Oetari yang manis dan menarik itu," ucap Giebels, dikutip dari buku Istri-istri Soekarno.


Foto: Siti Oetari  Tjokroaminoto dimasa Tua

Arsilan, mantan tukang kebun Bung Karno yang di hari tuanya jadi pemulung Bagi Arsilan, Bung Karno tidak hanya memberinya kemerdekaan sebagai anak bangsa. Lebih dari itu, Bung Karno memberinya penghidupan, uang, dan yang lebih penting, kebesaran hati. Sebab, Bung Karno adalah sosok yang sangat ikhlas, dalam arti yang sebenar-benarnya. Tidak salah jika Arsilan yang pernah bekerja sebagai tukang kebun di Rumah Bung Karno belajar ilmu ikhlas dari presiden pertama RI itu. Arsilan masih 19 tahun ketika Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta. Ada ratusan orang di situ, semuanya hening mendengarkan Bung Besar membacakan teks proklamasi yang legendaris dengan suara tenor. Dia juga berada di tempat itu waktu itu. Arsilan ikut menyaksikan dan mendengarkan Bung Besar membacakan teks yang diketik oleh Sayuti Melik pada Jumat pagi yang “keramat”. Meski begitu, Arsilan tidak berada di dalam barisan yang takzim. Dia berada di dekat pagar halaman rumah yang notabene kediaman Bung Karno dengan Fatmawati, istri ketiganya. Ya, maklum saja, Arsilan sekadar tukang kebun di rumah itu. Menurut pengakuannya kepada Intisari pada 2015 lalu, dia bersama bapaknya ikut menggali lubang tiang bendera yang dikibarkan sesaat setelah pembacaan teks proklamasi itu. “Waktu itu ramai sekali, ada ratusan orang,” kenang Arsilan yang kini tinggal di pondokan kecil yang menempel persis di tembok bagian timur Monumen Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Sebelum bekerja sebagai tukang kebun di rumah Bung Karno, Arsilan sempat ikut berjuang melawan penjajah. Terlebih pada zaman penjajahan Jepang. Hal itu dibuktikannya dengan status anggota Tentara Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI) yang dulu lebih dikenal sebagai Laskar Rakyat. Setelah Proklamasi 1945 Arsilan memutuskan bekerja menjadi tukang kebun di rumah Bung Karno setelah sebelumnya ditunjuk sebagai tukang jaga bola di lapangan tenis di halaman belakang rumah Bung Karno. Pekerjaan Arsilan sebagai tukang kebun sejatinya adalah pekerjaan turun-temurun. Bapaknya juga bekerja sebagai tukang kebun di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56, begitu juga dengan kakak-kakaknya. Sementara saudara-saudaranya yang lain ada yang bekerja sebagai tukang cuci di tempat yang sama. Meski hanya tukang kebun, Arsilan cukup memahami kehidupan Bung Karno pada waktu itu. Majikannya hidup sangat sederhana dan bersahaja. Tidak ada tindak-tanduk ndoro atau juragan dalam diri Bung Karno. Saking sederhananya, kata Arsilan, dia kerap menyaksikan Bung Karno dan anggota keluarganya makan hanya berlauk ikan asin dan lalapan. Demikian juga dengan perabotan rumah, jauh dari kata mewah. Karena Bung Karno bukan sosok kaya raya, gaji Arsilan tiap minggu tak begitu besar. “Lebih tepatnya upah, bukan gaji. Setiap minggunya, saya diberi beras 3,5 kg dan uang sebesar 3 picis 5 sen. Waktu itu, itu angka yang sangat kecil,” cerita Arsilan tanpa bermaksud mengeluh. Tapi sayang, di hari tuanya, Arsilan menghidupi dirinya sebagai pemulung di sekitaran Monumen Proklamasi, tak jauh dari bekas rumah Bung Karno. Tentu saja hasil yang dia dapat tidak menentu saban harinya. Paling besar Rp20 ribu. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034099917/belajar-ilmu-ikhlas-dari-bung-karno-lewat-penuturan-mantan-tukang-kebunnya #arsilan #bungkarno #tukangkebun #tuguproklamasi

 Arsilan, mantan tukang kebun Bung Karno yang di hari tuanya jadi pemulung


Bagi Arsilan, Bung Karno tidak hanya memberinya kemerdekaan sebagai anak bangsa. Lebih dari itu, Bung Karno memberinya penghidupan, uang, dan yang lebih penting, kebesaran hati. 



Sebab, Bung Karno adalah sosok yang sangat ikhlas, dalam arti yang sebenar-benarnya. Tidak salah jika Arsilan yang pernah bekerja sebagai tukang kebun di Rumah Bung Karno belajar ilmu ikhlas dari presiden pertama RI itu.


Arsilan masih 19 tahun ketika Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta. Ada ratusan orang di situ, semuanya hening mendengarkan Bung Besar membacakan teks proklamasi yang legendaris dengan suara tenor.


Dia juga berada di tempat itu waktu itu. Arsilan ikut menyaksikan dan mendengarkan Bung Besar membacakan teks yang diketik oleh Sayuti Melik pada Jumat pagi yang “keramat”. 


Meski begitu, Arsilan tidak berada di dalam barisan yang takzim. Dia berada di dekat pagar halaman rumah yang notabene kediaman Bung Karno dengan Fatmawati, istri ketiganya. Ya, maklum saja, Arsilan sekadar tukang kebun di rumah itu.


Menurut pengakuannya kepada Intisari pada 2015 lalu, dia bersama bapaknya ikut menggali lubang tiang bendera yang dikibarkan sesaat setelah pembacaan teks proklamasi itu. 


“Waktu itu ramai sekali, ada ratusan orang,” kenang Arsilan yang kini tinggal di pondokan kecil yang menempel persis di tembok bagian timur Monumen Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.


Sebelum bekerja sebagai tukang kebun di rumah Bung Karno, Arsilan sempat ikut berjuang melawan penjajah. Terlebih pada zaman penjajahan Jepang. 


Hal itu dibuktikannya dengan status anggota Tentara Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI) yang dulu lebih dikenal sebagai Laskar Rakyat. Setelah Proklamasi 1945 Arsilan memutuskan bekerja menjadi tukang kebun di rumah Bung Karno setelah sebelumnya ditunjuk sebagai tukang jaga bola di lapangan tenis di halaman belakang rumah Bung Karno.


Pekerjaan Arsilan sebagai tukang kebun sejatinya adalah pekerjaan turun-temurun. Bapaknya juga bekerja sebagai tukang kebun di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56, begitu juga dengan kakak-kakaknya. Sementara saudara-saudaranya yang lain ada yang bekerja sebagai tukang cuci di tempat yang sama.


Meski hanya tukang kebun, Arsilan cukup memahami kehidupan Bung Karno pada waktu itu. Majikannya hidup sangat sederhana dan bersahaja. Tidak ada tindak-tanduk ndoro atau juragan dalam diri Bung Karno. 


Saking sederhananya, kata Arsilan, dia kerap menyaksikan Bung Karno dan anggota keluarganya makan hanya berlauk ikan asin dan lalapan. Demikian juga dengan perabotan rumah, jauh dari kata mewah.


Karena Bung Karno bukan sosok kaya raya, gaji Arsilan tiap minggu tak begitu besar. “Lebih tepatnya upah, bukan gaji. Setiap minggunya, saya diberi beras 3,5 kg dan uang sebesar 3 picis 5 sen. Waktu itu, itu angka yang sangat kecil,” cerita Arsilan tanpa bermaksud mengeluh.


Tapi sayang, di hari tuanya, Arsilan menghidupi dirinya sebagai pemulung di sekitaran Monumen Proklamasi, tak jauh dari bekas rumah Bung Karno.


Tentu saja hasil yang dia dapat tidak menentu saban harinya. Paling besar Rp20 ribu.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034099917/belajar-ilmu-ikhlas-dari-bung-karno-lewat-penuturan-mantan-tukang-kebunnya


#arsilan #bungkarno #tukangkebun #tuguproklamasi

06 June 2025

Kamu harus tahu ❗ Begini potret candi Borobudur saat pertama kali ditemukan pada tahun 1814 📷Tertera

 Kamu harus tahu ❗

Begini potret candi Borobudur saat pertama kali ditemukan pada tahun 1814



📷Tertera

Pendeta Belanda tapi kelahiran Jombang, inilah orang pertama yang menemukan nikel di Indonesia Barangkali tak banyak yang tahu, bahwa orang pertama yang menemukan nikel di Indonesia adalah seorang pendeta. Dia adalah pendeta berkebangsaan Belanda tapi lahir di Jombang. Nama sosok itu adalah Albertus Christiaan Kruyt. Bagaimana cerita Pendeta Kruyt bisa menemukan nikel? Mengutip artikel panjang Kompas.ID, Kruyt menemukan bijih nikel pertama di daerah pegunungan Verbeek, Sulawesi, pada 1901. Penemuan Kruyt dilanjutkan dengan penemuan bijih nikel di daerah Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, oleh E.C. Abdendanon pada 1909. Penemuan ini membuka peluang masuknya industri nikel di Indonesia. Kruyt adalah pendeta berkebangsaan Belanda yang lahir di Jombang, sekarang masuk wilayah Jawa Timur. Kruyt lahir pada 10 Oktober 1869. Kruyt dikenal sebagai seorang misionaris dariNederlandsch Zendeling Genootschap. Dia ditugaskan untuk menyebarkan agama Kristen di berbagai pelosok Hindia Belanda. Karena tugas itulah dia sering berkeliling Indonesia. Seperti halnya pendeta-pendeta zaman dulu, Kruyt juga merangkap sebagai seorang etnografer. Saat sampai diSulawesi Kruyt terlibat dalam pencarian nikel. Saat itu dia mengikuti jejakPaul Sarasin dan Fritz Sarasin yang lebih dulu mencari nikel di Sulawesi pada 1896. Tapi sayang, dua orang yang disebut terakhir itu gagal menemukan harta karun yang sekarang jadi andalan Indonesia itu. Berbeda dengan Kruyt yang nasibnya lebih baik. Kruyt menemukan nikel pertama di Indonesia secara tak sengaja ketikameneliti bijih nikel di Pegunungan Verbeek, Sulawesi, pada 1901. Saat itu nikel sudah digunakan sebagai bahan campuranlogam bukan besi, baja tahan karat, keramik, katalisator, dan sebagainya. Tak pelak, kabar penemuan itu membuat para peneliti asing langsung berbondong-bondong datang ke Sulawesi. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033996336/pendeta-berkebangsaan-belanda-tapi-lahir-di-jombang-inilah-orang-pertama-yang-menemukan-nikel-di-indonesia #nikel #pendeta #misionaris #belanda #jombang

 Pendeta Belanda tapi kelahiran Jombang, inilah orang pertama yang menemukan nikel di Indonesia



Barangkali tak banyak yang tahu, bahwa orang pertama yang menemukan nikel di Indonesia adalah seorang pendeta. Dia adalah pendeta berkebangsaan Belanda tapi lahir di Jombang.


Nama sosok itu adalah Albertus Christiaan Kruyt. Bagaimana cerita Pendeta Kruyt bisa menemukan nikel?


Mengutip artikel panjang Kompas.ID, Kruyt menemukan bijih nikel pertama di daerah pegunungan Verbeek, Sulawesi, pada 1901. Penemuan Kruyt dilanjutkan dengan penemuan bijih nikel di daerah Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, oleh E.C. Abdendanon pada 1909.


Penemuan ini membuka peluang masuknya industri nikel di Indonesia. Kruyt adalah pendeta berkebangsaan Belanda yang lahir di Jombang, sekarang masuk wilayah Jawa Timur.


Kruyt lahir pada 10 Oktober 1869. Kruyt dikenal sebagai seorang misionaris dariNederlandsch Zendeling Genootschap.


Dia ditugaskan untuk menyebarkan agama Kristen di berbagai pelosok Hindia Belanda. Karena tugas itulah dia sering berkeliling Indonesia.


Seperti halnya pendeta-pendeta zaman dulu, Kruyt juga merangkap sebagai seorang etnografer. Saat sampai diSulawesi Kruyt terlibat dalam pencarian nikel.


Saat itu dia mengikuti jejakPaul Sarasin dan Fritz Sarasin yang lebih dulu mencari nikel di Sulawesi pada 1896. Tapi sayang, dua orang yang disebut terakhir itu gagal menemukan harta karun yang sekarang jadi andalan Indonesia itu.


Berbeda dengan Kruyt yang nasibnya lebih baik. Kruyt menemukan nikel pertama di Indonesia secara tak sengaja ketikameneliti bijih nikel di Pegunungan Verbeek, Sulawesi, pada 1901.


Saat itu nikel sudah digunakan sebagai bahan campuranlogam bukan besi, baja tahan karat, keramik, katalisator, dan sebagainya. Tak pelak, kabar penemuan itu membuat para peneliti asing langsung berbondong-bondong datang ke Sulawesi.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/033996336/pendeta-berkebangsaan-belanda-tapi-lahir-di-jombang-inilah-orang-pertama-yang-menemukan-nikel-di-indonesia 


#nikel #pendeta #misionaris #belanda #jombang

Pengkhianatan Sultan Haji Bersekutu Dengan VOC Untuk Menghancurkan Ayahnya Tahun 1682 menjadi saksi bisu pergolakan politik yang menegangkan di Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa, sang penguasa, dihadapkan dengan pemberontakan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Sultan Haji. Kisah pengkhianatan Sultan Haji terhadap Sultan Ageng Tirtayasa disebutkan terjadi akibat campur tangan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau biasa dikenal Sultan Haji adalah adalah putra kandung dari Sultan Banteng ke-6, yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Sultan Haji, yang saat itu berstatus sebagai putra mahkota, sebagai raja pembantu yang bertanggung jawab atas urusan dalam negeri kerajaan. Sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab atas urusan luar negeri dibantu oleh putranya yang lain, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan di Banten diketahui oleh VOC, yang segera memanfaatkannya untuk menerapkan politik adu domba. Pada salah satu strateginya, VOC biasa memakai Devide et Impera atau politik pecah. Hal ini dilakukan untuk memecah belah Kesultanan Banten yang waktu itu dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Demi memuluskan rencana, VOC mengincar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar alias Sultan Haji. Tak hanya karena statusnya sebagai Putra Mahkota, Sultan Haji kala itu sudah diangkat jadi pembantu ayahnya untuk mengurus masalah dalam negeri. Awalnya, VOC menghasut Sultan Haji dengan menyebar isu bahwa penugasan yang diberikan Sultan Ageng Tirtayasa tidak adil dan berupaya menyingkirkannya sebagai putra mahkota. Alhasil, Sultan Haji terbujuk tipu muslihat VOC yang waktu itu menginginkan kekuasaan di Banten. Pada akhirnya, Sultan Haji berkhianat kepada ayahnya dan bersekongkol dengan VOC untuk merebut takhta kekuasaan Banten supaya tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya. VOC yang sebenarnya ingin menguasai Banten menawarkan bantuan kepada Sultan Haji untuk mendapatkan takhta Kesultanan, tentunya kerja sama dengan VOC tidak datang secara cuma-cuma. Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang sangat merugikan Kerajaan Banten. Adapun empat syarat yang diajukan VOC ke Sultan Haji yakni: Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali. Persyaratan itu pun diterima oleh Sultan Haji yang telah gelap mata dan menyetujui semua persyaratan VOC yang merugikan kerajaannya. Menyanggupi syarat itu, Sultan Haji mulai melancarkan aksinya dengan dukungan VOC. Sempat kesulitan, VOC mengirim bantuan dari Batavia pada 7 April 1682 di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Punya kekuatan besar, VOC kembali menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa. Serangan hebat kemudian dilakukan dan berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan dan Tangerang dapat dikuasai. Sultan Ageng Tirtayasa lalu mundur ke Tirtayasa dan menjadikan tempat itu sebagai pusat pertahanan. Namun, keadaan semakin rumit ketika Kademangan jatuh. Belanda beberapa kali membujuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghentikan perlawanan. Namun, ia tidak gentar dan tetap berusaha mempertahankan Banten. Pada akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap saat hendak kembali ke Keraton Surosowan. Ia kemudian dipenjara di Batavia sampai meninggal. Bersama restu VOC, Sultan Haji naik takhta menjadi penguasa Banten. Sesuai janji yang pernah disepakati, VOC pun perlahan-lahan mulai menebar pengaruh di sana. Akibatnya, Sultan Haji tak hannya menghadapi penentangan dari rakyat, melainkan karena harus menuruti segala kehendak VOC juga. Puncaknya, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1687. Sejak Sultan Ageng Tirtayasa wafat, Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan VOC, sedangkan raja-raja yang berkuasa, termasuk Sultan Haji, hanya sebagai raja boneka Setelah Sultan Haji meninggal, VOC semakin berkuasa di Banten. Bahkan, pengangkatan para Sultan Banten berikutnya harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Banten dibubarkan oleh Inggris pada 1813 * Abror Subhi facebook.com/100001856336410/posts/29916850191293464/

 Pengkhianatan Sultan Haji Bersekutu Dengan VOC Untuk Menghancurkan Ayahnya

Tahun 1682 menjadi saksi bisu pergolakan politik yang menegangkan di Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa, sang penguasa, dihadapkan dengan pemberontakan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Sultan Haji.

Kisah pengkhianatan Sultan Haji terhadap Sultan Ageng Tirtayasa disebutkan terjadi akibat campur tangan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)



Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau biasa dikenal Sultan Haji adalah adalah putra kandung dari Sultan Banteng ke-6, yakni Sultan Ageng Tirtayasa.

Pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Sultan Haji, yang saat itu berstatus sebagai putra mahkota, sebagai raja pembantu yang bertanggung jawab atas urusan dalam negeri kerajaan. Sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab atas urusan luar negeri dibantu oleh putranya yang lain, Pangeran Arya Purbaya.


Pemisahan urusan pemerintahan di Banten diketahui oleh VOC, yang segera memanfaatkannya untuk menerapkan politik adu domba. Pada salah satu strateginya, VOC biasa memakai Devide et Impera atau politik pecah. Hal ini dilakukan untuk memecah belah Kesultanan Banten yang waktu itu dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa.


Demi memuluskan rencana, VOC mengincar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar alias Sultan Haji. Tak hanya karena statusnya sebagai Putra Mahkota, Sultan Haji kala itu sudah diangkat jadi pembantu ayahnya untuk mengurus masalah dalam negeri.


Awalnya, VOC menghasut Sultan Haji dengan menyebar isu bahwa penugasan yang diberikan Sultan Ageng Tirtayasa tidak adil dan berupaya menyingkirkannya sebagai putra mahkota.

Alhasil, Sultan Haji terbujuk tipu muslihat VOC yang waktu itu menginginkan kekuasaan di Banten. Pada akhirnya, Sultan Haji berkhianat kepada ayahnya dan bersekongkol dengan VOC untuk merebut takhta kekuasaan Banten supaya tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya.


VOC yang sebenarnya ingin menguasai Banten menawarkan bantuan kepada Sultan Haji untuk mendapatkan takhta Kesultanan, tentunya kerja sama dengan VOC tidak datang secara cuma-cuma. Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang sangat merugikan Kerajaan Banten.


Adapun empat syarat yang diajukan VOC ke Sultan Haji yakni:

Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.

Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten.

Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC.

Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.


Persyaratan itu pun diterima oleh Sultan Haji yang telah gelap mata dan menyetujui semua persyaratan VOC yang merugikan kerajaannya.

Menyanggupi syarat itu, Sultan Haji mulai melancarkan aksinya dengan dukungan VOC. Sempat kesulitan, VOC mengirim bantuan dari Batavia pada 7 April 1682 di bawah komando Tack dan De Saint Martin. 

Punya kekuatan besar, VOC kembali menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa. Serangan hebat kemudian dilakukan dan berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan dan Tangerang dapat dikuasai. 


Sultan Ageng Tirtayasa lalu mundur ke Tirtayasa dan menjadikan tempat itu sebagai pusat pertahanan. Namun, keadaan semakin rumit ketika Kademangan jatuh.

Belanda beberapa kali membujuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghentikan perlawanan. Namun, ia tidak gentar dan tetap berusaha mempertahankan Banten. Pada akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap saat hendak kembali ke Keraton Surosowan. Ia kemudian dipenjara di Batavia sampai meninggal. 


Bersama restu VOC, Sultan Haji naik takhta menjadi penguasa Banten. Sesuai janji yang pernah disepakati, VOC pun perlahan-lahan mulai menebar pengaruh di sana.

Akibatnya, Sultan Haji tak hannya menghadapi penentangan dari rakyat, melainkan karena harus menuruti segala kehendak VOC juga. Puncaknya, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1687. 

Sejak Sultan Ageng Tirtayasa wafat, Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan VOC, sedangkan raja-raja yang berkuasa, termasuk Sultan Haji, hanya sebagai raja boneka


Setelah Sultan Haji meninggal, VOC semakin berkuasa di Banten. Bahkan, pengangkatan para Sultan Banten berikutnya harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia.

Kondisi tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Banten dibubarkan oleh Inggris pada 1813


* Abror Subhi 

facebook.com/100001856336410/posts/29916850191293464/

Potret Presiden Soekarno di dalam kemah ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 1955. 📷: Wikimedia

 Potret Presiden Soekarno di dalam kemah ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 1955.



📷: Wikimedia

SIAPA BILANG PAKAIAN DIPONEGORO ITU SURJAN DAN BLANGKON? Ada sebagian orang yang meyakini, pakaian Pangeran Diponegoro adalah surjan dan blangkon. Dengan bukti lukisan yang konon disimpan di Keraton Jogja. Lukisan sang pangeran waktu muda. Dengan dasar itu, mereka kemudian menuduh bahwa lukisan Pangeran Diponegoro dengan baju jubah dan surban adalah kebohongan sejarah. Sebuah penipuan, sejarah yang disembunyikan, dan harus diluruskan. Seolah cerdas dan mencerahkan. Hingga banyak orang yang termakan narasi itu. Nah, sebenarnya, lukisan Pangeran Diponegoro dengan surjan dan blangkon itu gimana? Ternyata memang benar. Lukisan itu adalah lukisan Pangeran Diponegoro waktu muda. Ketika masih menjadi bangsawan keraton Jogja. Karena blio anak Raja Jogja, kemudian jadi Wali Raja, maka sangat wajar memakai baju surjan dan blangkon. Lukisan itu dibuat ketika Pangeran Diponegoro mau menikah kedua kalinya, pada tanggal 25 Pebruari 1807. Waktu itu sang pangeran berusia 22 tahun. Tentu terlihat berbeda wajahnya dengan lukisan yang banyak dikenal. Lukisan yang pake jubah dan sorban itu ketika Pangeran Diponegoro berumur 45 tahun. Dalam lukisan, Pangeran Diponegoro memakai blangkon dan surjan yang berkerah tinggi. Kerah dikencangkan di bagian leher dengan enam kancing emas, dikalungkan di leher, disatukan di bagian dada, menempal di bajunya. Wajahnya masih terlihat muda. Dengan bibir terkatup rapat. Dengan hidup agak pesek dan mata yang menatap ke bawah. Jadi, mestinya tidak terjadi perdebatan soal pakaian lagi. Karena keduanya memang dipakai sang pangeran. Dan, yang lebih penting lagi, tidak perlu mempertentangkannya. Karena surjan dan blangkon dipake sebagai pakaian bangsawan keraton (dalam bahasa jawa: ageman kapangeranan) dengan gelar Pangeran Diponegoro. Sedangkan jubah dan surban dipakai sebagai pemimpin dengan gelar Sultan Abdul Hamid. Banyak baca jadi banyak tau. Tak suka baca jadi sok tau. #books

 SIAPA BILANG PAKAIAN DIPONEGORO ITU SURJAN DAN BLANGKON?


Ada sebagian orang yang meyakini, pakaian Pangeran Diponegoro adalah surjan dan blangkon.


Dengan bukti lukisan yang konon disimpan di Keraton Jogja. Lukisan sang pangeran waktu muda.



Dengan dasar itu, mereka kemudian menuduh bahwa lukisan Pangeran Diponegoro dengan baju jubah dan surban adalah kebohongan sejarah. Sebuah penipuan, sejarah yang disembunyikan, dan harus diluruskan.


Seolah cerdas dan mencerahkan. Hingga banyak orang yang termakan narasi itu.


Nah, sebenarnya, lukisan Pangeran Diponegoro dengan surjan dan blangkon itu gimana?


Ternyata memang benar. Lukisan itu adalah lukisan Pangeran Diponegoro waktu muda. Ketika masih menjadi bangsawan keraton Jogja. 


Karena blio anak Raja Jogja, kemudian jadi Wali Raja, maka sangat wajar memakai baju surjan dan blangkon.


Lukisan itu dibuat ketika Pangeran Diponegoro mau menikah kedua kalinya, pada tanggal 25 Pebruari 1807. Waktu itu sang pangeran berusia 22 tahun.


Tentu terlihat berbeda wajahnya dengan lukisan yang banyak dikenal. Lukisan yang pake jubah dan sorban itu ketika Pangeran Diponegoro berumur 45 tahun.


Dalam lukisan, Pangeran Diponegoro memakai blangkon dan surjan yang berkerah tinggi. 


Kerah dikencangkan di bagian leher dengan enam kancing emas, dikalungkan di leher, disatukan di bagian dada, menempal di bajunya.


Wajahnya masih terlihat muda. Dengan bibir terkatup rapat. Dengan hidup agak pesek dan mata yang menatap ke bawah.


Jadi, mestinya tidak terjadi perdebatan soal pakaian lagi. Karena keduanya memang dipakai sang pangeran.


Dan, yang lebih penting lagi, tidak perlu mempertentangkannya.


Karena surjan dan blangkon dipake sebagai pakaian bangsawan keraton (dalam bahasa jawa: ageman kapangeranan) dengan gelar Pangeran Diponegoro. 


Sedangkan jubah dan surban dipakai sebagai pemimpin dengan gelar Sultan Abdul Hamid.


Banyak baca jadi banyak tau. Tak suka baca jadi sok tau. 


#books

Daftar Kerajaan/Nagara Bawahan Utama (Nagara Agung) pada masa Majapahit penguasanya dijabat oleh kerabat diraja dengan bergelar Bhre (Bhre Daha, Bhre Kahuripan, Bhre Kertabhumi, Bhre Wirabhumi). 1) Daha (Kadhiri, Pangjalu) 2) Kahuripan (Jiwana, Janggala) 3) Tumapêl (Singhasari, Sêngguruh) 4) Wêngker (Sekitar wilayah Ponorogo) 5) Pajang (Sekitar wilayah Surakarta) 6) Mataram (Sekitar wilayah Yogyakarta) 7) Kabalan (Kabalan di Bojonegoro atau mungkin Kebalon, Malang Selatan) 8) Matahun (Sekitar wilayah Bojonegoro) 9) Wirabhumi (Sekitar Lumajang-Banyuwangi) 10) Pandansalas (Sekitar wilayah Probolinggo) 11) Paguhan (Sekitar Pasuruan hingga Kediri?) 12) Lasêm (Sekitar wilayah Lasêm yang ada di Gresik atau mungkin Lasêm yang ada di Jawa Tengah) 13) Kêling (Sekitar wilayah Kediri bagian Timur) 14) Kalinggapura (Di sekitar Jepara, Jawa Tengah?) 15) Kertabhumi (?) 16) Kêmbangjenar (?) 17) Pawwanawan (?) 18) Jagaraga (Sekitar wilayah Jogorogo, Madiun?) 19) Pamotan (Sekitar Sidoarjo hingga Pasuruan) 20) Pakembangan (Sekitar Situbondo dan Bondowoso) 21) Tanjungpura (kerajaan Tanjungpura, Kalimantan) 22) Singhapura (kerajaan Singapura, Temasek) *Gambar hanya ilustrasi dan masih memiliki kesalahan identifikasi. Terima kasih, monggo silahkan untuk dikoreksi.

 Daftar Kerajaan/Nagara Bawahan Utama (Nagara Agung) pada masa Majapahit penguasanya dijabat oleh kerabat diraja dengan bergelar Bhre (Bhre Daha, Bhre Kahuripan, Bhre Kertabhumi, Bhre Wirabhumi).



1) Daha (Kadhiri, Pangjalu)

2) Kahuripan (Jiwana, Janggala)

3) Tumapêl (Singhasari, Sêngguruh)

4) Wêngker (Sekitar wilayah Ponorogo) 

5) Pajang (Sekitar wilayah Surakarta)

6) Mataram (Sekitar wilayah Yogyakarta) 

7) Kabalan (Kabalan di Bojonegoro atau mungkin Kebalon, Malang Selatan) 

8) Matahun (Sekitar wilayah Bojonegoro)

9) Wirabhumi (Sekitar Lumajang-Banyuwangi) 

10) Pandansalas (Sekitar wilayah Probolinggo) 

11) Paguhan (Sekitar Pasuruan hingga Kediri?) 

12) Lasêm (Sekitar wilayah Lasêm yang ada di Gresik atau mungkin Lasêm yang ada di Jawa Tengah)

13) Kêling (Sekitar wilayah Kediri bagian Timur) 

14) Kalinggapura (Di sekitar Jepara, Jawa Tengah?)

15) Kertabhumi (?)

16) Kêmbangjenar (?)

17) Pawwanawan (?)

18) Jagaraga (Sekitar wilayah Jogorogo, Madiun?)

19) Pamotan (Sekitar Sidoarjo hingga Pasuruan)

20) Pakembangan (Sekitar Situbondo dan Bondowoso)

21) Tanjungpura (kerajaan Tanjungpura, Kalimantan)

22) Singhapura (kerajaan Singapura, Temasek)


*Gambar hanya ilustrasi dan masih memiliki kesalahan identifikasi. Terima kasih, monggo silahkan untuk dikoreksi.

Inilah Group Musik Wanita Zaman Dulu Ternyata Ada Ibunya Musisi Ahmad Dani 😟 Dara Puspita adalah grup musik rock and roll Indonesia yang dibentuk di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1964.[1] Grup musik ini beranggotakan Titiek Adji Rachman (gitar melodi), Lies Soetisnowati Adji Rachman (gitar pengiring), Titiek Hamzah (bass), dan Susy Nander (drum). Awal terbentuknya grup ini adalah grup besar bernama Nirma Puspita yang beranggotakan empat belas gadis yang masih berumur tiga belas tahun di Surabaya pada tahun 1956. Grup ini terbentuk di Surabaya yang didirikan oleh Titiek Adji Rachman alias Titiek AR sebagai pemain gitar melodi. Pada tahun 1958, grup ini terpaksa dikuburnya dan akhirnya mengganti nama grup menjadi Irama Puspita yang beranggotakan tiga belas gadis. Nama Irama Puspita ini dengan diasuh oleh Mus Mulyadi sebagai pemain gitar melodi sedangkan Titiek AR berposisi sebagai penabuh drum, ditambah 1 nama baru, Ani Kusuma (pemetik bas). Kemudian pada Januari 1960, Titiek AR akhirnya bertemu dengan adiknya Lies Soetisnowati Adji Rachman atau yang biasa dikenal Lies AR (Lies Adji Rachman) berposisi sebagai pemain gitar melodi dan Joyce Theresia Pamela Köhler berposisi sebagai penabuh drum sedangkan dengan tiga orang itu Titiek AR berposisi sebagai pemetik bas, Mus Mulyadi berposisi sebagai penyanyi utama dan Ani Kusuma berposisi sebagai pemain gitar pengiring. Kemudian pada tahun 1962, Irama Puspita Joyce dipecat dari Irama Puspita karena ingin menyelesaikan sekolahnya dan membentuk dua grup musik yang bernama Muda Ria dan Visca Dara sekaligus menikah dengan Eddy Abdul Manaf yang dikarunai 3 orang anak, termasuk Ahmad Dhani. Ketika Titiek AR akhirnya bertemu dengan Susy Nander bergabung sebagai penabuh drum baru untuk menggantikan Joyce, jadi Titiek kembali berposisi sebagai pemain gitar melodi sedangkan Lies berposisi sebagai pemetik bas. Namun seiring berjalannya waktu, para personel mulai hengkang, sehingga Mus Mulyadi membubarkan grup asuhannya tersebut pada tahun 1963. Beberapa anggota Irama Puspita, yakni Ani Kusuma, Susy Nander, serta kakak beradik Titiek dan Lies Adji Rachman, memutuskan hijrah ke Jakarta dan membentuk grup sendiri. Popularitas dan sensasionalitas grup ini baru terjadi setelah Titiek Hamzah sebagai pemetik bas menggantikan Lies pada 3 April 1964. Lies meninggalkan Irama Puspita selama sebulan untuk menyelesaikan sekolahnya. Ketika dia kembali pada 1 Mei 1964, Lies justru menggantikan Ani, sementara Titiek Hamzah tetap dipertahankan. Dengan formasi Titiek AR, Lies, Titiek Hamzah, dan Susy, mereka tampil pertama kali di Bandung bersama Yanti Bersaudara, Noor Bersaudara, Muchsin Alatas, dan Ernie Djohan. Mulai saat itu, keempat dara Kota Buaya itu mendapat sambutan yang luar biasa dari penonton.

 Inilah Group Musik Wanita Zaman Dulu Ternyata Ada Ibunya Musisi Ahmad Dani 😟


Dara Puspita adalah grup musik rock and roll Indonesia yang dibentuk di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1964.[1] Grup musik ini beranggotakan Titiek Adji Rachman (gitar melodi), Lies Soetisnowati Adji Rachman (gitar pengiring), Titiek Hamzah (bass), dan Susy Nander (drum).



Awal terbentuknya grup ini adalah grup besar bernama Nirma Puspita yang beranggotakan empat belas gadis yang masih berumur tiga belas tahun di Surabaya pada tahun 1956. Grup ini terbentuk di Surabaya yang didirikan oleh Titiek Adji Rachman alias Titiek AR sebagai pemain gitar melodi. Pada tahun 1958, grup ini terpaksa dikuburnya dan akhirnya mengganti nama grup menjadi Irama Puspita yang beranggotakan tiga belas gadis. Nama Irama Puspita ini dengan diasuh oleh Mus Mulyadi sebagai pemain gitar melodi sedangkan Titiek AR berposisi sebagai penabuh drum, ditambah 1 nama baru, Ani Kusuma (pemetik bas). Kemudian pada Januari 1960, Titiek AR akhirnya bertemu dengan adiknya Lies Soetisnowati Adji Rachman atau yang biasa dikenal Lies AR (Lies Adji Rachman) berposisi sebagai pemain gitar melodi dan Joyce Theresia Pamela Köhler berposisi sebagai penabuh drum sedangkan dengan tiga orang itu Titiek AR berposisi sebagai pemetik bas, Mus Mulyadi berposisi sebagai penyanyi utama dan Ani Kusuma berposisi sebagai pemain gitar pengiring. Kemudian pada tahun 1962, Irama Puspita Joyce dipecat dari Irama Puspita karena ingin menyelesaikan sekolahnya dan membentuk dua grup musik yang bernama Muda Ria dan Visca Dara sekaligus menikah dengan Eddy Abdul Manaf yang dikarunai 3 orang anak, termasuk Ahmad Dhani. Ketika Titiek AR akhirnya bertemu dengan Susy Nander bergabung sebagai penabuh drum baru untuk menggantikan Joyce, jadi Titiek kembali berposisi sebagai pemain gitar melodi sedangkan Lies berposisi sebagai pemetik bas. Namun seiring berjalannya waktu, para personel mulai hengkang, sehingga Mus Mulyadi membubarkan grup asuhannya tersebut pada tahun 1963. Beberapa anggota Irama Puspita, yakni Ani Kusuma, Susy Nander, serta kakak beradik Titiek dan Lies Adji Rachman, memutuskan hijrah ke Jakarta dan membentuk grup sendiri. Popularitas dan sensasionalitas grup ini baru terjadi setelah Titiek Hamzah sebagai pemetik bas menggantikan Lies pada 3 April 1964. Lies meninggalkan Irama Puspita selama sebulan untuk menyelesaikan sekolahnya. Ketika dia kembali pada 1 Mei 1964, Lies justru menggantikan Ani, sementara Titiek Hamzah tetap dipertahankan. Dengan formasi Titiek AR, Lies, Titiek Hamzah, dan Susy, mereka tampil pertama kali di Bandung bersama Yanti Bersaudara, Noor Bersaudara, Muchsin Alatas, dan Ernie Djohan. Mulai saat itu, keempat dara Kota Buaya itu mendapat sambutan yang luar biasa dari penonton.

05 June 2025

Snouck Hurgronje ternyata jadi 'fotografer' jamaah haji Indonesia masa Belanda, tapi tujuannya bukan buat kenang-kenangan Pada 1825 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan resolusi pelaksanaan ibadah haji. Tujuannya untuk melakukan pengawasan. Resolusi itu terutama untuk mengatur kuota haji juga sebagai bagian dari pengawasan terhadap gerak-gerak jamaah haji yang pergi ke Tanah Suci. Sebagaimana kita, dulu, banyak orang Indonesia yang pergi ibadah haji setelah balik ke Indonesia menjadi "musuh" pemerintah kolonial. Resolusi itu juga terkait ongkos naik haji sebesar 110 gulden juga paspor untuk ibadah haji. Karena masih banyak celahnya, pemerintah kolonial kemudian menyempurnakannya pada 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922. Ada juga peraturan tentang penyematan gelar haji, sebagai termaktub dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië 6 Juli 1859 Nomor 42 yang dibaut pada 1859. Peraturan itu kira-kira berisi, jamaah haji yang telah kembali dari Mekkah akan diuji oleh bupati atau penguasa lokal serta ulama setempat. "Pertanyaannya mengenai tempat-tempat suci yang dikunjungi. Jika mereka dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka akan diberi sertifikat, berhak menyandang gelar haji, dan mengenakan pakaian haji. Sebaliknya, jika mereka tidak dapat membuktikan telah mengunjungi Mekkah atau menjawab pertanyaan, maka tidak diberi sertifikat, tidak boleh mengenakan pakaian haji, dan didenda sebesar 25 hingga 100 gulden," tulis Sunjayadi. Yang juga menarik, ibadah haji mada zaman Hindia Belanda ternyata sudah ada "fotografer"-nya. Si juru jepret itu adalah Snouck Hurgronje. Tapi tentu saja kebutuhan dokumentasi itu bukan untuk kenang-kenangan. Melainkan sebagia bagian dari pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Salah satu ”fotografer” yang mengabadikan kegiatan haji tersebut adalah Snouck Hurgronje (1857-1934). Kita tahu, sebelum jadi orang kepercayaannya pemerintah kolonial Hindia Belanda, Snouck pernah setahun bertugas di konsulat Belanda di Jeddah. Dan di sinilah dia mengubah namanya menjadi Abdul Ghaffar. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034258886/snouck-hurgronje-fotografer-jamaah-haji-indonesia-pada-masa-hindia-belanda #haji #belanda #SnouckHurgronje #ibadahhaji Potret jamaah haji dari Malang dan Pasuruan yang disebut diambil oleh Snouck Hurgronje (Bilder-Atlas zu Mekka, 1888/arsip milik Achmad Sunjayadi via KompasID)

 Snouck Hurgronje ternyata jadi 'fotografer' jamaah haji Indonesia masa Belanda, tapi tujuannya bukan buat kenang-kenangan



Pada 1825 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan resolusi pelaksanaan ibadah haji. Tujuannya untuk melakukan pengawasan.


Resolusi itu terutama untuk mengatur kuota haji juga sebagai bagian dari pengawasan terhadap gerak-gerak jamaah haji yang pergi ke Tanah Suci. Sebagaimana kita, dulu, banyak orang Indonesia yang pergi ibadah haji setelah balik ke Indonesia menjadi "musuh" pemerintah kolonial.


Resolusi itu juga terkait ongkos naik haji sebesar 110 gulden juga paspor untuk ibadah haji. Karena masih banyak celahnya, pemerintah kolonial kemudian menyempurnakannya pada 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922.


Ada juga peraturan tentang penyematan gelar haji, sebagai termaktub dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië 6 Juli 1859 Nomor 42 yang dibaut pada 1859. Peraturan itu kira-kira berisi, jamaah haji yang telah kembali dari Mekkah akan diuji oleh bupati atau penguasa lokal serta ulama setempat.


"Pertanyaannya mengenai tempat-tempat suci yang dikunjungi. Jika mereka dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka akan diberi sertifikat, berhak menyandang gelar haji, dan mengenakan pakaian haji. Sebaliknya, jika mereka tidak dapat membuktikan telah mengunjungi Mekkah atau menjawab pertanyaan, maka tidak diberi sertifikat, tidak boleh mengenakan pakaian haji, dan didenda sebesar 25 hingga 100 gulden," tulis Sunjayadi.


Yang juga menarik, ibadah haji mada zaman Hindia Belanda ternyata sudah ada "fotografer"-nya. Si juru jepret itu adalah Snouck Hurgronje.


Tapi tentu saja kebutuhan dokumentasi itu bukan untuk kenang-kenangan. Melainkan sebagia bagian dari pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.


Salah satu ”fotografer” yang mengabadikan kegiatan haji tersebut adalah Snouck Hurgronje (1857-1934). Kita tahu, sebelum jadi orang kepercayaannya pemerintah kolonial Hindia Belanda, Snouck pernah setahun bertugas di konsulat Belanda di Jeddah. Dan di sinilah dia mengubah namanya menjadi Abdul Ghaffar.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034258886/snouck-hurgronje-fotografer-jamaah-haji-indonesia-pada-masa-hindia-belanda


#haji #belanda #SnouckHurgronje #ibadahhaji


Potret jamaah haji dari Malang dan Pasuruan yang disebut diambil oleh Snouck Hurgronje (Bilder-Atlas zu Mekka, 1888/arsip milik Achmad Sunjayadi via KompasID)

Atas dulu, Raadhuis te Magelang, ca1927. .,. Bawah kini, Kantor PDAM, Jl Veteran, Magelang, 2024

 Atas dulu, Raadhuis te Magelang, ca1927. .,. 

Bawah kini, Kantor PDAM, Jl Veteran, Magelang, 2024



Sumber : Bintoro Hoepoedio

04 June 2025

R.M. Soesalit Djojoadhiningrat, kelahiran 13 September 1904, saat berusia 17 bulan, putra dari R.A. Kartini dan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, Rembang, 1906. 📷 Tee Han Sioe/KITLV

 R.M. Soesalit Djojoadhiningrat, kelahiran 13 September 1904, saat berusia 17 bulan, putra dari R.A. Kartini dan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, Rembang, 1906. 📷 Tee Han Sioe/KITLV



PERANG CIREBON VS MATARAM Sultan Cirebon dalam sebanya ke Mataram suatu waktu membawa serta para Patihnya, yakni Patih Arya Salingsingan, Arya Tandhumuni, Ki Jagasatru, Ki Arya Kanduruan dan Arya Wanahaji. Pada bulan seba itu, kerajaan-kerajaan yang menjadi bawahan Mataram semuanya berkumpul, dalam perkumpulan itu tiap-tiap kerajaan memamerkan kecakapan dan kepandaiannya masing-masing di depan Sultan Mataram, ada yang memamerkan keahlian memainkan pedang, memanah, berkuda dan bahkan ada yang mempertunjukan kesaktian kebal senjata. Cirebon dalam kesempatan tersebut malah justru tidak menampilkan keahlian apa-apa. Atas peristiwa tersebut, Cirebon diolok-olok oleh orang Mataram katanya “Orang Cirebon Tidak Bisa Apa-Apa Dan Tidak Punya Kepandaian Apa-Apa, Mereka Amat Miskin Dan Hanya Pandai Mengemis Saja”. Marah dengan olok-olokan tersebut, Ki Jagasatru maju serta berkata “Izinkan Meriam yang besar itu, yang bernama meriam Si Satomi untuk dibawa kemari akan ku panggul dan akan ku ledakan sekalian” mendengar itu orang mataram justru malah mengolok dan berkata “Hai Orang Cirebon Sombong sekali Kalian.!”. Sultan Mataram kemudian menetujui permintaan Ki Jagasatru untuk mengambil Meriam itu. Arya Salingsingan lalu mengambil Mesiu kemudian mengisikanya pada Meriam, sementara dengan cepat Ki Jagasatru memanggul meriam tersebut, adapun Ki Tandumuni kemudian meloncat di atas meriam untuk kemudian menyalakanya, Dooooor bunyi ledakan meriampun menggelegar dengan nyaringnya. Anehnya Ki Jagastru yang tampil memanggul meriam itu masih tetap berdiri kokoh, tak goyah barang sedikitpun. Melihat kejadian tersebut orang-orang Mataram yang sebelumnya menghina Carbon terperangah keheranan, dan mulai kagum. Setelah peristiwa tersebut, Sultan Mataram merasa khawatir pada kedudukanya, takut Cirebon memberontak, dan mampu mengalahkan Mataram, mengingat kemampuan orang Cirebon dalam kecakapan memainkan senjata diluar kemampun pada umumnya. Mulai setelah itu, tamu dari Cirebon dijaga ketat di Mataram, bahkan tas, dan perbekalan Panembahan Ratu selama berkunjung di Matarampun diperiksa dengan semena-mena seperti tidak menghargai Sultan Cirebon. Atas perlakuan buruk tersebut, Arya Salingsingan, Arya Tandhumuni, Ki Jagasatru, Ki Arya Kanduruan dan Arya Wanahaji menyimpan dendam dan marah besar. Maka ketika masa seba telah habis, rombongan Sultan Cirebon kemudian memohon diri untuk pamit pulang ke Cirebon. Namun, para Patih Cirebon itu justru tidak ikut serta pulang beserta rombongan, melainkan membuat kekacauan di dalam Istana Mataram. Arya Salingsingan mengeluarkan aji limunan sehinga wujudnya tak tampak mata, dengan ajian itu, ia memasuki Istana, sementara itu di dalam istana, Sultan Mataram sedang duduk akan bersantap dengan dilayani pelayannya, melihat hal tersebut dengan tanpa diketahui Sultan Mataram, Arya Salingsingan kemudian memegang dahi Sultan Mataram dan mencukur separuh kumis Sultan Mataram. Para pelayan Sultan merasa terkejut melihat kumis Rajanya terpotong separuh dengan sendirinya, tanpa sadar para pelayan tersebut kemudian tertawa terbahak-bahak. Melihat hal tersebut Sultan Mataram kemudian murka, dan mempertanyakan sebab-sebab para pelayannya terbahak-bahak tanpa adab didepan Rajanya. Dengan ketakutan para pelayan tersebut kemudian memberitahukan mengenai hilangnya separuh kumis sang Raja Sultan Mataram segera mengambil cermin, dan kemudian berteriak sambil berkata “Perbuatan Siapa ini…?” Arya Salingsingan kemudian menjawab dengan tanpa rupa “Aing Nu Nyukur Heunteu Sieun, Ku Tangkurak Sia..!! (Aku yang mencukur, Aku tak yakut padamu…!!)” Mendengar jawaban tanpa rupa itu, Sultan Mataram kemudian menanyakan pada patihnya, “Hai Patih apa maksudnya itu, aku tak mengerti bahasa “Aing Nu Nyukur” sambil menyembah patih itu kemudian menjawab “Ampun Gusti, bahasa yang memakai kata “Aing” itu ialah bahasanya orang Cirebon yaitu bahasa Sunda”. Dengan marah besar sultan Mataram kemudian memerintahkan agar orang Cirebon dihadapkan, namun demikian ternyata rombongan Cirebon waktu itu sudah pulang. Setelah peristiwa tersebut, Mataram kemudian melakukan penyerangan terhadap Cirebon, serangan pertama dipimpin oleh Pangeran Purbaya dengan 1000 prajurit, medan tempurnya berada di Kali Kasuneyan desa Progol, dalam serangan tersebut Pangeran Purbaya terbunuh oleh Arya Tandumuni. Gagal pada serangan pertama, selanjutnya Sultan Mataram mengirimkan lagi tentaranya untuk menyerbu Cirebon, serbuan dipimpin oleh Pangeran Salatiga dengan puluhan ribu pasukan, adapunn yang menjadi medan tempur atau tempat berlangsungnya peperangan yaitu di Tugu Manggang, dalam serangan kedua ini pasukan Mataram juga berhasil dikalahkan akan tetapi Pangeran Salatiga tidak terbunuh. Belum puas akan kegagalan serangan yang kedua kalinya, Sultan Mataram dalam lain kesempatan mengutus puluhan ribu pasukan Mataram kembali menyerang Cirebon, adapun yang menjadi panglima Mataram waktu itu adalah Nata Suwangga dan penyerbuan yang ketiga inipun dapat ditumpas Cirebon. Adapun yang menjadi lokasi medan peperangan dalam serangan ketiga ini adalah di Losari. Setelah kegagalan penaklukan Cirebon yang ketiga kalinya itu, Mataram menyerah dan tidak lagi menggangu orang Cirebon. Selanjutnya setelah peristiwa ketangguhan orang Cirebon dalam menghadapi Mataram itu tersiar luas, banyak tokoh-tokoh Mataram yang dianggap memberontak pada Raja Mataram kemudian meminta Suaka kepada Cirebon. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah, Arya Angkasa Manca yang kemudian diberi Suaka dan ditempatkan di Kanggraksan, Arya Dirja diberi tempat di Klayan, Arya Jagabayan diberi tempat di Jagabayan, Gedeng Kiring diberi tempat di Pakiringan, Gedeng Pengampon diberi tempat di desa Pengampon. Kisah ini dapat anda temui dalam Naskah Mertasinga.

 PERANG CIREBON VS MATARAM


Sultan Cirebon dalam sebanya ke Mataram suatu waktu membawa serta para Patihnya, yakni Patih Arya Salingsingan, Arya Tandhumuni, Ki Jagasatru, Ki Arya Kanduruan dan Arya Wanahaji.



Pada bulan seba itu, kerajaan-kerajaan yang menjadi bawahan Mataram semuanya berkumpul, dalam perkumpulan itu tiap-tiap kerajaan memamerkan kecakapan dan kepandaiannya masing-masing di depan Sultan Mataram, ada yang memamerkan keahlian memainkan pedang, memanah, berkuda dan bahkan ada yang mempertunjukan kesaktian kebal senjata.


Cirebon dalam kesempatan tersebut malah justru tidak menampilkan keahlian apa-apa. Atas peristiwa tersebut, Cirebon diolok-olok oleh orang Mataram katanya “Orang Cirebon Tidak Bisa Apa-Apa Dan Tidak Punya Kepandaian Apa-Apa, Mereka Amat Miskin Dan Hanya Pandai Mengemis Saja”.


Marah dengan olok-olokan tersebut, Ki Jagasatru maju serta berkata “Izinkan Meriam yang besar itu, yang bernama meriam Si Satomi untuk dibawa kemari akan ku panggul dan akan ku ledakan sekalian” mendengar itu orang mataram justru malah mengolok dan berkata “Hai Orang Cirebon Sombong sekali Kalian.!”.


Sultan Mataram kemudian menetujui permintaan Ki Jagasatru untuk mengambil Meriam itu. Arya Salingsingan lalu mengambil Mesiu kemudian mengisikanya pada Meriam, sementara dengan cepat Ki Jagasatru memanggul meriam tersebut, adapun Ki Tandumuni kemudian meloncat di atas meriam untuk kemudian menyalakanya, Dooooor bunyi ledakan meriampun menggelegar dengan nyaringnya.


Anehnya Ki Jagastru yang tampil memanggul meriam itu masih tetap berdiri kokoh, tak goyah barang sedikitpun. Melihat kejadian tersebut orang-orang Mataram yang sebelumnya menghina Carbon terperangah keheranan, dan mulai kagum.


Setelah peristiwa tersebut, Sultan Mataram merasa khawatir pada kedudukanya, takut Cirebon memberontak, dan mampu mengalahkan Mataram, mengingat kemampuan orang Cirebon dalam kecakapan memainkan senjata diluar kemampun pada umumnya.


Mulai setelah itu, tamu dari Cirebon dijaga ketat di Mataram, bahkan tas, dan perbekalan Panembahan Ratu selama berkunjung di Matarampun diperiksa dengan semena-mena seperti tidak menghargai Sultan Cirebon.


Atas perlakuan buruk tersebut, Arya Salingsingan, Arya Tandhumuni, Ki Jagasatru, Ki Arya Kanduruan dan Arya Wanahaji menyimpan dendam dan marah besar. Maka ketika masa seba telah habis, rombongan Sultan Cirebon kemudian memohon diri untuk pamit pulang ke Cirebon. Namun, para Patih Cirebon itu justru tidak ikut serta pulang beserta rombongan, melainkan membuat kekacauan di dalam Istana Mataram.


Arya Salingsingan mengeluarkan aji limunan sehinga wujudnya tak tampak mata, dengan ajian itu, ia memasuki Istana, sementara itu di dalam istana, Sultan Mataram sedang duduk akan bersantap dengan dilayani pelayannya, melihat hal tersebut dengan tanpa diketahui Sultan Mataram, Arya Salingsingan kemudian memegang dahi Sultan Mataram dan mencukur separuh kumis Sultan Mataram.


Para pelayan Sultan merasa terkejut melihat kumis Rajanya terpotong separuh dengan sendirinya, tanpa sadar para pelayan tersebut kemudian tertawa terbahak-bahak.


Melihat hal tersebut Sultan Mataram kemudian murka, dan mempertanyakan sebab-sebab para pelayannya terbahak-bahak tanpa adab didepan Rajanya.


Dengan ketakutan para pelayan tersebut kemudian memberitahukan mengenai hilangnya separuh kumis sang Raja


Sultan Mataram segera mengambil cermin, dan kemudian berteriak sambil berkata “Perbuatan Siapa ini…?” Arya Salingsingan kemudian menjawab dengan tanpa rupa “Aing Nu Nyukur Heunteu Sieun, Ku Tangkurak Sia..!! (Aku yang mencukur, Aku tak yakut padamu…!!)”


Mendengar jawaban tanpa rupa itu, Sultan Mataram kemudian menanyakan pada patihnya, “Hai Patih apa maksudnya itu, aku tak mengerti bahasa “Aing Nu Nyukur” sambil menyembah patih itu kemudian menjawab “Ampun Gusti, bahasa yang memakai kata “Aing” itu ialah bahasanya orang Cirebon yaitu bahasa Sunda”. Dengan marah besar sultan Mataram kemudian memerintahkan agar orang Cirebon dihadapkan, namun demikian ternyata rombongan Cirebon waktu itu sudah pulang.


Setelah peristiwa tersebut, Mataram kemudian melakukan penyerangan terhadap Cirebon, serangan pertama dipimpin oleh Pangeran Purbaya dengan 1000 prajurit, medan tempurnya berada di Kali Kasuneyan desa Progol, dalam serangan tersebut Pangeran Purbaya terbunuh oleh Arya Tandumuni.


Gagal pada serangan pertama, selanjutnya Sultan Mataram mengirimkan lagi tentaranya untuk menyerbu Cirebon, serbuan dipimpin oleh Pangeran Salatiga dengan puluhan ribu pasukan, adapunn yang menjadi medan tempur atau tempat berlangsungnya peperangan yaitu di Tugu Manggang, dalam serangan kedua ini pasukan Mataram juga berhasil dikalahkan akan tetapi Pangeran Salatiga tidak terbunuh.


Belum puas akan kegagalan serangan yang kedua kalinya, Sultan Mataram dalam lain kesempatan mengutus puluhan ribu pasukan Mataram kembali menyerang Cirebon, adapun yang menjadi panglima Mataram waktu itu adalah Nata Suwangga dan penyerbuan yang ketiga inipun dapat ditumpas Cirebon. Adapun yang menjadi lokasi medan peperangan dalam serangan ketiga ini adalah di Losari.


Setelah kegagalan penaklukan Cirebon yang ketiga kalinya itu, Mataram menyerah dan tidak lagi menggangu orang Cirebon.


Selanjutnya setelah peristiwa ketangguhan orang Cirebon dalam menghadapi Mataram itu tersiar luas, banyak tokoh-tokoh Mataram yang dianggap memberontak pada Raja Mataram kemudian meminta Suaka kepada Cirebon. 


Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah, Arya Angkasa Manca yang kemudian diberi Suaka dan ditempatkan di Kanggraksan, Arya Dirja diberi tempat di Klayan, Arya Jagabayan diberi tempat di Jagabayan, Gedeng Kiring diberi tempat di Pakiringan, Gedeng Pengampon diberi tempat di desa Pengampon.


Kisah ini dapat anda temui dalam Naskah Mertasinga.

Mengenang dalang legendaris Ki Suparman Cermo Wiyoto. A. RIWAYAT KELAHIRAN. Ki Suparman dilahirkan di daerah Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Ki Suparman adalah seorang dalang yang dilahirkan dari trah dalang, yaitu Trah Miliran/Jayeng. Ayahnya adalah seorang dalang kondang di era tahun 40-60an, yaitu Ki Cermo Bancak. Ibu Ki Suparman sering dipanggil dengan sebutan "Mbah Cermo Bancak Putri". Ki Bancak adalah putra dari seorang dalang Abdi Dalem Kadipaten Pakualaman, yaitu Ki Jayeng (Mbah Wiji). Pasangan Ki Cermo Bancak dan Mbah Cermo Putri memiliki 3 orang anak, yaitu ; 1.Nyi Wasini (kelak juga melahirkan sosok Dalang Kondang di Yogyakarta), Ki Suparman, dan 3.Ki Supardi. Menurut catatan di Kartu Tanda Penduduk, Ki Suparman lahir di Yogyakarta, 31 Desember 1935 (hal ini wajar karena pada waktu itu, data kelahiran sering tidak tercatat dengan pasti). B. PERJALANAN BERKESENIAN. Seperti kebanyakan keluarga trah Dalang, Suparman kecil dididik untuk melanjutkan cita-cita orang tuanya, sebagai penerus generasi dalang. Ki Bancak selalu mengajak Suparman kecil untuk mengikuti kemanapun dia pentas wayang. Kebiasaan itulah yang membuat jiwa seni telah merasuk ke dalam jiwa Suparman kecil. Menginjak masa remaja, Suparman memiliki hobby baru yaitu bermain sepak bola. Postur tubuh Suparman yang memiliki tinggi di atas rata-rata, menyebabkan dia dipercaya sebagai Kiper. Dunia sepak bola begitu kuat mengantar Suparman muda untuk eksis sebagai Kiper andalan waktu itu. Kepiawaian Suparman sebagai Kiper, menghantarnya sebagai pemain yang laris di banyak grup sepak bola. Melihat gelagat tersebut, Ki Bancak mulai resah. Ki Bancak khawatir jika kelak Suparman menjadi "lupa" dengan dunia Seni Pedalangan. Pada suatu saat, Ki Bancak berbicara dari hati ke hati dengan Suparman. Ki Bancak meminta agar Suparman meninggalkan dunia sepak bola dan kembali aktif di dunia kesenian. Setelah melalui perenungan, gayungpun bersambut. Suparman memantapkan pilihannya untuk kembali menekuni dunia wayang. Mulai saat itu, Suparman muda bersedia menjadi Dalang di siang hari, pada pementasan Ki Bancak. Pentas awal Ki Suparman adalah mendalang di siang hari, di daerah Gancahan, Godean, Sleman, Yogyakarta. Selain sebagai dalang, Suparman muda juga sangat intens untuk belajar ilmu Karawitan. Instrumen yang disukai dan kuasainya adalah Kendhang dan Gender Barung. Selain kedua instrumen gamelan itu, Ki Suparman juga mahir bermain Bonang, Gambang, Rebab, Suling, dan lainnya. Dengan modal ilmu Karawitan dan Pedalangan, semakin memantapkan Ki Suparman untuk menjadi Dalang profesional. Ketika Ki Bancak mendalang, Ki Suparman selalu bertindak sebagai pemain kendhang. Kendhangan Ki Suparman dikenal dapat "menghidupkan" pakeliran Ki Bancak. Setelah Ki Bancak meninggal dunia, Ki Suparman semakin laris sebagai Dalang Wayang Kulit Purwa. Bermodal tim pengrawit Trimo Lothung milik almarhum Ki Bancak, Ki Suparman melakukan pembaharuan tata musikal Karawitan. Hal itu menjadikan Karawitan Trimo Lothung semakin mendukung pola garap pakeliran Ki Suparman. Oleh Ki Suparman, Karawitan Trimo Lothung dipercayakan kepada adiknya, yaitu Ki Supardi. Ki Supardi sebagai pemain kendhang, juga dapat "meladeni" pola garap pakeliran Ki Suparman. Setelah menjadi semakin kondang, grup Karawitan Trimo Lothung diubah namanya menjadi Warga Laras. Waktu tahun 1970-1980an, duet "Parman-Pardi" dan grup Warga Laras menjadi magnet bagi penonton untuk menyaksikan pertunjukan wayang. Ki Suparman semakin laris mendalang dan melengkapi nama tenarnya dengan sebutan Ki Suparman Cermo Wiyoto. Masa keemasan Ki Suparman adalah antara tahun 1975 sampai tahun 1988. Daerah yang pernah disinggahi Ki Suparman untuk diundang pentas adalah, seluruh wilayah Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, Comal, Pemalang, Pekalongan, Jakarta, Pagilaran. C. RIWAYAT KELUARGA Ki Suparman menikah dengan seorang wanita bernama Ibu Sri. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai 3 orang putra, yaitu Mbak Ambar, Bayu Kuncoro, dan Bimo Tetuko. Ki Suparman kemudian menikah dengan Ibu Sayekti, kemudian memiliki 2 orang anak yaitu Ki Seno Nugroho dan Mbak Wahyu. Selanjutnya Ki Suparman menikah dengan Ibu Endang Kustyaningsih (Etik Suparman) dan memiliki 1 putra, yaitu Heru Nugroho. Beberapa putra Ki Suparman juga mewarisi jiwa seni, yaitu Ki Seno Nugroho ( Dalang Muda Yogyakarta yang sedang naik daun), Bayu Kuncoro (aktif sebagai musisi di group Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, Bayu Tetuko (pengrawit), dan Heru Nugroho yang juga seorang pengrawit, designer grafis, dan penata musik. D. PRESTASI DAN KARYA SENI. Ki Suparman termasuk dalang "pembaharu" di Yogyakarta kala itu. Ki Suparman mulai menggarap Karawitan, bukan sekedar pengiring Dalang, tetapi diramu agar dapat menjadi daya tarik bagi penonton. Di tangan Ki Suparman, Grup Karawitan Warga Laras mampu menyuguhkan olahan garap gending yang dinamis, kekinian, rampak, kompak, dan tanggap situasi. Ki Suparman juga menggiring grup Karawitannya untuk terbuka dengan gaya kesenian daerah lain, sehingga mampu menghasilkan garap gendhing gaya Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, dan lain sebagainya. Ki Suparman bersama Karawitan Warga Laras juga mampu memasuki dapur rekaman, baik rekaman Wayang Kulit, Uyon-Uyon, maupun Langen Mandrawanan. Beberapa di antaranya adalah ; Wahyu Tejamaya, Wahyu Antatwulan, Antareja Ratu, Sadewa Krama, Rebut Kikis Tunggarana, Wahyu Poncosari, dan lain-lain. Kaset uyon-uyon adalah Gendhing Kembang Gayam - Ladrang Mendes Pelog Nem, Glebag Slendro Manyura, Gambirsawit Slendro Sanga. Kaset Langen Mandrawanara adalah Senggana/Anoman Obong. Ki Suparman juga seorang dalang Yogyakarta yang memasukkan instrumen Drum ke dalam Karawitannya. Ki Suparman juga memasukkan instrumen Saron Cacahan 9 bilah (lazim dalam Pakeliran Surakarta) ke dalam garap pakeliraannya. Ki Suparman juga mengolah lagu-lagu modern kala itu, untuk disertakan dalam adegan Gara-Gara, seperti Lagu Susana, Lihat Kebunku, Tik Tik Tik Bunyi Hujan, dan lain sebagainya. Ki Suparman mampu menyajikan tata panggung yang rapi, bersih, dan menarik. Ki Suparman dikenal memiliki pergaulan luas, tidak terbatas di Yogyakarta, tetapi juga sampai ke Surakarta, Banyumas, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Nganjuk, Surabaya, dan lain-lain. Ki Suparman sangat akrab dengan Dalang di luar Yogyakarta, seperti ; Ki Narto Sabdo ( Semarang), Ki Anom Suroto (Surakarta), Ki Manteb Sudarsono (Karanganyar), Ki Mujoko Joko Raharjo (Boyolali), Ki Panut Darmoko (Nganjuk), Ki Gondo Darman ( Sragen), dan masih banyak lagi. Setiap malam Rabu Legi, bertepatan dengan acara pentas Wiyosan Ki Anom Suroto, Ki Suparman selalu menyempatkan untuk berkunjung dan bergaul dengan dalang dari luar Yogyakarta. Hal tersebut yang membuat Ki Suparman dapat mempergelarkan lakon-lakon yang jarang ditampilkan di Yogyakarta kala itu, seperti Sesaji Rajasuya, Bale Sigala-gala, dan Wiratha Parwa. E. CIRI KHAS PAKELIRAN. Menurut pengamatan penulis, ciri khas pakeliran Ki Suparman adalah sebagai berikut ; 1. Warna suara yang "gandem", "antep", "arum", dan nafas suluk yang panjang. 2.Wiledan Cengkok Sulukan Ki Suparman termasuk memiliki perbedaan dengan Dalang Yogyakarta pada umumnya. 3. Dhodhogan Ki Suparman memiliki kekhasan, yaitu dengan ritme yang "mbedani". 4. Keprakan Ki Suparman termasuk salah satu yang digandrungi penonton. Suara keprak itu bening, ngeceg ngampat dan apabila nyisir, terdengar seperti suara Angkup. 5. Sajian keseluruhan dari pentas Ki Suparman dikenal rapi, bersih, dan menarik. F.RIWAYAT KEMATIAN. Ki Suparman begitu ingin melihat salah satu putranya dapat mewarisi ilmu sebagai seorang Dalang kondang. Bakat itu dilihat oleh Ki Suparman, ada pada anaknya yang keempat yaitu Ki Seno Nugroho. Waktu itu Seno Nugroho masih duduk di bangku SMKI jurusan Pedalangan dan belum pernah sekalipun mendalang. Sekitar tahun 1988, Ki Suparman menerima job pentas di Pekalongan, sedangkan adiknya yaitu Ki Supardi juga pentas Wayang siang malam di daerah Mrican, Depok, Sleman, Yogyakarta. Ki Suparman menerima kabar jika anaknya, yaitu Seno Nugroho akan mencoba menjadi dalang siang hari di Mrican. Sebelum berangkat ke Pekalongan, Ki Suparman lalu mempersiapkan diri untuk melihat anaknya mendalang untuk pertama kalinya. Setelah sampai di Mrican, betapa terkejut, haru, bercampur bahagia, ketika Ki Suparman ternyata dapat melihat anaknya benar-benar bisa memainkan wayang dengan baik. Rasa bahagia, bangga, dan terharu tercampur menjadi satu, hingga tidak terasa air mata Ki Suparman menetes. Mengingat tugas pentas yang jauh, Ki Suparman lalu meninggalkan tempat pertunjukan di Mrican, lalu menuju Pekalongan. Dalam hati, Ki Suparman optimis, Ki Seno Nugroho kelak akan menjadi penerusnya sebagai Dalang. Pada hari Sabtu malam Minggu, tanggal 7 Oktober 1989, Ki Suparman diundang pentas (Dhalang Thok) di rumah seorang Lurah di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Setelah selesai pentas di Borobudur, Ki Suparman merasa kondisi badannya tidak sehat. Oleh sopirnya, Ki Suparman diminta untuk segera istirahat total. Dikarenakan mempunyai kesanggupan untuk hadir di Toyan, Wates, Kulonprogo (Rumah Ki Hadi Sugito), maka Ki Suparman bersikeras untuk tetap datang untuk "njagong". Minggu, 8 Oktober 1989, Ki Hadi Sugito mempunyai hajad mengkhitankan putranya, yaitu Wisnu HS. Dalam acara itu, Ki Hadi Sugito mengundang Dalang dari Gombang, Sawit, Boyolali, yaitu Ki Mujoko Joko Raharjo. Minggu malam, Ki Suparman tetap pergi untuk datang ke Wates. Ki Suparman begitu menikmati sajian yang ditampilkan Ki Mujoko. Senin dini hari Jam 03.00, tanggal 9 Oktober, Ki Suparman merasa kondisi kesehatan mulai menurun dan akhirnya kembali ke rumahnya di Jl. Mangunsarkoro 52, Kota Yogyakarta. Pada hari Selasa pagi, 10 Oktober 1989, Ki Suparman tidak sadarkan diri, dan dilarikan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Tuhan telah berkehendak, tepat pada Hari Kamis Pon, tanggal 12 Oktober 1989 (12 Mulud 1922 Jawa), Ki Suparman telah kembali ke hadirat Sang Pencipta. Ki Suparman wafat di usia 54 tahun. Dunia pedalangan Yogyakarta berduka karena kehilangan sosok Dalang "Pembaharu".

Mengenang dalang legendaris Ki Suparman Cermo Wiyoto.



A. RIWAYAT KELAHIRAN.


Ki Suparman dilahirkan di daerah Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Ki Suparman adalah seorang dalang yang dilahirkan dari trah dalang, yaitu Trah Miliran/Jayeng.


Ayahnya adalah seorang dalang kondang di era tahun 40-60an, yaitu Ki Cermo Bancak.


Ibu Ki Suparman sering dipanggil dengan sebutan "Mbah Cermo Bancak Putri".

Ki Bancak adalah putra dari seorang dalang Abdi Dalem Kadipaten Pakualaman, yaitu Ki Jayeng (Mbah Wiji).


Pasangan Ki Cermo Bancak dan Mbah Cermo Putri memiliki 3 orang anak, yaitu ; 1.Nyi Wasini (kelak juga melahirkan sosok Dalang Kondang di Yogyakarta), Ki Suparman, dan 3.Ki Supardi.

Menurut catatan di Kartu Tanda Penduduk, Ki Suparman lahir di Yogyakarta, 31 Desember 1935 (hal ini wajar karena pada waktu itu, data kelahiran sering tidak tercatat dengan pasti).


B. PERJALANAN BERKESENIAN.


Seperti kebanyakan keluarga trah Dalang, Suparman kecil dididik untuk melanjutkan cita-cita orang tuanya, sebagai penerus generasi dalang.

Ki Bancak selalu mengajak Suparman kecil untuk mengikuti kemanapun dia pentas wayang.

Kebiasaan itulah yang membuat jiwa seni telah merasuk ke dalam jiwa Suparman kecil.


Menginjak masa remaja, Suparman memiliki hobby baru yaitu bermain sepak bola.

Postur tubuh Suparman yang memiliki tinggi di atas rata-rata, menyebabkan dia dipercaya sebagai Kiper.

Dunia sepak bola begitu kuat mengantar Suparman muda untuk eksis sebagai Kiper andalan waktu itu.

Kepiawaian Suparman sebagai Kiper, menghantarnya sebagai pemain yang laris di banyak grup sepak bola.


Melihat gelagat tersebut, Ki Bancak mulai resah.

Ki Bancak khawatir jika kelak Suparman menjadi "lupa" dengan dunia Seni Pedalangan.


Pada suatu saat, Ki Bancak berbicara dari hati ke hati dengan Suparman.

Ki Bancak meminta agar Suparman meninggalkan dunia sepak bola dan kembali aktif di dunia kesenian.


Setelah melalui perenungan, gayungpun bersambut.

Suparman memantapkan pilihannya untuk kembali menekuni dunia wayang.

Mulai saat itu, Suparman muda bersedia menjadi Dalang di siang hari, pada pementasan Ki Bancak.


Pentas awal Ki Suparman adalah mendalang di siang hari, di daerah Gancahan, Godean, Sleman, Yogyakarta.


Selain sebagai dalang, Suparman muda juga sangat intens untuk belajar ilmu Karawitan.


Instrumen yang disukai dan kuasainya adalah Kendhang dan Gender Barung.

Selain kedua instrumen gamelan itu, Ki Suparman juga mahir bermain Bonang, Gambang, Rebab, Suling, dan lainnya.


Dengan modal ilmu Karawitan dan Pedalangan, semakin memantapkan Ki Suparman untuk menjadi Dalang profesional.


Ketika Ki Bancak mendalang, Ki Suparman selalu bertindak sebagai pemain kendhang.

Kendhangan Ki Suparman dikenal dapat "menghidupkan" pakeliran Ki Bancak.


Setelah Ki Bancak meninggal dunia, Ki Suparman semakin laris sebagai Dalang Wayang Kulit Purwa.

Bermodal tim pengrawit Trimo Lothung milik almarhum Ki Bancak, Ki Suparman melakukan pembaharuan tata musikal Karawitan. Hal itu menjadikan Karawitan Trimo Lothung semakin mendukung pola garap pakeliran Ki Suparman.

Oleh Ki Suparman, Karawitan Trimo Lothung dipercayakan kepada adiknya, yaitu Ki Supardi.


Ki Supardi sebagai pemain kendhang, juga dapat "meladeni" pola garap pakeliran Ki Suparman.


Setelah menjadi semakin kondang, grup Karawitan Trimo Lothung diubah namanya menjadi Warga Laras.

Waktu tahun 1970-1980an, duet "Parman-Pardi" dan grup Warga Laras menjadi magnet bagi penonton untuk menyaksikan pertunjukan wayang.


Ki Suparman semakin laris mendalang dan melengkapi nama tenarnya dengan sebutan Ki Suparman Cermo Wiyoto.


Masa keemasan Ki Suparman adalah antara tahun 1975 sampai tahun 1988.


Daerah yang pernah disinggahi Ki Suparman untuk diundang pentas adalah, seluruh wilayah Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, Comal, Pemalang, Pekalongan, Jakarta, Pagilaran.


C. RIWAYAT KELUARGA


Ki Suparman menikah dengan seorang wanita bernama Ibu Sri.


Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai 3 orang putra, yaitu Mbak Ambar, Bayu Kuncoro, dan Bimo Tetuko.


Ki Suparman kemudian menikah dengan Ibu Sayekti, kemudian memiliki 2 orang anak yaitu Ki Seno Nugroho dan Mbak Wahyu.


Selanjutnya Ki Suparman menikah dengan Ibu Endang Kustyaningsih (Etik Suparman) dan memiliki 1 putra, yaitu Heru Nugroho.


Beberapa putra Ki Suparman juga mewarisi jiwa seni, yaitu Ki Seno Nugroho ( Dalang Muda Yogyakarta yang sedang naik daun), Bayu Kuncoro (aktif sebagai musisi di group Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, Bayu Tetuko (pengrawit), dan Heru Nugroho yang juga seorang pengrawit, designer grafis, dan penata musik.


D. PRESTASI DAN KARYA SENI.


Ki Suparman termasuk dalang "pembaharu" di Yogyakarta kala itu.


Ki Suparman mulai menggarap Karawitan, bukan sekedar pengiring Dalang, tetapi diramu agar dapat menjadi daya tarik bagi penonton.

Di tangan Ki Suparman, Grup Karawitan Warga Laras mampu menyuguhkan olahan garap gending yang dinamis, kekinian, rampak, kompak, dan tanggap situasi.

Ki Suparman juga menggiring grup Karawitannya untuk terbuka dengan gaya kesenian daerah lain, sehingga mampu menghasilkan garap gendhing gaya Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, dan lain sebagainya.


Ki Suparman bersama Karawitan Warga Laras juga mampu memasuki dapur rekaman, baik rekaman Wayang Kulit, Uyon-Uyon, maupun Langen Mandrawanan.


Beberapa di antaranya adalah ; Wahyu Tejamaya, Wahyu Antatwulan, Antareja Ratu, Sadewa Krama, Rebut Kikis Tunggarana, Wahyu Poncosari, dan lain-lain.


Kaset uyon-uyon adalah Gendhing Kembang Gayam - Ladrang Mendes Pelog Nem, Glebag Slendro Manyura, Gambirsawit Slendro Sanga.


Kaset Langen Mandrawanara adalah Senggana/Anoman Obong.


Ki Suparman juga seorang dalang Yogyakarta yang memasukkan instrumen Drum ke dalam Karawitannya.

Ki Suparman juga memasukkan instrumen Saron Cacahan 9 bilah (lazim dalam Pakeliran Surakarta) ke dalam garap pakeliraannya.


Ki Suparman juga mengolah lagu-lagu modern kala itu, untuk disertakan dalam adegan Gara-Gara, seperti Lagu Susana, Lihat Kebunku, Tik Tik Tik Bunyi Hujan, dan lain sebagainya.


Ki Suparman mampu menyajikan tata panggung yang rapi, bersih, dan menarik.


Ki Suparman dikenal memiliki pergaulan luas, tidak terbatas di Yogyakarta, tetapi juga sampai ke Surakarta, Banyumas, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Nganjuk, Surabaya, dan lain-lain.


Ki Suparman sangat akrab dengan Dalang di luar Yogyakarta, seperti ; Ki Narto Sabdo ( Semarang), Ki Anom Suroto (Surakarta), Ki Manteb Sudarsono (Karanganyar), Ki Mujoko Joko Raharjo (Boyolali), Ki Panut Darmoko (Nganjuk), Ki Gondo Darman ( Sragen), dan masih banyak lagi.


Setiap malam Rabu Legi, bertepatan dengan acara pentas Wiyosan Ki Anom Suroto, Ki Suparman selalu menyempatkan untuk berkunjung dan bergaul dengan dalang dari luar Yogyakarta.


Hal tersebut yang membuat Ki Suparman dapat mempergelarkan lakon-lakon yang jarang ditampilkan di Yogyakarta kala itu, seperti Sesaji Rajasuya, Bale Sigala-gala, dan Wiratha Parwa.


E. CIRI KHAS PAKELIRAN.


Menurut pengamatan penulis, ciri khas pakeliran Ki Suparman adalah sebagai berikut ;


1. Warna suara yang "gandem", "antep", "arum", dan nafas suluk yang panjang.


2.Wiledan Cengkok Sulukan Ki Suparman termasuk memiliki perbedaan dengan Dalang Yogyakarta pada umumnya.


3. Dhodhogan Ki Suparman memiliki kekhasan, yaitu dengan ritme yang "mbedani".


4. Keprakan Ki Suparman termasuk salah satu yang digandrungi penonton. Suara keprak itu bening, ngeceg ngampat dan apabila nyisir, terdengar seperti suara Angkup.


5. Sajian keseluruhan dari pentas Ki Suparman dikenal rapi, bersih, dan menarik.


F.RIWAYAT KEMATIAN.


Ki Suparman begitu ingin melihat salah satu putranya dapat mewarisi ilmu sebagai seorang Dalang kondang.

Bakat itu dilihat oleh Ki Suparman, ada pada anaknya yang keempat yaitu Ki Seno Nugroho.


Waktu itu Seno Nugroho masih duduk di bangku SMKI jurusan Pedalangan dan belum pernah sekalipun mendalang.

Sekitar tahun 1988, Ki Suparman menerima job pentas di Pekalongan, sedangkan adiknya yaitu Ki Supardi juga pentas Wayang siang malam di daerah Mrican, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Ki Suparman menerima kabar jika anaknya, yaitu Seno Nugroho akan mencoba menjadi dalang siang hari di Mrican.


Sebelum berangkat ke Pekalongan, Ki Suparman lalu mempersiapkan diri untuk melihat anaknya mendalang untuk pertama kalinya.


Setelah sampai di Mrican, betapa terkejut, haru, bercampur bahagia, ketika Ki Suparman ternyata dapat melihat anaknya benar-benar bisa memainkan wayang dengan baik.


Rasa bahagia, bangga, dan terharu tercampur menjadi satu, hingga tidak terasa air mata Ki Suparman menetes.


Mengingat tugas pentas yang jauh, Ki Suparman lalu meninggalkan tempat pertunjukan di Mrican, lalu menuju Pekalongan.


Dalam hati, Ki Suparman optimis, Ki Seno Nugroho kelak akan menjadi penerusnya sebagai Dalang.


Pada hari Sabtu malam Minggu, tanggal 7 Oktober 1989, Ki Suparman diundang pentas (Dhalang Thok) di rumah seorang Lurah di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Setelah selesai pentas di Borobudur, Ki Suparman merasa kondisi badannya tidak sehat.


Oleh sopirnya, Ki Suparman diminta untuk segera istirahat total. Dikarenakan mempunyai kesanggupan untuk hadir di Toyan, Wates, Kulonprogo (Rumah Ki Hadi Sugito), maka Ki Suparman bersikeras untuk tetap datang untuk "njagong".

Minggu, 8 Oktober 1989, Ki Hadi Sugito mempunyai hajad mengkhitankan putranya, yaitu Wisnu HS.


Dalam acara itu, Ki Hadi Sugito mengundang Dalang dari Gombang, Sawit, Boyolali, yaitu Ki Mujoko Joko Raharjo.

Minggu malam, Ki Suparman tetap pergi untuk datang ke Wates.


Ki Suparman begitu menikmati sajian yang ditampilkan Ki Mujoko.


Senin dini hari Jam 03.00, tanggal 9 Oktober, Ki Suparman merasa kondisi kesehatan mulai menurun dan akhirnya kembali ke rumahnya di Jl. Mangunsarkoro 52, Kota Yogyakarta.


Pada hari Selasa pagi, 10 Oktober 1989, Ki Suparman tidak sadarkan diri, dan dilarikan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.


Tuhan telah berkehendak, tepat pada Hari Kamis Pon, tanggal 12 Oktober 1989 (12 Mulud 1922 Jawa), Ki Suparman telah kembali ke hadirat Sang Pencipta.


Ki Suparman wafat di usia 54 tahun.


Dunia pedalangan Yogyakarta berduka karena kehilangan sosok Dalang "Pembaharu". 

Balai Kota di Magelang, sekitar tahunj 1927 Raadhuis te Magelang, ca 1927

 Balai Kota di Magelang, sekitar tahun 1927


Raadhuis te Magelang, ca 1927




Sumber : Bintoro Hoepoedio

03 June 2025

berikut ringkasan nama nama Kota/Kabupaten pada zaman Kerajaan Hindu Buddha (MAJAPAHIT). Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam postingan, bisa di like, coment, dan share. Terimakasih Rahayu

 berikut ringkasan nama nama Kota/Kabupaten

pada zaman Kerajaan Hindu Buddha (MAJAPAHIT).



Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam postingan, bisa di like, coment, dan share.

Terimakasih

Rahayu

Pada tahun 1962, Sekretaris Panitia Masjid Istiqlal yaitu H. Muallif Nasution mengumumkan bahwa rakyat aceh telah menyumbangkan emas murni seberat 1,5 Kilogram (Kg) untuk membantu pembangunan Masjid Istiqlal. Sumbangan tersebut diberikan pada saat Presiden Soekarno berkunjung ke daerah tersebut. Selain itu, ada pula beberapa sumbangan dari masyarakat lainnya baik dari perusahaan maupun perorangan. Seperti yang tertulis pada artikel berikut ini. Sumber: Berita Indonesia, 4 Mei 1962 Halaman 2 Kolom 3. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI (SKALA Team) #Aceh #Sumbangan #Emas #MasjidIstiqlal

Pada tahun 1962, Sekretaris Panitia Masjid Istiqlal yaitu H. Muallif Nasution mengumumkan bahwa rakyat aceh telah menyumbangkan emas murni seberat 1,5 Kilogram (Kg) untuk membantu pembangunan Masjid Istiqlal. Sumbangan tersebut diberikan pada saat Presiden Soekarno berkunjung ke daerah tersebut. Selain itu, ada pula beberapa sumbangan dari masyarakat lainnya baik dari perusahaan maupun perorangan. Seperti yang tertulis pada artikel berikut ini. 


Sumber: Berita Indonesia, 4 Mei 1962 Halaman 2 Kolom 3. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI (SKALA Team)

#Aceh
#Sumbangan
#Emas
#MasjidIstiqlal