02 December 2025

RADEN RONGGO PRAWIRODIRJO III SEPUPU' DIPONEGORO PERANG MELAWAN DAENDELS PADA 1810 Tanggal 21 Desember 1810, Raden Ronggo masih terlihat gagah memimpin pasukan walau terjepit, ia menebas tombak yang ia pegang ke musuh yang ia dapat, beberapa serdadu Belanda terjengkang terkena sambaran tombak dari sepupu Pangeran Diponegoro ini. Disekelilingnya para pengikut dan prajuritnya juga sedang bertarung mati-matian dengan sampai akhirnya Raden Ronggo terdesak saat ia mengelak sabetan pedang membuat ia melompat dari kudanya lalu masih memegang tombak saktinya Kyai Blabar, sang Adipati Madiun ini masih melawan sekuat tenaga sampai sebuah tusukan pedang serdadu Belanda mengenai dadanya, terhuyung Raden Rangga mudur merasakan nyeri lukanya, saat itulah Leberfeld memerintahkan pasukannya menyerang Ronggo dan menghabisinya hingga meninggal. Itu adalah akhir dari perlawanan singkat dari Raden Ronggo Prawirodirjo III pada Gubernur Jendral Daendels yang memang membenci Raden Ronggo sejak lama. Namun perlawanan yang dilakukan oleh Mertua Pangeran Diponegoro ini akan menjadi penyemangat sang Pangeran Diponegoro 15 tahun kemudian. Siapa Raden Ronggo Prawirodirjo III? dia adalah penasehat Hamengkubuwono II atau Sultan Sepuh dan juga Adipati Wedono Mancanegara Maospati atau Madiun sekarang yang saat itu adalah wilayah Yogjakarta Hadiningrat. Ia dikenang rakyat Madiun sebagai pemimpin cerdas dan mengayomi rakyatnya hingga kesejahteraan warga Madiun meningkat walau usianya saat mulai memimpin masih muda yakni 31 tahun. Raden Ronggo adalah seorang yang cerdas saat memimpin Madiun antara tahun 1802-1810 walau usianya masih 31 tahun. Meski ia tinggal di Maospati tapi ia sering bolak balik ke Yogja karena dipercaya Sultan Hamengkubuwono II menjadi penasihat sampai menjadi Panglima tertinggi angkatan bersenjata Keraton Yogyakarta. Raden Ronggo terkenal pemberani sampai-sampai Daendels berkesimpulan orang yang satu ini harus segera disingkirkan. Menjelang kedatangan pasukan Inggris ke Jawa, Daendels sedang mempersiapkan menghadapi kedatangan mereka dengan membangun banyak benteng, pos militer juga yang terkenal adalah jalan raya Pos di Jawa dan semua itu membutuhkan bahan bangunan terutama kayu jati yang bagus. Kayu jati jati yang bagus kualitasnya justru di Madiun dimana Raden Ronggo Prawirodirjo III ini memimpin. Daendels menekan Sultan Hamengkubuwono II agar bisa mendapatkan Jati Madiun dengan murah tentunya maka ia membuat aturan agar kayu jati dari Madiun bisa Belanda ambil dengan murah, tentu saja Raden Ronggo tak terima maka ia meminta ijin pada Sultan Hamengkubuwono II untuk melawan Daendels. Karena merasa dirugikan dengan kebijakan Daendels, Raden Ronggo mengusulkan kepada Sultan Sepuh untuk menolak tuntutan tentang pengelolaan kayu jati tersebut. Minister Pieter Engelhard yang mengetahui usulan Raden Ronggo kemudian melaporkan kepada Daendels. Mendapat laporan itu Daendels berangkat ke Yogyakarta untuk menindas Sultan Hamengku Buwono II. Daendels membawa militer berkekuatan 7.000 pasukan menuju Vorstenlanden atau Daerah Timur jauh. Setibanya di Semarang Daendels menerima laporan dari Minister Kasunanan Surakarta van Braam bahwa Sunan Paku Buwono IV bersedia memenuhi tuntutan Daendels tentang pengelolaan kayu jati. Sikap Sunan ini dipandang Sultan Sepuh dan Raden Ronggo sebagai sebuah kelemahan ketika mendapat tekanan Daendels. Kondisi ini mengakibatkan mereka berdua tidak menyukai Sunan Paku Buwono IV. Saat situasi memanas pada 31 Januari 1810 terjadi peristiwa Ngabel-Sekedok. Peristiwa ini terjadi di Desa Ngebel dan Sekedok, wilayah milik Kasunanan Surakarta. Penduduk Ngebel dan Sekedok diserang oleh sejumlah orang bersenjata dari Madiun. Para penyerangnya menuduh bahwa penduduk Ngebel dan Sekedok telah melakukan penebangan kayu di wilayah Madiun (yang merupakan masuk Kesultanan Yogyakarta) tanpa izin. Akibat penyerangan itu penduduk Desa Ngebel tewas tiga orang. Mendengar peristiwa itu Sunan Paku Buwono IV melaporkan kepada Daendels melalui Minister van Braam. Atas inisiasi van Braam dibentuk komisi penyelidikan peristiwa itu yang terdiri dari tiga unsur yakni dari Kesultanan, Kasunanan, dan kolonial Belanda. Usulan van Braam disetujui oleh Sultan Sepuh sehingga Kesultanan mengirim Pangeran Dipokusumo, Sunan Paku Buwono IV menunjuk Tumenggung Arungbinang dan pemerintahan Kolonial Belanda mengirim Komandan militer di Surakarta Kapten Krijman. Dari hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa para penyerang berasal dari Madiun dan atas perintah Raden Ronggo. Pangeran Dipokusumo tidak dapat menerima kenyataan ini dan menyampaikannya kepada Sultan Sepuh. Sebaliknya, seperti mengetahui posisinya di atas angin Sunan Paku Buwono IV semakin legas menuntut kepada Minister van Braam agar Raden Ronggo segera dijatuhi hukuman dan Kesultanan Yogyakarta memberikan ganti rugi kepadanya. Mendapat laporan dari van Braam, Daendels kemudian membuat sepucuk surat kepada Sultan Sepuh dengan isi bahwa jika Ronggo tidak dihukum secara hukum kolonial maka Raja Yogyakarta itu akan mendapat risiko dimusuhi oleh Sunan Paku Buwono IV dan Daendels. Mendapat surat tersebut Sultan sangat murka. Sultan melihat bahwa aksi-aksi Sunan Surakarta itu telah membuat permusuhan antara dirinya dengan sang gubernur jenderal semakin tajam. Sultan Sepuh kemudian memanggil Ronggo dan bertanya duduk perkaranya. Ronggo memberikan jawaban bahwa orang-orangnya menyerang karena warganya di Madiun merasa marah kepada orang-orang Surakarta karena selama ini telah diperas oleh para pejabat Surakarta di Ponorogo. Ronggo juga menambahkan bahwa perlawanan rakyat Madiun tersebut merupakan penolakan terhadap kebijakan Daendels tentang penyetoran kayu-kayu jati di Madiun. Sultan Sepuh kemudian menyampaikan alasan penyerangan tersebut kepada Minister van Braam dan menyimpulkan bahwa Ronggo memang bersalah karena melakukan perintah penyerangan. Untuk itu Sultan Sepuh berjanji menyerahkan Ronggo kepada Daendels dan akan memenuhi kebijakan tentang penyetoran kayu jati. Setelah puas mendengar janji Sultan melalui van Braam maka Daendels kembali ke Batavia. Hari berikutnya Daendels mengirim perintah kepada van Braam agar Ronggo dibawa ke Bogor untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Perintah itu lalu berubah bukan di Bogor tetapi di Batavia karena pengikut Ronggo yang jumlahnya 1.000 tidak dapat ditampung di Bogor yang sempit itu. Untuk memberikan tekanan kepada Sultan Sepuh agar taat pada kolonial Belanda Daendels memerintahkan tentaranya yang berjumlah 2.000 serdadu Belanda bergerak di bawah pimpinan van Winckelmann di Semarang bergerak lewat Boyolali. Mendapat tekanan dari Daendels itu Sultan kemudian mengumpulkan orang-orangnya (bupati dan pangeran), termasuk Ronggo, untuk mengambil keputusan menyerahkan Ronggo atau tidak. Dalam pertemuan itu tidak satupun bupati dan pangeran yang menolak keberangkatan Ronggo ke Batavia. Artinya, dalam rapat tersebut secara aklamasi disetujui penyerahan Ronggo ke Batavia agar Kesultanan Yogyakarta selamat dari gempuran tentara Belanda. Situasi yang dihadapi Ronggo memang maju kena mundur juga kena. Apabila dia memenuhi perintah Sultan Sepuh untuk berangkat ke Batavia berarti menyerah dan membiarkan dijajah. Apalagi sudah sejak lama Ronggo menyadari bahwa Daendels menganggap dia orang yang berbahaya sehingga diinginkan kematiannya. Tetapi apabila Ronggo tidak memenuhi perintah Sultan Sepuh maka Sultan yang menderita karena harus mendapat tekanan keras dari Daendels. Akhirnya dalam rapat tersebut Ronggo menolak berangkat ke Batavia dan sebaliknya memohon restu kepada Sultan Hamengku Buwono II untuk kembali ke Madiun dan memulai perlawanan di daerahnya apabila kebijakan tentang penyetoran kayu jati tetap dilaksanakan. Jadi, dalam hal ini Ronggo tidak berniat melakukan perlawanan kepada Sultan Hamengku Buwono II yang juga mertuanya tetapi melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Daendels dan Sunan Surakarta yang selalu memihak Daendels. Pada 20 November 1810 Sultan Sepuh merestui Raden Ronggo, namun agar tidak diketahui oleh Minister Engelhard, Ronggo harus mengatakan bersedia ke Batavia kepada Engelhard keesokan harinya, yaitu tanggal 21 November 1810. Malam harinya Ronggo menemui Pangeran Notokusumo, Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat yang secara kebetulan mereka ada di tempat yang sama. Ronggo menyatakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi dengan kelicikan Patih Danurejo II yang selalu mengadu kepada pemerintah Belanda. Risikonya yakni ditangkap dihukum mati atau dibuang. Untuk itu pilihannya mati melawan Daendels kalau bisa mati bersama-sama dengan Daendels. Dalam pertemuan yang penuh mengharukan itu Ronggo mengatakan bahwa ia akan bergerilya di Mancanegara Timur untuk melawan tentara Daendels dan menghancurkan pasukan Sunan Surakarta. Tidak lupa Ronggo berpesan kepada mereka untuk merusak semua jembatan yang menuju kearah Madiun. Ronggo juga berpesan agar menjaga istana Yogyakarta dan Sultan Sepuh. Ia juga memohon agar menyampaikan semua ini kepada Sultan Sepuh agar Sultan mendukung perlawanannya. Ronggo kemudian meminta bantuan kepada Tumenggung Sumodiningrat agar menyiapkan kuda untuk kepergiannya ke Madiun bersama pengikutnya. Pada 20 November 1810 Ronggo berangkat bersama 300 pengikutnya. Jalur yang ditempuh seolah-olah akan menuju ke Batavia dengan mengambil arah ke Kemloko (perbatasan antara Tempel dan Pisangan) namun kemudian Ronggo berbalik arah menuju Maospati (Madiun) melewati Klaten terus ke Surakarta tanpa memberitahu kepada Sultan maupun Patih Danurejo II. Dalam perjalanan tersebut Ronggo dan anak buahnya melakukan pembakaran di desa-desa yang masuk wilayah Kasunanan Surakarta sebagai pelampiasan kemarahannya kepada Sunan Surakarta yang selama ini dianggap merongrong wibawa Kesultanan Yogyakarta. Pada pukul 03.30 dini hari 21 November 1810, Engelhard dibangunkan dari tidurnya dengan kabar bahwa Ronggo berangkat ke Madiun dengan 300 orang pengikutnya. Meskipun ia segera menulis surat kepada asisten residen Surakarta agar Pangeran Prangwedono (Mangkunegara II) dan Sunan mencegat rombongan Ronggo tetapi sudah terlambat karena Ronggo sudah melewati Delanggu. Dalam perangnya melawan Daendels Ronggo menyerukan ajakan untuk melawan pemerintah Belanda kepada semua rakyat di Mancanegara Timur dan masyarakat Cina. Banyak orang Cina yang membantu perjuangan Ronggo. Ia bahkan menobatkan diri menjadi Susuhunan Prabu ing Alogo dan patihnya Tumenggung Sumonegoro (bupati Nganjuk) sebagai panglima perang dengan gelar Panembahan Pangeran Adipati Surya Jayapurasa. Agar mendapat dukungan penuh dari para bupati, pada saat bersamaan dia juga memberi gelar pangeran kepada 14 bupati bawahannya. Untuk memperluas dukungan dari para bupati di tanah Jawa, Ronggo juga mengirimkan surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara dan para bupati di Mancanegara Timur wilayahnya. Isi surat edaran itu berupa himbauan agar seluruh bupati di wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan Kssunanan Surakarta mengakui Ronggo sebagai Sultan Madiun dengan gelar Susuhunan Prabu ing Alogo dan membantu perjuangannya melawan kolonial Belanda. Untuk memadamkan perlawanan Ronggo van membentuk pasukan Belanda di bawah Letnan Paulus dan Sunan Surakarta menyiapkan prajuritnya di bawah pimpinan Tumenggung Sosrodipuro yang diikuti oleh legiun Mangkunegaran. Pasukan gabungan itu siap berangkat dari Surakarta pada 1 Desember 1810 untuk memburu Ronggo di Madiun. Tanggal 2 Desember 1810 Marsekal Daendels membentuk tentara yang beranggotakan 3.000 serdadu infanteri yang bergerak dari Semarang. Ekspedisi tentara tersebut kemudian diikuti 2 eskadron kavaleri dan 2 kompi meriam yang ditarik kuda dengan anggota 200 orang prajurit setiap kompi yang bergerak dari Batavia, Sultan Sepuh menerima surat dari Daendels lewat Engelhard yang isinya perintah membantu perburuan Ronggo, sehingga Sultan juga menyiapkan prajurit di bawah Tumenggung Purwodipuro dan Tumenggung Sindunegoro. Pada 5 Desember 1810 pasukan gabungan bergerak menuju Madiun. Pertempuran pertama terjadi pada 7 Desember 1810 di Maospati. Dalam pertempuran pertama itu pasukan Daendels gagal sehingga Letnan Paulus mengirim surat kepada Minister Engelhard yang mengabarkan bahwa pasukan Kesultanan di bawah Tumenggung Purwodipuro tidak serius memburu Ronggo. Engelhard kemudian mengingatkan kepada Sultan untuk menambah prajurit dan mengganti panglimanya. Sultan kemudian mengirim Pangeran Adinegoro yang dibantu oleh Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sastrowidjaya, dan Raden Tirtodiwirdjo. Tumenggung Purwodipuro, karena enggan melawan Ronggo dan mempermalukan Sultan, dipecat dari jabatannya sebagai bupati dalem. Dalam ekspedisi ini wilayah Madiun belum terjamah sehingga gagal dikuasai. Pertempuran hanya terjadi di Ngawi dan Magetan. Ekspedisi kedua ini juga mengalami kegagalan. Pada 7 Desember 1810 setelah Dipokusumo diangkat Sultan Sepuh menjadi panglima perang Kesultanan Yogyakarta dengan dibantu pasukan yang dipimpin Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld pertempuran dahsyat terjadi. Dalam pertempuran itu pasukan Dipokusumo berhasil mengalahkan pasukan Ronggo dan malam harinya Istana Maospati berhasil diduduki tanpa perlawanan. Dipokusumo menduduki istana itu sampai 3 hari karena memang pusat pemerintahan Ronggo dipindahkan ke Istana Wonosari, Madiun. Tanggal 11 Desember 1810 Istana Wonosari juga dapat diduduki pasukan Dipokusumo. Pada 12 Desember 1810 seluruh wilayah Madiun dapat dikuasai oleh pasukan gabungan. Raden Ronggo yang disertai 3 bupati mundur ke arah timur sampai di Kertosono. Pada 17 Desember 1810 pasukan Leberfeld dihadang oleh pasukan Raden Ronggo di Desa Sekaran (Kertosono) sehingga terjadi pertempuran dahsyat. Dalam pertempuran ini istri dan anaknya Ronggo tertangkap. Dari orang-orang yang tertangkap itu diketahui bahwa pasukan Ronggo tinggal 150 orang sehingga makin lama makin melemah. Hingga pada seperti tertulis diatas, Adipati gagah yang disebut oleh Pangeran Diponegoro "Agul-agul Mataram" ini gugur dengan gagah. Diponegoro dalam babad nya mengatakan bahwa Raden Ronggo adalah idolanya yang disebutnya sebagai "Bantengnya Keraton Yogyakarta". Sumber Buku Geger Sepoy Beny Rusmawan

 RADEN RONGGO PRAWIRODIRJO III

SEPUPU' DIPONEGORO PERANG MELAWAN DAENDELS PADA 1810



Tanggal 21 Desember 1810, Raden Ronggo masih terlihat gagah memimpin pasukan walau terjepit, ia menebas tombak yang ia pegang  ke musuh yang ia dapat, beberapa serdadu Belanda terjengkang terkena sambaran tombak dari sepupu Pangeran Diponegoro ini. Disekelilingnya para pengikut dan prajuritnya juga sedang bertarung mati-matian dengan sampai akhirnya Raden Ronggo terdesak saat ia mengelak sabetan pedang membuat ia melompat dari kudanya lalu masih memegang tombak saktinya Kyai Blabar, sang Adipati Madiun ini masih melawan sekuat tenaga sampai sebuah tusukan pedang serdadu Belanda mengenai dadanya, terhuyung Raden Rangga mudur merasakan nyeri lukanya, saat itulah Leberfeld memerintahkan pasukannya menyerang Ronggo dan menghabisinya hingga meninggal.


Itu adalah akhir dari perlawanan singkat dari Raden Ronggo Prawirodirjo III pada Gubernur Jendral Daendels yang memang membenci Raden Ronggo sejak lama. Namun perlawanan yang dilakukan oleh Mertua Pangeran Diponegoro ini akan menjadi penyemangat sang Pangeran Diponegoro 15 tahun kemudian.


Siapa Raden Ronggo Prawirodirjo III? dia adalah penasehat Hamengkubuwono II atau Sultan Sepuh dan juga Adipati Wedono Mancanegara Maospati atau Madiun sekarang yang saat itu adalah wilayah Yogjakarta Hadiningrat.


Ia dikenang rakyat Madiun sebagai pemimpin cerdas dan mengayomi rakyatnya hingga kesejahteraan warga Madiun meningkat walau usianya saat mulai memimpin masih muda yakni 31 tahun.


Raden Ronggo adalah seorang yang cerdas saat memimpin Madiun antara tahun 1802-1810 walau usianya masih 31 tahun. Meski ia tinggal di Maospati tapi ia sering bolak balik ke Yogja karena dipercaya Sultan Hamengkubuwono II menjadi penasihat sampai menjadi Panglima tertinggi angkatan bersenjata Keraton Yogyakarta.


Raden Ronggo terkenal pemberani sampai-sampai Daendels berkesimpulan orang yang satu ini harus segera disingkirkan.


Menjelang kedatangan pasukan Inggris ke Jawa, Daendels sedang mempersiapkan menghadapi kedatangan mereka dengan membangun banyak benteng, pos militer juga yang terkenal adalah jalan raya Pos di Jawa dan semua itu membutuhkan bahan bangunan terutama kayu jati yang bagus. Kayu jati jati yang bagus kualitasnya justru di Madiun dimana Raden Ronggo Prawirodirjo III ini memimpin.


Daendels menekan Sultan Hamengkubuwono II agar bisa mendapatkan Jati Madiun dengan murah tentunya maka ia membuat aturan agar kayu jati dari Madiun bisa Belanda ambil dengan murah, tentu saja Raden Ronggo tak terima maka ia meminta ijin pada Sultan Hamengkubuwono II untuk melawan Daendels.


Karena merasa dirugikan dengan kebijakan Daendels, Raden Ronggo mengusulkan kepada Sultan Sepuh untuk menolak tuntutan tentang pengelolaan kayu jati tersebut. Minister Pieter Engelhard yang mengetahui usulan Raden Ronggo kemudian melaporkan kepada Daendels. Mendapat laporan itu Daendels berangkat ke Yogyakarta untuk menindas Sultan Hamengku Buwono II. Daendels membawa militer berkekuatan 7.000 pasukan menuju Vorstenlanden atau Daerah Timur jauh.


Setibanya di Semarang Daendels menerima laporan dari Minister Kasunanan Surakarta van Braam bahwa Sunan Paku Buwono IV bersedia memenuhi tuntutan Daendels tentang pengelolaan kayu jati. Sikap Sunan ini dipandang Sultan Sepuh dan Raden Ronggo sebagai sebuah kelemahan ketika mendapat tekanan Daendels. Kondisi ini mengakibatkan mereka berdua tidak menyukai Sunan Paku Buwono IV.


Saat situasi memanas pada 31 Januari 1810 terjadi peristiwa Ngabel-Sekedok. Peristiwa ini terjadi di Desa Ngebel dan Sekedok, wilayah milik Kasunanan Surakarta. Penduduk Ngebel dan Sekedok diserang oleh sejumlah orang bersenjata dari Madiun. Para penyerangnya menuduh bahwa penduduk Ngebel dan Sekedok telah melakukan penebangan kayu di wilayah Madiun (yang merupakan masuk Kesultanan Yogyakarta) tanpa izin. Akibat penyerangan itu penduduk Desa Ngebel tewas tiga orang. 


Mendengar peristiwa itu Sunan Paku Buwono IV melaporkan kepada Daendels melalui Minister van Braam. Atas inisiasi van Braam dibentuk komisi penyelidikan peristiwa itu yang terdiri dari tiga unsur yakni dari Kesultanan, Kasunanan, dan kolonial Belanda. Usulan van Braam disetujui oleh Sultan Sepuh sehingga Kesultanan mengirim Pangeran Dipokusumo, Sunan Paku Buwono IV menunjuk Tumenggung Arungbinang dan pemerintahan Kolonial Belanda mengirim Komandan militer di Surakarta Kapten Krijman.


Dari hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa para penyerang berasal dari Madiun dan atas perintah Raden Ronggo.


Pangeran Dipokusumo tidak dapat menerima kenyataan ini dan menyampaikannya kepada Sultan Sepuh. Sebaliknya, seperti mengetahui posisinya di atas angin Sunan Paku Buwono IV semakin legas menuntut kepada Minister van Braam agar Raden Ronggo segera dijatuhi hukuman dan Kesultanan Yogyakarta memberikan ganti rugi kepadanya. 


Mendapat laporan dari van Braam, Daendels kemudian membuat sepucuk surat kepada Sultan Sepuh dengan isi bahwa jika Ronggo tidak dihukum secara hukum kolonial maka Raja Yogyakarta itu akan mendapat risiko dimusuhi oleh Sunan Paku Buwono IV dan Daendels. Mendapat surat tersebut Sultan sangat murka. Sultan melihat bahwa aksi-aksi Sunan Surakarta itu telah membuat permusuhan antara dirinya dengan sang gubernur jenderal semakin tajam.


Sultan Sepuh kemudian memanggil Ronggo dan bertanya duduk perkaranya. Ronggo memberikan jawaban bahwa orang-orangnya menyerang karena warganya di Madiun merasa marah


kepada orang-orang Surakarta karena selama ini telah diperas oleh para pejabat Surakarta di Ponorogo. Ronggo juga menambahkan bahwa perlawanan rakyat Madiun tersebut merupakan penolakan terhadap kebijakan Daendels tentang penyetoran kayu-kayu jati di Madiun. Sultan Sepuh kemudian menyampaikan alasan penyerangan tersebut kepada Minister van Braam dan menyimpulkan bahwa Ronggo memang bersalah karena melakukan perintah penyerangan. Untuk itu Sultan Sepuh berjanji menyerahkan Ronggo kepada Daendels dan akan memenuhi kebijakan tentang penyetoran kayu jati. Setelah puas mendengar janji Sultan melalui van Braam maka Daendels kembali ke Batavia.


Hari berikutnya Daendels mengirim perintah kepada van Braam agar Ronggo dibawa ke Bogor untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Perintah itu lalu berubah bukan di Bogor tetapi di Batavia karena pengikut Ronggo yang jumlahnya 1.000 tidak dapat ditampung di Bogor yang sempit itu.


Untuk memberikan tekanan kepada Sultan Sepuh agar taat pada kolonial Belanda Daendels memerintahkan tentaranya yang berjumlah 2.000 serdadu Belanda bergerak di bawah pimpinan van Winckelmann di Semarang bergerak lewat Boyolali. 


Mendapat tekanan dari Daendels itu Sultan kemudian mengumpulkan orang-orangnya (bupati dan pangeran), termasuk Ronggo, untuk mengambil keputusan menyerahkan Ronggo atau tidak. Dalam pertemuan itu tidak satupun bupati dan pangeran yang menolak keberangkatan Ronggo ke Batavia. Artinya, dalam rapat tersebut secara aklamasi disetujui penyerahan Ronggo ke Batavia agar Kesultanan Yogyakarta selamat dari gempuran tentara Belanda.


Situasi yang dihadapi Ronggo memang maju kena mundur juga kena. Apabila dia memenuhi perintah Sultan Sepuh untuk berangkat ke Batavia berarti menyerah dan membiarkan dijajah. Apalagi sudah sejak lama Ronggo menyadari bahwa Daendels menganggap dia orang yang berbahaya sehingga diinginkan kematiannya. Tetapi apabila Ronggo tidak memenuhi perintah Sultan Sepuh maka Sultan yang menderita karena harus mendapat tekanan keras dari Daendels.


Akhirnya dalam rapat tersebut Ronggo menolak berangkat ke Batavia dan sebaliknya memohon restu kepada Sultan Hamengku Buwono II untuk kembali ke Madiun dan memulai perlawanan di daerahnya apabila kebijakan tentang penyetoran kayu jati tetap dilaksanakan. Jadi, dalam hal ini Ronggo tidak berniat melakukan perlawanan kepada Sultan Hamengku Buwono II yang juga mertuanya tetapi melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Daendels dan Sunan Surakarta yang selalu memihak Daendels.


Pada 20 November 1810 Sultan Sepuh merestui Raden Ronggo, namun agar tidak diketahui oleh Minister Engelhard, Ronggo harus mengatakan bersedia ke Batavia kepada Engelhard keesokan harinya, yaitu tanggal 21 November 1810. Malam harinya Ronggo menemui Pangeran Notokusumo, Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat yang secara kebetulan mereka ada di tempat yang sama. 


Ronggo menyatakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi dengan kelicikan Patih Danurejo II yang selalu mengadu kepada pemerintah Belanda. Risikonya yakni ditangkap dihukum mati atau dibuang. Untuk itu pilihannya mati melawan Daendels kalau bisa mati bersama-sama dengan Daendels.


Dalam pertemuan yang penuh mengharukan itu Ronggo mengatakan bahwa ia akan bergerilya di Mancanegara Timur untuk melawan tentara Daendels dan menghancurkan pasukan Sunan Surakarta. Tidak lupa Ronggo berpesan kepada mereka untuk merusak semua jembatan yang menuju kearah Madiun. Ronggo juga berpesan agar menjaga istana Yogyakarta dan Sultan Sepuh. Ia juga memohon agar menyampaikan semua ini kepada Sultan Sepuh agar Sultan mendukung perlawanannya. Ronggo kemudian meminta bantuan kepada Tumenggung Sumodiningrat agar menyiapkan kuda untuk kepergiannya ke Madiun bersama pengikutnya.


Pada 20 November 1810 Ronggo berangkat bersama 300 pengikutnya. Jalur yang ditempuh seolah-olah akan menuju ke Batavia dengan mengambil arah ke Kemloko (perbatasan antara Tempel dan Pisangan) namun kemudian Ronggo berbalik arah menuju Maospati (Madiun) melewati Klaten terus ke Surakarta tanpa memberitahu kepada Sultan maupun Patih Danurejo II. Dalam perjalanan tersebut Ronggo dan anak buahnya melakukan pembakaran di desa-desa yang masuk wilayah Kasunanan Surakarta sebagai pelampiasan kemarahannya kepada Sunan Surakarta yang selama ini dianggap merongrong wibawa Kesultanan Yogyakarta.


Pada pukul 03.30 dini hari 21 November 1810, Engelhard dibangunkan dari tidurnya dengan kabar bahwa Ronggo berangkat ke Madiun dengan 300 orang pengikutnya. Meskipun ia segera menulis surat kepada asisten residen Surakarta agar Pangeran Prangwedono (Mangkunegara II) dan Sunan mencegat rombongan Ronggo tetapi sudah terlambat karena Ronggo sudah melewati Delanggu.


Dalam perangnya melawan Daendels Ronggo menyerukan ajakan untuk melawan pemerintah Belanda kepada semua rakyat di Mancanegara Timur dan masyarakat Cina. Banyak orang Cina yang membantu perjuangan Ronggo.  Ia bahkan menobatkan diri menjadi Susuhunan Prabu ing Alogo dan patihnya Tumenggung Sumonegoro (bupati Nganjuk) sebagai panglima perang dengan gelar Panembahan Pangeran Adipati Surya Jayapurasa. Agar mendapat dukungan penuh dari para bupati, pada saat bersamaan dia juga memberi gelar pangeran kepada 14 bupati bawahannya. 


Untuk memperluas dukungan dari para bupati di tanah Jawa, Ronggo juga mengirimkan surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara dan para bupati di Mancanegara Timur wilayahnya. Isi surat edaran itu berupa himbauan agar seluruh bupati di wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan Kssunanan Surakarta mengakui Ronggo sebagai Sultan Madiun dengan gelar Susuhunan Prabu ing Alogo dan membantu perjuangannya melawan kolonial Belanda.


Untuk memadamkan perlawanan Ronggo van membentuk pasukan Belanda di bawah Letnan Paulus dan Sunan Surakarta menyiapkan prajuritnya di bawah pimpinan Tumenggung Sosrodipuro yang diikuti oleh legiun Mangkunegaran. Pasukan gabungan itu siap berangkat dari Surakarta pada 1 Desember 1810 untuk memburu Ronggo di Madiun.


Tanggal 2 Desember 1810 Marsekal Daendels membentuk tentara yang beranggotakan 3.000 serdadu infanteri yang bergerak dari Semarang. Ekspedisi tentara tersebut kemudian diikuti 2 eskadron kavaleri dan 2 kompi meriam yang ditarik kuda dengan anggota 200 orang prajurit setiap kompi yang bergerak dari Batavia, Sultan Sepuh menerima surat dari Daendels lewat Engelhard yang isinya perintah membantu perburuan Ronggo, sehingga Sultan juga menyiapkan prajurit di bawah Tumenggung Purwodipuro dan Tumenggung Sindunegoro.


Pada 5 Desember 1810 pasukan gabungan bergerak menuju Madiun. Pertempuran pertama terjadi pada 7 Desember 1810 di Maospati. Dalam pertempuran pertama itu pasukan Daendels gagal sehingga Letnan Paulus mengirim surat kepada Minister Engelhard yang mengabarkan bahwa pasukan Kesultanan di bawah Tumenggung Purwodipuro tidak serius memburu Ronggo. Engelhard kemudian mengingatkan kepada Sultan untuk menambah prajurit dan mengganti panglimanya. Sultan kemudian mengirim Pangeran Adinegoro yang dibantu oleh Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sastrowidjaya, dan Raden Tirtodiwirdjo. 


Tumenggung Purwodipuro, karena enggan melawan Ronggo dan mempermalukan Sultan, dipecat dari jabatannya sebagai bupati dalem. Dalam ekspedisi ini wilayah Madiun belum terjamah sehingga gagal dikuasai. Pertempuran hanya terjadi di Ngawi dan Magetan. Ekspedisi kedua ini juga mengalami kegagalan.


Pada 7 Desember 1810 setelah Dipokusumo diangkat Sultan Sepuh menjadi panglima perang Kesultanan Yogyakarta dengan dibantu pasukan yang dipimpin Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld pertempuran dahsyat terjadi. Dalam pertempuran itu pasukan Dipokusumo berhasil mengalahkan pasukan Ronggo dan malam harinya Istana Maospati berhasil diduduki tanpa perlawanan.


Dipokusumo menduduki istana itu sampai 3 hari karena memang pusat pemerintahan Ronggo dipindahkan ke Istana Wonosari, Madiun. Tanggal 11 Desember 1810 Istana Wonosari juga dapat diduduki pasukan Dipokusumo. 


Pada 12 Desember 1810 seluruh wilayah Madiun dapat dikuasai oleh pasukan gabungan. Raden Ronggo yang disertai 3 bupati mundur ke arah timur sampai di Kertosono. Pada 17 Desember 1810 pasukan Leberfeld dihadang oleh pasukan Raden Ronggo di Desa Sekaran (Kertosono) sehingga terjadi pertempuran dahsyat. Dalam pertempuran ini istri dan anaknya Ronggo tertangkap. Dari orang-orang yang tertangkap itu diketahui bahwa pasukan Ronggo tinggal 150 orang sehingga makin lama makin melemah.


Hingga pada seperti tertulis diatas, Adipati gagah yang disebut oleh Pangeran Diponegoro "Agul-agul Mataram" ini gugur dengan gagah.


Diponegoro dalam babad nya mengatakan bahwa Raden Ronggo adalah idolanya yang disebutnya sebagai "Bantengnya Keraton Yogyakarta".


Sumber Buku Geger Sepoy 


Sumber : Beny Rusmawan

No comments:

Post a Comment